Apa yang dimaksud dengan Pacta Sunt Servanda?

pacta sunt servanda

Asas pacta sunt servanda berasal dari bahasa latin yang berarti ‘janji harus ditepati’ (agreements must be kept), sehingga dalam hukum positif rumusan normanya menjadi: setiap perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang dibuatnya.

Apa yang dimaksud dengan pacta sunt servada?

Pacta sunt servanda berasal dari bahasa latin yang berarti ”janji harus ditepati”. Pacta sunt servanda merupakan asas atau prinsip dasar dalam sistim hukum civil law, yang dalam perkembangannya diadopsi ke dalam hukum internasional.

Pada dasarnya asas ini berkaitan dengan kontrak atau perjanjian yang dilakukan diantara para individu, yang mengandung makna bahwa:

  1. perjanjian merupakan undang-undang bagi para pihak yang membuatnya, dan

  2. mengisaratkan bahwa pengingkaran terhadap kewajiban yang ada pada perjanjian merupakan tindakan melanggar janji atau wanprestasi.

Aziz T. Saliba menyatakan bahwa asas Pacta Sunt Servanda merupakan sakralisasi atas suatu perjanjian (sanctity of contracts). Titik fokus dari hukum perjanjian adalah kebebasan berkontrak atau yang dikenal dengan prinsip otonomi, yang berarti bahwa dengan memperhatikan batas hukum yang tepat orang dapat mengadakan perjanjian apa saja sesuai dengan kehendaknya, dan apabila mereka telah memutuskan untuk membuat perjanjian, mereka terikat dengan perjanjian tersebut.

Asas pacta sunt servanda merupakan salah satu norma dasar (grundnorm; basic norm) dalam hukum, dan erat kaitannya dengan asas itikad baik untuk menghormati atau mentaati perjanjian. Sejauh mana para pihak akan mentaati isi perjanjian akan terlihat dalam praktek pelaksanaannya yang tentu saja harus didasarkan atas itikad baik dari para pihak.

Kedua asas ini nampak sebagai asas yang tidak terpisahkan satu sama lain dalam pelaksanaan perjanjian. Suatu perjanjian yang lahir sebagai hasil kesepakatan dan merupakan suatu pertemuan antara kemauan para pihak, tidak akan dapat tercapai kemauan para pihak apabila di dalam pelaksanannya tidak di landasi oleh adanya itikad baik dari para pihak untuk melaksanakan perjanjian sebagaimana yang dituju.

Aktualisasi pelaksanaan asas itikad baik dari suatu janji antara lain dapat diilustrasikan sebagai berikut:

  1. para pihak harus melaksanakan ketentuan perjanjian sesuai dengan isi, jiwa, maksud, dam tujuan perjanjian itu sendiri;

  2. menghormati hak-hak dan kewajibankewajiban dari masing-masing pihak maupun pihak ketiga yang mungkin diberikan hak dan/atau dibebani kewajiban (kalau ada);

  3. tidak melakukan tindakan-tindakan yang dapat menghambat usaha-usaha mencapai maksud dan tujuan perjanjian itu sendiri, baik sebelum perjanjian itu mulai berlaku maupun setelah perjanjian itu mulai berlaku.

Sebagaimana di singgung di atas, bahwa asas pacta sunt servanda merupakan asas yang sudah tua yang berasal dari ajaran hukum alam atau hukum kodrat30. Beberapa sarjana yang kemudian mengembangkan asas tersebut seperti Cicero. Sebagaimana nampak dari jawaban yang di sampaikan oleh Cicero atas suatu pertanyaan: ”apakah persetujuan-persetujuan dan janji-janji harus selalu dihormati?”, dimana Cicero memberi jawaban positif (”iya”).

Ini artinya Cicero mengajarkan kepada para pembuat perjanjian untuk menghormati janji-janji yang telah mereka buat, dengan melaksanakan kewajiban-kewajibannya sebagaimana yang di janjikan. Grotius sebagai penganut aliran hukum alam/hukum kodrat berusaha mengatakan bahwa janji itu mengikat dan ini merupakan asas penting dalam perjanjian. Selanjutnya ia menyatakan bahwa kita harus memenuhi janji kita (promisorum implendorum obligation).

Terhadap asas pacta sunt servanda sendiri Grotius mengatakan bahwa diantara asas-asas hukum alam yang melandasi sistem hukum internasional, menghormati janji-janji atau traktat-traktat (pacta sunt servanda) merupakan asas paling fundamentiil.

Pacta sunt servanda yang merupakan bagian dari hukum kodrat menjadi dasar bagi konsensus. Bahkan oleh Anzilotti seorang penganut aliran dualisme berkebangsaan Italia menguatkan pandangan Grotius dan meletakan dasar daya ikat hukum internasional pada asas pacta sunt servanda.

Terhadap asas pacta sunt servanda dapat ditinjau dari segi esensiail dan dari segi fungsionil. Dilihat dari segi esensiil, sebagaimana dikemukakan oleh Grotius dan Anzilotti bahwa asas pacta sunt servanda sesuai dengan pengertiannya adalah terletak pada pengertian dasar daya ikat perjanjianperjanjian (persetujuan-persetujuan) bahwa negara harus menghormati persetujuanpersetujuan yang diadakan di antara mereka.

Lantas bagaimana dengan hukum internasional kebiasaan?

Dalam hal ini Anzilotti mengatakan bahwa hukum internasional kebiasaan mengikat kepada negara-negara karena telah terjadi persetujuan tersimpul atau diam-diam (pactum tacitum). Adanya asas pacta sunt servanda merupakan asumsi a priori atau axioma yang dikaitkan secara tersirat pada hukum positif, dalam arti bahwa hukum itu harus ditaati sebagai hukum yang berlaku.

Dilihat dari segi fungsionil, bahwa keberadaan asas pacta sunt servanda sebagaimana di utarakan oleh Anzilotti dan beberapa ahli merupakan sumber eksklusif (satu-satunya sumber) bagi sifat mengikatnya norma-norma hukum internasional. Dalam konteks ini yang perlu diperhatikan pernilaian Anzilotti mengenai fungsi postulat pacta sunt servanda dalam kata-katanya sebagai berikut:

”Tiap tertib hukum terdiri dari sekumpulan norma-norma yang sifat mengikatnya berasal dari suatu norma fundamentil, terhadap mana semua norma-norma terikat langsung atau tidak langsung. Dengan demikian norma fundamentil menentukan norma-norma manakah mendirikan tertib hukum, dan memberikan kesatuan kepada keseluruhan norma-norma itu. Tertib Hukum internasional mempunyai keistimewaan karena fakta bahwa, dalam tertib ini asas pacta sunt servanda tidak tergantung kepada norma yang lebih tinggi, ia sendiri merupakan norma tertinggi”.

Jadi atas asas pacta sunt servanda oleh Anzilotti dipandang sebagai salah satu norma fundamental atau norma tertinggi, yang akan menjadi dasar berlakunya hukum internasional atau perjanjian internasional. Sarjana lain yang juga menerima pacta sunt servanda sebagai norma dasar yang melandasi daya ikat hukum internasional adalah Kelsen.

Kelsen dalam melakukan pendekatan daya ikat hukum internasional bertitik tolak pada daya ikat yang ada pada hukum internasional kebiasaan. Dalam struktur hierarchies tertib hukum internasional, maka hukum internasional kebiasaan dipandang dari segi daya ikat menduduki tempat yang lebih tinggi daripada hukum internasional konvensional, dalam hal ini hukum internasional yang berdasarkan perjanjianperjanjian.

Lebih lanjut Kelsen mengatakan bahwa daya ikat hukum internasional kebiasaan pada akhirnya berdasarkan suatu fundamental assumption yaitu hypothese bahwa kebiasaan internasional merupakan fakta pembentukan hukum (law creating fact). Hyphothese yang demikian oleh Kelsen dikatakan sebagai norma dasar (basic norm). Lebih lanjut Kelsen men-konstatir bahwa perjanjian internasional juga merupakan law creating fact, dalam arti bahwa perjanjian menimbulkan hak-hak dan kewajibankewajiban, atau dengan kata lain perjanjian mempunyai daya ikat. Adanya daya ikat perjanjian disebabkan oleh suatu aturan hukum internasional kebiasaan yang menjelma dalam formula pacta sunt servanda. Kemudian atas dasar apa norma dasar itu berlaku, hal demikian tidak perlu dipersoalkan lagi karena sudah terbukti sendiri (self-evident).

Dengan demikian sebagai dasar daya ikat baik atas hukum internasional kebiasaan maupun hukum internasional konvensional (hukum internasional yang berdasarkan perjanjian-perjanjian) diletakan pada norma dasar yang berupa pacta sunt servanda. Seorang sarjana terkemuka dari Mazab Vienna bernama Vadross mengatakan bahwa asas pacta sunt servanda sebagai asas itikad baik atau taat kepada perjanjian yaitu suatu prinsip penting dalam asas hukum yang mengatur hukum perjanjian. Bagi Vadross keberadaan asas pacta sunt servanda merupakan suatu asas hukum umum (general principle of law). Dalam memberi makna asas pacta sunt servanda Vedross khusus mengkaitkan pada hukum perjanjian internasional (hukum internasional konvensional), dan tidak mengkaitkannya dengan hukum internasional kebiasaan.

Sumber :

Harry Purwanto, Keberadaan asas pacta sunt servanda dalam perjanjian internasional

Asas Pacta Sunt Servanda merupakan salah satu prinsip hukum umum yang diakui oleh negara-negara beradab di dunia dalam kerangka hubungan internasional. Prinsip ini diakui universal. Schmitthof dan juga Goldstajn menganggap prinsip/asas ini (beserta prinsip kebebasan berkontrak) sebagai prinsip yang penting.

Pengakuan dalam sistem hukum di dunia tidak terlalu sulit untuk menemukannya. Bahkan negara- negara di dunia memasukkan ketentuan ini dalam peraturan perundangan nasionalnya. (Adolf, 2006).

Secara umum pacta sunt servanda diartikan sebagai,

Terikatnya suatu negara terhadap suatu perjanjian internasional diakibatkan oleh persetujuan dari negara tersebut untuk mengikatkan diri pada perjanjian internasional.

Ketika suatu negara menjadi pihak dalam perjanjian internasional, menyatakan kehendak untuk terikat terhadap ketentuan yang diatur dalam perjanjian tersebut. Hal itu berdampak ketentuan-ketentuan yang diatur dalam perjanjian itu berlaku dalam teritorial negara yang menyatakannya.

Asas pacta sunt servanda merupakan salah satu norma dasar dalam hukum perjanjian, dan erat kaitannya dengan asas itikad baik untuk menghormati atau mentaati ketentuan dalam perjanjian. Hugo de Groot atau yang lebih dikenal dengan Grotius mengatakan bahwa diantara asas-asas hukum alam yang melandasi sistem hukum internasional, pacta sunt servanda merupakan asas paling fundamental. Pacta sunt servanda yang merupakan bagian dari hukum kodrat yang menjadi dasar bagi konsensus.

Anzilotti penganut aliran dualisme berkebangsaan Italia menguatkan pandangan Grotius dan meletakan dasar daya ikat hukum internasional pada asas pacta sunt servanda. (Ardhiwisastra, 2003).

Terikatnya satu negara dalam perjanjian internasional dilihat dari 2 (dua) perspektif, yakni :

  1. Tindakan yang dilakukan negara sendiri dalam suatu perjanjian internasional. Negara dikatakan terikat pada perjanjian internasional apabila melakukan tindakan Penandatanganan (Signatured) (Convention, 1969), Pertukaran instrument-instrument (exchange of instruments constituting a treaty), (Convention, 1969) Ratification, acceptance or approval. (Convention, 1969). Apabila negara melakukan tindakan-tindakan diatas maka negara terikat pada ketentuan hukum dalam perjanjian internasional itu sendiri.

  2. Lihat dari substansi atau norma yang diatur dalam perjanjian internasional itu sendiri. Sejatinya jika perjanjian dibuat maka yang terikat hanya pihak-pihak yang terlibat dalam perjanjian internasional itu sendiri. Dalam perjanjian internasional istilah pihak sering disebut “Parties” atau “State Parties”.

Namun tidak jarang perjanjian internasional juga memberikan hak kepada negara ketiga atau negara lain yang bukan pihak dalam perjanjian internasional tersebut. Frasa yang sering dipakai untuk negara bukan pihak perjanjian internasional tersebut misalnya “Every State” atau “Non State Parties” atau “All State”.