Pada dasarnya, pemasaran sosial atau social marketing merupakan sebuah strategi yang digunakan oleh suatu kelompok/institusi, khususnya pemerintah, dengan tujuan untuk mengubah kebiasaan-kebiasaan dari kelompok sosial tertentu.
Pemasaran sosial biasanya dilakukan oleh kelompok-kelompok sosial yang ada dalam masyarakat. Misalnya, LSM Internasional - Green Peace, yang sangat aktif mengampanyekan gerakan peduli terhadap lingkungan hidup atau LSM-LSM yang ada di Indonesia pada saat ini yang aktif mengampanyekan isu demokratisasi dan perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM).
Sementara itu, orang yang dijadikan sasaran dari kegiatan pemasaran sosial disebut sebagai target adopter.
Pemasaran sosial terdiri atas :
-
elemen-elemen pendekatan sosial terbaik untuk perubahan sosial yang berbentuk kerangka tindakan dan perencanaan yang terintegrasi serta
-
menggunakan kemajuan teknologi komunikasi dan keahlian pemasaran. Kerangka tindakan umumnya berupa konsep dan perencanaan.
Pemasaran atau Marketing adalah proses perencanaan dan pelaksanaan konsepsi, penetapan harga promosi dan distribusi ide, barang dan jasa untuk menciptakan pertukaran untuk memuaskan tujuan organisasi dan individu.
Definisi ini berbeda dengan definisi sebelumnya yang tidak menyertakan unsur ide di dalamnya. Sebelum waktu itu, pengertian marketing adalah kegiatan pemasaran yang bertujuan menjual produk saja. Perubahan ini menandai tonggak perubahan dalam evolusi marketing yang mencerminkan penekanan dalam penyebaran dan pertukaran ide.
Dengan kata lain, social marketing adalah suatu kegiatan yang bisa menganut asas-asas marketing pada umumnya.
Istilah pemasaran sosial sendiri pertama kali diperkenalkan pada Tahun 1971 untuk menguraikan penggunaan prinsip dan teknik pemasaran dalam menjelaskan suatu penyebab gejala sosial, ide, atau kebiasaan.
Sejak saat itu, istilah ini menjadi pengertian dalam teknologi manajemen perubahan sosial yang meliputi desain, implementasi, dan kontrol program yang diarahkan untuk meningkatkan akseptabilitas terhadap ide atau praktik sosial dalam satu atau lebih kelompok target adopter.
Pemasaran sosial menggunakan segmentasi pasar, riset konsumen, pengembangan dan tes produk, komunikasi terarah, fasilitas, insentif, dan teori pertukaran untuk memaksimalkan respons dari target adopter.
Contohnya adalah kampanye mengenai “wajib belajar” yang dimaksudkan untuk meningkatkan kecerdasan bangsa Indonesia. Target adopternya terdiri atas dua kelompok, yakni kelompok orang tua dan kelompok anak-anak usia
Terdapat 3 unsur utama yang mendukung pemasaran sosial, yaitu :
1. Produk Sosial: Ide/gagasan dan Praktik
Perubahan dari sebuah ide atau kebiasaan yang kurang baik menjadi lebih baik atau adopsi ide dan kebiasaan-kebiasaan baru adalah tujuan dari pemasaran sosial (social marketing).
Bentuk pertama produk sosial dapat berupa Ide dan kebiasaan. Produk sosial berupa ide bisa berbentuk belief (kepercayaan), attitude (sikap), atau value (nilai).
-
Kepercayaan adalah sebuah persepsi yang didasarkan kepada fakta dan umumnya tanpa evaluasi. Misalnya, “merokok dapat merusak kesehatan”, sedangkan sikap adalah evaluasi atau penilaian baik buruk tentang orang, objek, ide, atau kejadian dari seseorang.
-
Anda tentunya sering kali menemukan bahwa belief dan Sikap (attitude) tidak selalu berjalan selaras. Mungkin saja ada seorang kawan kita yang berkeyakinan bahwa merokok itu dapat menyebabkan berbagai penyakit, tetapi sikapnya bisa saja selaras, dapat pula berkebalikan dari keyakinannya tersebut.
Contoh yang selaras adalah teman tersebut mengingatkan Anda mengenai bahaya merokok ketika Anda mengeluarkan sebungkus rokok. Sedangkan yang berlawanan bisa dilihat dari sikapnya yang mempersilakan Anda merokok ketika Anda meminta izin kepadanya.
-
Ide sosial bisa pula berbentuk sebuah nilai (value) yang diartikan sebagai keseluruhan gagasan mengenai apa yang benar dan apa yang tidak.
Misalnya, poster dan spanduk-spanduk yang dipajang di markas, barak atau kantor TNI AD serta di jalan raya yang berbunyi “Ternyata Damai itu Indah” Maksudnya adalah agar masyarakat tidak bertengkar yang berujung pada kerusuhan.
Bentuk kedua produk sosial berupa praktik sosial. Praktik sosial ini bisa berupa sebuah tindakan yang terlihat pada pelaksanaan vaksinasi atau pengambilan suara pada pemilihan umum. Bisa juga berupa penetapan perubahan sebuah pola tingkah laku, seperti upaya penghentian kebiasaan merokok atau penggunaan suatu jenis kontrasepsi dalam program keluarga berencana.
Bentuk ketiga produk sosial merupakan objek terukur (tangible object) yang berbentuk fisik, seperti pil kontrasepsi yang dimaksudkan untuk menekan angka kelahiran bayi atau seperti sabuk keselamatan dengan tujuan untuk meningkatkan disiplin pengemudi di jalan raya serta dalam rangka mengikuti standar internasional.
Objek terukur tersebut mengacu pada produk-produk (benda) yang secara fisik menyertai kampanye. Khususnya untuk penggunaan sabuk keselamatan bagi pengendara mobil dan penumpang yang ada di depan sangat terkait dengan ada atau tidaknya serta berfungsi atau tidaknya sabuk keselamatan.
Meski demikian, tidak ada pendapat yang menyebutkan pembedaan dalam penekanan pada salah satu bentuk, baik ide maupun praktik sosial secara teoretis. Aspek-aspek mana yang akan ditonjolkan adalah tergantung dari tujuan, sifat, dan karakter dari pemasaran sosial tersebut.
Umumnya para pelaku pemasaran sosial mempromosikan ide sama baiknya dengan praktik sosial karena tujuan akhir mereka adalah mengubah kebiasaan dari yang selama ini dilakukan menjadi suatu perilaku yang sesuai dengan apa yang diharapkan.
Misalnya, ketika presiden Soeharto memopulerkan untuk mengonsumsi makanan secara lebih variatif dan bukan hanya padi maka pemasaran ide ini kemudian diikuti oleh perilaku pejabat yang mulai menggemari makanan kentang dan roti.
Social marketing (pemasaran sosial) dinilai oleh banyak pihak memiliki beberapa keunggulan dibandingkan strategi perubahan sosial secara tradisional dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Pemasaran sosial dibangun atas pengetahuan yang diperoleh dari praktik bisnis yang mempertimbangkan objek terukur, riset tentang kebutuhan manusia, mengarahkan produk kepada kelompok konsumen tertentu, memanfaatkan teknologi untuk menunjang aktivitas (seperti pemanfaatan komputer untuk desain grafis), mengomunikasikan keuntungan/manfaat yang mereka peroleh secara efektif, kewaspadaan yang tetap untuk mengubah lingkungan, dan kemampuan beradaptasi dengan perubahan.
Artinya, kegiatan pemasaran sosial memiliki perencanaan dan strategi yang dapat dievaluasi dan diukur efektivitasnya secara ilmiah. Uraian ini akan kita bahas pada modulmodul selanjutnya.
Gambar produk sosial. Sumber: Kotler, P and Edvardo Roberto, Social Marketing-Strategis for Changing Public Behavior, USA: The Free Press,
2. Target Adopter (Audience)
Target adopter atau sasaran dalam pemasaran sosial terdiri dari satu atau lebih kelompok yang dapat dibagi berdasarkan usia, status sosial, letak geografis. Sama halnya dengan target market dalam pemasaran komersial, ketidakakuratan dalam mendefinisikan target adopter akan mengurangi tingkat keberhasilan dari aktivitas pemasaran yang kita lakukan.
Oleh karena masing-masing kelompok tersebut memiliki perangkat kepercayaan, sikap dan nilai yang tidak sama. Oleh karena itu, perlu diperhatikan perbedaan karakter dari target adopter sebagai berikut (Kotler, 1989: 26–28).
-
Karakteristik Sosio-Demografis (kelas sosial, pendapatan, pendidikan, usia)
Anda masih ingat iklan Pemilu pada Tahun 1999? Ada berapa versi iklan yang ditayangkan di televisi? Mungkin Anda sudah lupa, tetapi sekadar untuk mengingatkan kembali, ada jenis iklan “inga-inga” yang menampilkan orang Manado untuk berpartisipasi dalam pemilu, ada iklan yang menampilkan anak-anak muda yang sedang main band, dan ada pula mpok Ati (sebagai orang Betawi) yang mengingatkan kita untuk ikut pemilu.
Mengapa perlu ada pembedaan versi iklan?
Ya, Agar masing-masing kelompok yang memiliki sifat dan budaya yang berbeda menjadi tertarik untuk memperhatikan iklan sehingga sikap dan perilakunya terhadap ide yang disampaikan bisa berubah.
-
Profil Psikologis (atribut internal, seperti sikap, nilai, motivasi, dan kepribadian)
Sama halnya dengan karakteristik sosio-demografis, profil psikologis pun menjadi pertimbangan dalam kampanye pemasaran sosial.
-
Karakteristik perilaku (pola perilaku, kebiasaan beli, dan karakteristik pengambilan keputusan)
Dalam pelaksanaannya pelaku social marketing kita seyogianya mampu mengidentifikasi kelompok berpengaruh yang dapat mempengaruhi keberhasilan program.
Sebagaimana yang telah Anda ketahui, keberhasilan program Keluarga Berencana dikarenakan pemerintah selaku aktor dalam kegiatan pemasaran sosial berhasil mendekati dan meyakinkan kelompok yang berpengaruh dalam masyarakat, ulama, pemuka adat dan pemimpin informal lainnya.
Adapun kelompok-kelompok berpengaruh ini dapat diklasifikasikan sebagai berikut.
-
Kelompok Pemberi Izin, seperti badan-badan pengatur di mana izin atau peraturan mungkin dibutuhkan dalam memulai penyebaran program.
-
Kelompok Pendukung, seperti dokter atau staf medis lainnya yang mendukung atau berpartisipasi dalam pelaksanaan program. Dalam pemasaran program keluarga berencana dukungan dari dokter sangatlah penting. Oleh karena cukup banyaknya pro dan kontra di kalangan masyarakat termasuk dari pihak medis (dokter) maka KB dengan vasektomi dan tubektomi tidak bisa berkembang di Indonesia saat ini. Dengan kata lain, program ini tidak berhasil karena tidak didukung oleh kelompok pendukung.
-
Kelompok Oposisi. Contoh klasik yang sering ditampilkan adalah para ulama yang menentang Keluarga Berencana pada awal disosialisasikan (tahun 1970-an). Upaya yang paling tepat untuk menaklukkan kelompok ini adalah dengan memberikan keyakinan yang masuk akal bahwa program yang dilaksanakan adalah benar dan tidak bertentangan dengan ajaran agama.
-
Kelompok Evaluasi, seperti komite legislatif yang memberikan evaluasi yang dapat menilai apakah program tersebut menguntungkan atau merugikan.
Contohnya program pemerintah Kanada untuk mengurangi konsumsi rokok, seperti disinggung di atas akan berjalan sangat efektif karena didukung oleh parlemen.
3. Teknologi Manajemen Perubahan Sosial
Sebuah teknologi manajemen perubahan sosial haruslah dapat menjawab pertanyaan berikut secara efektif.
- Apa ide dan praktik sosial yang cocok dan apa yang dicari kelompok sasaran (target adopter)?
- Bagaimana membuatnya cocok?
- Bagaimana membawanya kepada target sasaran?
- Bagaimana menjaga atau mengubahnya untuk mempertahankannya dari kematian yang prematur?
Dari pertanyaan tersebut ada beberapa hal yang harus dilakukan untuk menjawabnya, yaitu mendefinisikan, mendesain, mengirimkan, dan mempertahankan produk yang cocok dengan apa yang dicari oleh kelompok sasaran (Kotler, 1989: 28–36).
a. Mendefinisikan produk yang cocok
Hal pertama yang dibutuhkan dalam menyukseskan pemasaran sosial adalah menciptakan produk sosial baru untuk memenuhi keinginan target sasaran atau produk yang lebih baik dari yang sudah ada.
Tentu saja hal ini membutuhkan penjelasan tentang apa yang dibutuhkan dan bagaimana memenuhinya, dengan kata lain harus dibuat apa yang disebut konsep pemasaran (the marketing concept).
Konsep pemasaran ini memegang kunci menuju keberhasilan tujuan organisasional yang di dalamnya mengandung penentuan kebutuhan target sasaran dan mengirimkan kepuasan yang diinginkan secara lebih efektif dan efisien dibanding dengan kompetitor/pesaing lain.
b. Mendesain produk yang cocok
Desain atau rancangan produk yang cocok dilakukan dengan menerjemahkan sesuatu yang cocok ke dalam posisi yang sesuai dengan ide sosial dan praktik, kemudian memakainya untuk menguatkan posisinya, lalu mengembangkan gambaran sebagai penyebab yang konsisten dengan sumber penyebab tersebut.
Misalnya, kampanye untuk menolong atau meringankan penderitaan korban AIDS/HIV adalah dengan mendesain program yang memiliki tema “Jangan Singkirkan Mereka”.
c. Mengirimkan produk yang cocok
Kegiatan ini dilakukan dengan memperhatikan apakah ada sumber produk terukur (benda yang digunakan dalam kampanye) dan apakah diperlukan pelayanan dalam pelaksanaannya.
Ada empat kemungkinan situasi pengiriman, (Kotler, 1980: 34) sebagai berikut.
-
Kampanye menggunakan produk terukur yang membutuhkan presentasi dan demonstrasi. Misalnya, peningkatan kesehatan bayi, di mana di samping diberikan PIN di Posyandu, ibu-ibu juga diberikan pelatihan bagaimana merawat bayi, bagaimana memasak dan memberikan makanan bayi secara lebih baik.
-
Kampanye menggunakan produk terukur tanpa perlu presentasi atau pelatihan. Contohnya penggunaan sabuk pengaman pada kendaraan.
-
Kampanye tanpa produk terukur, tetapi memerlukan presentasi dan demonstrasi. Contohnya, program pemberantasan buta huruf (Kejar Paket A).
-
Kampanye tanpa produk terukur yang tidak memerlukan presentasi dan demonstrasi. Misalnya, pada kampanye mengenai penegakan hak asasi manusia atau himbauan untuk tidak membuat kerusuhan.
Contoh dari kampanye tanpa produk terukur adalah iklan berikut ini.
d. Mempertahankan produk yang cocok
Tugas terakhir untuk meneruskan atau mengubah produk sebagai respon terhadap perubahan yang terjadi di masyarakat dapat dilakukan melalui beberapa tahap (Kotler, 1989: 36).
-
Tahap pertama dilakukan dengan melakukan riset dan pengawasan terhadap kondisi masyarakat (target sasaran).
Contoh kasusnya adalah ketika kementrian kesehatan Amerika Tengah melaksanakan program peningkatan gizi bagi anak-anak warga miskin. Kampanye dilakukan dengan penyebaran biskuit kaya gizi dengan harga murah. Biskuit ini diposisikan sebagai makanan utama untuk makan siang dan makan malam, bukan sebagai camilan (snack). Setelah empat bulan, terjadi penurunan penjualan. Berdasarkan hasil evaluasi melalui survei, didapat bahwa sebagian besar kaum ibu menjadikan biskuit tersebut sebagai camilan walaupun tertulis jelas bahwa biskuit tersebut adalah makanan utama. Dengan posisinya sebagai camilan maka banyak produk lain yang menjadi pesaing sehingga menurunkan penggunaan biskuit tersebut. Hasil survei juga mengungkapkan bahwa bentuk, ukuran, pengemasan, dan rasa dari biskuit tersebut lebih kuat kesannya sebagai camilan dibanding dengan apa yang tertera dalam kemasan biskuit itu, yaitu bahwa bahan biskuit ini adalah makanan utama.
-
Tahap kedua adalah memanfaatkan hasil riset yang telah di lakukan.
Dalam kasus ini ada beberapa alternatif yang bisa dilakukan oleh kementrian kesehatan, sebagai berikut.
- Tidak melakukan perubahan apa pun pada produk, melainkan melaksanakan komunikasi persuasif yang lebih intensif lagi agar kaum ibu menyajikannya sebagai makanan utama.
- Tidak melakukan perubahan pada bentuk, tetapi melakukan penambahan pada kandungan gizinya.
- Memodifikasi bentuk dan pengemasannya menyerupai roti dengan harapan para ibu menyajikannya untuk makan siang dan makan malam.
- Mengubah produk dari bentuk padat menjadi cair, seperti sup kalengan atau menjadi bubuk, seperti makanan instan.
-
Tahap ketiga pelaksanaan pemasaran sosial/social marketing adalah melakukan penyesuaian dan perubahan dalam rencana pemasaran dan pelaksanaannya.
Oleh karena setiap program tidak ada yang benarbenar sempurna, maka berbagai kelemahan dan kekurangan seyogianya diperbaiki agar program tersebut menjadi lebih baik.
SUmber : Dr. Ricardi S. Adnan, M.Si, “Pemasaran Sosial: Suatu Pengantar”