Apa yang dimaksud dengan pembuktian ?

Pembuktian adalah salah satu cara untuk meyakinkan hakim agar dia dapat menemukan dan menetapkan terwujudnya kebenaran yang sesungguhnya dalam putusannya, dengan menggunakan alat-alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang.

Apa yang dimaksud dengan pembuktian ?

Pembuktian merupakan ketentuan yang membatasi sidang pengadilan dalam usahanya mencari dan mempertahankan kebenaran. Keseluruhan pihak baik hakim, Terdakwa maupun penasihat hukum terikat pada ketentuan tata cara dan penilaian alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang. Mengenai pembuktian, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak memberikan pengertian.

Pengertian tentang pembuktian diperoleh dari doktrin. Beberapa pengertian tentang pembuktian diantaranya M. Yahya Harahap yang mengatakan:

Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang yang didakwakan kepada Terdakwa.”

Pengertian pembuktian juga dikemukakan Leden Marpaung yang mengatakan bahwa:

“Sebelumnya seseorang diadili oleh Pengadilan, orang tersebut berhak dianggap tidak bersalah, hal ini dikenal dengan asas “praduga tak bersalah” (presumption of innocence.). Untuk menyatakan seseorang “melanggar hukum”, Pengadilan harus dapat menentukan “kebenaran” diperlukan bukti-bukti, yaitu sesuatu yang menyatakan kebenaran suatu peristiwa. Dari uraian tersebut, “bukti” dimaksud untuk menentukan “kebenaran”.

Pengertian yang dikemukakan oleh Leden Marpaung berarti dalam mencari kebenaran diperlukan bukti-bukti. Hal itu seperti yang dijelaskan oleh Darwan Prinst yang mengatakan bahwa:

“Pembuktian bahwa benar suatu peristiwa pidana telah terjadi dan Terdakwalah yang bersalah melakukannya, sehingga harus mempertanggungjawabkannya. Untuk membuktikan kesalahan Terdakwa pengadilan terikat oleh cara-cara atau ketentuan-ketentuan pembuktian sebagaimana yang diatur oleh undang-undang. Pembuktian yang sah harus dilakukan di dalam sidang pengadilan yang memeriksa Terdakwa. Pemeriksaan terhadap alat-alat bukti harus dilakukan di depan sidang pengadilan.”

Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan penting dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan. Dengan pembuktian inilah ditentukan nasib Terdakwa. Apabila hasil pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang tidak cukup membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada Terdakwa, Terdakwa dibebaskan dari hukuman. Sebaliknya, kalau kesalahan yang didakwakan Terdakwa dapat dibuktikan dengan alat-alat bukti yang disebutkan dalam Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Terdakwa harus dinyatakan bersalah.

Sistem atau Teori Pembuktian

Sistem pembuktian yang dikenal tidak hanya satu macam, tetapi terdapat beberapa macam sistem pembuktian yaitu:

1. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasar Keyakinan Hakim Melulu (Convictim in Time).

Sistem pembuktian berdasarkan pada keyakinan hakim benar- benar diserahkan pada keyakinan hakim sepenuhnya yang boleh diambil dan disimpulkan dari alat-alat bukti maupun tanpa alat bukti langsung menarik keyakinan. Menurut Yahya Harahap sistem pembuktian convictim in time menentukan salah tidaknya seseorang Terdakwa, semata-mata ditentukan oleh penilaian keyakinan hakim. Keyakinan hakimlah yang menentukan keterbuktian kesalahan Terdakwa.

Sistem ini sangat tergantung pada subjektivitas dan kebijaksanaan hakim. Oleh karena itu, kebijaksanaan hakim sangat diperlukan untuk mencapai tujuan hukum yaitu keadilan. Sistem pembuktian ini ada karena ketika dahulu pengakuan Terdakwa memiliki andil yang besar pada keterbuktian kesalahan Terdakwa, padahal pengakuan Terdakwa itu belum tentu benar. Pengakuan Terdakwa terkadang dilakukan karena dibayar oleh seseorang sehingga orang yang bersalah berlindung dibelakangnya, sehingga diperlukan keyakinan hakim.

Sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim melulu juga dijelaskan D. Simons sebagaimana dikutip Andi Hamzah yang menyatakan bertolak pangkal pada pemikiran itulah, maka teori berdasar keyakinan hakim melulu yang didasarkan kepada keyakinan hati nuraninya sendiri ditetapkan bahwa Terdakwa telah melakukan perbuatan yang didakwakan. Dengan sistem ini, pemidanaan dimungkinkan tanpa didasarkan kepada alat-alat bukti dalam undang- undang. Sistem ini dianut oleh peradilan juri di Prancis.

Sistem pembuktian hakim berdasarkan keyakinan hakim melulu memiliki kelemahan yaitu dalam menjalankan tugasnya hakim tidak dibatasi oleh apapun sehingga hakim terlalu bebas yang dapat menimbulkan ketidakadilan maupun kesewenang-wenangan. Hal itu juga diungkapkan oleh A. Minkenhof dalam Andi Hamzah yang menyatakan bahwa:

“Sistem ini memberi kebebasan kepada hakim terlalu besar, sehingga sulit diawasi. Di samping itu, Terdakwa atau penasihat hukumnya sulit untuk melakukan pembelaan. Dalam hal ini hakim dapat memidana Terdakwa berdasarkan keyakinannya bahwa ia telah melakukan apa yang didakwakan. Praktik peradilan juri di Prancis membuat pertimbangan berdasarkan metode ini dan mengakibatkan banyaknya putusan-putusan bebas yang sangat aneh.”

2. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasar Keyakinan Hakim Atas Alasan yang Logis (Conviction Raisonee).

Keyakinan hakim dapat dikatakan tetap memegang peranan penting untuk menentukan salah tidaknya Terdakwa dalam sistem ini.

Akan tetapi, dalam sistem pembuktian ini, faktor keyakinan hakim dibatasi. Jika dalam sistem pembuktian conviction in time peran keyakinan hakim leluasa tanpa batas maka pada sistem conviction raisonee, keyakinan hakim harus didukung dengan alasan-alasan yang jelas. Hal ini ditegaskan oleh M. Yahya Harahap bahwa keyakinan hakim harus mempunyai dasar-dasar alasan yang logis dan benar- benar dapat diterima akal . Tidak semata-mata atas dasar keyakinan yang tertutup tanpa uraian alasan yang masuk akal.

Sistem ini dan sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif pada dasarnya memiliki sebuah kesamaan dimana kedua-duanya tetap berdasarkan keyakinan hakim, hanya saja perbedaannya terletak pada dasar keyakinan hakim timbul. Jika pada sistem pembuktian conviction raisonnne keyakinan itu di dasarkan pada alasan-alasan yang logis. Alasan-alasan tersebut bisa didapatkan dari ilmu-ilmu pengetahuan. Sedangkan pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif keyakinan hakim didasarkan pada aturan undang-undang.

3. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasar Undang-Undang Secara Positif.

Sistem ini tidak berdasarkan atas keyakinan hakim artinya dalam hal ini keyakinan hakim tidak memiliki peranan. Sistem ini hanya mendasarkan pada undang-undang saja.

Pembuktian dengan sistem ini mendasarkan pada alat-alat bukti menurut undang-undang. Oleh karena itu sistem pembuktian ini memiliki kelemahan dimana hakim hanya sebagai corong dari undang-undang.

4. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasar Undang-Undang Secara Negatif.

Sistem pembuktian ini merupakan gabungan dari sistem pembuktian berdasar undang-undang secara positif dan sistem pembuktian berdasar keyakinan hakim melulu. M. Yahya Harahap mengatakan bahwa:

“Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif merupakan teori antara sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif dengan sistem pembuktian menurut keyakinan atau conviction in time.”

Untuk menentukan salah atau tidaknya seorang Terdakwa menurut sistem pembuktian undang-undang secara negatif, terdapat dua komponen:

  • pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang,
  • dan keyakinan hakim yang juga harus didasarkan atas cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.

Sistem Pembuktian Menurut KUHAP

Sistem pembuktian ada bermacam-macam. Setiap negara menganut sistem pembuktian yang berbeda. Pengertian pembuktian telah dijelaskan di atas. Sedangkan sistem sendiri juga memiliki pengertian. Menurut Tatang M. Amirin dalam Hibnu Nugroho menyatakan bahwa:

“…sistem dipergunakan untuk menunjuk pada pengertian skema atau metode pengaturan organisasi atau susunan sesuatu , atau model tata cara. Dapat juga dalam arti suatu bentuk atau pola pengaturan, pelaksanaan, atau pemrosesan; dan juga dalam pengertian metode pengelompokan, pengkodifikasian dan sebagainya ”

Sistem pembuktian yang dianut oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana itu adalah:

  • Menurut undang-undang artinya hakim tidak dapat secara bebas menentukan jenis alat bukti apa saja yang dapat digunakan dalam pembuktian di persidangan maupun minimal banyaknya alat bukti yang harus ada untuk membuktikan kesalahan Terdakwa.

    Hal itu juga dikemukakan oleh P.A.F Lamintang dan Theo Lamintang bahwa: “wettelijk atau menurut undang-undang karena untuk pembuktian, undang-undanglah yang menentukan tentang jenis dan banyaknya alat bukti yang harus ada”.

  • Negatif artinya meskipun telah memenuhi minimal alat bukti yang telah ditentukan undang-undang, tetapi belum dapat dijatuhkan pidana apabila hal tersebut belum dapat menimbulkan keyakinan hakim. Jadi di samping dipenuhi batas minimum pembuktian dengan alat bukti yang sah juga harus dibarengi dengan keyakinan hakim bahwa Terdakwalah yang bersalah melakukan tindak pidana yang telah didakwakan kepadanya.

Menurut M Yahya Harahap, Untuk menentukan salah atau tidaknya seorang Terdakwa menurut sistem pembuktian undang-undang secara negatif, terdapat dua komponen :

  • Pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang
  • Dan keyakinan hakim yang juga harus didasarkan atas cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.

Ketentuan Pasal 183 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana didalamnya terkandung dua hal, yakni :

  1. Batas minimum pembuktian

    Terdakwa dinyatakan bersalah apabila telah memenuhi dua alat bukti yang sah dan baru mempunyai nilai pembuktian yang cukup. Dalam hal ini alat bukti yang sah didefinisikan sebagai alat bukti yang tercantum di dalam Pasal 184 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

  2. Asas keyakinan hakim

    Menurut Lilik Mulyadi, Asas keyakinan hakim harus melekat pada putusan yang diambilnya sesuai dengan sistem pembuktian yang dianut Pasal 183 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang merumuskan “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa Terdakwalah yang bersalah melakukannya.” adalah pembuktian menurut undang-undang secara negatif. Artinya di samping dipenuhi batas minimum pembuktian dengan alat bukti yang sah maka dalam pembuktian yang cukup tersebut harus dibarengi dengan hakim memperoleh “keyakinan” bahwa tindak pidana tersebut memang benar-benar terjadi dan bahwa Terdakwa telah bersalah melakukan tindak pidana tersebut.


Referensi
  • M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Sinar Grafika, Jakarta, 2009.
  • Leden Marpaung, Proses Penangan Perkara Pidana(Penyelidikan & Penyidikan) Bagian Pertama Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2009.
  • Darwan Prinst, Hukum Acara Pidana Dalam Praktik, Djambatan, Jakarta, 2002.
  • Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2011.
  • Mulyadi, Lilik. 2012. Hukum Acara Pidana Normatif, Teeoritis, Praktik dan Permasalahannya. Bandung : P.T. ALUMNI

Pengertian Pembuktian


Di dalam hukum acara pidana pembuktian merupakan titik sentral di dalam pemeriksaan perkara di pengadilan. Hal ini karena melalui tahapan pembuktian inilah terjadi suatu proses, cara dan perbuatan membuktikan untuk menunjukkan benar salahnya terdakwa terhadap suatu perkara pidana di dalam sidang pengadilan.

Pembuktian merupakan penyajian alat-alat bukti yang sah menurut hukum oleh hakim yang memeriksa suatu perkara guna memberikan kepastian tentang kebenaran peristiwa yang dikemukakan. Dalam hal ini Jaksa Penuntut Umum berkewajiban untuk membuktikan peristiwa- peristiwa yang dikemukakan dengan mengajukan alat bukti di muka persidangan untuk dinilai kebenarannya oleh Majelis Hakim. Kemudian Jaksa Penuntut Umum, Penasehat Hukum dan Majelis Hakim melakukan penelaahan hukum. Oleh Jaksa Penuntut Umum mengungkapkan hasil pembuktian dilakukan dalam surat tuntutannya (requisitoir). Lalu Penasehat Hukum menanggapi surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum dalam nota pembelaan (pledoi), dan selanjutnya akan dibahas oleh Majelis Hakim dalam putusan akhir (vonis) yang dijatuhkan.

Dalam acara pembuktian Jaksa Penuntut Umum, Penasehat Hukum dan Majelis Hakim yang memimpin pemeriksaan perkara pidana di persidangan harus memperhatikan ketentuan-ketentuan hukum pembuktian yang mengatur tentang cara pembuktian, beban pembuktian, macam-macam alat bukti, serta kekuatan alat-alat bukti tersebut, dan sebagainya.

M. Yahya Harahap menyebutkan, ditinjau dari segi hukum acara pidana sebagaimana yang diatur dalam KUHAP, telah diatur pula beberapa pedoman dan penggarisan:

  • Penuntut umum bertindak sebagai aparat yang diberi wewenang untuk mengajukan segala daya upaya membuktikan kesalahan yang didakwakannya kepada terdakwa.
  • Sebaliknya terdakwa atau penasihat hukum mempunyai hak untuk melemahkan dan melumpuhkan pembuktian yang diajukan penuntut umum, sesuai dengan cara-cara yang dibenarkan undang-undang.
  • Terutama bagi hakim, harus benar-benar sadar dan cermat menilai dan mempertimbangkan kekuatan pembuktian yang diketemukan selama pemeriksaan persidangan.

Prinsip-Prinsip Pembuktian


1. Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan.

Prinsip ini terdapat pada Pasal 184 ayat (2) KUHAP yang berbunyi:

“Hal-hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan” atau disebut dengan istilah notoire feiten. Secara garis besar fakta notoir dibagi menjadi dua golongan, yaitu:

  • Sesuatu atau peristiwa yang diketahui umum bahwa sesuatu atau peristiwa tersebut memang sudah demikian halnya atau semestinya demikian.
    Yang dimaksud sesuatu misalnya, harga emas lebih mahal dari perak. Dan yang dimaksud dengan peristiwa misalnya, pada tanggal 17 Agustus diadakan peringatan hari kemerdekaan Indonesia.
  • Sesuatu kenyataan atau pengalaman yang selamanya dan selalu mengakibatkan demikian atau selalu merupakan kesimpulan demikian. Misalnya, arak adalah termasuk minuman keras yang dalam takaran tertentu bisa menyebabkan seseorang mabuk.

2. Menjadi saksi adalah kewajiban
Kewajiban seseorang menjadi saksi diatur pada penjelasan Pasal 159 ayat (2) KUHAP yang menyebutkan:

“Orang yang menjadi saksi setelah dipanggil ke suatu sidang pengadilan untuk memberikan keterangan tetapi dengan menolak kewajiban itu ia dapat dikenakan pidana berdasarkan ketentuan undang-undang yang berlaku. Demikian pula dengan ahli.”

3. Satu saksi bukan saksi (unus testis nullus testis)

Prinsip ini terdapat pada Pasal 185 ayat (2) KUHAP yang berbunyi:

“Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya”.

Menurut KUHAP, keterangan satu saksi bukan saksi tidak berlaku bagi pemeriksaan cepat. Hal ini dapat disimpulkan dari penjelasan Pasal 184 KUHAP sebagai berikut: “Dalam acara pemeriksaan cepat, keyakinan hakim cukup didukung satu alat bukti yang sah”.

Pengakuan terdakwa tidak menghapuskan kewajiban penuntut umum membuktikan kesalahan terdakwa. Prinsip ini merupakan penegasan dari lawan prinsip “pembuktian terbalik” yang tidak dikenal oleh hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia.

Sistem Pembuktian


Dalam perkembangannya ilmu pengetahuan hukum mengenal ada empat (4) sistem pembuktian, yakni:

  • Sistem Pembuktian Berdasarkan Undang-Undang Secara Positif (Positive Wettelijk Bewijstheorie). Pembuktian menurut Undang-undang secara positif merupakan pembuktian yang bertolak belakang dengan sistem pembuktian menurut keyakinan atau conviction in time. Disebut demikian karena hanya didasarkan kepada Undang-undang melulu. Artinya, jika telah terbukti suatu perbuatan sesuai dengan alat-alat bukti yang disebut dalam Undang-undang, maka keyakinan hakim tidak diperlukan sama sekali. Sistem ini disebut juga teori pembuktian formal ( formele bewijstheorie ).

    Menurut D.Simons, sebagaimana dikutip Andi Hamzah, sistem atau teori berdasarkan pembuktian Undang-undang secara positif ( positief wettelijk ) ini berusaha untuk menyingkirkan semua pertimbangan subjektif hakim dan mengikat hakim secara ketat menurut Peraturan-peraturan pembuktian yang keras. Dianut di Eropa pada waktu berlakunya asas inkisitoir (inquisitoir) dalam acara pidana. M.Yahya Harahap mengatakan, sistem pembuktian Undang-Undang secara positif lebih sesuai dibandingkan dengan sistem pembuktian menurut keyakinan hakim belaka. Sistem pembuktian menurut Undang-undang lebih dekat kepada prinsip penghukuman berdasar hukum, artinya penjatuhan hukuman terhadap seseorang semata-mata tidak diletakkan di bawah kewenangan hakim, tetapi di atas kewenangan Undang-undang berlandaskan asas seorang terdakwa baru dapat dihukum dan dipidana jika apa yang didakwakan kepadanya benar-benar terbukti berdasarkan tata cara dan alat-alat bukti yang sah menurut Undang-undang. Dalam hal ini Hakim hanya bertindak sebagai corong Undang-Undang .

  • Pembuktian berdasarkan keyakinan hakim belaka ( conviction in time ). Sistem pembuktian conviction in time ini menentukan salah tidaknya seorang terdakwa, semata-mata ditentukan oleh penilaian keyakinan hakim. Keyakinan hakimlah yang menentukan keterbuktian kesalahan terdakwa. Dari mana hakim menarik dan menyimpulkan keyakinannya, tidak menjadi masalah dalam sistem ini. Keyakinan boleh diambil dan disimpulkan hakim dari alat-alat bukti yang diperiksanya dalam sidang pengadilan. Bisa juga hasil pemeriksaan alat-alat bukti itu diabaikan oleh hakim, dan langsung menarik keyakinan dari keterangan atau pengakuan terdakwa. Sistem ini mengandung kelemahan, karena hakim dapat saja menjatuhkan hukuman pada seorang terdakwa semata-mata atas “dasar keyakinan” belaka tanpa didukung oleh alat bukti yang cukup. Sebaliknya, hakim dapat leluasa membebaskan terdakwa dari hukuman tindak pidana yang dilakukanya walaupun kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa telah cukup terbukti dengan alat-alat bukti yang lengkap, selama hakim tidak yakin dengan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Sistem ini seolah-olah menyerahkan sepenuhnya nasib terdakwa kepada keyakinan hakim.

    Menurut Andi Hamzah, sistem ini dianut oleh peradilan jury di Prancis. Praktek peradilan jury di Prancis membuat pertimbangan berdasarkan metode ini dan mengakibatkan banyaknya putusan bebas yang sangat aneh, sedang menurut Wirjono Prodjodikoro mengatakan, pembuktian demikian pernah dianut di Indonesia, yaitu pada Pengadilan distrik dan Pengadilan kabupaten, Sistem ini memungkinkan hakim menyebutkan apa saja yang menjadi dasar keyakinanya, misalnya keterangan medium.

  • Sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim atas alasan logis ( conviction raisonnee/convictim-raisonnee). Dalam sistem pembuktian ini keyakinan hakim tetap memegang peranan penting dalam menentukan bersalah atau tidaknya seorang terdakwa. Akan tetapi, dalam sistem pembuktian ini, faktor keyakinan hakim ”dibatasi”. Jika dalam sistem pembuktian convictim in time peran keyakinan hakim leluasa tanpa batas, maka pada sistem convictim-raisonnee, keyakinan hakim harus didukung dengan alasan-alasan yang jelas. Keyakinan hakim harus mempunyai dasar-dasar alasan yang logis dan benar-benar dapat diterima oleh akal. Tidak semata-mata dasar keyakinan tertutup tanpa uraian alasan yang masuk akal.

  • Sistem pembuktian Undang-undang Secara Negatif ( Negatief Wettelijk stelsel). Pada prinsipnya, sistem pembuktian menurut Undang- undang negatif ( negatief wettlijke bewijs theorie ) menentukan bahwa hakim hanya boleh menjatuhkan pidana terhadap terdakwa apabila alat bukti tersebut secara limintatif ditentukan oleh Undang-undang dan didukung pula oleh adanya keyakinan hakim terhadap eksistensi alat-alat bukti tersebut. Dari aspek historis ternyata sistem pembuktian menurut Undang-undang secara negatif, hakikatnya merupakan “peramuan” antara sistem pembuktian menurut Undang- undang secara positif (positief wettelijke bewijs theorie) dan sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim ( conviction intim/conviction raisonce). Dengan peramuan ini, substansi sistem pembuktian menurut Undang-undang secara negatif ( negatief wettelijke bewijs theorie ) tentulah melekat adanya anasir prosedural dan tata pembuktian sesuai dengan alat-alat bukti sebagaimana limintatif ditentukan Undang-undang dan terhadap alat-alat bukti tersebut hakim baik secara materiel maupun secara prosedural.