Apa yang dimaksud dengan paradigma penelitian?

Dalam pendidikan, penelitian merupakan salah satu aspek penting bagi akademisi. Paradigma yang digunakan akan menentukan pendekatan dan menjadi dasar dalam menyusun metode penelitian. Posisi paradigma memiliki konsekuensi penting dalam melaksanakan penelitian, interpretasi temuan dan pemilihan kebijakan. Oleh karena itu sangat penting untuk memahami paradigma penelitian.

Paradigma menurut Thomas Kuhn dipergunakan dalam dua arti yang berbeda yakni paradigma berarti keseluruhan konstelasi kepercayaan, nilai, teknik, dan sebagainya yang dimiliki bersama oleh anggota-anggota masyarakat tertentu. Di sisi lain paradigma juga berarti menunjukkan pada sejenis unsur dalam konstelasi itu, pemecahan teka-teki yang kongkret, yang jika digunakan sebagai model atau contoh dapat menggantikan kaidah-kaidah yang eksplisit sebagai dasar bagi pemecahan teka- teki sains yang normal yang masih tertinggal (Kuhn, 2002). Thomas Kuhn (2002) juga mengeksplisitkan bahwa perubahan paradigma dapat menyebabkan perbedaan dalam memandang realitas alam semesta. Realitas dikonstruksi oleh mode of thought atau mode of inquiry tertentu, kemudian menghasilkan mode of knowing yang spesifik.

Menurut Denzin dan Lincoln (1994) paradigma dipandang sebagai seperangkat keyakinan-keyakinan dasar (basic believes) yang berhubungan dengan yang pokok atau prinsip. Paradigma adalah representasi yang menggambarkan tentang alam semesta ( world ). Sifat alam semesta adalah tempat individu-individu berada di dalamnya, dan ada jarak hubungan yang mungkin pada alam semesta dengan bagian-bagiannya. Denzin dan Lincoln (1994) membagi paradigma kepada tiga elemen yang meliputi: ontology, epistemology , dan methodology.Ontology berkaitan dengan pertanyaan dasar tentang hakikat realitas. Epistemology mempertanyakan tentang bagimana cara kita mengetahui sesuatu, dan apa hubungan antara peneliti dengan pengetahuan. Methodology memfokuskan pada bagaimana cara kita memperoleh pengetahuan.

Guba and Lincoln (Denzim dan Lincoln, 1994) menempatkan empat paradigma penelitian yakni: positivism, post-positivism, critical theory , dan constructivism sebagaimana dalam tertuang gambar tabel 1. Perbedaan dalam asumsi paradigma tidak dapat diabaikan seperti dikatakan semata-mata berbeda secara “ philosophical” . Secara implisit maupun eksplisit posisi paradigma memiliki konsekuensi penting dalam melaksanakan penelitian, interpretasi temuan dan pemilihan kebijakan.

Item Positivism Postpositivism Critical Theory Constructivism
Ontology Naïve realism-“real” reality but appre-henddable Critical realism "real” reality but only imperfectly and probabi- listically apprehendable Historical real- ism- virtual reality-shaped by social, political, cultural, econo-mics, ethnic, and gender values; crytalized over time. Relativism local and specific constructed realistics
Epistemology Dualist objectivist; finding true Modified dualist/ objetivist; critical tradition/ community; finding probably true Transactional/ subyectivist; value-mediated findings Transactional*/subyetivist;crea ted findings*
Methodology Experimental/ manipulative; verification of hypotheses; chiefly quantitative methods Modified experi- mental/ manipu- lative; critical multiplism falsifycation of hypotheses; may include qualitative methods Dialogic/ dialectical Hermeutical/ dialectical

Empat paradigm tersebut ( positivism, post-positivism, critical theory , dan constructivism) bersesuaian dengan sepuluh isu utama.

Empat isu pertama ( inquiry aim, nature of knowledge, knowledge accumulation, and quality criteria ) dianggap secara khusus penting oleh positivisme dan post-positivisme, yakni bersumber pada alur berpikir dalam ilmu pengetahuan alam yang cenderung melegitimasi hukum, menempatkan logika, melakukan simplifikasi dan aturan guna memberikan penjelasan yang rasional. Paradigma ini menempatkan nilai/ value di luar kajian penelitian, karena penelitian sebagai ilmu dipandang bebas nilai.

Nilai/ value dan ethic merupakan isu yang secara serius diambil semua paradigma meskipun konvensional dan respon yang muncul cukup berbeda. Terutama oleh critical theory , and constructivism yang berpandangan bahwa nilai tercakup dan ikut memberikan pengaruh. nilai juga merupakan bagian integral dalam interaksi sosial. Ethic pada constructivism muncul dari dalam proses mencari relevansi dan problema khusus. Pada, critical theory, ethic berasal dari dalam mencari kebenaran.

Empat isu terakhir ( voice, training, accommodation, dan hegemoni ) dianggap merepresentasikan area paradigma alternatif yang dapat dipakai sebagai pilihan dengan menggunakan pola berpikir baru (Guba and Lincoln, 1994) . Implikasi posisi setiap paradigma terhadap praktek memilih isu-isu penelitian dapat dilihat dalam tabel 6 yang disusun oleh Guba dan Lincoln (Denzim dan Lincoln, 1994)

Menurut Harmon (dalam Moleong, 2004), paradigma adalah cara mendasar untuk melakukan persepsi, berpikir, menilai dan melakukan yang berkaitan dengan sesuatu secara khusus tentang realitas. Bogdan & Biklen (dalam Mackenzie & Knipe, 2006) menyatakan bahwa paradigma adalah kumpulan longgar dari sejumlah asumsi, konsep, atau proposisi yang berhubungan secara logis, yang mengarahkan cara berpikir dan penelitian.

Paradigma penelitian adalah pola pikir atau cara pandang (aliran/mazhab) mengenai keseluruhan proses, format dan hasil penelitian. Ragamnya dintaranya adalah: (1) Positivis; (2) Interpretif; dan (3) Kritis.

1. Paradigma Positivis

Paradigma Positivisme merupakan aliran filsafat yang dinisbahkan/ bersumber dari pemikiran Auguste Comte seorang filosof yang lahir di Montpellier Perancis pada tahun 1798, ia seorang yang sangat miskin, hidupnya banyak mengandalkan sumbangan ari murid dan teman-temannya antara lain filosof Inggris John Stuart Mill.

Pandangan paradigma ini didasarkan pada hukum-hukum dan prosedur-prosedur yang baku; ilmu dianggap bersifat deduktif,berjalan dari hal yang umum dan bersifat abstrak menuju yang konkit dan bersifat sepesifik; ilmu dianggap nomotetik, yaitu didasarkan pada hukum-hukum yang kausal yang universal dan melibatkan sejumlah variable

2. Paradigma Interpretif

Pendekatan interpretif berangkat dari upaya untuk mencari penjelasan tentang peristiwa-peristiwa sosial atau budaya yang didasarkan pada perspektif dan pengalaman orang yang diteliti. Pendekatan interpretatif diadopsi dari orientasi praktis.

Interpretif melihat fakta sebagai sesuatu yang unik dan memiliki konteks dan makna yang khusus sebagai esensi dalam memahami makna sosial. Interpretif melihat fakta sebagai hal yang cair (tidak kaku) yang melekat pada sistem makna dalam pendekatan interpretatif.

Paradigma ini menekankan pada ilmu bukanlah didasarkan pada hukum dan prosedur yang baku;, setiap gejala atau peristiwa bisa jadi memiliki makna yang berbeda; ilmu bersifat induktif, berjalan dari yang sepesifik menuju ke yang umum dan abstrak. Ilmu bersifat idiografis, artinya ilmu mengungkap realitas melalui simbol-simbol dalam bentuk deskriptif. Pendekatan interpretif pada akhirnya melahirkan pendekatan kualitatif.

3. Paradigma Kritis

Paradigma kritis adalah anak cabang pemikiran marxis dan sekaligus cabang marxisme yang paling jauh meninggalkan Karl Marx (Frankfurter Schule). Cara dan ciri pemikian aliran Frankfurt disebut ciri teori kritik masyarakat “ eine Kritische Theorie der Gesselschaft ”. Paradigma ini mau mencoba memperbaharui dan merekonstruksi teori yang membebaskan manusia dari manipulasi teknokrasi modern.

Teori Kritis tidak hanya mau menjelaskan, mempertimbangkan, merefleksikan dan menata realitas sosial tapi juga bahwa iningn membongkar ideologi-ideologi yang sudah ada. pandangan paradigma ini menekankan pada ilmu bukanlah didasarkan pada hukum dan prosedur yang baku, tetapi untuk membongkar ideologi-ideologi yang sudah ada dalam pembebasan manusia dari segala belenggu penghisapan dan penindasan.