Pembuktian merupakan ketentuan yang membatasi sidang pengadilan dalam usahanya mencari dan mempertahankan kebenaran. Keseluruhan pihak baik hakim, Terdakwa maupun penasihat hukum terikat pada ketentuan tata cara dan penilaian alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang. Mengenai pembuktian, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak memberikan pengertian.
Pengertian tentang pembuktian diperoleh dari doktrin. Beberapa pengertian tentang pembuktian diantaranya M. Yahya Harahap yang mengatakan:
“Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang yang didakwakan kepada Terdakwa.”
Pengertian pembuktian juga dikemukakan Leden Marpaung yang mengatakan bahwa:
“Sebelumnya seseorang diadili oleh Pengadilan, orang tersebut berhak dianggap tidak bersalah, hal ini dikenal dengan asas “praduga tak bersalah” (presumption of innocence.). Untuk menyatakan seseorang “melanggar hukum”, Pengadilan harus dapat menentukan “kebenaran” diperlukan bukti-bukti, yaitu sesuatu yang menyatakan kebenaran suatu peristiwa. Dari uraian tersebut, “bukti” dimaksud untuk menentukan “kebenaran”.
Pengertian yang dikemukakan oleh Leden Marpaung berarti dalam mencari kebenaran diperlukan bukti-bukti. Hal itu seperti yang dijelaskan oleh Darwan Prinst yang mengatakan bahwa:
“Pembuktian bahwa benar suatu peristiwa pidana telah terjadi dan Terdakwalah yang bersalah melakukannya, sehingga harus mempertanggungjawabkannya. Untuk membuktikan kesalahan Terdakwa pengadilan terikat oleh cara-cara atau ketentuan-ketentuan pembuktian sebagaimana yang diatur oleh undang-undang. Pembuktian yang sah harus dilakukan di dalam sidang pengadilan yang memeriksa Terdakwa. Pemeriksaan terhadap alat-alat bukti harus dilakukan di depan sidang pengadilan.”
Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan penting dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan. Dengan pembuktian inilah ditentukan nasib Terdakwa. Apabila hasil pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang tidak cukup membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada Terdakwa, Terdakwa dibebaskan dari hukuman. Sebaliknya, kalau kesalahan yang didakwakan Terdakwa dapat dibuktikan dengan alat-alat bukti yang disebutkan dalam Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Terdakwa harus dinyatakan bersalah.
Sistem atau Teori Pembuktian
Sistem pembuktian yang dikenal tidak hanya satu macam, tetapi terdapat beberapa macam sistem pembuktian yaitu:
1. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasar Keyakinan Hakim Melulu (Convictim in Time).
Sistem pembuktian berdasarkan pada keyakinan hakim benar- benar diserahkan pada keyakinan hakim sepenuhnya yang boleh diambil dan disimpulkan dari alat-alat bukti maupun tanpa alat bukti langsung menarik keyakinan. Menurut Yahya Harahap sistem pembuktian convictim in time menentukan salah tidaknya seseorang Terdakwa, semata-mata ditentukan oleh penilaian keyakinan hakim. Keyakinan hakimlah yang menentukan keterbuktian kesalahan Terdakwa.
Sistem ini sangat tergantung pada subjektivitas dan kebijaksanaan hakim. Oleh karena itu, kebijaksanaan hakim sangat diperlukan untuk mencapai tujuan hukum yaitu keadilan. Sistem pembuktian ini ada karena ketika dahulu pengakuan Terdakwa memiliki andil yang besar pada keterbuktian kesalahan Terdakwa, padahal pengakuan Terdakwa itu belum tentu benar. Pengakuan Terdakwa terkadang dilakukan karena dibayar oleh seseorang sehingga orang yang bersalah berlindung dibelakangnya, sehingga diperlukan keyakinan hakim.
Sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim melulu juga dijelaskan D. Simons sebagaimana dikutip Andi Hamzah yang menyatakan bertolak pangkal pada pemikiran itulah, maka teori berdasar keyakinan hakim melulu yang didasarkan kepada keyakinan hati nuraninya sendiri ditetapkan bahwa Terdakwa telah melakukan perbuatan yang didakwakan. Dengan sistem ini, pemidanaan dimungkinkan tanpa didasarkan kepada alat-alat bukti dalam undang- undang. Sistem ini dianut oleh peradilan juri di Prancis.
Sistem pembuktian hakim berdasarkan keyakinan hakim melulu memiliki kelemahan yaitu dalam menjalankan tugasnya hakim tidak dibatasi oleh apapun sehingga hakim terlalu bebas yang dapat menimbulkan ketidakadilan maupun kesewenang-wenangan. Hal itu juga diungkapkan oleh A. Minkenhof dalam Andi Hamzah yang menyatakan bahwa:
“Sistem ini memberi kebebasan kepada hakim terlalu besar, sehingga sulit diawasi. Di samping itu, Terdakwa atau penasihat hukumnya sulit untuk melakukan pembelaan. Dalam hal ini hakim dapat memidana Terdakwa berdasarkan keyakinannya bahwa ia telah melakukan apa yang didakwakan. Praktik peradilan juri di Prancis membuat pertimbangan berdasarkan metode ini dan mengakibatkan banyaknya putusan-putusan bebas yang sangat aneh.”
2. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasar Keyakinan Hakim Atas Alasan yang Logis (Conviction Raisonee).
Keyakinan hakim dapat dikatakan tetap memegang peranan penting untuk menentukan salah tidaknya Terdakwa dalam sistem ini.
Akan tetapi, dalam sistem pembuktian ini, faktor keyakinan hakim dibatasi. Jika dalam sistem pembuktian conviction in time peran keyakinan hakim leluasa tanpa batas maka pada sistem conviction raisonee, keyakinan hakim harus didukung dengan alasan-alasan yang jelas. Hal ini ditegaskan oleh M. Yahya Harahap bahwa keyakinan hakim harus mempunyai dasar-dasar alasan yang logis dan benar- benar dapat diterima akal . Tidak semata-mata atas dasar keyakinan yang tertutup tanpa uraian alasan yang masuk akal.
Sistem ini dan sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif pada dasarnya memiliki sebuah kesamaan dimana kedua-duanya tetap berdasarkan keyakinan hakim, hanya saja perbedaannya terletak pada dasar keyakinan hakim timbul. Jika pada sistem pembuktian conviction raisonnne keyakinan itu di dasarkan pada alasan-alasan yang logis. Alasan-alasan tersebut bisa didapatkan dari ilmu-ilmu pengetahuan. Sedangkan pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif keyakinan hakim didasarkan pada aturan undang-undang.
3. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasar Undang-Undang Secara Positif.
Sistem ini tidak berdasarkan atas keyakinan hakim artinya dalam hal ini keyakinan hakim tidak memiliki peranan. Sistem ini hanya mendasarkan pada undang-undang saja.
Pembuktian dengan sistem ini mendasarkan pada alat-alat bukti menurut undang-undang. Oleh karena itu sistem pembuktian ini memiliki kelemahan dimana hakim hanya sebagai corong dari undang-undang.
4. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasar Undang-Undang Secara Negatif.
Sistem pembuktian ini merupakan gabungan dari sistem pembuktian berdasar undang-undang secara positif dan sistem pembuktian berdasar keyakinan hakim melulu. M. Yahya Harahap mengatakan bahwa:
“Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif merupakan teori antara sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif dengan sistem pembuktian menurut keyakinan atau conviction in time.”
Untuk menentukan salah atau tidaknya seorang Terdakwa menurut sistem pembuktian undang-undang secara negatif, terdapat dua komponen:
- pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang,
- dan keyakinan hakim yang juga harus didasarkan atas cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.
Sistem Pembuktian Menurut KUHAP
Sistem pembuktian ada bermacam-macam. Setiap negara menganut sistem pembuktian yang berbeda. Pengertian pembuktian telah dijelaskan di atas. Sedangkan sistem sendiri juga memiliki pengertian. Menurut Tatang M. Amirin dalam Hibnu Nugroho menyatakan bahwa:
“…sistem dipergunakan untuk menunjuk pada pengertian skema atau metode pengaturan organisasi atau susunan sesuatu , atau model tata cara. Dapat juga dalam arti suatu bentuk atau pola pengaturan, pelaksanaan, atau pemrosesan; dan juga dalam pengertian metode pengelompokan, pengkodifikasian dan sebagainya ”
Sistem pembuktian yang dianut oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana itu adalah:
-
Menurut undang-undang artinya hakim tidak dapat secara bebas menentukan jenis alat bukti apa saja yang dapat digunakan dalam pembuktian di persidangan maupun minimal banyaknya alat bukti yang harus ada untuk membuktikan kesalahan Terdakwa.
Hal itu juga dikemukakan oleh P.A.F Lamintang dan Theo Lamintang bahwa: “wettelijk atau menurut undang-undang karena untuk pembuktian, undang-undanglah yang menentukan tentang jenis dan banyaknya alat bukti yang harus ada”.
-
Negatif artinya meskipun telah memenuhi minimal alat bukti yang telah ditentukan undang-undang, tetapi belum dapat dijatuhkan pidana apabila hal tersebut belum dapat menimbulkan keyakinan hakim. Jadi di samping dipenuhi batas minimum pembuktian dengan alat bukti yang sah juga harus dibarengi dengan keyakinan hakim bahwa Terdakwalah yang bersalah melakukan tindak pidana yang telah didakwakan kepadanya.
Menurut M Yahya Harahap, Untuk menentukan salah atau tidaknya seorang Terdakwa menurut sistem pembuktian undang-undang secara negatif, terdapat dua komponen :
- Pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang
- Dan keyakinan hakim yang juga harus didasarkan atas cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.
Ketentuan Pasal 183 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana didalamnya terkandung dua hal, yakni :
-
Batas minimum pembuktian
Terdakwa dinyatakan bersalah apabila telah memenuhi dua alat bukti yang sah dan baru mempunyai nilai pembuktian yang cukup. Dalam hal ini alat bukti yang sah didefinisikan sebagai alat bukti yang tercantum di dalam Pasal 184 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
-
Asas keyakinan hakim
Menurut Lilik Mulyadi, Asas keyakinan hakim harus melekat pada putusan yang diambilnya sesuai dengan sistem pembuktian yang dianut Pasal 183 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang merumuskan “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa Terdakwalah yang bersalah melakukannya.” adalah pembuktian menurut undang-undang secara negatif. Artinya di samping dipenuhi batas minimum pembuktian dengan alat bukti yang sah maka dalam pembuktian yang cukup tersebut harus dibarengi dengan hakim memperoleh “keyakinan” bahwa tindak pidana tersebut memang benar-benar terjadi dan bahwa Terdakwa telah bersalah melakukan tindak pidana tersebut.
Referensi
- M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Sinar Grafika, Jakarta, 2009.
- Leden Marpaung, Proses Penangan Perkara Pidana(Penyelidikan & Penyidikan) Bagian Pertama Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2009.
- Darwan Prinst, Hukum Acara Pidana Dalam Praktik, Djambatan, Jakarta, 2002.
- Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2011.
- Mulyadi, Lilik. 2012. Hukum Acara Pidana Normatif, Teeoritis, Praktik dan Permasalahannya. Bandung : P.T. ALUMNI