Apa yang dimaksud dengan Otoritarianisme Sayap Kanan atau Right-wing authoritarianism?

Otoritarianisme adalah bentuk organisasi sosial yang ditandai dengan penyerahan kekuasaan.

Apa yang dimaksud dengan Otoritarianisme Sayap Kanan atau Right-wing authoritarianism ?

Otoritarianisme sayap kanan adalah kepatuhan psikologis kepada pihak-pihak yang dianggap berwenang atau berkuasa dalam tatanan kehidupan seseorang (Authoritarian Submission).

Beberapa contoh pihak yang berwenang itu adalah orangtua, pemerintah, pemuka agama, atasan dalam dunia militer, Tuhan, dan konstitusi sebuah negara (Altemeyer, 1996).

Teori Altemeyer pertama kali muncul dalam bukunya, yang mencakup survei kritis terhadap validasi psikometrik skala Otoritarianisme sayap kanan selama bertahun-tahun. Skala barunya yang dikembangkan setelah bertahun-tahun menggunakan empiris validasi yang baik, merupakan ukuran unidimensional tiga kelompok: autoritarian submission, autoritarian aggression, dan konvensionalisme.

image

Altemeyer berpendapat bahwa asal mula sikap otoritarian dapat dijelaskan dengan pembelajaran sosial (1996). Altemeyer merumuskan hasilnya teori pembelajaran sosial (Bandura, 1977) dari psikodinamika Freudian yang mengemukakan adanya dua pengaruh pembelajaran sosial pada sikap individu.

  • Pertama, pengaruh didikan dan contoh yang diberikan langsung oleh orangtua atau figur signifikan lainnya, seperti teman, selebritis idola, dan figur media lainnya.

  • Kedua, pengaruh interaksi langsung dengan objek sikap dan prasangka itu sendiri (misalnya: interaksi dengan gay atau lesbian).

Altemeyer (1996) menyatakan bahwa orang-orang otoritarian cenderung memiliki orangtua otoriter yang mengajarkan mereka sikap otoritarian. Ketika mereka keluar dari lingkungan keluarga, orang- orang otoritarian cenderung memilih teman yang otoritarian pula.

Individu dengan tingkat ideologi OSK yang tinggi adalah orang-orang yang religius, karena ia tunduk pada Tuhan dan hukum-hukum-Nya. oleh karena itu, ketika Tuhan berfirman melalui kitab suci bahwa homoseksualitas adalah dosa, maka individu dengan OSK yang tinggi akan mematuhinya dengan bersikap negatif terhadap kaum homoseksual. Tidak hanya itu, Altemeyer dan Hunsberger (1992) menemukan bahwa individu dengan OSK yang tinggi juga cenderung mengungkapkan kebenciannya terhadap kaum homoseksual (social deviant) lewat perilaku agresi (Authoritarian Aggression).

Individu dengan tingkat ideologi OSK yang tinggi juga sangat konvensional (Altemeyer, 1996). Hal ini membuat individu dengan OSK yang tinggi sangat mencintai nilai-nilai tradisional yang sudah ajek di masyarakat, misalnya nilai-nilai agama (Altemeyer, 1996). Segala bentuk perubahan atau nilai-nilai yang muncul, misalnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang bertentangan dengan pemahaman tradisional agama, akan ditolak.

Altemeyer mengemukakan bahwa individu dengan skor OSK tinggi adalah individu yang sangat menghargai konformitas. Altemeyer (1998) menemukan hubungan positif yang signifikan antara skor OSK dengan Values Type-Conformity milik Schwartz (1992). Individu dengan skor OSK tinggi juga menjunjung tinggi normalitas (1988). Ketika diminta untuk menyusun peringkat pentingnya, seperti ‘keteguhan hati’, ‘integritas’, ‘hidup sebagai orang yang normal’ dan ‘belas kasihan’, individu dengan skor OSK tinggi menilai bahwa ‘hidup sebagai orang yang normal’ lebih penting daripada individu hidup dengan skor OSK rendah.

Dalam eksperimen berbeda, Altemeyer (1998) menemukan bahwa orang-orang otoritarian cenderung mengubah sikap yang dilaporkannya supaya terlihat normal. Hal ini terjadi karena orang-orang yang otoritarian sangat termotivasi untuk cocok dengan kelompoknya dan terlihat normal.

Selain menjunjung tinggi konformitas dan normalitas, orang-orang otoritarian juga sangat patuh terhadap pemimpin atau pihak-pihak lain yang dianggap berwenang atau berkuasa (Altemeyer, 1981).

Dalam eksperimen yang dilakukan oleh Altemeyer, partisipan diminta untuk mematuhi perintah gurunya untuk menyetrum confederate dengan tingkat tegangan listrik yang mereka pilih sendiri (1=tegangan rendah hingga 5=tegangan tinggi). Altemeyer (1981) menemukan bahwa orang- orang dengan skor OSK tinggi bersedia memberikan setruman yang lebih kuat. Eksperimen ini membuktikan bahwa orang-orang otoritarian tinggi merasa lebih nyaman mengikuti aturan baku yang ada daripada menciptakan aturan mereka sendiri.

Otoritarianisme sayap kanan berhubungan dengan sifat-sifat yang menekankan bahaya atau kepatuhan (Duckitt, Wagner, de Plessis, & Birum, 2002). Ide mengenai kepribadian otoritarian muncul tahun 1950an untuk menjawab pertanyaan tentang mengapa ada orang-orang yang mau tunduk dan patuh pada pemimpin yang agresif, sombong dan otoriter, seperti Hitler (Altemeyer, 1998; Whitley & Egisdottir, 2000).

Sejumlah ahli, Adorno, Frenkel Brunswik, Levinson, dan Sanford, yang kemudian dikenal dengan julukan ‘Tim Peneliti Berkeley’, berupaya menjawab pertanyaan tersebut dengan teori psikoanalitik (1950). Altemeyer (1981) menyajikan konsep otoritarianisme yang dibuat dalam buku The Authoritarian Personality yang menyatakan bahwa sikap dan perilaku otoritarian dapat dikaitkan dengan pengalaman masa kecil seseorang dengan orangtuanya (Adorno et al., 1950).

Anak yang sering dihukum orangtuanya karena melanggar aturan-aturan kedisiplinan, akan memendam rasa benci pada orangtuanya. Namun, kebencian tersebut tidak disalurkan secara langsung ke orangtua, sehingga diarahkan ke target pengganti (displacement). Target pengganti tersebut umumnya adalah kelompok minoritas atau kategori sosial lainnya yang dianggap mengalami penurunan nilai moral, seperti kelompok radikal dan homoseksual (Adorno et al., 1950).

‘Tim Peneliti Berkeley’ mengajukan The Fascism (F) Scale yang mengukur sembilan komponen kepribadian otoritarian (Altemeyer, 1981), yaitu:

  1. Conventionalism: ketaatan yang kaku (rigid) pada nilai-nilai yang konvensional.

  2. Authoritarian Submission: kepatuhan atau sikap submisif yang tidak kritis pada pemimpin kelompok yang dihormati.

  3. Authoritarian Aggression: kecenderungan untuk menolak dan menghukum pihak-pihak yang dianggap melanggar norma-norma konvensional.

  4. Anti-Intraception: penolakan terhadap hal-hal yang berhubungan dengan subjektivitas, imajinasi, kebebasan bepikir, dan berperasaan.

  5. Superstition dan Stereotype: superstition adalah kecenderungan untuk mengalihkan pertanggungjawaban atas kejadian sehari-hari, dari diri sendiri kepada kekuatan lain di luar kontrol dirinya, seperti kekuatan mistis. Stereotype adalah kecenderungan untuk berpikir kaku, terlalu menyederhanakan kategori- kategori sosial dalam format hitam dan putih.

  6. Power dan Thougness: penyatuan diri dengan figur yang memiliki kekuatan.
    Hal ini dapat memuaskan baik kebutuhan untuk memiliki kekuatan, maupun kebutuhan untuk tunduk pada kekuatan. Selain itu, terdapat pula penolakan pada kelemahan personal.

  7. Destructiveness dan Cynism: merasionalkan agresi, dan fitnah, serta memandang rendah kelompok-kelompok lain di luar kelompoknya.

  8. Projectivity: kecenderungan untuk percaya bahwa hal-hal yang berbahaya dan liar akan terus terjadi di dunia.

  9. Sex: kekhawatiran berlebihan pada perkembangan seksualitas yang bertentangan dengan seksualitas yang dianggap normal, salah satunya terhadap homoseksualitas.

Kesembilan komponen kepribadian otoritarian tersebut di atas mendapat kritik dari sejumlah pakar. Konsep kepribadian yang diajukan oleh (Adorno et al., 1950) tersebut dianggap terlalu menitikberatkan pada mekanisme pertahanan diri secara tidak sadar (unconscious defense mechanism) yang sulit diuji secara empiris (Duckit, 1989). Altemeyer (1981) juga mengkritik bahwa sebetulnya ada lebih dari sembilan komponen kepribadian, karena superstition dan stereotype merupakan dua hal yang berbeda.

Komponen Otoritarianisme Sayap Kanan


Meskipun banyak dikritik, studi tentang kepribadian otoritarian yang dilakukan oleh Adorno et al. (1950) sangatlah penting untuk memulai studi-studi dengan paradigma baru yang sangat dibutuhkan dari konsep otoritarianisme yang lama. Berangkat dari studi Adorno et al. (1950) inilah, Altemeyer mengembangkan konstruk yang dikenal dengan istilah otoritarianisme sayap kanan (OSK) (Altemeyer, 1996).

Teori Altemeyer (1996) tentang OSK mengambil tiga komponen kepribadian yang pernah diajukan oleh Adorno et al. (1950), yaitu:

  1. Authoritarian Submission, yakni kepatuhan yang kuat pada otoritas (pihak yang berwenang) yang dianggap akan didirikan dan sah dalam kehidupan masyarakat.

  2. Authoritarian Aggression, yakni kekerasan dan kebencian yang diarahkan pada outgroup (berbagai kelompok luar), yang dapat diterima oleh otoritas yang diakui.

  3. Conventionalism, yakni ketaatan yang kuat terhadap norma-norma sosial dan tradisi yang ditentukan dan dianggap harus didukung oleh masyarakat dan otoritas yang telah ditetapkan oleh otoritas yang diakui.

Berdasarkan tiga komponen tersebut, Altemeyer membuat skala psikologis bernama Right-Wing Authoritarianism Scale. Selama lebih dari dua dekade, Altemeyer mengembangkan Right-Wing Authoritarianism Scale menjadi alat yang reliable untuk mengukur otoritarianisme. Skala OSK telah divalidasi di populasi yang berbeda-beda di sejumlah negara di dunia dan terbukti memiliki korelasi yang positif dengan etnosentrisme, religiusitas, heterosexisme, dan konservatisme (Altemeyer, 1996).

Individu yang memiliki ideologi otoritarianisme sayap kanan ingin berinteraksi masyarakat dan sosial yang terstruktur dengan cara meningkatkan kesamaan dan meminimalkan keragaman. Untuk mencapai itu, mereka cenderung mendukung kontrol sosial, pemaksaan, dan penggunaan otoritas kelompok untuk menempatkan kendala pada perilaku orang-orang seperti gay dan lesbian, pembangkang politik, etnis minoritas, imigran, feminis dan ateis.

Hal ini adalah kesediaan untuk mendukung atau mengambil tindakan yang mengarah pada keseragaman sosial meningkat yang membuat OSK lebih dari sekedar ketidaksukaan pribadi untuk perbedaan. OSK ditandai dengan ketaatan kepada otoritas, absolutisme moral, prasangka rasial dan etnis, dan intoleransi dan punitiveness terhadap pembangkang dan penyimpangan.
Terkait dengan cara berpikir (cognitive style), Adorno et al. (1950) menyatakan bahwa orang-orang otoritarian memiliki sistem kognitif yang kaku, dogmatis dan tertutup (close-minded).

Sejumlah penelitian lain tentang authoritarian cognitive style menguatkan pendapat Adorno et al. (1950) tersebut dengan menemukan bahwa orang-orang otoritarian sulit untuk mengolah informasi yang ambigu (Peterson & Lane, Watson et al., 2003).