Apa yang dimaksud dengan Objektifikasi atau Objectification theory?

Objektifikasi

Objektifikasi adalah memperlakukan seseorang layaknya barang tanpa mempertimbangkan martabat mereka.

Menurut filsuf Martha Nussbaum, seseorang mengalami objektifikasi jika mereka diperlakukan:

  • seperti alat untuk keperluan orang lain (instrumentalitas);
  • seolah-olah tidak ada keagenan atau penentuan nasib (penolakan otonomi, kemalasan);
  • seolah-olah dimiliki orang lain (kepemilikan);
  • seolah-olah bisa ditukarkan (fungibilitas);
  • seolah-olah boleh dirusak atau dihancurkan (violabilitas);
  • seolah-olah tidak perlu memedulikan perasaan dan pengalaman mereka (penolakan subjektivitas).

Apa yang dimaksud dengan Objektifikasi atau Objectification theory ?

Teori Objektifikasi mendalilkan, perempuan menginternalisasikan pesan yang diobjektifikasi dan memperlakukan diri mereka sebagai objek untuk dilihat dan dievaluasi berdasarkan atribut semu (bukan atribut berbasis kompetensi). Teori objektifikasi bertitik tolak pada praktek-praktek budaya yang mengungkapkan perempuan secara seksual, yang menyebar dalam masyarakat kebarat-baratan dan membuat beberapa peluang bagi tubuh perempuan untuk dipamerkan di depan publik. Sebagian besar penelitian mencatat, perempuan menjadi sasaran untuk diperlakukan secara seksual dalam kehidupan sehari-harinya melebihi laki-laki (Fredrickson & Roberts,1997; Moradi & Huang, 2008; Bartky, 1990).

Teori objektifikasi mengartikulasikan berbagai cara di mana objektifikasi seksual dapat terwujud dalam kehidupan sehari-hari. Objektifikasi seksual mengacu kepada fragmentasi wanita sebagai bagian dari sesuatu yang bersifat atau yang berfungsi seksual, sehingga wanita hanya dipandang dari sisi fisiknya, terpisah dari kepribadiannya. Objektifikasi seksual ini tentu saja terjadi di luar kontrol pribadi wanita.

Although the media has played an important role in highlighting women’s issues, it has also had negative impact, in terms of perpetrating violence against women through pornography and images of women as a female body that can be bought and sold .” (Sharma, 2012)

Objektifikasi seksual pada iklan dianggap sebagai pengungkapan seksual ketika mediumaudio visual ini menyoroti tubuh atau bagian tubuh perempuan, terutama ketika menggambarkan mereka sebagai sasaran dari tatapan laki-laki. Objektifikasi seksual pada iklan sering menggambarkan perempuan secara erotis atau ditujukan untuk membangkitkan gairah seks yang dikendalikan atau dikondisikan oleh kaum laki-laki.

Dalam tulisannya (McKay, 2013) menjelaskan bahwa objektifikasi diri itu mengacu pada proses dimana perempuan datang untuk menginternalisasi dan menerima keyakinan yang dibuat oleh masyarakat. Ia juga menjelaskan bahwa peran gender yang dibentuk oleh norma social serta penglihatan laki-laki menjadi sumber utama dari objektifikasi terhadap perempuan yang kemudian membuat perempuan melakukan objektifikasi pada dirinya sendiri.

McKay juga menyadari bahwa adanya faktor pendorong objektifikasi diri adalah dari pengalaman perempuan mengenai objektifikasi seksual baik secara personal maupun media, serta budaya patriarki yang membuat objektifikasi itu dianggap wajar. Dalam hal ini media juga sangat berpengaruh dalam standarisasi mengenai tubuh. Tidak hanya mempengaruhi perempuan namun media juga mempengaruhi masyarakat sekitar terkhusus orangtua, teman sebaya juga antar individu. Alat yang menyalurkan konsep tubuh ideal adalah majalah, televisi dan film (McKay, 2013).

Faktor yang lainnya adalah hubungan yang romantis, dimana tidak jarang pasangan menjadi salah satu pelaku dari objektifikasi tubuh perempuan. Objektifikasi dari perempuan berbanding lurus dengan objektifikasi diri yang dilakukan oleh perempuan. Media menjadi hal yang terkait dalam objektifikasi ini, karena pelaku yang merupakan pasangannya tersebut ter-edukasi oleh media kemudian membandingkan pasangannya dengan gambaran yang diberikan oleh media (McKay, 2013).

Faktor selanjutnya adalah masyarakat, disini masyarakat menjadi faktor yang ikut berkontribusi dalam objektifikasi diri perempuan. Masyarakat menilai bahwa perempuan harus memiliki bentuk tubuh ideal, misalnya seperti anak perempuan diberi mainan makeup dan boneka barbie. Secara tidak langsung mainan ini memberikan pesan bahwa perempuan disini dapat menilai dirinya sendiri. Pesan yang terkandung ini dibawa oleh semua orang yang ada disekitar anak, baik dalam lingkungan keluarga maupun lingkungan luar keluarga.

Adapun konsekuensi dalam objektifikasi diri perempuan. Hal ini berupa depresi, rasa malu terhadap tubuh serta pola makan yang tidak tepat. McKay juga menjelaskan bahwa objektifikasi diri merupakan sesuatu yang pasti dialami oleh semua perempuan. Hal ini dapat dilihat dari lingkungan perempuan, media yang mengirimkan pesan-pesan mengobjektifikasi diri perempuan.