Apa yang dimaksud dengan pemerasan?

Pemerasan, menurut Pasal 368, adalah dengan maksud untuk menguntungkan dirinya atau orang lain dengan melanggar hukum.

Apa yang dimaksud dengan pemerasan?

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata pemerasan berasal dari kata dasar peras yang ditambah dengan akhiran –an. Kata peras sendiri mempunyai arti:

  1. mengambil untung banyak-banyak dari orang lain
  2. meminta uang dengan ancaman.

Sedangkan kata pe-me-ras-an merupakan perihal atau cara perbuatan memeras. Bahasa Belanda, mengartikan pemerasan dengan afpersing yaitu :

  1. Tindak pidana pemerasan
  2. Pemerasan.

Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara tidak sah, memaksa ornag lain dengan kekerasan dan ancaman kekerasan supaya orang itu menyerahkan sesuatu barang yang seluruhnya atau sebagian saja adalah kepunyaan orang itu atau orang ketiga, atau supaya orang itu membuat utang atau menghapuskan suatu piutang, ia pun bersalah melakukan tindak pidana seperti yang ada pada pasal 368 KUHP yang dikualifikasikan sebagai “afpersing” atau “pemerasan”.

Dimuat dalam pasal 368 KUHP. Tindak pidana ini sangat mirip dengan pencurian dengan kekerasan dalam pasal 365 KUHP. Bedanya adalah bahwa dalam hal pencurian si pelaku sendiri mengambil barang yang dicuri, sedangkan dalam hal pemerasan si korban setelah dipaksa dengan kekerasan menyerahkan barangnya kepada si pemeras.

Pemerasan adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh orang atau lembaga dengan melakukan perbuatan yang menakut-nakuti dengan suatu harapan agar yang diperas menjadi takut dan menyerahkan sejumlah sesuatu yang diminta oleh yang melakukan pemerasan, jadi ada unsur takut dan terpaksa dari yang diperas.

Unsur-Unsur Tindak Pidana Pemerasan :

a. Unsur-unsur dalam ketentuan ayat (1) Pasal 368 KUHP 55:

  1. Unsur obyektif, yang meliputi unsur-unsur :
    a) Memaksa
    b) Orang lain
    c) Dengan kekerasan atau ancaman kekerasan
    d) Untuk memberikan atau menyerahkan sesuatu barang (yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain)
    e) Supaya memberi hutang
    f) Untuk menghapus piutang

  2. Unsur subyektif, yang meliputi unsur – unsur :
    a) Dengan maksud
    b) Untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain

Beberapa unsur yang dimaksud adalah sebagai berikut :

  1. Unsur “memaksa”.
    Dengan istilah “memaksa” dimaksudkan adalah melakukan tekanan pada orang, sehingga orang itu melakukan sesuatu yang berlawanan dengan kehendaknya sendiri

  2. Unsur “untuk memberikan atau menyerahkan sesuatu barang”.
    Berkaitan dengan unsur itu, persoalan yang muncul adalah, kapan dikatakan ada penyerahan suatu barang? Penyerahan suau barang dianggap telah ada apabila barang yang diminta oleh pemeras tersebut telah dilepaskan dari kekuasaan orang yang diperas, tanpa melihat apakah barang tersebut sudah benar - benar dikuasai oleh orang yang memeras atau belum. Pemerasan dianggap telah terjadi, apabila orang yang diperas itu telah menyerahkan barang/benda yang dimaksudkan si pemeras sebagai akibat pemerasan terhadap dirinya. Penyerahan barang tersebut tidak harus dilakukan sendiri oleh orang yang diperas kepada pemeras. Penyerahan barang tersebut dapat saja terjadi dan dilakukan oleh orang lain selain dari orang yang diperas.

  3. Unsur “supaya memberi hutang”.
    Berkaitan dengan pengertian “memberi hutang” dalam rumusan pasal ini perlu kiranya mendapatkan pemahaman yanag benar. Memberi hutang di sini mempunyai pengertian, bahwa si pemeras memaksa orang yang diperas untuk membuat suatu perikatan atau suatu perjanjian yang menyebabkan orang yang diperas harus membayar sejumlah uang tertentu. Jadi, yang dimaksud dengan memberi hutang dalam hal ini bukanlah berarti dimaksudkan untuk mendapatkan uang (pinjaman) dari orang yang diperas, tetapi untuk membuat suatu perikatan yang berakibat timbulnya kewajiban bagi orang yang diperas untuk membayar sejumlah uang kepada pemeras atau orang lain yang dikehendaki.

  4. Unsur “untuk menghapus hutang”.
    Dengan menghapusnya piutang yang dimaksudkan adalah menghapus atau meniadakan perikatan yang sudah ada dari orang yang diperas kepada pemeras atau orang tertentu yang dikehendaki oleh pemeras.

  5. Unsur “untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain”.
    Yang dimaksud dengan “menguntungkan diri sendiri atau orang lain” adalah menambah baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain dari kekayaan semula. Menambah kekayaan disini tidak perlu benar-benar telah terjadi, tetapi cukup apabila dapat dibuktikan, bahwa maksud pelaku adalah untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain.

Tindak pidana pemerasan biasa pula disebut sebagai tindak pidana pengancaman. Tindak pidana ini diatur dalam Pasal 368 KUHP :

Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa orang lain dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, untuk memberikan sesuatu barang, yang seluruhnya atau sebagian adalah milik orang lain, atau supaya memberikan hutang maupun menghapus piutang, diancam, karena pemerasan, dengan pidana penjara paling lama 9 tahun

Menurut R. Soesilo (1995:256) unsur-unsur yang ada dalam pasal ini adalah sebagai berikut:

  • Memaksa orang lain;
  • Untuk memberikan barang yang sama sekali atau sebagian termasuk kepunyaan orang itu sendiri atau kepunyaan orang lain, atau membuat utang atau menghapuskan piutang;
  • Dengan maksud hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hak;
  • Memaksanya dengan memakai kekerasan atau ancaman kekerasan.

Memaksa yang dimaksud disini adalah melakukan tekanan kepada orang ,sehingga orang tersebut mellakukan sesuatu yang berlawanan dengan kehendak sendiri. Memaska disini juga termasuk jika orang yang berada dalam tekanan menyerahkan barangnya sendiri. Definisi memaksa dapat dilihat dalam pasal 89 yang berbunyi :

“ yang disamakan melalui kekerasan itu, membuat orang jadi pingsan atau tidak berdaya lagi (lemah) ”.

Menurut Soesilo (1995;98) yang dimaksud dengan kekerasan disni adalah menggunakan kekuatan jasmani dan kekuatan jasmani ini penggunaannya tidak kecil. Kekerasan dalam pasal ini termasuk didalamnya adalah memukul dengan tangan, menendang dan sebagainya. Unsur ini mensyaratkan bahwa dengan adanya kekerasan atau ancaman kekerasan ini, pemilik barang menyerahkan barang tersebut kepada pelaku. Penggunaan kekerasan ini harus berdasarkan niat agar pemilik barang menyerahkan barangnya. Menurut Andi Hamzah (2009) maksud untuk menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan ini adalah menguntungkan diri sendiri atau orang lain merupakan tujuan terdekat dari penggunaan kekerasan tersebut.

Adapun beberapa pendapat para pakar dalam memberiikan pandangan mengenai pengertian dari melawan hukum itu sendiri sebagaimana yang dikemukakan oleh Simons dalam E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi (2002) bahwa sebagai pengertian dari bersifat melawan hukum adalah bertentangan dengan hukum pada umumnya. Pandangan Pompe terkait dengan pengertian melawan hukum dalam E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi (2002) mempersamakan “ tindakan yang tidak sesuai dengan hukum ” dengan “ bersifat melawan hukum “. Pendapat lain dari pakar yakni sebagaimana yang dikemukakan Moeljatno dan Roeslan Saleh dalam E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi (2002) mengemukakan bahwa lebih cenderung pada pendapat bahwa bersifat melawan hukum harus diartikan dengan bertentangan dengan hukum.

Dari beberbagai pandangan para pakar dalam memberiikan pengertian terhadap melawan hukum maka dapat disimpulkan bahwa bersifat melawan hukum, berarti bertentangan dengan hukum, atau tidak sesuai dengan larangan atau keharusan hukum, atau menyerang suatu kepentingan yang dilindungi oleh hukum (hukum positif yang berlaku).