Apa yang Dimaksud dengan Otonomi Desa?

Desa

Desa atau yang disebut dengan nama lain telah ada sebelum NKRI terbentuk. Oleh karena itu, keberadaannya wajib dan diberikan jaminan keberlangsungan hidupnya dalam NKRI.

Apa yang Dimaksud dengan Otonomi Desa? Bagaimanakah dengan sistem otonomi desa?

Sejarah pengaturan tentang Desa telah mengalami beberapa kali perubahan sejak Indonesia merdeka sampai dengan sekarang, yaitu pada masa orde lama UU No. 22/1948 tentang Pokok Pemerintahan Daerah, UU No. 1/1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, UU No. 18/1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, dan UU No. 19/1965 tentang Desa Praja sebagai Bentuk Peralihan untuk Mempercepat Terwujudnya Daerah Tingkat III di Seluruh Wilayah RI. Selanjutnya pada masa orde baru dibentuk UU No. 5/1975 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah dan UU No. 5/1979 tentang Pemerintahan Desa. Pada masa reformasi dibentuklah UU No.22/1999 tentang Pemerintahan Daerah, UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, dan UU No.6/2014 tentang Desa, serta terakhir UU No. 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah. Namun, dalam pelaksanaannya pengaturan tentang desa belumlah mewadahi apa yang menjadi kepentingan dan kebutuhan masyarakat desa. Barulah melalui UU No.6/2014 kepentingan desa mulai diakomodasi.

Terbitnya UU No.6/2014 tentang desa merupakan upaya untuk menghidupkan kembali peran penting desa dalam proses pembangunan nasional. Sebagaimana yang diketahui bahwa pasca reformasi UU No.22/1999 dan UU No.32/2004 tentang Pemerintahan Daerah dinilai belum memiliki semangat untuk menampilkan desa sebagai salah satu komponen penting dalam proses pembangunan nasional. Dalam perspektif UU No. 22/1999, kebijakan mengenai desa tidak cukup memberikan ruang bagi desa untuk berkreasi dalam skema kewenangan yang lebih luas. Sejak konstitusi sampai dengan UU No.22/1999, kesemuanya lebih mengedepankan ruang desentralisasi bagi pemerintah daerah kabupaten/kota. Pasal 18 ayat (1) UUD NRI 1945 justru menyatakan bahwa yang memiliki pemerintah desa adalah provinsi, kabupaten dan kota. Pasal 1 huruf o UU No. 22/1999 melihat kewenangan mengatur dan mengurus desa ditempatkan dalam format kewenangan daerah otonom, sebagaimana yang ditegaskan dalam UU No. 22/1999 pasal 99.

Secara normatif dapat dikatakan bahwa otonomi desa hanya merupakan pelengkap dari otonomi daerah. Explanatory factor terhadap otonomi desa justru dapat dielaborasi berdasarkan UU tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan. Pasal 7 ayat (2) UU No.22/1999 mengatur bahwa peraturan desa/peraturan yang setingkat dibuat oleh BPD atau dengan nama lain kepala desa atau dengan nama lainnya. Ini dikelompokkan ke dalam jenis perda yang diakui secara tegas sebagai skema hierarki peraturan perundang-undangan RI. Hal ini merupakan kelanjutan dari Keputusan Mendagri No. 126/2003 tentang Bentuk-Bentuk Produk Hukum di Lingkungan Pemerintah Desa meliputi:

  • Peraturan desa,

  • Keputusan kepala desa,

  • Keputusan bersama,

  • Instruksi kepala desa.

Dengan demikian ada kepastian hokum bagi peraturan desa yang menegaskan pengakuan terhadap ‘otonomi desa’, meskipun dalam batasbatas kewenangan pengaturan yang digariskan oleh perda kabupaten/kota.

Selanjutnya dalam perspektif UU No.32/2004 pasal 200 ayat (1), pemerintahan desa dibentuk dalam lingkup pemda kabupaten/ kota. Pemerintahan desa terdiri dari pemerintah desa dan BPD (Badan Permusyawaratan Desa). Pembentukan, penghapusan, dan penggabungan desa, dilakukan dengan memperhatikan asal-usul atau prakarsa masyarakat. Desa di kabupaten/kota secara bertahap dapat diubah statusnya menjadi kelurahan atas usul dan prakarsa pemerintah desa dan BPD yang ditetapkan dengan perda (peraturan daerah). Pemerintah desa terdiri dari kepala desa dan perangkat desa. Perangkat desa terdiri dari sekretaris desa dan perangkat desa lainnya. Sekretaris desa diisi oleh PNS yang memenuhi syarat.

Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan desa yakni:

  • Urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul desa

  • Urusan pemerintahan yang menjadi kewajiban kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya ke desa;

  • Tugas pembantuan dari pemerintah, pemerintah provinsi, dan/atau kabupaten/kota yang disertai pembiayaan, sarana, prasarana, dan SDM;

  • Urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundang-undangan diserahkan ke desa. Apabila kita melihat urusan kewenangan, tampak bahwa pemerintah desa mengalami proses penunggangan kepentingan pemerintahan di atasnya. Demikian halnya dengan BPD yang menjadikan proses demokrasi di tingkat desa menjadi terancam.

Ini menunjukkan bahwa UU No.32/2004 sebagai bagian dari proses penyeragaman bentuk pemerintahan di daerah. Kondisi pemerintahan demikian menjadi bagian dari proses sejarah yang tidak dapat dielakkan. Sebagai contoh, sistem pemerintahan nagari di Sumatera Barat kurang mempunyai landasan pijakan yang sah bila mengacu pada UU ini. Desa tidak lagi mempunyai otonomi. Sementara UU No.22/1999 pasal 95 ayat (1) menyatakan bahwa pemerintah desa terdiri atas kepala desa atau yang disebut juga dengan nama lain, yaitu perangkat desa. Sedangkan UU No.32/2004 menyatakan pemerintah desa terdiri atas kepala desa dan perangkat desa. Tidak ada klausul tentang atau yang disebut dengan nama lain. Ini artinya terjadi pola penyeragaman sebutan kepala desa. Secara formal tidak ada lagi wali nagari di Sumatera Barat, hukum tua di Minahasa, opo lao di Sangihe dan Talaud, sangadi di Bolaang Mongondow, atau ayahanda di Gorontalo. Semua diseragamkan dengan satu nama ‘kepala desa’. Ini merupakan sebagian warna yang dibawa oleh UU No. 32/2004.

Saat ini jumlah desa yang ada di Indonesia sudah mencapai 74.000 (tujuh puluh empat ribu). Dengan demikian pelaksanaan pengaturan desa yang selama ini berlaku sampai dengan UU No.32/2004 sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman, terutama dalam hal masyarakat hukum adat, keberagaman, demokratisasi, partisipasi masyarakat, dan pemerataan pembangunan sehingga terjadi gap yang tinggi antarwilayah, kemiskinan, sosial budaya, dan lingkungan yang dapat mengancam keutuhan NKRI. Oleh karena itu, perlu ada suatu gerakan pembaharuan desa untuk meredam semua itu, khususnya dalam memahami otonomi desa.

UU No.6/2014 memberikan ruang gerak yang luas untuk mengatur perencanaan pembangunan atas dasar kebutuhan prioritas masyarakat desa tanpa terbebani oleh program-program kerja dari berbagai instansi pemerintah yang selanjutnya disebut ‘otonomi desa’. Otonomi desa merupakan otonomi yang asli, bulat dan utuh serta bukan merupakan pemberian dari pemerintah. Sebaliknya pemerintah berkewajiban menghormati otonomi asli yang dimiliki oleh desa tersebut.

Ada 4 (empat) hal penting untuk memahami tentang otonomi desa, yaitu:

  • Cara pandang legal formal yang merujuk pada diktum-diktum yang tertuang dalam UU bahwa “desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri”. Di sini desa sebagai subyek hukum yang berhak dan berwenang membuat tindakan hukum, membuat peraturan yang mengikat, menguasai tanah, membuat surat-surat resmi, berhubungan dengan pengadilan, menyelenggarakan kerjasama, dan lain-lain. Namun, desa sebagai daerah otonom tidak bisa hanya dilihat sebagai subyek hukum, tetapi juga menjadi bagian dan implikasi dari desentralisasi sehingga tidak bisa hanya dilihat dari sisi hukum tetapi juga dari sisi hubungan desa dengan negara. Oleh karena itu, desa juga berhak memperoleh pembagian kewenangan tidak hanya dari sisi pengelolaan pemerintahan, tetapi juga pengelolaan keuangannya.

  • Desa dapat dikatakan otonom apabila mendapat pengakuan dari negara atas eksistensinya beserta hak asal-usul dan adat istiadatnya. Di sini negara tidak hanya mengakui eksistensinya, tetapi juga melindungi sekaligus memberikan pembagian kekuasaan, kewenangan dalam pengelolaan pemerintahan dan keuangan.

  • Dengan menggabungkan fungsi self governing community (kesatuan masyarakat hukum) dengan local self government diperlukan penataan kesatuan masyarakat hukum adat yang merupakan bagian dari wilayah desa menjadi desa dan desa adat. Adapun fungsi dan tugas keduanya hampir sama, namun berbeda dalam pelaksanaan hak asal usul, utamanya yang berkaitan dengan pelestarian sosial, pengaturan wilayah, ketentraman dan ketertiban masyarakat hukum adat, serta pengaturan pelaksanaannya atas dasar susunan asli. Keberadaan desa dan desa adat mendapat perlakuan yang sama dari Pemerintah dan Pemda (Pemerintah Daerah). Oleh karena itu, akan ada pengaturan tersendiri mengenai hal tersebut yang diatur dalam UU No.6/2014. Keempat, melalui UU No.6/2014 diberikan ruang gerak yang luas untuk mengatur perencanaan pembangunan atas dasar kebutuhan prioritas masyarakat desa tanpa terbebani oleh program-program kerja dari berbagai instansi pemerintah yang selanjutnya disebut ‘otonomi desa’ sebagai otonomi yang asli, bulat dan utuh serta bukan merupakan pemberian dari pemerintah.

Demi memperkuat otonomi desa, pemerintah kabupaten/kota perlu mengupayakan beberapa kebijakan. Pertama, memberi akses dan kesempatan kepada desa untuk menggali potensi SDA (Sumber Daya Alam) untuk dimanfaatkan sebagai sumber pendapatan desa dengan tetap memperhatikan ekologi untuk pembangunan berkelanjutan. Kedua, memberikan bantuan kepada desa berdasar peraturan perundangan yang berlaku. Ketiga, memfasilitasi upaya capacity building tidak hanya bagi aparatur desa, tetapi juga bagi komponen-komponen masyarakat melalui korbinwas (koordinasi, bimbingan dan pengawasan).

Ketiga hal di atas menjadi penting mengingat meskipun desa diberikan otonomi dalam mengurus rumah tangganya sendiri, pelaksanaan otonomi tersebut tidak akan berhasil tanpa adanya sumber pendapatan. Beberapa hal yang menyebabkan desa membutuhkan sumber pendapatan yakni;

  • Desa memiliki APBDes (Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa) yang kecil di mana sumber pendapatannya sangat bergantung pada bantuan yang juga kecil.

  • PADes (Pendapatan Asli Desa) juga masih rendah karena kemampuan SDM desa yang masih rendah dalam mengelola SDA sehingga kesejahteraan masyarakat desa juga rendah.

  • Dana operasional untuk pelayanan publik juga rendah.

  • Program-program yang dijalankan di desa bersifat top down sehingga tidak sesuai dengan apa yang menjadi prioritas kebutuhan masyarakat desa.

Sehubungan dengan permasalahan tersebut pemerintah memberikan dukungan dalam bentuk dana perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, dimana minimal 10% (sepuluh persen) dari dana perimbangan yang diterima kabupaten/kota dikurangi DAK diperuntukkan bagi desa. Ini kemudian dikenal dengan ADD (Alokasi Dana Desa). Tujuan pemberian ADD untuk menstimulasi pemerintah desa melaksanakan program-program kegiatannya dengan melibatkan masyarakat.

Pemerintah desa merupakan subsistem dari sistem penyelenggaraan pemerintahan daerah sehingga desa memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya dalam kerangka otonomi desa itu sendiri. Sebelum kita melangkah lebih lanjut mengenai otonomi desa ini, alangkah baiknya kita mengetahui terlebih dahulu arti dari kedua kata tersebut yaitu otonomi dan desa.

Otonomi merupakan asal kata dari otonom secara bahasa adalah berdiri sendiri atau dengan pemerintahan sendiri. Biasanya istilah otonomi selalu dikaitkan dengan otonomi daerah yang menurut Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Otonomi Daerah Pasal 1 ayat 5 diartikan sebagai hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Kompleksitas pedesaan sesungguhnya nyaris sama dengan persoalan dalam sebuah Negara. Hal ini dikarenakan apabila kita menengok ke belakang, desa merupakan cikal bakal dari terbentuknya suatu masyarakat politik dan pemerintahan yang ada di Indonesia jauh sebelum bangsa ini berdiri. Adanya struktur sosial sejenis desa, masyarakat adat dan lain sebagainya telah menjadi institusi sosial yang mempunyai kedudukan yang teramat penting.

Desa merupakan bagian dari institusi yang otonom dengan di dalamnya terdapat berbagai tradisi, adat istiadat dan hukum dari masyarakat yang ada dan bersifat relatif mandiri. Dikatakan institusi yang otonom di atas diartikan sebagai institusi yang berhak mengatur atau memerintah dirinya sendiri sesuai dengan aspirasi dari masyarakat yang ada di dalamnya. Pernyataan di atas tersebut diindikasikan dengan adanya tingkat keragaman yang tinggi membuat desa mungkin merupakan wujud dari bangsa yang paling kongkrit dan nyata.

Seiring dengan berkembangnya kehidupan bernegara yang menuju kearah munculnya Negara modern, memunculkan suatu fenomena yang cukup memprihatinkan yaitu adanya penurunan kemandirian dan kemampuan masyarakat desa. Adanya situasi yang seperti ini merupakan cermin dari pemerintahan terdahulu yaitu pencerminan pemerintahan Orde Baru yang menggunakan sistem sentralisasi, birokratisasi dan adanya penyeragaman pemerintahan desa, tanpa ada perhatian dan terkesan tak menghiraukan adanya kemajemukan masyarakat adat dan pemerintahan asli desa.

Hal tersebut di atas dapat terbukti dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 yang bersifat adanya penyeragaman desa secara nasional. Imbas dari semangat undang-undang tersebut dapat dilihat dari hampir semua kebijakan yang diterbitkan oleh pemerintah pusat yang berkaitan dengan desa bersifat sentralistik dan penyeragaman desa. Sehingga mengakibatkan terus berkurangnya kemandirian dan kemampuan masyarakat desa. Akibat dari otonomi desa adalah kemunculan desa yang otonom.

Dalam hal ini akan berakibat terbukanya ruang gerak yang luas bagi desa untuk dapat merencanakan pembangunan desa yang merupakan kebutuhan nyata dari masyarakat dan tidak selalu terbebani oleh berbagai program kerja yang berasal dari berbagai instansi dan pemerintah.

Dengan adanya perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 maka Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 2001 Tentang Pedoman Umum Pengaturan Mengenai Desa harus disesuaikan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.

Penyesuaian tersebut terlihat pada diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 Tentang Desa sebagai pengganti Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 2001 Tentang Pedoman Umum Pengaturan Mengenai Desa.4 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 Tentang Desa merupakan peraturan pelaksana dari Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Otonomi Daerah.

Dengan adanya Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 Tentang Desa mengakibatkan adanya otonomi yang dimiliki oleh desa dan kepada desa dapat diberikan penugasan ataupun pendelegasian dari pemerintah ataupun pemerintah daerah untuk melaksanakan urusan pemerintah tertentu.

Sedang terhadap desa di luar desa geneologis yaitu desa yang bersifat administratif seperti desa yang dibentuk karena pemekaran desa atau karena transmigrasi ataupun karena alasan lain yang warganya pluralistis, majemuk ataupun heterogen, maka otonomi desa yang merupakan hak, wewenang, dan kewajiban untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat berdasarkan hak asal-usul dan nilai-nilai sosial budaya yang ada pada masyarakat setempat diberikan kesempatan untuk tumbuh dan berkembang mengikuti perkembangan desa itu sendiri.

Dengan demikian urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Desa mencakup urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul Desa, urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Kabupaten atau Kota yang diserahkan pengaturannya kepada Desa, tugas pembantuan dari Pemerintah dan Pemerintah Daerah, urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundang-undangan yang diserahkan kepada Desa.

Istilah desa berasal dari bahasa India swadesi yang berarti tempat asal, tempat tinggal, negeri asal atau tanah leluhur yang merajuk pada suatu kesatuan hidup dengan kesatuan norma serta memiliki batas yang jelas. Istilah desa dan pedesaan sering dikaitkan dengan pengertian rural dan village yang dibandingkan dengan kota dan perkotaan. Beberapa para ahli atau pakar mengemukakan pendapatnya dari tinjauannya masing-masing.

Menurut Zakaria dalam Wahjudin Sumpeno dalam Candra Kusuma menyatakan bahwa desa adalah sekumpulan yang hidup bersama atau suatu wilayah, yang memiliki suatu serangkaian peraturan-peraturan yang ditetapkan sendiri, serta berada di wilayah pimpinan yang dipilih dan ditetapkan sendiri.

Menurut R.Bintarto yang memandang desa dari aspek geografis mendifinisikan desa sebagai “suatu hasil perwujudan antara kegiatan sekelompok orang manusia dengan lingkungannya. Hasil dari perpaduan itu ialah satu wujud atau penampakan dimuka bumi yang ditimbulkan oleh unsur-unsur fisiografi, sosial ekonomi, politisi, dan kultural yang saling berinteraksi antar unsur tersebut dan juga dalam hubungannya dengan daerah lain.”

Otonomi Desa


Pelaksanaan desentralisasi akan memebawa efektivitas dalam pemerintahan dan pembangunan, sebab wilayah negara itu pada umumnya terdiri dari berbagai satuan daerah yang masing-masing memiliki sifat khusus seperti keadaan tanah, iklim, flora, fauna, adat istiadat, kehidupan ekonomi, dialek bahasa, tingkat pendidikan dan lainnya.

Otonomi desa dalam UU RI Nomor 22 Tahun 1999 sebagai daerah yang bersifat istimewa dan mandiri, memiliki identitas sendiri. Desa bukan merupakan unsur pelaksana administratif kabupaten dan kecamatan. Penyelenggara pemerintah desa dijelaskan merupakan subsistem penyelenggaraan pemerintah, sehingga desa memiliki kewenangan untuk mengatur kepentingan masyarakatnya. Gagasan otonomi desa berpijak pada semangat good governance dengan berpedoman pada efesiensi, efektivitas, transparansi, akuntabilitas dan pemerintahan. Pada sisi mekanisme pendanaan pemerintah desa, proses yang dikerjakan adalah bagaimana desa mengelola aset sumber daya alam secara bijaksana dan berkelanjutan.

Prinsip utama otonomi desa adalah kewenangan membuat keputusan sendiri melalui semangat keswadayaan yang telah lama dimiliki oleh desa, dalam satu kesatuan wilayah pedesaan. Selayaknya desa dipercaya untuk mengurus dirinya dalam unit wilayah kelola desa melalui aturan yang dibuat secara mandiri. Ciri paling kuat pemerintah desa tradisional di Indonesia adalah adanya peranan dana swadaya dan gotong-royong. Dua ciri tersebut merupakan modal sosial yang jauh lebih penting dan potensial ketimbang modal keuangan. Modal sosial sebagai potensi kemandirian dan sumberdaya alam sebagai sumber pendapatan merupakan landasan berkembangnya ekonomi rakyat dan kemandirian desa guna mencapai otonomi. Mengkerucutnya kebijakan otonomidaerah menuju desa seharusnya diikuti dengan pengembangan ekonomi rakyat dan pengelolaan sumberdaya alam berkelanjutan untuk mencukupi pendapatan asli desa. hal ini merupakan kewajiban untuk meyakinkan pemerintah agar memberi otonomi murni agar desa dapat mengurus dirinya sendiri. Sebagai bukti keberhasilan praktik pengelolaan sumber daya hutan memberi bukti otonomi desa dapat di proses melalui kehandalan sosial dan peningkatan ekonomi rumah tangga.