Apa yang dimaksud dengan Otoritarianisme atau Politik Otoriter ?

Otoritarianisme

Otoritarianisme biasa disebut juga sebagai paham politik otoriter merupakan bentuk pemerintahan yang bercirikan penekanan kekuasaan hanya pada negara atau pribadi tertentu, tanpa melihat derajat kebebasan individu.

Apa yang dimaksud dengan Otoritarianisme atau Politik Otoriter ?

Istilah otoritarianisme atau authoritarian yang berasal dari bahasa Inggris authority, yang sebetulnya merupakan turunan dari kata Latin auctoritas, yang berarti pengaruh, kuasa, wibawa, otoritas. Otoritarianisme adalah paham atau pendirian yang berpegang pada otoritas, kekuasaan dan kewibawaan, yang meliputi cara hidup dan bertindak.

Ototitarianisme, apabila digunakan didalam ilm politik, biasa disebut sebagai Politik Otoriter. Politik Otoriter adalah susunan sistem politik yang lebih memungkinkan negara berperan sangat aktif serta mengambil hampir seluruh inisiatif dalam pembuatan kebijaksanaan negara. Politik otoriter ini ditandai oleh dorongan elite kekuasaan untuk memaksakan persatuan, penghapusan oposisi terbuka, dominasi pimpinan negara untuk menentukan kebijakasanaan negara dan dominasi kekuasaan politik oleh elite politik yang kekal, serta di balik semua itu ada satu doktrin yang membenarkan konsentrasi kekuasaan. Dalam politik otoriter, partai partai tidak dapat menunjukan harkatnya, tetapi lebih banyak menjalankan kehendak penguasa.

Ciri-Ciri Sistem Politik Otoriter

Theodore M. Vestal dari Oklahoma State University, Amerika Serikat, dalam bukunya Ethiopia: A Post-Cold War African State, menuliskan beberapa ciri pemerintahan dengan sistem politik otoriter, yaitu :

  • Infrastruktur dan fasilitas pemerintahan dikendalikan secara terpusat. Kekuatan politik diperoleh dan dipertahankan melalui suatu sistem represif yang menentang segala bentuk tentangan atau yang berpotensi menentang. Partai politik dan organisasi-organisasi masyarakat digunakan sebagai alat untuk memobilisasi masyarakat dalam rangka pemenuhan tujuan pemerintah.

  • Mengikuti prinsip-prinsip berikut:

    • aturan datang dari seseorang, bukan dari hukum;
    • pemilihan umum bersifat kaku (seringkali orang bisa mengetahui siapa pemenangnya, bahkan sebelum pemilu itu berlangsung);
    • semua keputusan politis ditentukan oleh satu pihak dan berlangsung tertutup; dan
    • penggunaan kekuatan politik yang seolah-olah tidak terbatas.
  • Pemimpin dipilih sendiri atau menyatakan diri. Kalaupun ada pemilihan, hak kebebasan masyarakat untuk memilih cenderung tidak diacuhkan.

  • Tidak ada jaminan kebebasan sipil, apalagi toleransi bagi yang ingin menjadi oposisi.

  • Tidak ada kebebasan untuk membentuk suatu kelompok, organisasi, atau partai politik untuk bersaing dengan kekuatan politik yang incumbent.

  • Kestabilan politik dipertahankan melalui:

    • kontrol penuh terhadap dukungan pihak militer untuk mempertahankan keamanan sistem dan kontrol terhadap masyarakat;
    • birokrasi dikuasai oleh orang-orang yang mendukung rezim;
    • kendali terhadap oposisi dari internal negara; dan
    • pemaksaan kepatuhan kepada publik melalui berbagai cara sosialisasi.

Selain ciri-ciri tersebut, ciri paling khas sistem politik otoriter adalah kekuasaan politik yang tidak terbatas atau nyaris tidak terbatas dimiliki oleh si pemimpin atau partai yang berkuasa.

Otoritarianisme
669

  • Kajian tentang otoritarianisme sudah dimulai sekitar menjelang perang dunia kedua dan sesudahnya. Erich Fromm (1960) memahami otoritarianisme sebagai suatu karakter sosial yakni kanalisasi dorongan- dorongan eksistensial untuk menjalin relasi dengan sesama secara tidak produktif. Bentuk ideal relasi antar manusia adalah cinta, sedang otoritarianisme adalah anti- tesisnya, yaitu dominasi-submisi. Orang- orang otoritarian memandang realitas secara sempit sebagai tempat perebutan kekuasaan. Ada yang di atas dan ada yang di bawah, dan tidak ada solidaritas antar manusia (Fromm, 1960).

  • Kehidupan sese- orang ditentukan oleh kekuasaan yang lebih besar dari dirinya sendiri dan cara terbaik untuk hidup adalah tunduk pada kekua- saan yang lebih besar dan menindas pihak yang lebih rendah. Karakter ini akan menguat ketika seseorang merasa tak berdaya mengahadapi perubahan-perubahan sosial. Tema dasar tentang relasi hierarkis dan faktor determinannya, yakni rasa ketidakberdayaan akibat perubahan yang tak mampu ditanggung subjek ini akan terus muncul dalam kajian-kajian otoritarianisme di kemudian hari (Adorno, Frenkel-Brunswick, Levinson, & Sanford, 1950; Altemeyer, 2006; Duckitt, 2009; Feldman, 2003; Jost, Federico & Napier, 2009; Stenner, 2005; 2009) namun dengan pemahaman yang berbeda.

  • Adorno, Frenkel-Brunswick, Levinson, & Sanford (1950) serta Altemeyer (2006) memandang otoritarianisme sebagai salah satu bentuk kepribadian. Mereka mendefinisikan otoritarianisme sebagai kecenderungan kepribadian untuk tunduk dan taat pada otoritas maupun kelompok baik yang termanifestasikan dalam pribadi- pribadi orang yang berkuasa (otoritarian submisif) maupun nilai-nilai normatif (konvensionalisme) serta kecenderungan untuk bersikap dan bertindak agresif terhadap orang atau kelompok orang yang dianggap berbeda dan menentang nilai-nilai masyarakat (otoritarian agresif).

  • Adorno et al. (1950) dengan menggunakan hipotesis psikoanalitik menambahkan beberapa karakter kognitif dan afektif seperti pikiran stereotipe kaku, keyakinan pada gejala- gejala supranatural, sikap membenci kelemah-lembutan dan kemanusiaan, iden- tifikasi diri pada kekuasaan dan gambaran dunia yang berbahaya. Skala F yang disusun oleh Adorno et al (1950) mencakup kepribadian dasar otoritarianisme maupun karakteristik kognitif-afektif tersebut. Altemeyer (2006) menyederhanakan skala F dengan menyusun skala Right Wing Authoritarianism yang mempertahankan tiga karakter inti otoritarianisme (otoritaria- nisme submisif, agresif dan konvensional). Studi-studi tentang otoritarianisme banyak dipakai untuk menjelaskan keterkaitan kepribadian dengan prasangka maupun kebencian (Faturochman, 1993).

  • Studi-studi selanjutnya memandang otoritarianisme sebagai sikap sosial-politik yang dimotivasikan oleh rasa cemas terhadap ancaman dan ketidakpastian. Jost, Federico dan Napier (2009) menekankan soal kebutuhan eksistensial untuk memper- oleh rasa aman serta kebutuhan epistemik untuk memperoleh kepastian, sedang Duckit dan kawan-kawan (Duckitt, 2001; Duckitt dan Sibley, 2010) menekankan soal gambaran dunia yang berbahaya serta disposisi kepribadian konformistik atau ketidakterbukaan pada pengalaman. Kajian- kajian yang dilakukan mereka mengguna- kan alat ukur RWA dari Altemeyer (1998; 2006) sedangkan kajian-kajian yang dilakukan oleh Jost dan kawan-kawan (Jost, Federico, & Napier, 2009; Jost, Glaser, Kruglanski dan Sulloway, 2003; Jost, Nosek dan Gosling, 2008) lebih menekankan polaritas sikap politik kiri-kanan yang ditandai oleh dua polaritas: egalitarianisme- hierarki serta menyambut perubahan versus menolak perubahan.

Otoritarianisme dan Kecenderungan Anti-demokrasi

967

  • Otoritarianisme muncul dan berkembang dalam transisi masyarakat dari feodalisme menuju industri modern. Orang merasa terancam ketika menyaksikan keane- karagaman cara hidup yang tidak dikenal- nya atau bahkan berlawanan dengan cara hidup yang dipelajarinya melalui otoritas- otoritas tradisional sekaligus juga merasa kehilangan perlindungan dari otoritas tra- disonal sebelumnya. Erich Fromm menye- but gejala otoritarianisme sebagai gejala ketakutan akan kebebasan (1960). Otori- tarian mencari perlindungan pada orang- orang kuat atau kelompok ( ingroup ) untuk membebaskan diri dari ancaman epistemik (ketidakpastian) dan eksistensial (ketidakamanan) (Duckitt, 2001; Jost, Federico, & Napier, 2009; Jost, Glaser, Kruglanski dan Sulloway, 2003).

  • Pencarian perlindungan mengarahkan otoritarianisme pada gambaran pemerin- tahan yang bersifat paternalistik. Demokrasi persis berkebalikan dengan pemerintahan semacam itu. Di dalam demokrasi orang bertanggung jawab terhadap keputusannya sendiri dan bersedia menanggung resiko atas ketidakpastian realitas (Gidens, 1999). Predisposisi otoritarian menjauhkan orang dari demokrasi, selain karena tuntutan otonomi dan tanggung jawab yang tak sanggup mereka tanggung, sekaligus juga ketidakmampuan mereka menerima perbe- daan yang ada di dalam masyarakat.

Referensi

Adorno, T. W., Frenkel-Brunswick, E., Levinson, D. J., and Sanford, R. N. (1950). Authoritarian personality . New York: Harper & Row.

Fromm, E. (1960/1942). Fear of freedom . London: Routledge & Kegan Paul LTD

Giddens, A. (1999/1998). Jalan ketiga pembaruan demokrasi sosial ,. Judul asli: The third way the renewal of social democracy. Penterjemah: Ketut Arya Mahardika. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

*Hetherington, M. J., and Suhay, E. (2011). Authoritarianism, threat, and ameri- cans’ support for the war on terror. American Journal of Political Science , (3), pp. 546-560. doi: 10.1111/j. 1540-5907. 2011.00514.x

Duckitt, J. (2009). Authoritarianism and Dogmatism. In M. Leary & R. Hoyle (Eds.), Handbook of Individual Differences in Social Behavior (pp. 298-317). New York: Guilford Press.