Apa yang dimaksud dengan Pendekatan Fenomenologi dalam Psikologi?

Pendekatan fenomenologi lebih memperhatikan pada pengalaman subyektif individu karena itu tingkah laku sangat dipengaruhi oleh pandangan individu terhadap diri dan dunianya, konsep tentang dirinya, harga dirinya dan segala hal yang menyangkut kesadaran atau aktualisasi dirinya. Ini berarti melihat tingkah laku seseorang selalu dikaitkan dengan fenomena tentang dirinya.

Apa yang dimaksud dengan pendekatan fenomenologi dalam ilmu psikologi?

Fenomenologi berasal dari bahasa Yunani, phaenesthai, berarti menunjukkan dirinya sendiri, menampilkan. Fenomenologi juga berasal dari bahasa Yunani, pahainomenon, yang secara harfiah berarti “gejala” atau apa yang telah menampakkan diri sehingga nyata bagi si pengamat.

Metode fenomenologi yang dirintis Edmund Husserl bersemboyan: Zuruck zu den sachen selbst (kembali kepada hal-hal itu sendiri) (Dister Ofm, dalam Suprayogo dan Tobroni, 2003:102). Untuk memahami apa yang sesungguhnya terjadi perceraian di kalangan artis, misalnya, maka peneliti harus menanyakannya kepada artis yang mengalaminya, bukan kepada yang lain.

Fenomenologi, sesuai dengan namanya, adalah ilmu (logos) mengenai sesuatu yang tampak (phenomenon). Dengan demikan, setiap penelitian atau setiap karya yang membahas cara penampakan dari apa saja merupakan fenomenologi (Bertens, 1987). Dalam hal ini, fenomenologi merupakan sebuah pendekatan filsafat yang berpusat pada analisis terhadap gejala yang membanjiri kesadaran manusia (Bagus, 2002:234). Fenomenologai adalah studi tentang pengetahuan yang berasal dari kesaradan, atau cara memahami suatu objek atau peristiwa dengan mengalaminya secara sadar (Littlejohn, 2003:184). Namun, bagi Brouwer (1984:3), fenomenologi itu bukan ilmu, tetapi suatu metode pemikiran (a way of looking at things). Dalam fenomenologi tidak ada teori, tidak ada hipotesis, tidak ada sistem.

Fenomenologi bukan realisme, juga bukan idealisme. Di satu sisi, fenomenologi percaya bahwa dunia itu ada, real . Dunia, dengan segala isinya, itu nyata ada, tanpa pengaruh kehadiran pikiran kita. Ada atau tidak ada kita, kita berpikir atau tidak, dunia itu hadir sebagaimana adanya. Tetapi fenomenologi tidak sama dengan realisme yang hanya percaya atas realitas sebagai hal objektif terpisah dari kesadaran. Di sisi lain, fenomenologi juga mengajarkan bahwa realitas itu muncul dalam proses aktif dalam kesadaran, tetapi tidak sama seperti idealisme yang menafikan realitas objektif (Delfgaauw, 2001). Jadi, fenomenologi menempati kedudukan sebelum terdapatnya pembedaan antara realisme dengan idealisme.

Fenomenologi juga berupaya mengungkapkan tentang makna dari pengalaman seseorang. Makna tentang sesuatu yang dialami seseorang akan sangat tergantung bagaimana orang berhubungan dengan sesuatu itu (lihat Edgar dan Sedgwick, 1999:273). Sejalan dengan itu, menurut Littlejohn dan Foss (2005:38), fenomenologi berkaitan dengan penampakan suatu objek, peristiwa, atau suatu kondisi dalam persepsi kita. Pengetahuan berasal dari pengalaman yang disadari, dalam persepsi kita. Dalam hal ini, fenomenologi berarti membiarkan sesuatu datang mewujudkan dirinya sebagaimana adanya. Dengan demikian, di satu sisi, makna itu muncul dengan cara membiarkan realitas/fenomena/pengalaman itu membuka dirinya. Di sisi lain, makna itu muncul sebagai hasil interaksi antara subjek dengan fenomena yang dialaminya.