Apa yang Dimaksud dengan Pembangunan Politik?

image

Apa yang Dimaksud dengan Pembangunan Politik?

Lucian W. Pye (1966) telah berhasil menginventarisasi sepuluh definisi mengenai pembangunan politik yang disajikan dalam bukunya yang berjudul “Aspects of Political Development” yang telah diterjemahkan oleh para penulis Indonesia tersebut di atas sebagai berikut:

PEMBANGUNAN POLITIK SEBAGAI PRASYARAT POLITIK BAGI PEMBANGUNAN EKONOMI


Ketika untuk pertama kalinya perhatian ditujukan pada masalah-masalah pertumbuhan ekonomi dan perlunya mengubah perekonomian yang berjalan lambat menjadi dinamis dan mengandung pertumbuhan yang mandiri maka para ahli ekonomi segera menunjukkan bahwa kondisi-kondisi sosial dan politik dapat memainkan peranan penting dalam menghambat atau memperlancar peningkatan pendapatan per kapita sehingga wajarlah jika pembangunan politik dipandang sebagai keadaan masyarakat politik yang dapat memperlancar pertumbuhan ekonomi (Paul A. Baran, 1957).

Akan tetapi dari segi pelaksanaan, pandangan demikian pada dasarnya cenderung bersifat negatif, sebab lebih mudah menunjukkan pada kita tentang keadaan sistem politik yang menghambat atau menghalangi jalannya pembangunan ekonomi dari pada menjelaskan bagaimana prestasi sistem politik merangsang pertumbuhan ekonomi. Sejarah telah menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi dapat berlangsung dalam aneka ragam sistem politik dengan berbagai kebijaksanaan umum yang ditempuh.

Ada beberapa keberatan terhadap pandangan ini, yaitu:

  1. Keberatan yang serius terhadap pandangan tentang pembangunan politik seperti tersebut di atas bahwa ia tidak memusatkan perhatiannya pada kerangka dasar teoritis yang bersandar pada asumsi-asumsi umum, sebab dalam beberapa hal, pandangan seperti ini hanya akan berarti apabila pemerintah menempuh kebijaksanaan yang tepat dan secara ekonomis rasional. Sedangkan dalam hal-hal lain pandangan ini akan melibatkan pertimbangan-pertimbangan yang jauh lebih mendasar tentang organisasi politik masyarakat serta keseluruhan penampilan prestasi masyarakat. Sehingga masalah-masalah pembangunan politik akan menjadi beraneka ragam sesuai dengan masalah-masalah khusus di bidang kehidupan ekonomi.

  2. Keberatan lain terhadap pandangan pembangunan politik yang demikian telah makin jelas selama sepuluh tahun terakhir ini, di mana prospek pembangunan ekonomi makin suram di banyak negara-negara miskin. Perekonomian suatu masyarakat berjalan lebih lambat daripada pembangunan politik.

  3. Ada pula keberatan bahwa masyarakat di bagian terbesar negara-negara sedang berkembang memiliki perhatian utama yang jauh lebih besar dari pada sekadar kewajiban materil. Mereka kuatir terhadap sikap dan kebijaksanaan dilepaskannya hubungan antara pembangunan politik dengan pertumbuhan ekonomi. Karena itu menghubungkan pembangunan politik semata-mata hanya dengan peristiwa-peristiwa ekonomi akan mengesampingkan banyak hal yang jauh lebih penting di negara-negara sedang berkembang.

PEMBANGUNAN POLITIK SEBAGAI TIPE POLITIK MASYARAKAT INDUSTRI


Pengertian populer kedua tentang pembangunan politik, juga berhubungan erat dengan pertimbangan-pertimbangan ekonomi, berkisar pada pandangan abstrak mengenai ciri khas kehidupan politik yang mendasari masyarakat industri maju. Asumsinya ialah bahwa kehidupan masyarakat industri melahirkan kurang lebih satu tipe kehidupan politik yang dapat ditiru oleh masyarakat manapun, baik yang sudah menjadi masyarakat industri atau belum. Menurut pandangan ini, masyarakat industri, baik yang demokratis maupun yang tidak demokratis, menciptakan rangkaian ukuran tertentu mengenai tingkah laku politik dan penampilannya yang dapat menghasilkan keadaan pembangunan politik dan yang merupakan contoh dari tujuan-tujuan pembangunan bagi sistem-sistem politik lainnya. Walt W. Rostow (1960) menekankan pentingnya hubungan antara tahap-tahap pertumbuhan ekonomi dengan bentuk-bentuk organisasi politik.

Dengan demikian beberapa ciri khas tentang pembangunan politik menjadi pola-pola tingkah laku pemerintahan yang “rasional” dan “bertanggung jawab”, yaitu penghindaran diri dari tindakan gegabah yang

mengancam kepentingan dari golongan masyarakat terhadap kesadaran akan batas-batas kedaulatan politik, penghargaan terhadap nilai-nilai administratif yang teratur dan prosedur hukum serta pengakuan bahwa politik adalah mekanisme pemecahan masalah dan bukanlah suatu tujuan tersendiri, penekanan pada program-program kesejahteraan, dan terakhir pengakuan akan suatu bentuk tertentu dari partisipasi massa.

PEMBANGUNAN POLITIK SEBAGAI MODERNISASI POLITIK


Pandangan bahwa pembangunan politik merupakan kehidupan politik yang khas dan ideal dari masyarakat industri berhubungan erat dengan pandangan bahwa pembangunan politik identik dengan modernisasi politik. Negara-negara industri maju adalah pencipta mode dan pelopor dalam hampir setiap kehidupan sosial dan ekonomi sehingga wajarlah bila banyak orang mengharapkan bahwa hal seperti itu juga terjadi dalam dunia politik. Tetapi penerimaan yang terlalu mudah atas pandangan seperti ini justru mengundang tantangan dari golongan yang mempertahankan relativisme kebudayaan, yang mempermasalahkan kebenaran dari identifikasi ciri-ciri masyarakat industri (Barat) yang dipakai sebagai standard universal dan modern bagi setiap sistem politik.

Meskipun demikian, dalam perkembangan sejarah dunia memang bisa ditelusuri pertumbuhan kebiasaan-kebiasaan maupun norma-norma sosial yang telah menyebar luas ke seluruh pelosok dunia dan oleh masyarakat pada umumnya diakui harus diterima oleh setiap pemerintahan yang ingin dihargai. Banyak dari standar-standar tadi memang berasal dari pertumbuhan masyarakat industri dan perkembangan ilmu dan teknologi, namun sebagian besar kini sudah memiliki dinamikanya sendiri. Partisipasi massa, misalnya, tidak hanya mencerminkan kenyataan-kenyataan sosiologis kehidupan masyarakat industri, tetapi telah juga dipandang sebagai hak mutlak dalam semangat zaman masa kini. Prinsip-prinsip lain seperti tuntutan akan hukum yang berlaku umum, penghormatan atas kemampuan daripada keturunan dan konsep-konsep umum mengenai keadilan dan kewarganegaraan, sekarang nampaknya memperoleh penghargaan yang cukup tinggi dalam setiap kebudayaan sehingga cukup beralasan untuk disebut sebagai standar yang umum bagi kehidupan politik modern. Beberapa sarjana seperti James S. Colman (1960), Seymour Martin Lipset (1959) dan Karl W. Deutsch (1961) telah berusaha mengumpulkan indeks-indeks perubahan sosial dan ekonomi serta menghubungkannya dengan pembangunan politik, terutama pembinaan demokrasi.

Pertanyaan yang segera timbul adalah apakah yang merupakan bentuk dan isi pokok dari pandangan mengenai pembangunan politik. Apakah ukuran dari pembangunan itu adalah kemampuan suatu negara untuk membentuk alat-alat kebudayaan modern seperti partai politik, pemerintahan sipil yang rasional dan badan legislatif yang berwibawa? Jika memang demikian maka masalah etnosentrisme akan jadi relevan, karena sebagian besar lembaga-lembaga itu benar-benar berciri kebudayaan Barat. Di lain pihak, seandainya ukuran itu dipusatkan pada prestasi beberapa fungsi sub-tantif maka akan timbul kesulitan-kesulitan lain dalam setiap sistem politik. Sebab ditinjau dari segi sejarah, semua sistem politik telah melakukan fungsi-fungsi yang diharapkan dari lembaga-lembaga modern yang Barat itu. Jadi apakah yang membedakan sesuatu lebih atau kurang maju? Jelaslah bahwa masalah pembangunan politik jika semata-mata dipandang sebagai modernisasi politik akan menghadapi kesulitan dalam membedakan apa yang Barat dan apa pula yang modern. Agar supaya usaha pembedaan itu dapat dilakukan maka ukuran-ukuran tambahan perlu dimasukkan.

PEMBANGUNAN POLITIK SEBAGAI OPERASI NEGARA-BANGSA


Sampai tingkat tertentu, semua keberatan di atas dapat ditampung oleh pendapat bahwa pembangunan politik terdiri atas pengorganisasian kehidupan politik dan prestasi fungsi-fungsi politik sesuai dengan standar yang diharapkan dari negara bangsa. Menurut pandangan ini ada asumsi bahwa secara historis telah ada bermacam-macam jenis sistem politik dan setiap kelompok masyarakat memiliki corak politiknya masing-masing, tetapi dengan lahirnya negara bangsa yang modern, timbullah serangkaian persyaratan mengenai kehidupan politik sehingga bila suatu masyarakat ingin berprestasi sebagai negara modern maka semua lembaga-lembaga politik dan praktek penerapannya harus disesuaikan dengan persyaratan-persyaratan tersebut. Politik dari kerajaan-kerajaan lama, masyarakat kesukuan dan marga serta tanah jajahan haruslah memberikan jalan bagi kehadiran negara bangsa yang modern dan bisa bekerja efisien dan efektif dalam suatu sistem di lingkungan negara-negara bangsa lain.

Dengan demikian pembangunan politik menjadi suatu proses melalui mana masyarakat-masyarakat yang merupakan negara bangsa dalam bentuk dan berdasarkan pengakuan internasional menjadi negara bangsa dalam arti yang sesungguhnya. Jelasnya, hal ini melibatkan pembinaan kemampuan untuk mempertahankan suatu tingkat ketertiban umum tertentu, memobilisasi semua sumber-sumber dalam usaha bersama, serta membuat dan memenuhi secara efektif semua persetujuan-persetujuan internasional. Jadi, ukuran pembangunan politik akan meliputi: pertama, pembentukan serangkaian lembaga-lembaga politik tertentu yang merupakan prasarana penting bagi suatu negara bangsa. Kedua, pengungkapan secara tertib semua gejala-gejala nasionalisme ke dalam tatanan kehidupan politik. Sehingga bisa dikatakan bahwa pembangunan politik adalah politik nasionalisme yang dijalankan dalam kerangka lembaga-lembaga kenegaraan. Para sarjana seperti KH. Silvert (1964), Edward Shills (1962) dan William Maccord (1965) menggunakan pendekatan semacam ini.

Penting ditekankan bahwa dari sudut pandang ini nasionalisme adalah persyaratan penting tetapi masih kurang memadai untuk dapat menjamin pelaksanaan pembangunan politik. Pembangunan meliputi serangkaian usaha penterjemahan perasaan-perasaan nasionalisme yang simpang siur menjadi semangat kewarganegaraan, dan usaha pembentukan lembaga-lembaga negara yang dapat menampung aspirasi masyarakat ke dalam kebijaksanaan dan program-program. Singkatnya, pembangunan politik adalah pembinaan bangsa.

PEMBANGUNAN POLITIK SEBAGAI PEMBANGUNAN ADMINISTRASI DAN HUKUM


Apabila pembinaan bangsa, kita bagi menjadi pembinaan lembaga-lembaga dan pembinaan kewarganegaraan maka kita akan mendapatkan dua konsep pembangunan politik yang sangat umum. Sesungguhnya, konsep pembangunan politik sebagai pembinaan organisasi memiliki sejarah yang panjang dan menekankan kebenaran dari falsafah kolonial yang liberal. Sebab seperti yang telah kita ketahui dalam sejarah pengaruh Barat terhadap bagian dunia lain, salah satu tema utama adalah kepercayaan bangsa-bangsa Eropa bahwa dalam membina masyarakat-masyarakat politik adalah mutlak untuk menciptakan tatanan hukum dan tatanan administrasi.

Tradisi ini memperkuat teori-teori masa kini yang menyatakan bahwa pembinaan birokrasi yang efektif harus mendapatkan prioritas utama dalam proses pembangunan. Menurut pandangan ini pembangunan administrasi erat kaitannya dengan penyebaran rasionalitas, makin kuatnya konsep-konsep hukum sekuler, dan peningkatan pengetahuan teknis dan keahlian dalam pengaturan kehidupan manusia. (Max Weber, 1947 dan Joseph La Palombara, 1964).

Dengan sendirinya, tidak ada negara yang bisa disebut “maju” jika negara itu tidak memiliki kemampuan menangani masalah-masalah kemasyarakatan secara efektif. Biasanya negara-negara baru memiliki lembaga-lembaga administratif yang mampu menangani banyak masalah. Di lain pihak administrasi saja tidaklah cukup. Bahkan jika administrasi terlalu dipandang amat penting, ketimpangan-ketimpangan bisa timbul dan menghambat pembangunan politik. Terutama konsep pembangunan politik yang hanya diartikan sebagai perbaikan administrasi akan mengabaikan pendidikan kewarganegaraan dan partisipasi yang merupakan aspek-aspek penting pembangunan politik.

PEMBANGUNAN POLITIK SEBAGAI MOBILISASI DAN PARTISIPASI MASSA


Aspek lain dari pembangunan politik terutama mengenai peranan warga negara dan standar-standar baru di bidang kesetiaan dan keikutsertaan rakyat. Mudah dimaklumi jika di negara-negara bekas jajahan, pembangunan politik diartikan sebagai suatu bentuk kesadaran politik di mana bekas rakyat yang terjajah menjadi warga negara yang aktif dan penuh cita-cita.

Di beberapa negara pandangan demikian diterapkan secara ekstrim sehingga segi-segi efektivitas dan demonstrasi massa dianggap satu-satunya tujuan; para pemimpin maupun warga negara merasa bahwa mereka sedang memajukan pembangunan nasional melalui intensitas dan seringnya perasaan politik massa dalam demonstrasi-demonstrasi yang dilakukan. Sebaliknya, beberapa yang sedang menjalankan kemajuan secara teratur dan efektif akan

merasa tidak puas bila mereka merasa bahwa tetangga-tetangganya sedang mengalami “pembangunan” yang lebih besar. (Clifford Geertz, 1963 dan Rupert Emerson, 1960).

Menurut pandangan bagian terbesar orang, pembangunan politik memang mencakup perluasan partisipasi massa, tetapi sangat penting dibedakan kondisi-kondisi yang memungkinkan perluasan itu. Menurut sejarah, di negara-negara Barat dimensi pembangunan politik erat bertalian dengan perluasan hak memilih dan diperkenalkannya unsur-unsur baru dari masyarakat ke dalam proses politik. Proses partisipasi massa ini berarti penyebarluasan proses pengambilan keputusan, dan partisipasi itu mempunyai pengaruh terhadap pilihan dan keputusan. Tetapi di beberapa negara baru partisipasi massa itu belum diimbangi dengan proses pemilihan yang memadai, bahkan hanya sekadar bentuk baru dari tanggapan rakyat terhadap manipulasi golongan elit. Memang harus diakui bahwa partisipasi terbatas seperti itu memainkan peranan dalam pembinaan bangsa karena turut menciptakan kesetiaan baru dan perasaan identitas nasional baru.

Dengan demikian, proses partisipasi massa adalah bagian penting dari pembangunan politik, di mana ia selalu berhadapan dengan berbagai hambatan emosionalisme yang kaku ataupun penghasut-penghasut yang membahayakan. Keduanya dapat menguras habis sumber daya masyarakat. Masalahnya memang merupakan persoalan klasik tentang bagaimana mencari keseimbangan antara aspirasi rakyat dengan pemeliharaan ketertiban umum, itulah merupakan masalah dasar demokrasi. (Edward Shills dalam Lucian W. Pye, 1963)

PEMBANGUNAN POLITIK SEBAGAI PEMBINAAN DEMOKRASI


Uraian di atas membawa kita pada pandangan bahwa pembangunan politik adalah seharusnya sama dengan usaha pembentukan lembaga-lembaga dan praktek-praktek demokrasi. Dalam pandangan banyak orang tersimpul anggapan bahwa pembangunan politik yang sungguh-sungguh bermakna adalah pembinaan demokrasi. Malah ada orang yang menekankan pentingnya hubungan ini dan berpendapat bahwa pembangunan baru berarti jika dikaitkan dengan suatu ideologi tertentu, apakah itu demokrasi, komunisme atau totalitarisme. Menurut pandangan ini, pembangunan hanya mempunyai makna bila ditujukan untuk memperkuat serangkaian nilai-nilai tertentu. Berpura-pura bahwa keadaan ini bisa dikesampingkan atau dihindari hanyalah merupakan penipuan diri sendiri.

Sekalipun banyak ditemukan contoh-contoh jelas yang menyamakan demokrasi dengan pembangunan, banyak timbul tantangan dalam ilmu-ilmu sosial terhadap pendekatan demikian itu. Menggunakan pembinaan demokrasi sebagai kunci pembangunan politik dapat dipandang sebagai suatu usaha memaksakan kepada bangsa lain nilai-nilai Barat.

Masalah hubungan antara demokrasi dengan pembangunan politik sangat rumit untuk dibahas dalam pandangan umum mengenai sikap-sikap yang berbeda-beda. Untuk sementara agaknya perlu diperhatikan bahwa banyak orang berpendapat bahwa secara asasi pembangunan berbeda dengan demokrasi, dan justru usaha untuk memperkenalkan demokrasi dapat menjadi hambatan bagi pembangunan.

PEMBANGUNAN POLITIK SEBAGAI STABILITAS DAN PERUBAHAN TERATUR

Banyak orang merasa bahwa demokrasi tidak sesuai dengan pembangunan. Mereka memandang bahwa pembangunan hampir seluruhnya sebagai proses ekonomi dan proses tertib sosial. Komponen politik dari pandangan seperti ini biasanya berpusat pada stabilitas politik yang didasarkan pada kemampuan melaksanakan perubahan secara tertib dan terarah. Stabilitas yang hanya merupakan stagnasi dan dukungan sepihak terhadap status quo jelas bukan pembangunan, kecuali jika pilihannya penciptaan keadaan yang lebih buruk. Tetapi stabilitas dapat dihubungkan dengan pembangunan dalam arti bahwa setiap bentuk kemajuan ekonomi dan sosial umumnya tergantung pada suatu lingkungan yang lebih banyak memiliki kepastian dan perencanaan yang didasarkan pada prediksi yang cukup aman (Karl W. Deutsch, 1963).

Pandangan ini bisa diatasi pada bidang politik karena suatu masyarakat yang proses politiknya secara rasional dan terarah mampu melaksanakan dan mengendalikan perubahan sosial, dan bukan hanya menanggapi saja, jelas lebih “maju” daripada masyarakat di mana proses politiknya menjadi korban kekuatan-kekuatan sosial dan ekonomi yang mengendalikan nasib rakyatnya. Karena itu, sebagaimana beberapa orang telah berargumentasi bahwa dalam masyarakat modern manusia menguasai alam demi tujuannya, sedangkan dalam masyarakat tradisional manusia hanya menyesuaikan diri terhadap kehendak alam, kita dapat memandang bahwa pembangunan politik tergantung pada kemampuan untuk mengendalikan atau dikendalikan oleh perubahan sosial. Sudah barang tentu pangkal tolak pengendalian kekuatan-kekuatan sosial adalah kemampuan memelihara ketertiban.

Keberatan terhadap pandangan pembangunan seperti ini ialah banyak persoalan yang tak terjawab, seperti misalnya berapakah kadar ketertiban yang diperlukan atau diinginkan dan untuk tujuan apakah perubahan sosial itu dilakukan. Juga, apakah menghubungkan stabilitas dengan perubahan adalah sesuatu yang hanya terjadi dalam impian orang-orang kelas menengah, atau setidak-tidaknya dalam masyarakat yang jauh lebih baik keadaannya dari pada masyarakat yang terbelakang. Akhirnya, menurut skala prioritas ada perasaan bahwa pemeliharaan ketertiban adalah suatu hal yang diperlukan dan diinginkan, tetapi ia hanya menempati urutan kedua, setelah kemampuan untuk bertindak menjalankan tugas-tugas. Karena itu, pembangunan menuntut pandangan yang lebih luas dan positif terhadap tindakan dan pelaksanaan.

PEMBANGUNAN POLITIK SEBAGAI MOBILISASI DAN KEKUASAAN


Kesadaran bahwa sistem politik harus dapat memenuhi persyaratan ukuran prestasi tertentu dan bermanfaat bagi masyarakat membawa kita pada pandangan pembangunan politik sebagai kemampuan sebuah sistem. Jika dikatakan bahwa demokrasi bisa mengurangi efisiensi suatu sistem maka tersirat anggapan bahwa efisiensi suatu sistem dapat diukur, dan selanjutnya efisiensi itu akan menghasilkan model-model teoritis untuk menguji kenyataan.

Pandangan ini menyimpulkan bahwa sistem politik dapat dinilai dari batasan dan tingkat kekuasaan yang bisa dimobilisasi oleh sistem itu. Beberapa sistem yang dapat atau yang tidak dapat menciptakan stabilitas nampaknya akan berjalan dengan kadar kekuasaan yang minim sekali sehingga para pengambil keputusan yang berwewenang hampir tak berdaya sama sekali memprakarsai dan menyelesaikan sasaran-sasaran kebijaksanaan umum. Dalam masyarakat lain para pengambil keputusan memiliki cukup banyak kekuasaan sehingga masyarakat bisa mencapai sasaran-sasaran bersama yang lebih luas. Negara-negara secara alamiah memang berbeda menurut basis sumber-sumber daya yang dimilikinya. Tetapi ukuran pembangunan adalah kadar kemampuan memanfaatkan secara maksimal dan mewujudkan dalam kenyataan potensi penuh sumber-sumber yang ada.

Perlu diperhatikan bahwa hal ini tidak dengan sendirinya mengacu pada suatu pandangan tentang pembangunan yang otoriter bahwa pembangunan adalah sekedar kemampuan pemerintah mengerahkan sumber-sumber dari masyarakat. Kemampuan untuk memobilisasi dan mengalokasikan sumber-sumber itu biasanya sangat dipengaruhi oleh dukungan rakyat yang diperintah, inilah sebabnya mengapa sistem demokratis seringkali bisa memobilisasi sumber-sumber masyarakat secara lebih efisien daripada sistem otoriter yang represif. Bahkan secara praktis masalah pencapaian tujuan pembangunan politik di banyak masyarakat terutama sekali menyangkut masalah bagaimana memperoleh dukungan rakyat yang lebih besar, ini bukan karena nilai mutlak dari demokrasi melainkan karena kesadaran sistem itu bisa mencapai tingkat mobilitas kekuasaan yang lebih tinggi.

Jika pembangunan politik dipandang sebagai mobilisasi dan peningkatan kekuasaan dalam masyarakat maka akan mudah membedakan antara tujuan pembangunan dengan ciri-ciri yang biasanya dilekatkan pada pembangunan. Banyak dari ciri-ciri itu dapat diukur dan karenanya bisa disusun ukuran-ukuran pembangunan. Unsur-unsur dalam ukuran-ukuran itu bisa meliputi pengaruh dan penetrasi media massa yang diukur dari peredaran surat kabar dan penyebaran radio, basis perpajakan, perbandingan jumlah pegawai negeri dan penyebarannya dalam berbagai kategori kegiatan, perbandingan alokasi sumber daya dan dana yang disalurkan untuk pendidikan, pertahanan dan kesejahteraan sosial. Deutsch (1961) telah merumuskan indikator-indikator mobilisasi yang terperinci.

PEMBANGUNAN POLITIK SEBAGAI SATU ASPEK PROSES PERUBAHAN SOSIAL YANG MULTIDIMENSIONAL


Kebutuhan nyata akan asumsi-asumsi teoritis sebagai pedoman pemilihan unsur-unsur yang harus dimasukkan dalam indeks pengukur pembangunan erat hubungannya dengan segi-segi lain dari perubahan sosial dan ekonomi (Max F. Millikan dan Donald, 1961). Hal ini memang benar, sebab setiap unsur yang mungkin relevan dalam menjelaskan potensi kekuasaan suatu negara harus mencerminkan keadaan ekonomi dan ketertiban sosialnya. Mungkin bisa diajukan argumen bahwa tidak perlu dan tidak wajar berusaha memisahkan sama sekali pembangunan politik dari bentuk-bentuk pembangunan lainnya. Meskipun dalam batas-batas tertentu bidang politik dapat dipisahkan dari masyarakat, tetapi pembangunan politik hanya bisa berjalan dalam proses sosial yang multidimensional di mana tidak ada satu pun sektor masyarakat yang terlalu jauh tertinggal.

Menurut pandangan ini, semua bentuk pembangunan saling berkaitan dan banyak mempunyai persamaan dengan modernisasi, dan terjadi dalam konteks sejarah di mana pengaruh dari luar masyarakat berpengaruh pada proses-proses perubahan sosial, sebagaimana halnya perubahan-perubahan ekonomi, politik dan sosial saling mempengaruhi satu sama lain.