Apa yang dimaksud dengan Pendekatan Solution-Focused?

Pendekatan Solution Focused

Apa yang dimaksud dengan Pendekatan Solution Focused ?

Terapi dengan pendekatan Solution-Focused adalah salah satu jenis terapi yang berfokus pada masa kini ( present ) dan masa depan ( future ). Menurut Nichols (2010), Terapi dengan prinsip Solution-Focused Therapy adalah percaya bahwa individu pada dasarnya memiliki kemampuan untuk bertingkah laku secara efektif dalam menyelesaikan masalahnya, hanya saja selama ini kemampuan tersebut tertutupi oleh adanya anggapan negatif.

Individu diarahkan untuk lebih memperhatikan kelebihan-kelebihan yang ia miliki agar tidak terokupasi oleh kegagalan yang dialaminya. Perubahan yang terjadi melalui pendekatan Solution-Focused akan bersifat konstan, sehingga dalam menyelesaikan masalah, yang harus digali lebih jauh adalah solusi-solusi yang dapat diwujudkan serta kompetensi dari individu tersebut, bukan lagi seputar masa lalu yang menjadi pemicu munculnya masalah (Carlson, et al, 2005). Dengan mengubah cara pandang ke arah solusi, terapi ini akan membangun nuansa terapi yang lebih positif, penuh harapan dan berfokus ke masa depan. (Nichols, 2010).

Solution-Focused Therapy pada awalnya dipelopori oleh Steve de Shazer, Insoo Berg dan kolega mereka di Milwaukee, US pada tahun 1979, yang tergabung dalam Brief Family Therapy Center (BFTC). Terapi ini banyak dipengaruhi oleh pendekatan Mental Research Institute (MRI) dan ide awal Milton Erickson tentang problem-focused therapy , namun kemudian mengganti perspektif pembicaraan dari yang semula hanya seputar masalah, menjadi solusi-solusi yang bisa dilakukan untuk mengatasi masalah.

De Shazer (1986, dalam Dzelme & Jones, 2001) menekankan konsep Milton Erickson bahwa sangat penting bagi individu untuk menggunakan sumber-sumber di dalam dirinya untuk membantu individu tersebut menjalani hidup yang memuaskan. Selain itu, perubahan-perubahan kecil yang terjadi dapat membantu terbentuknya perubahan yang lebih besar.

Solution-Focused Therapy dapat diaplikasikan ke berbagai jenis masalah, baik dalam konteks sekolah, praktek pribadi, serta berbagai jenis klien mulai dari anak-anak, remaja, pasangan, keluarga hingga kasus individual orang dewasa (Reiter, 2010). Pada perkembangannya kemudian, dengan mempertimbangkan kebutuhan klien akan adanya penanganan yang menyeluruh dalam waktu singkat hingga tekanan biaya, teknik Solution-Focused juga mampu diaplikasikan dalam waktu yang pendek, dikenal dengan istilah Solution-Focused Brief Therapy (SFBT).

Menurut Metcalf (2001, dalam Heejoung, 2006), SFBT bukan sekedar mengandalkan durasi yang singkat, namun lebih kepada efektivitas treatment yang diberikan. Karena tidak banyak membahas mengenai sejarah dan latar belakang munculnya masalah serta prinsip dasar bahwa solusi atau tujuan yang ingin diperoleh sudah dimiliki oleh individu, keseluruhan penanganan ( treatment ) bisa berlangsung tidak lebih dari 6 (enam) sesi. (Gingerich & Eisengart, 2000).

Asumsi-asumsi Dasar dari Pendekatan Solution-Focused


Beberapa asumsi dasar dari Solution-Focused Therapy menurut Bertram (2007) dan Nichols (2010) antara lain :

  1. Perubahan bersifat konstan dan pasti terjadi.

  2. Klien adalah satu-satunya orang yang paling ahli dalam mengatasi situasi sulit yang dialaminya sendiri.

  3. Klien dianggap memiliki seluruh potensi positif di dalam dirinya untuk berubah dan hanya membutuhkan sedikit perubahan perspektif untuk menggali agar potensi tersebut muncul.

  4. Orientasi ke masa depan, sementara masa lalu tidak lagi menjadi aspek yang esensial.

  5. Setiap masalah memiliki pengecualian ( exceptions ) yang dapat diidentifikasi dan ditransformasikan menjadi solusi.

  6. Hal-hal yang ingin diubah tergantung dari bagaimana individu tersebut berbicara mengenai situasi yang dihadapinya serta bahasa yang digunakan.

  7. Masalah yang dialami oleh individu tidak dipandang sebagai sebuah bukti dari kegagalan mereka untuk mencapai suatu standar norma tertentu, melainkan sebuah siklus kehidupan yang normal. Asumsi yang bernada optimis ini adalah suatu bentuk komitmen dalam membantu meyakinkan individu bahwa mereka mampu membangun solusi guna memperbaiki kehidupan mereka.

Shazer dan Dolan (2007) juga menambahkan 3 (tiga) prinsip lainnya yang menjadi pedoman penerapan terapi dengan pendekatan Solution-Focused . Ketiga prinsip tersebut antara lain :

  • “Kalau tidak rusak, jangan diperbaiki.”, artinya solusi yang sudah terbukti berhasil tidak perlu diberi penanganan lagi untuk menjadikannya lebih efektif. Solution-Focused hanya berpegang teguh bahwa teori, model-model dan filosofi dalam intervensi tidak lagi relevan bila individu sudah mampu mengatasi masalahnya.
  • “Kalau berhasil, maka lakukan lebih banyak lagi.”, artinya jika individu sedang dalam proses untuk mengatasi masalah, peran terapis adalah memberikan semangat kepadanya untuk terus melakukan lebih banyak lagi solusi-solusi yang telah terbukti efektif. Dengan adanya kemampuan untuk mengidentifikasi solusi apa saja yang berhasil, maka efek keberhasilan akan berlangsung secara terus-menerus.
  • “Kalau tidak berhasil, lakukanlah hal yang berbeda.”, artinya seberapa bagus solusi tersebut dibangun, jika pada akhirnya tidak dapat efektif menyelesaikan masalah, maka hal tersebut tidak dapat dikatakan sebagai solusi. Pada saat itulah, gagasan baru ditawarkan kepada individu untuk diterapkan pada masalah yang sedang dihadapi.

Teknik-Teknik dalam Pendekatan Solution-Focused


Teknik-teknik yang digunakan dalam pendekatan Solution-Focused memiliki 2 (dua) strategi dasar. Pertama, membangun tujuan-tujuan yang sangat fokus dalam perspektif klien, serta yang kedua adalah menghasilkan solusi yang berlandaskan pengecualian ( exceptions ). Intervensi atau terapi pada umumnya berlangsung singkat (3 sampai dengan 5 sesi). (De Jong & Berg, 2002, dalam Nichols, 2010). Terapi biasanya dimulai dengan mengidentifikasikan masalah yang dialami oleh individu sebagai klien, kemudian membangun tujuan-tujuan ( goals ) yang jelas dan konkrit.

Bagian dari proses dalam Solution-Focused Therapy adalah membantu individu untuk berpikir mengenai tindakan-tindakan yang dapat mereka lakukan daripada memikirkan bagaimana cara agar situasi yang ada dapat berubah. Teknik-teknik lainnya antara lain :

  1. Miracle question , yakni memberikan satu pertanyaan kepada individu agar ia dapat membayangkan bagaimana bila keajaiban datang menghampirinya dan semua permasalahannya dapat selesai. Tujuan miracle questions adalah untuk memperluas pandangan klien terhadap segala kemungkinan yang dapat terjadi dan membantu klien dalam membangun skema pemecahan masalah. Bentuk pertanyaan dalam miracle question adalah : “Bayangkan seandainya dalam suatu malam ketika Anda tidur, datang keajaiban yakni semua masalah yang Anda ceritakan tadi berhasil diatasi. Namun, karena saat itu Anda sedang tertidur, Anda tidak menyadari bahwa keajaiban tersebut telah terjadi. Di pagi harinya ketika Anda bangun, hal-hal apa saja yang Anda anggap berbeda sehingga Anda tahu bahwa keajaiban tersebut benar-benar telah terjadi?” Dzelme dan Jones (2001) menambahkan bahwa semakin banyak diskusi antara klien dengan terapis dengan menggunakan miracle question , maka akan semakin mudah bagi klien tersebut untuk membicarakan permasalahannya dengan cara atau perspektif yang baru. Miracle question dapat diterapkan pada setting terapi individual, keluarga, pasangan maupun berkelompok. Jawaban yang diberikan bisa dijadikan tujuan dari terapi itu sendiri (Shazer & Dolan, 2007).

  2. Scaling questions , yakni meminta kepada klien untuk memberikan penilaian dari skala 0 atau 1 untuk nilai paling buruk, hingga skala 10 – sebagai nilai paling baik, mengenai penghayatan dirinya akan masalah yang ia alami serta keyakinannya akan keberhasilan solusi yang ia ciptakan. Scaling questions bertujuan untuk membantu terapis dan klien dalam menjadikan topik masalah yang sebelumnya samar-samar menjadi lebih konkrit, karena klien tidak hanya menjelaskan perasaan atau pemikirannya, namun juga mencoba menerjemahkannya dalam bentuk penilaian. Selain itu, klien juga dapat terbantu dalam melihat perkembangan atau perubahanperubahan kecil yang terjadi selama proses terapi. Scaling questions dapat diterapkan pada saat penilaian terhadap sesi, penilaian akan kadar keinginan mereka untuk bertindak, serta penilaian akan keyakinan individu bahwa ia bisa mengatasi masalah.

  3. Solution-Focused goals , yakni mencoba mengurai solusi-solusi yang lebih kecil, konkrit jelas dan spesifik daripada fokus ke solusi yang lebih besar. Individu dalam hal ini diminta untuk membingkai kembali tujuan-tujuan mereka dan menjadikannya sebuah solusi.

  4. Exception questions , yakni mengeksplorasi pengecualian dengan cara menggali saatsaat dimana individu tidak mengalami masalah yang saat ini sedang dialami. Tujuannya adalah untuk membantu individu dalam mengenali solusi-solusi potensial yang sebenarnya sudah dimiliki.

  5. Compliments , yakni memberikan kalimat bernada pujian atau pertanyaan yang menunjukkan kekaguman atas apa yang telah klien lakukan, atau pada saat klien berhasil mencapai sesuatu yang penting dalam usahanya membangun solusi-solusi pemecahan masalah. Shazer (1988, dalam Burwell & Chen, 2006) menjelaskan bahwa compliments adalah cara yang menimbulkan efek terapeutik bagi individu karena dapat membantu mereka dalam membangun solusi, membuat mereka merasa didengar, membangun harapan dan rasa optimis serta membantu individu untuk memahami situasi yang sedang dialami. Compliments dapat diterapkan secara spesifik ke dalam 4 (empat) cara, antara lain :

    • Normalisasi, yaitu memberitahu individu bahwa apa yang ia rasakan juga dirasakan oleh orang lain saat menghadapi situasi serupa.

    • Restrukturisasi pernyataan, yaitu menggunakan pengalaman-pengalaman individu untuk membangun kembali solusi.

    • Afirmasi, yaitu pemberian umpan balik yang positif dan menjelaskan contohcontoh saat potensi diri mereka juga dapat berfungsi sebagai solusi.

    • Bridging statement , yaitu menghubungkan masalah dengan solusi yang mungkin potensial dan efektif.

    • Eksperimen dan pemberian tugas rumah, yakni dengan memberikan sebuah eksperimen di akhir sesi berdasarkan pada apa yang sudah individu lakukan (termasuk di dalamnya hal-hal yang menjadi pengecualian), pikirkan dan rasakan. Tugas rumah akan lebih baik bila diputuskan sendiri oleh individu sehingga potensi untuk berhasil menjadi lebih besar (Shazer & Dolan, 2007)