Apa yang dimaksud dengan Pendidikan Karakter ?

Pendidikan merupakan elemen penting dalam membentuk generasi dalam suatu bangsa. Salah satu yang termasuk dalam praktik pendidikan adalah adanya sekolah, pesantren, dan lembaga pelatihan lainnya yang ditujukan untuk pengembangan sumber daya manusia. Pendidikan sering terjadi di bawah bimbingan orang lain, tetapi juga memungkinkan secara otodidak. Lalu, apa yang dimaksud Pendidikan Berkarakter?

Kata karakter berasal dari bahasa Yunani charassein, yang berarti to engrave (melukis, menggambar), seperti orang yang melukis kertas, memahat batu atau metal. Berakar dari pengertian yang seperti itu, karakterkemudian diartikan sebagai tanda atau ciri yang khusus, dan karenanya melahirkan sutu pandangan bahwa karakter adalah ‘pola perilaku yang bersifat individual, keadaan moral seseorang’.

Setelah melewati tahap anak-anak, seseorang memiliki karakter, cara yang dapat diramalkan bahwa karakter seseorang berkaitan dengan perilaku yang ada di sekitar dirinya (Kevin Ryan, 1999).

Karakter yang baik berkaitan dengan mengetahui yang baik (knowing the good), mencintai yang baik (loving the good), dan melakukan yang baik (acting the good). Ketiga ideal ini satu sama lain sangat berkaitan. Seseorang lahir dalam keadaan bodoh, dorongan-dorongan primitif yang ada dalam dirinya kemungkinan dapat memerintahkan atau menguasai akal sehatnya. Maka, efek yang mengiringi pola pengasuhan dan pendidikan seseorang akan dapat mengarahkan kecenderungan, perasaan, dan nafsu besar menjadi beriringan secara harmoni atas bimbingan akal dan juga ajaran agama.

Mengetahui yang baik berarti dapat memahami dan membedakan antara yang baik dan yang buruk. Mengetahui yang baik berarti mengembangkan kemampuan untuk menyimpulkan atau meringkaskan suatu keadaan, sengaja, memilih sesuatu yang baik untuk dilakukan, dan kemudian melakukannya.

Aristoteles menyebutnya sebagau practical wisdom ( kebijakan praktis).

Memiliki kebijakan praktis berarti mengetahui keadaan apa yang diperlukan. Mengetahui, misalnya, siswa dapat merencanakan kegiatan mereka, seperti bagaimana mereka mengerjakan pekerjaan rumah mereka, menghabiskan waktu dengan keluarga dan teman-teman mereka. Tetapi kebijakan praktis tidak semata-mata tentang manajemen waktu, melainkan berkaitan pula dengan prioritas dan pemilihan sesuatu yang baik dalam semua suasana kehidupan. Hal ini berkaitan dengan kemampuan untuk membuat komitmen yang bijak dan menjaganya (Kevin Ryan, 1999).

Aristoteles mendefiniskan karakter yang baik sebagai tingkah laku yang benar --tingkah laku yang benar dalam hubungannya dengan orang lain dan juga dengan diri sendiri.

Di pihak lain, karakter, dalam pandangan filosof kontemporer seperti Michael Novak, adalah campuran atau perpaduan dari semua kebaikan yang berasal dari tradisi keagamaan, cerita, dan pendapat orang bijak, yang sampai kepada kita melalui sejarah. Menurut Novak, tak seorang pun yang memiliki semua kebajikan itu, karena setiap orang memiliki kelemahan- kelemahan. Seseorang dengan karakter terpuji dapat dibedakan dari yang lainnya (Lickona, 1991).

ALASAN PERLUNYA PENDIDIKAN KARAKTER


Menurut Lickona ada tujuh alasan mengapa pendidikan karakter itu harus disampaikan. Ketujuh alasan yang dimaksud adalah sebagai berikut.

  1. Cara terbaik untuk menjamin anak-anak (siswa) memiliki kepribadian yang baik dalam kehidupannya.

  2. Cara untuk meningkatkan prestasi akademik.

  3. Sebagian siswa tidak dapat membentuk karakter yang kuat bagi dirinya di tempat lain.

  4. Persiapan siswa untuk menghormati pihak atau orang lain dan dapat hidup dalam masyarakat yang beragam.

  5. Berangkat dari akar masalah yang berkaitan dengan problem moral-sosial, seperti ketidaksopanan, ketidakjujuran, kekerasan, pelanggaran kegiatan seksual, dan etos kerja (belajar) yang rendah.

  6. Persiapan terbaik untuk menyongsong perilaku di tempat kerja.

  7. Pembelajaran nilai- nilai budaya yang merupakan bagian dari kerja peradaban.

PENDIDIKAN KARAKTER


Secara sederhana, pendidikan karakter dapat didefinisikan sebagai segala usaha yang dapat dilakukan untuk mempengaruhi karakter siswa. Tetapi, untuk mengetahui pengertian yang tepat, dapat dikemukakan di sini definisi pendidikan karakter yang disampaikan oleh Thomas Lickona.

Lickona (1991) menyatakan bahwa pendidikan karakter adalah suatu usaha yang disengaja untuk membantu seseorang sehingga ia dapat memahami, memperhatikan, dan melakukan nilai-nilai etika yang inti. Bertitik tolak dari definisi tersebut, ketika kita berpikir tentang jenis karakter yang ingin kita bangun pada diri para siswa, jelaslah bahwa ketika itu kita menghendaki agar mereka mampu memahami nilai-nilai tersebut, memperhatikan secara lebih mendalam mengenai benarnya nilai-nilai itu, dan kemudian melakukan apa yang diyakininya itu, sekalipun harus menghadapi tantangan dan tekanan baik dari luar maupun dari dalam dirinya. Dengan kata lain mereka meliliki ‘kesadaran untuk memaksa diri’ melakukan nilai-nilai itu.

Pengertian yang disampaikan Lickona di atas memperlihatkan adanya proses perkembangan yang melibatkan pengetahuan (moral knowing), perasaan (moral feeling), dan tindakan (moral action), sekaligus juga memberikan dasar yang kuat untuk membangun pendidikan karakter yang koheren dan komprehensif.

Definisi di atas juga menekankan bahwa kita harus mengikat para siswa dengan kegiatan-kegiatan yang akan mengantarkan mereka berpikir kritis mengenai persoalan-persoalan etika dan moral; menginspirasi mereka untuk setia dan loyal dengan tindakan-tindakan etika dan moral; dan memberikan kesempatan kepada mereka untuk mempraktikkan perilaku etika dan moral tersebut.

Moral Knowing (Pengetahuan Moral)

Terdapat beragam jenis pengetahuan moral yang berkaitan dengan tantangan moral kehidupan. Berikut ini enam tahap yang harus dilalui dalam rangka mencapai tujuan-tujuan pendidikan moral.

  • Moral awarness (kesadaran moral).
    Kelemahan moral yang melanda hampir semua manusia dari segala jenis usia adalah adanya kebutaan atau kepapaan moral. Secara sederhana kita jarang melihat adanya cara-cara tertentu dalam masyarakat yang memperhatikan dan melibatkan isu-isu moral serta penilaian moral. Anak-anak muda misalnya, sering kali tidak peduli terhadap hal ini; mereka melakukan sesuatu tanpa mempertanyakan kebenaran suatu perbuatan.

  • Knowing moral values (pengetahuan nilai-nilai moral).
    Nilai-nilai moral seperti rasa hormat terhadap kehidupan dan kebebasan, tanggung jawab terhadap orang lain, kejujuran, keadilan, toleransi, sopan- santun, disiplin-diri, integritas, kebaikan, keharuan-keibaan, dan keteguhan hati atau keberanian, secara keseluruhan menunjukan sifat-sifat orang yang baik. Kesemuanya itu merupakan warisan dari generasi masa lalu bagi kehidupan masa depan. Literatur etika mensyaratkan pengetahuan tentang nilai- nilai ini. Mengetahui nilai-nilai di atas berarti juga memahami bagaimana menerapkan nilai-nilai itu dalam berbagai situasi.

  • Perspective-taking.
    Perspective-taking adalah kemampuan untuk mengambil pelajaran dari peristiwa yang menimpa atau terjadi pada orang lain ; melihat suatu keadaan sebagaimana mereka melihatnya; mengimajinasikan bagaimana mereka berpikir, bereaksi, dan merasakannya. Hal ini merupakan prasyarat bagi dilakukannya penilaian moral. Kita tidak dapat menghormati orang lain dan berbuat adil atau pantas terhadap kebutuhan mereka apabila kita tidak dapat memahami mereka. Tujuan utama dari pendidikan moral adalah untuk membantu siswa agar mereka bisa memahami dunia ini dari sudut pandang orang lain, terutama yang berbeda dari pengalaman mereka.

  • Moral reasoning (alasan moral).
    Moral reasoning meliputi pemahaman mengenai apa itu perbuatan moral dan mengapa harus melakukan perbuatan moral. Mengapa, misalnya, penting untuk menepati janji? Mengapa harus melakukan yang terbaik?. Moral reasoning pada umumnya menjadi pusat perhatian penelitian psikologis berkaitan dengan perkembangan moral.

  • Decesion-making (pengambilan keputusan).
    Kemampuan seseorang untuk mengambil sikap ketika dihadapkan dengan problema moral adalah suatu keahlian yang bersifat reflektif. Apa yang dipilih dan apa akibat atau resiko dari pengambilan keputusan moral itu, bahkan harus sudah diajarkan sejak TK (Taman Kanak-kanak).

  • Self-knowledge.
    Mengetahui diri sendiri atau mengukur diri sendiri merupakan jenis pengetahuan moral yang paling sulit, tetapi hal ini sangat penting bagi perkembangan moral. Menjadi orang yang bermoral memerlukan kemampuan untuk melihat perilaku diri sendiri dan mengevaluasinya secara kritis.

    Perkembangan atas self-knowledge ini meliputi kesadaran akan kekuatan dan kelemahan diri sendiri dan bagaimana mengkonpensasi kelemahan itu. Cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi kelemahan itu adalah dengan menjaga ‘jurnal etik’ (mencatat peristiwa-peristiwa moral yang terjadi, bagaimana merespon peristiwa moral itu, dan apakah respon itu dapat dipertanggung jawabkan secara etika).

Moral Feeling (Perasaan Moral)

Sisi emosional dari karakter seringkali diabaikan dalam pembahasan-pembahasan mengenai pendidikan moral, padahal hal ini sangat penting. Sungguh (secara sederhana), mengetahui yang benar tidak menjamin perilaku yang benar. Banyak orang yang sangat pandai ketika berbicara mengenai yang benar dan yang salah, tetapi justru mereka memilih perbuatan yang salah.

  • Conscience (Kesadaran).
    Kesadaran memiliki dua sisi: sisi kognitif (pengetahuan tentang sesuatu yang benar), dan sisi emosional (perasaan adanya kewajiban untuk melakukan apa yang benar itu). Kesadaran yang matang, disamping adanya perasaan kewajiban moral, adalah kemampuan untuk mengonstruksikan kesalahan. Apabila seseorang dengan kesadarannya merasa berkewajiban untuk menunjukkan suatu perbuatan dengan cara tertentu, maka ia pun bisa menunjukkan cara untuk tidak melakukan perbuatan yang salah.

    Bagi kebanyakan orang, kesadaran adalah persoalan moralitas. Mereka memiliki komitmen terhadap nilai-nilai moral dalam kehidupannya, karena nilai-nilai itu memiliki akar yang kuat dalam moral-diri mereka sendiri (moral self/hati nurani). Seperti, seseorang tidak dapat berbohong dan menipu karena mereka telah mengidentifikasikan dengan tindakan moral mereka; mereka merasa ‘telah keluar dari karakter’ ketika mereka melakukan perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai mereka. Menjadi orang yang secara pribadi memiliki komitmen terhadap nilai- nilai moral ternyata memerlukan proses perkembangan, dan membantu siswa dalam proses ini merupakan tantangan bagi setiap guru pendidikan moral.

  • Self-esteem (penghargaan-diri).
    Ketika kita memiliki ukuran yang sehat terhadap penghargaan-diri, kita menilai diri kita sendiri. Ketika kita menilai diri kita sendiri, kita akan menghargai atau menghormati diri kita sendiri. Kita tidak akan menyalahgunakan anggota tubuh atau pikiran kita atau mengizinkan pihak-pihak untuk menyalah gunakan diri kita.

    Ketika kita memiliki penghargaan- diri, kita tidak akan bergantung pada restu atau izin pihak lain. Pembelajaran yang memperlihatkan siswa dengan penghargaan- diri yang tinggi memiliki tingkat halangan yang lebih besar bagi sejawatnya untuk memberi tekanan kepadanya.

    Ketika kita memiliki penghargaan yang positif terhadap diri kita sendiri, kita lebih suka memperlakukan orang lain dengan cara-cara yang positif pula. Ketika kita kurang memiliki penghormatan terhadap diri sendiri, maka baginya juga sangat sulit untuk mengembangkan rasa hormat kepada pihak lain.

    Penghargaan-diri yang tinggi tidak dengan sendirinya dapat menjamin karakter yang baik. Hal ini bisa terjadi karena penghargaan-diri yang dimilikinya tidak didasarkan pada karakter yang baik, seperti misalnya karena kepemilikan, kecantikan atau kegantengan, populritas, atau kekuasaan. Salah satu tantangan sebagai pendidik adalah membantu siswa untuk mengembangkan penghargaan-diri yang didasarkan pada nilai-nilai seperti halnya tanggung jawab, kejujuran, dan kebaikan, atau didasarkan pada keyakinan pada kemampuan diri untuk kebaikan.

  • Empathy (empati).
    Empati adalah identifikasi dengan, atau seakan-akan mengalami, keadaan yang dialami pihak lain. Empati memungkinkan kita untuk memasuki perasaan yang dialami pihak lain. Empati merupakan sisi emosional dari perspective-taking.

    Dewasa ini kita sedang menyaksikan hancurnya empati dalam kehidupan masyarakat. Misalnya, meningkatnya kriminalitas anak-anak muda yang mengarah kepada sikap brutal. Mereka pada dasarnya mampu mengembankan empatinya terhadap sesuatu yang mereka ketahui dan peduli, tetapi mereka sama sekali tidak dapat menunjukkan perasaan empati mereka kepada orang-orang yang menjadi korban dari kekerasannya. Salah satu tugas pendidik moral adalah mengembangkan empati yang bersifat umum.

  • Loving the good.
    Bentuk karakter yang paling tinggi diperlihatkan dalam kelakukan yang baik. Ketika seseorang mencintai yang baik, maka dengan senang hati ia akan melakukan yang baik. Ia secara moral memiliki keinginan untuk berbuat baik, bukan semata-mata karena kewajiban moral. Kemampuan untuk mengisi kehidupan dengan perbuatan baik ini tidak terbatas bagi para ilmuwan, tetapi juga pada orang kebanyakan, bahkan anak-anak. Potensi untuk mengembangkan perilaku kehidupan yang baik ini dapat dilakukan melalui tutorial dan pelayanan sosial, baik di sekolah maupun di masyarakat luas.

  • Self-control.
    Emosi dapat membanjiri (mengatasi) alasan. Alasan seseorang mengapa self-control diperlukan untuk kebaikan moral. Kontrol-diri juga diperlukan bagi kegemaran-diri anak-anak muda. Apabila seseorang ingin mencari akar terjadinya penyimpangan sosial, salah satunya dapat ditemukan pada kegemaran- diri ini, demikian kata Walter Niogorski.

  • Humility (kerendahan hati).
    Kerendahan hati merupakan kebajikan moral yang sering diabaikan, padahal merupakan bagian yang esensial dari karakter yang baik. Kerendahan hati merupakan sisi yang efektif dari pengetahuan-diri (self-kenowledge). Kerendahan hati dan pengetahuan-diri merupakan sikap berterus terang bagi kebenaran dan keinginan untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan kita. Kerendahan hati merupakan pelindung terbaik bagi perbuatan jahat.

Moral Action (Tindakan Moral)

Moral action (tindakan moral), dalam pengertian yang luas, adalah akibat atau hasil dari moral knowing dan moral feeling. Apabila seseorang memiliki kualitas moral intelek dan emosi, kita bisa memperkirakan bahwa mereka akan melakukan apa yang mereka ketahui dan rasakan. Untuk memahami sepenuhnya apa yang dimaksud dengan tindakan moral, berikut ini adalah tiga aspek dari karakter: kompetensi (competence), keinginan (will), dan kebiasaan (habit).

  • Kompetensi (Competence).
    Moral kompetensi adalah kemampuan untuk mengubah penilaian dan perasaan moral ke dalam tindakan moral yang efektif. Untuk memecahkan masalah konflik misalnya, diperlukan keahlian-keahlian praktis: mendengar, menyampaikan pandangan tanpa mencemarkan pihak lain, dan menyusun solusi yang dapat diterima masing-masing pihak.

  • Kemauan (Will).
    Pilihan yang benar (tepat) akan suatu perilaku moral biasanya merupakan sesuatu yang sulit. Untuk menjadi dan melakukan sesuatu yang baik biasanya mensyaratkan adanya keinginan bertindak yang kuat, usaha untuk memobilisasi energi moral. Kemauan merupakan inti (core) dari dorongan moral.

  • Kebiasaan (Habit).
    Dalam banyak hal, perilaku moral terjadi karena adanya kebiasaan. Orang yang memiliki karakter yang baik, seperti yang dikatakan William Bennet, adalah orang yang melakukan tindakan ‘dengan sepenuh hati’, ‘dengan tulus’, ‘dengan gagah berani’, ‘dengan penuh kasih atau murah hati’, dan ‘dengan penuh kejujuran’. Orang melakukan perilaku yang baik adalah karena didasarkan kekuatan kebiasaan.

Karena alasan-alasan di atas, sebagai bagian dari pendidikan moral, maka harus banyak kesempatan yang diberikan kepada siswa untuk mengembangkan kebiasaan baik, dan memberikan praktik yang cukup untuk menjadi orang baik. Dengan demikian memberikan kepada mereka pengalaman- pengalaman berkenaan dengan perilaku jujur, sopan, dan adil (Lickona, 1991).

Pendekatan Komprehensive dan Holistik


Pendapat yang umum menyatakan bahwa cara terbaik untuk melaksanakan pendidikan karakter adalah melalui pendekatan komprehensif dan holistik, yaitu pendekatan yang meliputi dimensi kognitif, emosiol, dan perilaku, dengan melibatkan dan mengintegrasikannya ke dalam semua aspek kehidupan di sekolah. Pendekatan ini dapat juga dikatakan sebagai suatu reformasi yang menyeluruh dalam kehidupan sekolah.

Pendekatan komprehensif menyebutkan adanya dua belas poin yang harus dilakukan dalam pendidikan karakter, yaitu sebagai berikut.

  1. Mengembangkan sikap peduli di dalam dan di luar kelas.
  2. Guru berperan sebagai pembimbing (caregiver), model, dan mentor.
  3. Menciptakan komunitas kelas yang peduli.
  4. Memberlakukan disiplin yang kuat.
  5. Menciptakan lingkungan kelas yang demokratis.
  6. Mengajarkan karakter melalui kurikulum.
  7. Memberlakukan pembelajaran kooperatif.
  8. Mengembangkan “keprigelan” suara hati.Mendorong dilakukannya refleksi moral.
  9. Mengajarkan cara-cara menyelesaikan konflik.
  10. Menjadikan orang tua/wali siswa dan masyarakat sebagai patner dalam pendidikan karakter.
  11. Menciptakan budya karakter yang baik di sekolah.

Terdapat sejumlah hal yang perlu diperhatikan dalam mengembangkan model holistik yang dapat disebutkan sebagai berikut.

  1. Segala sesuatu yang ada di sekolah diorganisasikan secara menyeluruh yang melibatkan pimpinan, siswa, karyawan, dan masyarakat sekitar.

  2. Sekolah merupakan komunitas moral, yang secara tegas memperlihatkan ikatan antara pimpinan, guru, siswa, karyawan, dan sekolah.

  3. Pembelajaran sosial dan emosional ditekankan seperti halnya pembelajaran akademik.

  4. Kerjasama dan kolaborasi diantara para siswa harus lebih diperhatikan dan ditekanan, daripada dengan menonjolkan persaingan.

  5. Nilai-nilai seperti kejujuran, rasa homat, kepedulian, dan kedisiplinan harus menjadi pelajaran sehari-hari baik di dalam maupun di luar kelas.

  6. Para siswa diberikan kesempatan yang luas untuk mempraktikkan dan melaksanakan perilaku moral melalui berbagai kegiatan.

  7. Disiplin dan managemen kelas diarahkan pada pemecahan masalah, selain tetap menyeimbangkan diberlakukannya pemberian pujian dan hukuman.

  8. Model yang menempatkan guru atau dosen sebagai pusat di kelas harus digantikan dengan model yang demokratis, yaitu ketika guru dan siswa bersama-sama membangun kebersamaan, melaksanakan norma-norma yang disepakati, dan memecahkan masalah.

Segenap pimpinan sekolah, guru, karyawan, petugas parkir atau kebersihan sekalipun, dan masyarakat, secara bersama- sama punya kewajiban untuk membangun kultur sekolah dengan karakter yang baik. Karakter ini harus diperlihatkan oleh mereka ketika melakukan komunikasi dan interaksi dengan semua warga sekolah. Karakter ini harus mereka perlihatkan dalam bentuk tutur kata, pakaian, dan perilaku. Melalui pemodelan bersama ini diharapkan ada tranmisi yang dapat membangun karakter para siswa dan warga sekolah secara keseleuruhan. Dengan demikian, sekolah tersebut siap untuk melakukan pendidikan karakter.

Nilai Pendidikan Karakter


Nilai-nilai yang dikembangkan dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa Indonesia secara khusus diidentifikasi dari empat sumber:

  1. Agama,
  2. Pancasila,
  3. Budaya,
  4. Tujuan Pendidikan.

Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang beragama, oleh karena itu kehidupan individu, masyarakat, dan bangsa selalu didasari pada ajaran agama. Negara Kesatuan Republik Indonesia ditegakkan atas prinsip-prinsip kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang disebut Pancasila, oleh karena itu sudah semestinya kalau Pancasila menjadi sumber nilai dalam berkehidupan. Posisi budaya sebagai sumber nilai juga tidak dapat diabaikan, demikian juga dengan tujuan pendidikan nasional yang di dalamnya telah dirumuskan kualitas yang harus dimiliki warga negara Indonesia (Puskur, 2010).

Nilai-nilai yang ditanamkan dan dikembangkan pada sekolah-sekolah di Indonesia beserta deskripsinya adalah sebagai berikut:

  1. Religius. Sikap dan perilaku patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain.

  2. Jujur. Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan.

  3. Toleransi. Sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya.

  4. Disiplin. Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan.

  5. Kerja Keras. Perilaku yang menunjukkan upaya sungguh- sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas, serta menyelesaikan tugas dengan sebaikbaiknya.

  6. Kreatif. Berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki.

  7. Mandiri. Sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas.

  8. Demokratis. Cara berfikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain.

  9. Rasa Ingin Tahu. Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar.

  10. Semangat Kebangsaan. Cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya.

  11. Cinta Tanah Air. Cara berfikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa.

  12. Menghargai Prestasi. Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain.

  13. Bersahabat/Komuniktif. Tindakan yang memperlihatkan rasa senang berbicara, bergaul, dan bekerja sama dengan orang lain.

  14. Cinta Damai. Sikap, perkataan, dan tindakan yang menyebabkan orang lain merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya.

  15. Gemar Membaca. Kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya.

  16. Peduli Lingkungan. Sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi.

  17. Peduli Sosial. Sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan.

  18. Tanggung-jawab. Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa.

Sumber : Ajat Sudrajat, Mengapa pendidikan karakter?, Universitas Negeri Yogyakarta

Pendidikan pada dasarnya adalah usaha untuk memanusiakan manusia. Karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan (virtues) yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak.

Makna Pendidikan Karakter


Menurut Kementerian Pendidikan Nasional (2010) pendidikan karakter dimaknai sebagai pendidikan yang mengembangkan dan karakter bangsa pada diri peserta didik sehingga mereka memiliki nilai dan karakter sebagai karakter dirinya, menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan dirinya, sebagai anggota masyarakat, dan warganegara yang religius, nasionalis, produktif dan kreatif.

Sedangkan menurut Koesoema pendidikan karakter merupakan nilai-nilai dasar yang harus dihayati jika sebuah masyarakat mau hidup dan bekerja sama secara damai. Nilai-nilai seperti kebijaksanaan, penghormatan terhadap yang lain, tanggung jawab pribadi, perasaan senasib, sependeritaan, pemecahan konflik secara damai, merupakan nilai-nilai yang semestinya diutamakan dalam pendidikan karakter (2007).

Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga sekolah/lingkungan. Di samping itu, pendidikan karakter dimaknai sebagai suatu perilaku warga sekolah yang dalam menyelenggarakan pendidikan harus berkarakter.

Pendidikan karakter juga diartikan sebagai segala sesuatu yang dilakukan guru, yang mampu mempengaruhi karakter peserta didik. Guru membantu membentuk watak peserta didik. Hal ini mencakup keteladanan bagaimana perilaku guru, cara guru berbicara atau menyampaikan materi, bagaimana guru bertoleransi, dan berbagai hal terkait lainnya.

Adapun kriteria manusia yang baik, warga masyarakat yang baik, dan warga negara yang baik bagi suatu masyarakat atau bangsa, secara umum adalah nilai-nilai sosial tertentu, yang banyak dipengaruhi oleh budaya masyarakat dan bangsanya. Oleh karena itu, hakikat dari pendidikan karakter dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah pendidikan nilai, yakni pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia sendiri, dalam rangka membina kepribadian generasi muda.

Pendidikan karakter mengajarkan kebiasaan cara berpikir dan perilaku yang membantu individu untuk hidup dan bekerja bersama sebagai keluarga, masyarakat, dan bernegara dan membantu mereka untuk membuat keputusan yang dapat dipertanggungjawabkan. Dengan kata lain pendidikan karakter mengajarkan anak didik berpikir cerdas, mengaktivasi otak tengah secara alami.

Nilai-nilai Pendidikan Karakter


Nilai-nilai Pendidikan Karakter

Thomas Lickona mengemukakan bahwa “Memiliki pengetahuan nilai moral itu tidak cukup untuk menjadi manusia berkarakter, nilai moral harus disertai dengan adanya karakter yang bermoral" (1992). “Termasuk dalam karakter ini adalah tiga komponen karakter (components of good character) yaitu pengetahuan tentang moral (moral knowing), perasaan tentang moral (moral feeling), dan perbuatan bermoral (moral actions)” (Nurul Zuriah, 2007). Hal ini diperlukan agar manusia mampu memahami, merasakan, dan sekaligus mengerjakan nilai-nilai kabajikan.

Aspek-aspek dari tiga komponen karakter adalah:

  • Moral knowing.
    Terdapat enam hal yang menjadi tujuan dari diajarkannya moral knowing yaitu :

    1. kesadaran moral (moral awareness),
    2. mengetahui nilai moral (knowing moral values),
    3. perspective talking,
    4. penalaran moral (moral reasoning),
    5. membuat keputusan (decision making),
    6. pengetahuan diri (self knowledge).

    Unsur moral knowing mengisi ranah kognitif mereka.

  • Moral feeling.
    Terdapat enam hal yang merupakan aspek dari emosi yang harus mampu dirasakan oleh seseorang untuk menjadi manusia berkarakter, yakni :

    1. nurani (conscience),
    2. penghargaan diri (self esteem),
    3. empati (empathy),
    4. cinta kebaikan (loving the good),
    5. kontrol diri (self control), dan kerendahan hati (humality).
  • Moral action
    Perbuatan atau tindakan moral ini merupakan out come dari dua komponen karakter lainnya. Untuk memahami apa yang mendorong seseorang untuk berbuat (act morally) maka harus dilihrus dilihat dari karakter yaitu kompetensi (competence), keinginan (will), dan kebiasaan (habit).

Nilai-nilai dalam Pendidikan Budaya Karakter

Menurut Kementerian Pendidikan Nasional (2010) nilai-nilai yang dikembangkan dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa diidentifikasi dari sumber-sumber berikut ini.

  1. Agama : masyarakat Indonesia adalah masyarakat beragama. Oleh karena itu, kehidupan individu, masyarakat, dan bangsa selalu didasari pada ajaran agama dan kepercayaannya. Secara politis, kehidupan kenegaraan pun didasari pada nilai-nilai yang berasal dari agama. Atas dasar pertimbangan itu, maka nilai- nilai pendidikan budaya dan karakter bangsa harus didasarkan pada nilai-nilai dan kaidah yang berasal dari agama.

  2. Pancasila : negara kesatuan Republik Indonesia ditegakkan atas prinsip-prinsip kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang disebut Pancasila. Pancasila terdapat pada Pembukaan UUD 1945 dan dijabarkan lebih lanjut dalam pasal-pasal yang terdapat dalam UUD 1945. Artinya, nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila menjadi nilai-nilai yang mengatur kehidupan politik, hukum, ekonomi, kemasyarakatan, budaya, dan seni. Pendidikan budaya dan karakter bangsa bertujuan mempersiapkan peserta didik menjadi warga negara yang lebih baik, yaitu warga negara yang memiliki kemampuan, kemauan, dan menerapkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupannya sebagai warga negara.

  3. Budaya : sebagai suatu kebenaran bahwa tidak ada manusia yang hidup bermasyarakat yang tidak didasari oleh nilai-nilai budaya yang diakui masyarakat itu. Nilai-nilai budaya itu dijadikan dasar dalam pemberian makna terhadap suatu konsep dan arti dalam komunikasi antaranggota masyarakat itu. Posisi budaya yang demikian penting dalam kehidupan masyarakat mengharuskan budaya menjadi sumber nilai dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa.

  4. Tujuan Pendidikan Nasional : sebagai rumusan kualitas yang harus dimiliki setiap warga negara Indonesia, dikembangkan oleh berbagai satuan pendidikan di berbagai jenjang dan jalur. Tujuan pendidikan nasional memuat berbagai nilai kemanusiaan yang harus dimiliki warga negara Indonesia. Oleh karena itu, tujuan pendidikan nasional adalah sumber yang paling operasional dalam pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa.

Berdasarkan keempat sumber nilai tersebut di atas, teridentifikasi sejumlah nilai untuk pendidikan budaya dan karakter bangsa sebagai berikut ini.

  1. Religius
    Sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain.

  2. Jujur
    Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan.

  3. Toleransi
    Sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya.

  4. Disiplin
    Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan.

  5. Kerja Keras
    Perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas, serta menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya.

  6. Kreatif
    Berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki.

  7. Mandiri
    Sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas.

  8. Demokratis
    Cara berfikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain.

  9. Rasa Ingin Tahu
    Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar.

  10. Semangat Kebangsaan
    Cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya

  11. Cinta Tanah Air
    Cara berfikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa.

  12. Menghargai Prestasi
    Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain.

  13. Bersahabat/Komuniktif
    Tindakan yang memperlihatkan rasa senang berbicara, bergaul, dan bekerja sama dengan orang lain.

  14. Cinta Damai
    Sikap, perkataan, dan tindakan yang menyebabkan orang lain merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya.

  15. Gemar Membaca
    Kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya.

  16. Peduli Lingkungan
    Sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi.

  17. Peduli Sosial
    Sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan.

  18. Tanggung-jawab
    Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa.

Jenis-jenis Pendidikan Karakter


Terdapat empat jenis karakter yang selama ini dikenal dan dilaksanakan dalam proses pendidikan, yaitu:

  1. Pendidikan karakter berbasis nilai religius, yang merupakan kebenaran wahyu tuhan (konservasi moral).
  2. Pendidikan karakter berbasis nilai budaya, antara lain yang berupa budi pekerti, pancasila, apresiasi sastra, keteladanan tokoh-tokoh sejarah dan para pemimpin bangsa.
  3. Pendidikan karakter berbasis lingkungan (konservasi lingkungan).
  4. Pendidikan karakter berbasis potensi diri, yaitu sikap pribadi, hasil proses kesadaran pemberdayaan potensi diri yang diarahkan untuk meningkatkan kualitas pendidikan (konservasi humanis) (Yahya Khan, 2010).

Fungsi Pendidikan Karakter


Menurut Kementerian Pendidikan Nasional (2010) fungsi pendidikan karakter adalah:

  1. Pengembangan: pengembangan potensi peserta didik untuk menjadi pribadi berperilaku baik; ini bagi peserta didik yang telah memiliki sikap dan perilaku yang mencerminkan budaya dan karakter bangsa;

  2. Perbaikan: memperkuat kiprah pendidikan nasional untuk bertanggung jawab dalam pengembangan potensi peserta didik yang lebih bermartabat; dan

  3. Penyaring: untuk menyaring budaya bangsa sendiri dan budaya bangsa lain yang tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa yang bermartabat.

Tujuan Pendidikan Karakter


Tujuan pendidikan karakter adalah:

  1. Mengembangkan potensi kalbu/nurani/afektif peserta didik sebagai manusia dan warganegara yang memiliki nilai-nilai budaya dan karakter bangsa;

  2. Mengembangkan kebiasaan dan perilaku peserta didik yang terpuji dan sejalan dengan nilai-nilai universal dan tradisi budaya bangsa yang religius;

  3. Menanamkan jiwa kepemimpinan dan tanggung jawab peserta didik sebagai generasi penerus bangsa;

  4. Mengembangkan kemampuan peserta didik menjadi manusia yang mandiri, kreatif, berwawasan kebangsaan;

  5. Mengembangkan lingkungan kehidupan sekolah sebagai lingkungan belajar yang aman, jujur, penuh kreativitas dan persahabatan, serta dengan rasa kebangsaan yang tinggi dan penuh kekuatan (dignity).

Visi dan Misi Pendidikan Karakter


Visi pendidikan karakter dalam konteks ini adalah kemampuan untuk memandang arah pendidikan karakter ke depan dengan berpijak pada permasalahan saat ini untuk disusun perencanaan secara bijak.

Menurut Buku I Pedoman Umum dan Nilai Budi Pekerti untuk Pendidikan Dasar dan Menengah (2004), visi pendidikan budi pekerti/karakter adalah mewujudkan pendidikan budi pekerti/karakter sebagai bentuk pendidikan nilai, moral, etika yang berfungsi menumbuhkembangkan individu warga negara Indonesia yang berakhlak mulia dalam piker, sikap, dan perbuatannya sehari-hari, yang secara kurikuler benar-benar menjiwai dan memaknai semua mata pelajaran yang relevan serta sistem sosial-kultural dunia pendidikan sehingga dari dalam diri setiap lulusan setiap jenis, jalur, jenjang pendidikan terpancar akhlak mulia.

Adapun misi pendidikan budi pekerti/karakter menurut Cahyoto (2001) adalah sebagai berikut :

  • Membantu siswa memahami kecendurungan masyarakat yang terbuka dalam era globalisasi, tuntutan kualitas dalam segala bidang, dan kehidupan yang demokratis dengan tetap berlandaskan norma budi pekerti warga Indonesia.

  • Membantu siswa memahami displin ilmu yang berperan mengembangkan budi pekerti/karakter sehingga diperoleh wawasan keilmuan yang berguna untuk mengembangkan penggunaan hak dan kewajibannya sebagai warga negara.

  • Membantu siswa memahami arti demokrasi dengan cara belajar dalam suasana demokratis bagi upaya mewujudkan masyarakat yang lebih demokratis.

Tujuan dan Sasaran Pendidikan Karakter


Tujuan Pendidikan Karakter

Menurut Nurul Zuriah (2007) tujuan pendidikan karakter adalah sebagai berikut.

  1. Siswa memahami nilai-nilai karakter di lingkungan keluarga, lokal, nasional, dan internasional melalui adat istiadat, hukum, undang-undang, dan tatanan antarbangsa.

  2. Siswa mampu mengembangkan watak atau tabiatnya secara konsisten dalam mengambil keputuan budi pekerti di tengah-tengah rumitnya kehidupan bermasyarakat saat ini.

  3. Siswa mampu menghadapi masalah nyata dalam masyarakat secara rasional bagi pengambilan keputusan yang terbaik setelah melakukan pertimbangan sesuai dengan norma budi pekerti/karakter.

  4. Siswa mampu menggunakan pengalaman karakter/budi pekerti yang baik bagi pembentukan kesadaran dan pola perilaku yang berguna dan bertanggunga jawab atas tindakannya.

Sasaran Pendidikan Karakter

“Pendidikan karakter mempunyai sasaran kepribadian siswa, khusunya unsur karakter atau watak yang mengandung hati nurani (conscience) sebagai kesadaran diri (consciousness) untuk berbuat kebijakan (virtue)”.

Pendidikan ialah proses internalisasi kultur ke dalam individu dan masyarakat sehingga menjadi beradab. Pendidikan bukan sarana transfer ilmu pengetahuan saja, namun sebagai sarana proses pengkulturan dan penyaluran nilai (enkulturasi dan sosialisasi).

Pendidikan merupakan media harmoni bagi daya-daya yang dimiliki oleh manusia, yaitu, pertama, daya kebinatangan; kedua, daya berani; dan ketiga, daya berpikir
sebagai daya tertinggi.

Tujuan akhir pendidikan adalah kesempurnaan manusia.

Konsep pendidikan semakna dengan education, yang dalam bahasa latinnya educare. Secara etimologi, educare berarti melatih. Pendidikan juga bermakna sebuah proses yang membantu menumbuhkan, mendewasakan, mengarahkan, mengembangkan berbagai potensi agar dapat berkembang dengan baik dan bermanfaat.

Sekolah merupakan lembaga yang berperan sebagai penyelenggara pendidikan dan pengembangan ilmu, pengetahuan teknologi dan seni. Tujuan pendidikan ialah membentuk kepribadian, kemandirian, keterampilan sosial dan karakter. Oleh sebab itu, berbagai program dirancang dan diimplementasikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan tersebut, terutama dalam rangka pembinaan karakter.

Secara etimologi, kata karakter berasal dari dari bahasa Inggris (character) dan Yunani (charakter) dari charrassein yang berarti membuat tajam, mendalam. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia karakter diartikan sebagai sifat-sifat kejiwaan, etika atau budi pekerti yang membedakan individu dengan yang lain.

Dengan demikian secara etimologi karakter bisa diartikan tabiat, perangai atau perbuatan yang selalu dilakukan (kebiasaan). Karakter juga bisa
diartikan watak atau sifat batin manusia yang mempengaruhi segenap pikiran dan tingkah laku.

Sedangkan secara terminologi (istilah), menurut Agus Zaenul Fitri karakter diartikan sebagai sifat manusia pada umumnya yang bergantung pada faktor kehidupannya sendiri. Karakter adalah sifat kejiwaan, akhlak, atau budi pekerti yang menjadi ciri khas seseorang atau sekelompok orang. Karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat.

Berdasarkan pandangan Suyanto, definisi pendidikan karakter lebih terkait dengan pilar cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya, hormat dan santun, dermawan, suka tolong menolong atau kerjasama, baik dan rendah hati. Itulah sebabnya, ada yang menyebutkan pendidikan karakter merupakan pendidikan budi pekerti atau etika mulia.

Menurut Fakhry Gaffar, pendidikan karakter ialah proses transformasi nilai-nilai kehidupan untuk ditumbuh kembangkan dalam kepribadian seseorang sehingga menjadi satu dalam perilaku kehidupan.

Dari pandangan Fakhry tersebut terdapat tiga ide pikiran penting, yaitu:

  1. Proses transformasi nilai,
  2. Ditumbuh kembangkan dalam kepribadian, dan
  3. Menjadi satu dalam perilaku.

Nurul Zuhriyah berpandangan bahwa pendidikan karakter sama dengan pendidikan budi pekerti. Tujuan budi pekerti ialah untuk mengembangkan watak murid dengan cara menghayati nilai-nilai keyakinan masyarakat sebagai kekuatan moral hidupnya melalui kejujuran, dapat dipercaya dan kerjasama. Seseorang dapat dikatakan berkarakter jika telah berhasil menyerap nilai dan kekuatan dalam hidupnya.

Referensi :

  • Masnur Muslich, Pendidikan Karakter: Menjawab Tantangan Krisis Multidimensial,
  • (Jakarta: Bumi Aksara, 2011)
  • D. Yahya Khan, Pendidikan Karakter Berbasis Potensi Diri, (Yogyakarta: Pelangi Publishing, 2010)
  • M. Mahbubi, Pendidikan Karakter (Implementasi Aswaja sebagai Nilai Pendidikan Karakter), (Yogyakarta: Pustaka Ilmu, 2012)
  • Supiana, Mozaik Pemikiran Islam: Bunga Serampai Pemikiran Pendidikan Indonesia,
  • (Jakarta: Dirjen Dikti, 2011)
  • Agus Zaenul Fitri, Pendidikan Karakter Berbasis Nilai dan Etika di Sekolah,
  • (Yogyakarta: Ar Ruzz Media, 2012)

Menurut (Sudirman dkk, 2010) pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai perilaku (karakter) kepada warga sekolah atau kampus yang meliputi kompenen pengetahuan, kesadaran atau kemauan dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME), diri sendiri, sesama lingkungan maupun kebangsaan sehingga menjadi paripurna (insan kamil).

Pendidikan karakter adalah suatu sistem nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME), diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia yang insan kamil (Narwati, 2011).

Tujuan dan Fungsi Pendidikan Karakter

Tujuan pendidikan budaya dan karakter bangsa seperti pada Kementerian Pendidikan Nasional (2010) adalah:

  1. Mengembangkan potensi kalbu/nurani/afektif peserta didik sebagai manusia dan warganegara yang memiliki nilai-nilai budaya dan karakter bangsa;

  2. Mengembangkan kebiasaan dan perilaku peserta didik yang terpuji dan sejalan dengan nilai-nilai universal dan tradisi budaya bangsa yang religius;

  3. Menanamkan jiwa kepemimpinan dan tanggung jawab peserta didik sebagai generasi penerus bangsa;

  4. Mengembangkan kemampuan peserta didik menjadi manusia yang mandiri, kreatif, berwawasan kebangsaan; dan

  5. Mengembangkan lingkungan kehidupan sekolah sebagai lingkungan belajar yang aman, jujur, penuh kreativitas dan persahabatan, serta dengan rasa kebangsaan yang tinggi dan penuh kekuatan ( dignity ).

Penerapan Pendidikan Karakter

Pendidikan karakter secara komprehensif dilaksanakan melalui 3 bentuk kegiatan yaitu dalam proses pembelajaran, manajamen sekolah, dan kegiatan pembinaan kesiswaan.

1) Pendidikan karakter secara terpadu dalam pembelajaran

Pendidikan karakter secara terpadu di dalam pembelajaran adalah pengenalan nilai-nilai, fasilitasi diperolehnya kesadaran akan pentingnya nilai-nilai, dan penginternalisasian nilai-nilai ke dalam tingkah laku peserta didik sehari-hari melalui proses pembelajaran, baik yang berlangsung di dalam maupun di luar kelas pada semua mata pelajaran. Pada dasarnya kegiatan pembelajaran, selain untuk menjadikan peserta didik menguasai kompetensi (materi) yang ditargetkan, juga dirancang untuk menjadikan peserta didik mengenal, menyadari/peduli, dan menginternalisasi nilai-nilai dan menjadikannya perilaku.

2) Pendidikan karakter secara terpadu melalui manajemen sekolah

Sebagai suatu sistem pendidikan, maka dalam pendidikan karakter juga terdiri dari unsur-unsur pendidikan yang selanjutnya akan dikelola melalui bidang-bidang perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian. Beberapa contoh bentuk kegiatan pendidikan karakter yang terpadu dengan manajemen sekolah, antara lain:

  • Penilaian terhadap pelanggaran tata tertib yang berimplikasi pada pengurangan nilai dan hukuman/pembinaan;

  • Penyediaan tempat-tempat pembuangan sampah;

  • Penyelenggaraan kantin kejujuran;

  • Penyediaan kotak saran;

  • Penyediaan sarana ibadah dan pelaksanaan ibadah misalnya: shalat dhuhur berjamaah;

  • Salim-taklim (jabat tangan) setiap pagi saat siswa memasuki gerbang sekolah;

  • Pengelolaan & kebersihan ruang kelas oleh siswa, dan bentuk-bentuk kegiatan lainnya.

3) Pendidikan karakter secara terpadu melalui kegiatan pembinaan kesiswaan

Kegiatan pembinaan kesiswaan adalah kegiatan pendidikan di luar mata pelajaran dan pelayanan konseling untuk membantu pengembangan peserta didik sesuai dengan kebutuhan, potensi, bakat, dan minat mereka melalui kegiatan yang secara khusus diselenggarakan oleh pendidik dan atau tenaga kependidikan yang berkemampuan dan berkewenangan di sekolah.

Strategi/Metode Pembelajaran Karakter

Menurut Halstead dan Taylor model pembelajaran karakter yang dapat diterapkan antara lain: dengan problem solving, cooperative learning , dan experience-based projects yang diintegrasikan melalui pembelajaran tematik dan diskusi untuk menempatkan nilai-nilai kebajikan ke dalam praktik kehidupan sebagai sebuah pengajaran bersifat formal (dalam Samsuri, 2010).

Penerapan pendidikan karakter dapat dilakukan dengan metode atau strategi pembelajaran dengan pendekatan CTL ( Contextual Teaching and Learning ). Pendekatan CTL bermuatan karakter, karena yang dilakukan pertama adalah pendekatannya dan yang dituju pendidikan karakter. Adapun Secara konseptual, CTL bermuatan karakter adalah “memasukkan” nilai-nilai karakter ke dalam CTL, sehingga ketika guru mengajar dengan menggunakan metode CTL maka secara otomatis guru tersebut menanamkan nilai-nilai karakter kepada peserta didiknya.

Cara memasukkan nilai-nilai karakter ke dalam CTL dapat dilakukan dengan dua cara: Pertama, CTL dapat dimodifikasi dan dikembangkan secara lebih kreatif untuk disesuaikan dengan nilai-nilai karakter. Artinya CTL dapat diisi muatan nilai karakter dari luar, sesuai kepentingan guru dalam proses pembelajaran. Kedua, CTL dikaji atau digali nilai-nilai karakter yang terkandung di dalamnya untuk diaktualisasikan dalam pembelajaran, sehingga nilai-nilai karakter tersebut dapat ditanamkan atau diinternalisasikan ke dalam diri peserta didik. Setidaknya terdapat enam (6) nilai karakter dari 18 nilai karakter yang dicanangkan Kemendikbud, diantaranya adalah nilai kerja keras, rasa ingin tahu, kreatif, mandiri, tanggung jawab, peduli lingkungan sosial (Suyudi, 2013)

Menurut Hasan Langgulung “Pendidikan (education) dalam bahasa Inggris berasal dari bahasa Latin ‘educare’ berarti memasukkan sesuatu” (1994). Dalam konteks ini, makna pendidikan adalah menanamkan nilai-nilai tertentu ke dalam kepribadian anak didik atau siswa.

Driyarkara dalam jurnal yang ditulis Ali Muhtadi (2010), mengemukakan “Bahwa pendidikan pada dasarnya adalah usaha untuk memanusiakan manusia”. Pada konteks tersebut pendidikan tidak dapat diartikan sekedar membantu pertumbuhan secara fisik saja, tetapi juga keseluruhan perkembangan pribadi manusia dalam konteks lingkungan yang memiliki peradaban.

Sedangkan menurut Yahya Khan (2010) “Pendidikan merupakan sebuah proses yang menumbuhkan, mengembangkan, mendewasakan, menata, dan mengarahkan”. Pendidikan juga berarti proses pengembangan berbagai macam potensi yang ada dalam diri manusia agar dapat berkembang dengan baik dan bermanfaat bagi dirinya dan juga lingkungannya.

Makna Karakter

Menurut Kementerian Pendidikan Nasional (2010) “Karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan (virtues) yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak”.

Sedangkan menurut Darmiyati (2006), sistem pendidikan yang sesuai untuk menghasilkan kualitas masyarakat yang berkarakter positif adalah yang bersifat humanis, yang memposisikan subjek didik sebagai pribadi dan anggota masyarakat yang perlu dibantu dan didorong agar memiliki kebiasaan efektif, perpaduan antara pengetahuan, ketrampilan, dan keinginan.

Menurut Tadkiratun Musfiroh “Karakter mengacu pada serangkaian sikap perilaku (behavior), motivasi (motivations), dan ketrampilan (skills), meliputi keinginan untuk melakukan hal yang terbaik” (2008).

Menurut Megawangi dalam buku Darmiyati (2004) mendefinisikan pendidikan karakter sebagai “Sebuah usaha untuk mendidik anak-anak agar dapat mengambil keputusan dengan bijak dan mempraktikannya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga mereka dapat memberikan kontribusi yang positif pada lingkungannya”.

Menurut Mulyana nilai merupakan “Sesuatu yang diinginkan sehingga melahirkan tindakan pada diri seseorang. Nilai tersebut pada umumnya mencakup tiga wilayah, yaitu nilai intelektual (benar-salah), nilai estetika (indah-tidak indah), dan nilai etika (baik-buruk)” (2004).

Istilah moral berasal dari kata moralis (Latin) yang berarti adat kebiasaan atau cara hidup: sama dengan istilah etika yang berasal dari kata ethos (Yunani). Tema moral erat kaitannya dengan tanggung jawab sosial yang teruji secara langsung, sehingga moral sangat terkait dengan etika.

Sedangkan tema nilai meski memiliki tanggung jawab sosial dapat ditangguhkan sementara waktu. Sebagai contoh kejujuran merupakan nilai yang diyakini seseorang, namun orang tersebut (menangguhkan sementara waktu) melakukan korupsi (Udik Budi Wibowo, 2010).

Makna Pendidikan Karakter

Menurut Kementerian Pendidikan Nasional (2010) pendidikan karakter dimaknai sebagai pendidikan yang mengembangkan dan karakter bangsa pada diri peserta didik sehingga mereka memiliki nilai dan karakter sebagai karakter dirinya, menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan dirinya, sebagai anggota masyarakat, dan warganegara yang religius, nasionalis, produktif dan kreatif.

Sedangkan menurut Koesoema pendidikan karakter merupakan nilai-nilai dasar yang harus dihayati jika sebuah masyarakat mau hidup dan bekerja sama secara damai. Nilai-nilai seperti kebijaksanaan, penghormatan terhadap yang lain, tanggung jawab pribadi, perasaan senasib, sependeritaan, pemecahan konflik secara damai, merupakan nilai-nilai yang semestinya diutamakan dalam pendidikan karakter (2007).

Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga sekolah/lingkungan. Di samping itu, pendidikan karakter dimaknai sebagai suatu perilaku warga sekolah yang dalam menyelenggarakan pendidikan harus berkarakter.

Pendidikan karakter juga diartikan sebagai segala sesuatu yang dilakukan guru, yang mampu mempengaruhi karakter peserta didik. Guru membantu membentuk watak peserta didik. Hal ini mencakup keteladanan bagaimana perilaku guru, cara guru berbicara atau menyampaikan materi, bagaimana guru bertoleransi, dan berbagai hal terkait lainnya.

Pendidikan karakter merupakan upaya-upaya yang dirancang dan dilaksanakan secara sistematis untuk membantu peserta didik memahami nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat.

Pendidikan karakter mengajarkan kebiasaan cara berpikir dan perilaku yang membantu individu untuk hidup dan bekerja bersama sebagai keluarga, masyarakat, dan bernegara dan membantu mereka untuk membuat keputusan yang dapat dipertanggungjawabkan. Dengan kata lain pendidikan karakter mengajarkan anak didik berpikir cerdas, mengaktivasi otak tengah secara alami.

Nilai-nilai atau Karakter Dasar yang Diajarkan dalam Pendidikan Karakter

Thomas Lickona mengemukakan bahwa “Memiliki pengetahuan nilai moral itu tidak cukup untuk menjadi manusia berkarakter, nilai moral harus disertai dengan adanya karakter yang bermoral" (1992). “Termasuk dalam karakter ini adalah tiga komponen karakter (components of good character) yaitu pengetahuan tentang moral (moral knowing), perasaan tentang moral (moral feeling), dan perbuatan bermoral (moral actions)” (Nurul Zuriah, 2007).

Hal ini diperlukan agar manusia mampu memahami, merasakan, dan sekaligus mengerjakan nilai-nilai kabajikan. Aspek-aspek dari tiga komponen karakter adalah: moral knowing. Terdapat enam hal yang menjadi tujuan dari diajarkannya moral knowing yaitu 1) kesadaran moral (moral awareness), 2) mengetahui nilai moral (knowing moral values), 3) perspective talking, 4) penalaran moral (moral reasoning), 5) membuat keputusan (decision making), 6) pengetahuan diri (self knowledge). Unsur moral knowing mengisi ranah kognitif mereka.

Moral feeling. Terdapat enam hal yang merupakan aspek dari emosi yang harus mampu dirasakan oleh seseorang untuk menjadi manusia berkarakter, yakni: 1) nurani (conscience), 2) penghargaan diri (self esteem), 3) empati (empathy), 4) cinta kebaikan (loving the good), 5) kontrol diri (self control), dan kerendahan hati (humality).

Moral action perbuatan atau tindakan moral ini merupakan out come dari dua komponen karakter lainnya. Untuk memahami apa yang mendorong seseorang untuk berbuat (act morally) maka harus dilihrus dilihat dari karakter yaitu kompetensi (competence), keinginan (will), dan kebiasaan (habit).

Jenis-jenis Pendidikan Karakter

Ada empat jenis karakter yang selama ini dikenal dan dilaksanakan dalam proses pendidikan, yaitu:

  1. pendidikan karakter berbasis nilai religius, yang merupakan kebenaran wahyu tuhan (konservasi moral).

  2. pendidikan karakter berbasis nilai budaya, antara lain yang berupa budi pekerti, pancasila, apresiasi sastra, keteladanan tokoh-tokoh sejarah dan para pemimpin bangsa.

  3. pendidikan karakter berbasis lingkungan (konservasi lingkungan).

  4. pendidikan karakter berbasis potensi diri, yaitu sikap pribadi, hasil proses kesadaran pemberdayaan potensi diri yang diarahkan untuk meningkatkan kualitas pendidikan (konservasi humanis) (Yahya Khan, 2010).

Fungsi Pendidikan Karakter

Menurut Kementerian Pendidikan Nasional (2010) fungsi pendidikan karakter adalah:

  1. pengembangan: pengembangan potensi peserta didik untuk menjadi pribadi berperilaku baik; ini bagi peserta didik yang telah memiliki sikap dan perilaku yang mencerminkan budaya dan karakter bangsa;

  2. perbaikan: memperkuat kiprah pendidikan nasional untuk bertanggung jawab dalam pengembangan potensi peserta didik yang lebih bermartabat; dan

  3. penyaring: untuk menyaring budaya bangsa sendiri dan budaya bangsa lain yang tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa yang bermartabat.

Tujuan Pendidikan Karakter

Tujuan pendidikan karakter adalah:

  1. mengembangkan potensi kalbu/nurani/afektif peserta didik sebagai manusia dan warganegara yang memiliki nilai-nilai budaya dan karakter bangsa;

  2. mengembangkan kebiasaan dan perilaku peserta didik yang terpuji dan sejalan dengan nilai-nilai universal dan tradisi budaya bangsa yang religius;

  3. menanamkan jiwa kepemimpinan dan tanggung jawab peserta didik sebagai generasi penerus bangsa;

  4. mengembangkan kemampuan peserta didik menjadi manusia yang mandiri, kreatif, berwawasan kebangsaan; dan

  5. mengembangkan lingkungan kehidupan sekolah sebagai lingkungan belajar yang aman, jujur, penuh kreativitas dan persahabatan, serta dengan rasa kebangsaan yang tinggi dan penuh kekuatan (dignity) (Ibid, 2010).