Apa yang dimaksud dengan Nyeri?

Nyeri adalah sebuah sensasi tidak menyenangkan yang terjadi bila kita mengalami cedera atau kerusakan pada tubuh kita. Nyeri dapat terasa sakit, panas, gemetar, kesemutan seperti terbakar, tertusuk, atau ditikam.

Apa yang dimaksud dengan Nyeri ?

Nyeri adalah pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan akibat kerusakan jaringan, baik aktual maupun potensial yang digambarkan dalam bentuk urusan tersebut. Definisi nyeri tersebut menjelaskan konsep bahwa nyeri adalah produk kerusakan struktural, bukan saja respon sensorik daei suatu proses nosisepsi, harus dipercaya seperti yang dinyatakan pendertita, tetapi juga merupakan respon emosional yang disadari atas pengalaman termasuk pengalaman nyeri sebelumnya. - International Association for the Study of Pain (IASP)

Persepsi nyeri menjadi sangat subjektif tergantung kondisi emosi dan pengalaman emosional sebelumnya. Toleransi terhadap nyeri meningkat bersama pengertian, simpati, persaudaraan, alih pengertian, pemberiian analgesi, ansiolitik, antidepresan, dan pengurangan gejala. Sedangkan toleransi menurun pada keadaan marah, cemas, kebosanan, kelelahan, depresi, penolakan sosial, isolasi mental, dan keadaan yang tidak menyenangkan. Plastisitas saraf sentral maupun perifer menjadi dasar pengetahuan nyeri patologik atau yang diidentikan sebagai nyeri kronik. Nyeri pasca operasi memicu respon stress yaitu respon neuro endokrin yang berpengaruh pada mortalitas dan berbagai morbiditas pascaoperasi. Nyeri operasi bersifat self limiting (tidak lebih dari 7 hari).

Nyeri hebat memicu kejadian nyeri kronik di kemudian hari, penyebab penting respon stress dan alasan humanitas maka nyeri operasi harus ditanggulangi berbeda dengan nyeri kronik berdasarkan three step analgetic ladder WHO. Nyeri operasi umumnya berlangsung 24 jam.

Prinsip terapi nyeri akut adalah descending the ladder.

image
Gambar Three Step Analgetic Ladder

Besarnya persepsi nyeri dan sensasi lain bergantung pada stimulasi dari reseptor perifer yang diikuti dengan transmisi impuls oleh saraf sensorik melalui medula spinalis dan otak, kemudian menuju thalamus dan korteks. Persepsi nyeri dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya aktivitas saraf dan perubahan intensitas stimulus. Sebagai contoh pada tangan yang di rendam pada air hangat, respon nyeri akan dipersepsikan dalam jangka waktu yang lebih lama jika dibandingkan dengan memasukkan tangan secara langsung pada air panas. Hal ini merefleksikan besarnya frekuensi impuls yang melalui saraf sensorik.

Patofisiologi Nyeri

Tahap terjadinya nyeri adalah sebagai berikut :

  1. Transduksi

    Proses inflamasi akan menyebabkan teraktifasinya reseptor nyeri akibat proses kimiawi. Sensitisasi perifer dapat mengakibatkan keadaan meningkatnya ambang nyeri pada seseorang. Apabila pada rangsangan yang lemah terasa nyeri maka keadaan ini disebut dengan Allodinia. Sedangkan apabila pada rangsangan yang kuat terasa sangat nyeri, maka disebut dengan hiperalgesia. Proses transduksi dihambat oleh obat non steroid anti inflamasi.

  2. Transmisi

    Proses penyaluran impuls saraf sensorik dilakukan oleh serabut A delta bermielin dan serabut C tak bermielin. Impuls ini akan dilanjutkan menuju traktus spinothalamikus, sebelum akhirnya disalurkan menuju area somatik primer di korteks serebri. Proses transmisi dapat dihambat oleh anestetik lokal di perifer maupun sentral.

  3. Modulasi

    Pada tahap ini impuls akan mengalami fase penyaringan intensitas di medula spinalis sebelum dilanjutkan ke korteks serebri. Modulator penghambat nyeri di medula spinalis terdiri dari analgetik endogen seperti endorfin, sistem inhibisi sentral seretonin dan noradrenalin, dan aktifitas serabut A beta.

  4. Persepsi

    Proses ini merupakan tahap akhir dari semua proses yang sudah disebutkan diatas. Pada tahap ini akan dihasilkan suatu persepsi nyeri secara subjektif.


Gambar Jalur Modulasi Nyeri.

Menurut International Association for Study of Pain (IASP), nyeri adalah sensasi subyektif dan emosional yang tidak menyenangkan yang didapat terkait dengan kerusakan jaringan aktual maupun potensial, atau menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan.

Menurut Oxford Concise Medical Dictionary, nyeri adalah sensasi tidak menyenangkan yang bervariasi dari nyeri yang ringan hingga ke nyeri yang berat. Nyeri ini adalah respons terhadap impuls dari nervus perifer dari jaringan yang rusak atau berpotensi rusak.

Nyeri merupakan alarm potensi kerusakan, tidak adanya sistem ini akan menimbulkan kerusakan yang lebih luas. Gejala dan tanda timbul pada jaringan normal terpapar stimuli yang kuat biasanya merefleksi intensitas, lokasi dan durasi dari stimuli tersebut. Tiga jenis stimuli yang dapat merangsang reseptor nyeri yaitu mekanis, suhu, dan kimiawi. Nyeri dapat merupakan predictor prognosis, makin berat nyeri maka akan lebih besar kerusakan jaringan.

Patofisiologi nyeri


Nyeri tidaklah selalu berhubungan dengan derajat kerusakan jaringan yang dijumpai. Namun nyeri dapat dipengaruhi oleh genetik, latar belakang kultural, umur dan jenis kelamin. Kegagalan dalam menilai faktor kompleks nyeri dan hanya bergantung pada pemeriksaan fisik sepenuhnya serta tes laboratorium mengarahkan kita pada kesalahpahaman dan terapi yang tidak adekuat terhadap nyeri, terutama pada pasien-pasien dengan resiko tinggi seperti orang tua, anak-anak dan pasien dengan gangguan komunikas.

Setiap pasien yang mengalami trauma berat (tekanan, suhu, kimia) atau pasca pembedahan harus dilakukan penanganan nyeri yang sempurna, karena dampak dari nyeri itu sendiri akan menimbulkan respon stres metabolik (MSR) yang akan mempengaruhi semua sistem tubuh dan memperberat kondisi pasiennya. Hal ini akan merugikan pasien akibat timbulnya perubahan fisiologi dan psikologi pasien itu sendiri, seperti

  • Perubahan kognitif (sentral) : kecemasan, ketakutan, gangguan tidur dan putus asa

  • Perubahan neurohumoral : hiperalgesia perifer, peningkatan kepekaan luka

  • Plastisitas neural (kornudorsalis) : transmisi nosiseptif yang difasilitasi sehingga meningkatkan kepekaan nyeri.

  • Aktivasi simpatoadrenal : pelepasan renin, angiotensin, hipertensi, takikard

  • Perubahan neuroendokrin : peningkatan kortisol, hiperglikemi, katabolisme

Nyeri pembedahan sedikitnya mengalami dua perubahan, pertama akibat pembedahan itu sendiri yang menyebabkan rangsangan ujung saraf bebas dan yang kedua setelah proses pembedahan terjadi respon inflamasi pada daerah sekitar operasi, dimana terjadi pelepasan zat-zat kimia (prostaglandin, histamin, serotonin, bradikinin, substansi P dan lekotrein) oleh jaringan yang rusak dan sel- sel inflamasi. Zat-zat kimia yang dilepaskan inilah yang berperan pada proses transduksi dari nyeri.

Mekanisme nyeri

Nyeri merupakan suatu bentuk peringatan akan adanya bahaya kerusakan jaringan. Pengalaman sensoris pada nyeri akut disebabkan oleh stimulus noksius yang diperantarai oleh sistem sensorik nosiseptif. Sistem ini berjalan mulai dari perifer melalui medulla spinalis, batang otak, thalamus dan korteks serebri. Apabila telah terjadi kerusakan jaringan, maka sistem nosiseptif akan bergeser fungsinya dari fungsi protektif menjadi fungsi yang membantu perbaikan jaringan yang rusak.

Nyeri inflamasi merupakan salah satu bentuk untuk mempercepat perbaikan kerusakan jaringan. Sensitifitas akan meningkat, sehingga stimulus non noksius atau noksius ringan yang mengenai bagian yang meradang akan menyebabkan nyeri. Nyeri inflamasi akan menurunkan derajat kerusakan dan menghilangkan respon inflamasi.

1. Sensitisasi perifer

Cidera atau inflamasi jaringan akan menyebabkan munculnya perubahan lingkungan kimiawi pada akhir nosiseptor. Sel yang rusak akan melepaskan komponen intraselulernya seperti adenosine trifosfat, ion K+, pH menurun, sel inflamasi akan menghasilkan sitokin, chemokine dan growth factor.

Beberapa komponen diatas akan langsung merangsang nosiseptor (nociceptor activators) dan komponen lainnya akan menyebabkan nosiseptor menjadi lebih hipersensitif terhadap rangsangan berikutnya (nociceptor sensitizers).

Komponen sensitisasi, misalnya prostaglandin E2 akan mereduksi ambang aktivasi nosiseptor dan meningkatkan kepekaan ujung saraf dengan cara berikatan pada reseptor spesifik di nosiseptor. Berbagai komponen yang menyebabkan sensitisasi akan muncul secara bersamaan, penghambatan hanya pada salah satu substansi kimia tersebut tidak akan menghilangkan sensitisasi perifer. Sensitisasi perifer akan menurunkan ambang rangsang dan berperan dalam meningkatkan sensitifitas nyeri di tempat cedera atau inflamasi.

Mekanisme sensitisasi perifer
Gambar Mekanisme sensitisasi perifer

2. Sensitisasi sentral

Sama halnya dengan sistem nosiseptor perifer, maka transmisi nosiseptor di sentral juga dapat mengalami sensitisasi. Sensitisasi sentral dan perifer bertanggung jawab terhadap munculnya hipersensitivitas nyeri setelah cidera. Sensitisasi sentral memfasilitasi dan memperkuat transfer sipnatik dari nosiseptor ke neuron kornu dorsalis. Pada awalnya proses ini dipacu oleh input nosiseptor ke medulla spinalis (activity dependent), kemudian terjadi perubahan molekuler neuron (transcription dependent).

Sensitisasi sentral dan perifer merupakan contoh plastisitas sistem saraf, dimana terjadi perubahan fungsi sebagai respon perubahan input (kerusakan jaringan). Dalam beberapa detik setelah kerusakan jaringan yang hebat akan terjadi aliran sensoris yang masif kedalam medulla spinalis, ini akan menyebabkan jaringan saraf didalam medulla spinalis menjadi hiperesponsif. Reaksi ini akan menyebabkan munculnya rangsangan nyeri akibat stimulus non noksius dan pada daerah yang jauh dari jaringan cedera juga akan menjadi lebih sensitif terhadap rangsangan nyeri.

Mekanisme sensitisasi central
Gambar Mekanisme sensitisasi central

Nosiseptor (Reseptor nyeri)


Nosiseptor adalah reseptor ujung saraf bebas yang ada di kulit, otot, persendian, viseral dan vaskular. Nosiseptor-nosiseptor ini bertanggung jawab terhadap kehadiran stimulus noksius yang berasal dari kimia, suhu (panas, dingin), atau perubahan mekanikal. Pada jaringan normal, nosiseptor tidak aktif sampai adanya stimulus yang memiliki energi yang cukup untuk melampaui ambang batas stimulus (resting). Nosiseptor mencegah perambatan sinyal acak (skrining fungsi) ke SSP untuk interpretasi nyeri.

Saraf nosiseptor bersinap di dorsal horn dari spinal cord dengan lokal interneuron dan saraf projeksi yang membawa informasi nosiseptif ke pusat yang lebih tinggi pada batang otak dan thalamus. Berbeda dengan reseptor sensorik lainnya, reseptor nyeri tidak bisa beradaptasi. Kegagalan reseptor nyeri beradaptasi adalah untuk proteksi karena hal tersebut bisa menyebabkan individu untuk tetap awas pada kerusakan jaringan yang berkelanjutan. Setelah kerusakan terjadi, nyeri biasanya minimal. Mula datang nyeri pada jaringan karena iskemi akut berhubungan dengan kecepatan metabolisme. Sebagai contoh, nyeri terjadi pada saat beraktifitas kerena iskemia otot skeletal pada 15 sampai 20 detik tapi pada iskemia kulit bisa terjadai pada 20 sampai 30 menit.

Tipe nosiseptor spesifik bereaksi pada tipe stimulus yang berbeda. Nosiseptor C tertentu dan nosiseptor A-delta bereaksi hanya pada stimulus panas atau dingin, dimana yang lainnya bereaksi pada stimulus yang banyak (kimia, panas, dingin). Beberapa reseptor A-beta mempunyai aktivitas nociceptor-like.

Serat–serat sensorik mekanoreseptor bisa diikutkan untuk transmisi sinyal yang akan menginterpretasi nyeri ketika daerah sekitar terjadi inflamasi dan produk- produknya. Allodynia mekanikal (nyeri atau sensasi terbakar karena sentuhan ringan) dihasilkan mekanoreseptor A-beta.

Nosiseptor viseral, tidak seperti nosiseptor kutaneus, tidak didesain hanya sebagai reseptor nyeri karena organ dalam jarang terpapar pada keadaan yang potensial merusak. Banyak stimulus yang sifatnya merusak (memotong, membakar, kepitan) tidak menghasilkan nyeri bila dilakukan pada struktur viseralis. Selain itu inflamasi, iskemia, regangan mesenterik, dilatasi, atau spasme viseralis bisa menyebabkan spasme berat. Stimulus ini biasanya dihubungkan dengan proses patologis, dan nyeri yang dicetuskan untuk mempertahankan fungsi.

Fisiologi nyeri


Fisiologi nyeri termasuk suatu rangkaian proses neurofisiologis kompleks yang disebut sebagai nosiseptif (nociception) yang merefleksikan empat proses komponen yang nyata yaitu transduksi, transmisi, modulasi dan persepsi, dimana terjadinya stimuli yang kuat diperifer sampai dirasakannya nyeri di susunan saraf pusat (cortex cerebri).

1. Proses transduksi

Proses dimana stimulus noksius diubah ke impuls elektrikal pada ujung saraf. Suatu stimuli kuat (noxion stimuli) seperti tekanan fisik kimia, suhu dirubah menjadi suatu aktifitas listrik yang akan diterima ujung-ujung saraf perifer (nerve ending) atau organ-organ tubuh (reseptor meisneri, merkel, corpusculum paccini, golgi mazoni). Kerusakan jaringan karena trauma baik trauma pembedahan atau trauma lainnya menyebabkan sintesa prostaglandin, dimana prostaglandin inilah yang akan menyebabkan sensitisasi dari reseptor-reseptor nosiseptif dan dikeluarkannya zat-zat mediator nyeri seperti histamin, serotonin yang akan menimbulkan sensasi nyeri. Keadaan ini dikenal sebagai sensitisasi perifer.

2. Proses transmisi

Proses penyaluran impuls melalui saraf sensori sebagai lanjutan proses transduksi melalui serabut A-delta dan serabut C dari perifer ke medulla spinalis, dimana impuls tersebut mengalami modulasi sebelum diteruskan ke thalamus oleh tractus spinothalamicus dan sebagian ke traktus spinoretikularis. Traktus spinoretikularis terutama membawa rangsangan dari organ-organ yang lebih dalam dan viseral serta berhubungan dengan nyeri yang lebih difus dan melibatkan emosi. Selain itu juga serabut-serabut saraf disini mempunyai sinaps interneuron dengan saraf-saraf berdiameter besar dan bermielin. Selanjutnya impuls disalurkan ke thalamus dan somatosensoris di cortex cerebri dan dirasakan sebagai persepsi nyeri.

3. Proses modulasi

Proses perubahan transmisi nyeri yang terjadi disusunan saraf pusat (medulla spinalis dan otak). Proses terjadinya interaksi antara sistem analgesik endogen yang dihasilkan oleh tubuh kita dengan input nyeri yang masuk ke kornu posterior medulla spinalis merupakan proses ascenden yang dikontrol oleh otak. Analgesik endogen (enkefalin, endorphin, serotonin, noradrenalin) dapat menekan impuls nyeri pada kornu posterior medulla spinalis. Dimana kornu posterior sebagai pintu dapat terbuka dan tertutup untuk menyalurkan impuls nyeri untuk analgesik endogen tersebut. Inilah yang menyebabkan persepsi nyeri sangat subjektif pada setiap orang.

4. Persepsi

Hasil akhir dari proses interaksi yang kompleks dari proses tranduksi, transmisi dan modulasi yang pada akhirnya akan menghasilkan suatu proses subjektif yang dikenal sebagai persepsi nyeri, yang diperkirakan terjadi pada thalamus dengan korteks sebagai diskriminasi dari sensorik.

Jalur Nyeri
Gambar Pain Pathway

Penilaian Nyeri


Informasi mengenai kedalaman dan kompleksitas cara-cara untuk penilaian nyeri bervariasi. Idealnya, cara-cara untuk penilaian nyeri ini mudah digunakan, mudah di mengerti oleh pasien, dan valid, sensitive serta dapat dipercaya. Tindakan untuk menentukan lokasi fisik dan tingkat keparahan nyeri adalah yang paling sering dilakukan.

Derajat nyeri dapat diukur dengan berbagai macam cara yang sering digunakan untuk menilai intensitas nyeri pasien sebagai berikut:

1. Visual Analog Scale

Skala Analog Visual (Visual Analog Scale/VAS) adalah cara yang paling banyak digunakan untuk menilai nyeri. Metode ini paling sering digunakan untuk mengukur intensitas nyeri. Metode ini menggunakan garis sepanjang 10 cm yang menggambarkan keadaan tidak nyeri sampai nyeri yang sangat hebat. Pasien menandai angka pada garis yang menggambarkan intensitas nyeri yang dirasakan. Keuntungan menggunakan metode ini adalah sensitif untuk mengetahui perubahan intensitas nyeri, mudah di mengerti dan dikerjakan, dan dapat digunakan dalam berbagai kondisi klinis. Kerugiannya adalah tidak dapat digunakan pada anak-anak dibawah 8 tahun dan mungkin sukar diterapkan jika pasien sedang berada dalam nyeri hebat.

Skala Analog Visual
Gambar Skala Analog Visual (Visual Analog Scale/VAS)

2. Numeric rating scale (NRS)

Skala numeric merupakan alat bantu pengukur intensitas nyeri pada pasien yang terdiri dari skala horizontal yang dibagi secara rata menjadi 10 segmen dengan nomor 0 sampai 10. Pasien diberi pengertian yang menyatakan bahwa angka 0 bermakna intensitas nyeri yang minimal (tidak ada nyeri sama sekali) dan angka 10 bermakna nyeri yang sangat (nyeri paling parah yang dapat mereka bayangkan). Pasien kemudian dimintai untuk menandai angka yang menurut mereka paling tepat dalam mendeskripsikan tingkat nyeri yang dapat mereka rasakan pada suatu waktu.

Skala penilaian numeric
Gambar Numeric rating scale

Skala penilaian numeric lebih digunakan sebagai pengganti alat pendeskripsian kata. Dalam hal ini, pasien meniai nyeri dengan menggunakan skala 0-10. Skala ini paling efektif digunakan saat mengkaji intensitas nyeri sebelum dan sesudah intervensi.

Keterangan:

  • 0 : tidak nyeri
  • 1-2 : nyeri ringan secara obyektif pasien dapat berkomunikasi dengan baik
  • 3-4 : nyeri sedang secara obyektif pasien mendesis, menyeringai, dan
  • menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dapat mengikuti perintah dengan baik.
  • 6-7 :nyeri berat secara obyektif pasien terkadang tidak dapat mengikuti perintah tetapi masih respon terhadap tindakan, dapay menunjukkan lokasi nyeri, tidak dapat mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih posisi nafas panjang dan distraksi.
  • 8-10 :nyeri sangat berat pasien sehingga sudah tidak mampu lagi berkomunikasi.

3. Verbal descriptive scale (VDS)

Verbal Descriptive Scale merupakan pengukuran derajat nyeri yang sering digunakan. Verbal Descriptive scale merupakan sebuah garis yang terdiri dari tiga sampai lima kata yang mendeskripsikan perasaan nyeri, tersusun dengan jarak yang sama di sepanjang garis. Kata-kata yang digunakan untuk mendeskripsikan tingkat nyeri di urutkan dari “tidak terasa nyeri”sampai nyeri yang tidak tertahankan.

image
Gambar Verbal Descriptor Scale

Nyeri merupakan pengalaman yang subjektif, sama halnya saat seseorang mencium bau harum atau busuk, mengecap manis atau asin, yang kesemuanya merupakan persepsi panca indera dan dirasakan manusia sejak lahir. Walau demikian, nyeri berbeda dengan stimulus panca indera, karena stimulus nyeri merupakan suatu hal yang berasal dari kerusakan jaringan atau yang berpotensi menyebabkan kerusakan jaringan (Meliala,2004).

Bagi dokter, nyeri adalah suatu masalah yang membingungkan. Selain itu nyeri merupakan alasan tersering yang dikeluhkan pasien ketika berobat kedokter. Banyak institusi sekarang menyebut nyeri sebagai tanda vital kelima (fifth vital sign), dan mengelompokkannya bersama tanda- tanda klasik seprti : suhu, nadi, dan tekanan darah.

Milton mengatakan “Pain is perfect miserie, the worst / of evil. And excessive, overture / All patience”. Sudah menjadi kewajaran bahwa manusia sejak awal berupaya sedemikian untuk mengerti tentang nyeri dan mencoba mengatasinya (Bonica & Loeser, 2001).

Fisiologi Nyeri


Mekanisme timbulnya nyeri didasari oleh proses multipel yaitu nosisepsi, sensitisasi perifer, perubahan fenotip, sensitisasi sentral, eksitabilitas ektopik, reorganisasi struktural, dan penurunan inhibisi. Antara stimulus cedera jaringan dan pengalaman subjektif nyeri terdapat empat proses tersendiri : tranduksi, transmisi, modulasi, dan persepsi.

  • Transduksi adalah suatu proses dimana akhiran saraf aferen menerjemahkan stimulus (misalnya tusukan jarum) ke dalam impuls nosiseptif.

    Ada tiga tipe serabut saraf yang terlibat dalam proses ini, yaitu serabut A-beta, A-delta, dan C. Serabut yang berespon secara maksimal terhadap stimulasi non noksius dikelompokkan sebagai serabut penghantar nyeri, atau nosiseptor. Serabut ini adalah A-delta dan C. Silent nociceptor, juga terlibat dalam proses transduksi, merupakan serabut saraf aferen yang tidak bersepon terhadap stimulasi eksternal tanpa adanya mediator inflamasi.

  • Transmisi adalah suatu proses dimana impuls disalurkan menuju kornu dorsalis medula spinalis, kemudian sepanjang traktus sensorik menuju otak. Neuron aferen primer merupakan pengirim dan penerima aktif dari sinyal elektrik dan kimiawi. Aksonnya berakhir di kornu dorsalis medula spinalis dan selanjutnya berhubungan dengan banyak neuron spinal.

  • Modulasi adalah proses amplifikasi sinyal neural terkait nyeri (pain related neural signals). Proses ini terutama terjadi di kornu dorsalis medula spinalis, dan mungkin juga terjadi di level lainnya. Serangkaian reseptor opioid seperti mu, kappa, dan delta dapat ditemukan di kornu dorsalis. Sistem nosiseptif juga mempunyai jalur desending berasal dari korteks frontalis, hipotalamus, dan area otak lainnya ke otak tengah (midbrain) dan medula oblongata, selanjutnya menuju medula spinalis. Hasil dari proses inhibisi desendens ini adalah penguatan, atau bahkan penghambatan (blok) sinyal nosiseptif di kornu dorsalis.

  • Persepsi nyeri adalah kesadaran akan pengalaman nyeri. Persepsi merupakan hasil dari interaksi proses transduksi, transmisi, modulasi, aspek psikologis, dan karakteristik individu lainnya. Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima rangsang nyeri. Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung syaraf bebas dalam kulit yang berespon hanya terhadap stimulus kuat yang secaara potensial merusak. Reseptor nyeri disebut juga Nociseptor. Secara anatomis, reseptor nyeri (nociseptor) ada yang bermiyelin dan ada juga yang tidak bermiyelin dari syaraf aferen. (Anas Tamsuri, 2006)

Jalur Nyeri di Sistem Syaraf Pusat


Jalur Asenden

Serabut saraf C dan A delta halus, yang masing-masing membawa nyeri akut tajam dan kronik lambat, bersinap disubstansia gelatinosa kornu dorsalis, memotong medula spinalis dan naik ke otak di cabang neospinotalamikus atau cabang paleospinotalamikus traktus spino talamikus anterolateralis. Traktus neospinotalamikus yang terutama diaktifkan oleh aferen perifer A delta, bersinap di nukleus ventropostero lateralis (VPN) talamus dan melanjutkan diri secara langsung ke kortek somato sensorik girus pasca sentralis, tempat nyeri dipersepsikan sebagai sensasi yang tajam dan berbatas tegas. Cabang paleospinotalamikus, yang terutama diaktifkan oleh aferen perifer serabt saraf C adalah suatu jalur difus yang mengirim kolateral-kolateral ke formatio retikularis batang otak dan struktur lain. Serat-serat ini mempengaruhi hipotalamus dan sistem limbik serta kortek serebri (Price A. Sylvia,2006).

Jalur Desenden

Salah satu jalur desenden yang telah di identifikasi adalah mencakup 3 komponen yaitu :

  • Bagian pertama adalah substansia grisea periaquaductus (PAG ) dan substansia grisea periventrikel mesenssefalon dan pons bagian atas yang mengelilingi aquaductus Sylvius.

  • Neuron-neuron di daerah satu mengirim impuls ke nukleus ravemaknus (NRM) yang terletak di pons bagian bawah dan medula oblongata bagian atas dan nukleus retikularis paragigantoselularis (PGL) di medula lateralis.

  • Impuls ditransmisikan ke bawah menuju kolumna dorsalis medula spinalis ke suatu komplek inhibitorik nyeri yang terletak di kornu dorsalis medula spinalis (Price A. Sylvia,2006).

Untuk lebih jealasnya dapat dilihat pada gambar dibawah ini

Fisiologi Nyeri
Gambar Fisiologi Nyeri

Transmisi Nyeri


Terdapat beberapa teori yang berusaha menggambarkan bagaimana nosiseptor dapat menghasilkan rangsang nyeri. Sampai saat ini dikenal berbagai teori yang mencoba menjelaskan bagaimana nyeri dapat timbul, namun teori gerbang kendali nyeri dianggap paling relevan. (Hartwig & Wilson, 2005)

  • Teori Spesivisitas (Specivity Theory)
    Teori ini digambarkan oleh Descartes pada abad ke 17. teori ini didasarkan pada kepercayaan bahwa terdapat organ tubuh yang secara khusus mentransmisi rasa nyeri. Syaraf ini diyakini dapat menerima rangsangan nyeri dan mentransmisikannya melalui ujung dorsal dan substansia gelatinosa ke talamus, yang akhirnya akan dihantarkan pada daerah yang lebih tinggi sehingga timbul respon nyeri. Teori ini tidak menjelaskan bagaimana faktor-faktor multi dimensional dapat mempengaruhi nyeri. (Hartwig & Wilson, 2005)

  • Teori Pola (Pattern Theory)
    Teori ini menerangkan bahwa ada dua serabut nyeri yaitu serabut yang mampu menghantarkan rangsang dengan cepat dan serabut yang mampu menghantarkan dengan lambat. Dua serabut syaraf tersebut bersinaps pada medula spinalis dan meneruskan informasi ke otak mengenai sejumlah intensitas dan tipe input sensori nyeri yang menafsirkan karakter dan kualitas input sensasi nyeri. (Hartwig & Wilson, 2005)

  • Teori Gerbang Kendali Nyeri ( Gate Control Theory )
    Tahun 1959 Milzack dan Wall menjelaskan teori gerbang kendali nyeri, yang menyatakan terdapat semacam pintu gerbang yang dapat memfasilitasi transmisi sinyal nyeri. (Hartwig & Wilson, 2005)

    Gate Control Theory merupakan model modulasi nyeri yang populer. Teori ini menyatakan eksistensi dari kemampuan endogen untuk mengurangi dan meningkatkan derajat perasaan nyeri melalui modulasi impuls yang masuk pada kornu dorsalis melalui “gate” (gerbang). Berdasarkan sinyal dari sistem asendens dan desendens maka input akan ditimbang. Integrasi semua input dari neuron sensorik, yaitu pada level medulla spinalis yang sesuai, dan ketentuan
    apakah gate akan menutup atau membuka, akan meningkatkan atau mengurangi intensitas nyeri asendens.

    Gate Control Theory ini mengakomodir variabel psikologis dalam persepsi nyeri, termasuk motivasi untuk bebas dari nyeri, dan peranan pikiran, emosi, dan reaksi stress dalam meningkatkan atau menurunkan sensasi nyeri. Melalui model ini, dapat dimengerti bahwa nyeri dapat dikontrol oleh manipulasi farmakologis maupun intervensi psikologis (painedu.org, 2008).

Patofisiologi Nyeri


Rangsangan nyeri diterima oleh nociceptors pada kulit bisa intesitas tinggi maupun rendah seperti perennggangan dan suhu serta oleh lesi jaringan. Sel yang mengalami nekrotik akan merilis K + dan protein intraseluler . Peningkatan kadar K + ekstraseluler akan menyebabkan depolarisasi nociceptor, sedangkan protein pada beberapa keadaan akan menginfiltrasi mikroorganisme sehingga menyebabkan peradangan / inflamasi. Akibatnya, mediator nyeri dilepaskan seperti leukotrien, prostaglandin E2, dan histamin yang akan merangasng nosiseptor sehingga rangsangan berbahaya dan tidak berbahaya dapat menyebabkan nyeri (hiperalgesia atau allodynia).

Selain itu lesi juga mengaktifkan faktor pembekuan darah sehingga bradikinin dan serotonin akan terstimulasi dan merangsang nosiseptor. Jika terjadi oklusi pembuluh darah maka akan terjadi iskemia yang akan menyebabkan akumulasi K + ekstraseluler dan H + yang selanjutnya mengaktifkan nosiseptor. Histamin, bradikinin, dan prostaglandin E2 memiliki efek vasodilator dan meningkatkan permeabilitas pembuluh darah. Hal ini menyebabkan edema lokal, tekanan jaringan meningkat dan juga terjadi Perangsangan nosisepto.

Bila nosiseptor terangsang maka mereka melepaskan substansi peptida P (SP) dan kalsitonin gen terkait peptida (CGRP), yang akan merangsang proses inflamasi dan juga menghasilkan vasodilatasi dan meningkatkan permeabilitas pembuluh darah. Vasokonstriksi (oleh serotonin), diikuti oleh vasodilatasi, mungkin juga bertanggung jawab untuk serangan migrain . Peransangan nosiseptor inilah yang menyebabkan nyeri. (Silbernagl & Lang, 2000)

Untuk lebih jelasnya lihat gambar dibawa ini .

Mekanisme nyeri perifer
Gambar Mekanisme nyeri perifer (Silbernagl & Lang, 2000)

Neuroregulator Nyeri


Neuroregulator atau substansi yang berperan dalam transmisi stimulus saraf dibagi dalam dua kelompok besar, yaitu neurotransmitter dan neuromodulator. Neurotransmitter mengirimkan impuls-impuls elektrik melewati rongga sinaps antara dua serabut saraf, dan dapat bersifat sebagai penghambat atau dapat pula mengeksitasi. Sedangkan neuromodulator dipercaya bekerja secra tidak langsung dengan meningkatkan atau menurunkan efek partokular neurotransmitter. (Anas Tamsuri, 2006)

Beberapa neuroregulator yang berperan dalam penghantaran impuls nyeri antara lain adalah:

1. Neurotransmiter

  • Substansi P (Peptida)
    Ditemukan pada neuron nyeri di kornu dorsalis (peptide eksitator) berfungsi untuk menstranmisi impuls nyeri dari perifer ke otak dan dapat menyebabkan vasodilatasi dan edema

  • Serotonin
    Dilepaskan oleh batang otak dan kornu dorsalis untuk menghambat transmisi nyeri.

  • Prostaglandin
    Dibangkitkan dari pemecahan pospolipid di membran sel dipercaya dapat meningkatkan sensitivitas terhadap sel.

2. Neuromodulator

  • Endorfin (morfin endogen)
    Merupakan substansi sejenis morfin yang disuplai oleh tubuh. Diaktivasi oleh daya stress dan nyeri. Terdapat pada otak, spinal, dan traktus gastrointestinal. Berfungsi memberi efek analgesik

  • Bradikinin
    Dilepaskan dari plasma dan pecah disekitar pembuluh darah pada daerah yang mengalami cedera. Bekerja pada reseptor saraf perifer, menyebabkan peningkatan stimulus nyeri.Bekerja pada sel, menyebabkan reaksi berantai sehingga terjadi pelepasan prostaglandin.

image

Impuls sepanjang saraf aferen sinaps di sumsum tulang belakang dan lulus melalui anterolateral saluran ke talamus dan dari sana , antara lain, korteks somatosensori, yang Cingular gyrus, dan insular korteks (C!). Koneksi yang tepat memproduksi berbagai komponen sensasi nyeri: sensorik (Misalnya, persepsi lokalisasi dan intensitas), afektif (penyakit), motor (refleks pelindung, tonus otot, mimikri), dan otonom (perubahan di tekanan darah, takikardia, dilatasi pupil, berkeringat, mual). Sambungan di thalamus dan sumsum tulang belakang dihambat oleh yang turun saluran dari otak tengah, korteks periaqueductal abu-abu materi, dan rafe inti, ini traktat mempekerjakan norepinefrin, serotonin, dan terutama endorphines. Lesi thalamus, misalnya, dapat menghasilkan rasa sakit melalui tidak adanya hambatan ini (Sindrom talamus). Untuk mengatasi nyeri, pengaktifan rasa sakit reseptor dapat dihambat, misalnya, dengan pendinginan daerah yang rusak dan oleh prostaglandin inhibitor sintesis (C1).

Transmisi nyeri dapat dihambat dengan pendinginan dan bloker kanal Na + (anestesi lokal; C2). Transmisi di thalamus dapat dihambat oleh anestesi dan alkohol ( C5). Upaya telah nowand lagi beenmade untuk mengganggu nyeri transmisi dengan cara bedah saraf transeksi (C6). Electroacupuncture dan saraf transkutaneus stimulasi tindakan melalui aktivasi, turun rasa sakit menghambat saluran (C3). Reseptor endorphine yang diaktifkan oleh morfin dan obat terkait (C4). Endogen sakit menghambat mekanisme dapat dibantu dengan metode psikologis pengobatan. Tidak adanya rasa sakit yang dibawa oleh farmakologi berarti atau kongenital sangat jarang mengganggu kondisi analgesia bawaan fungsi-fungsi peringatan. Jika penyebab nyeri tidak dihilangkan, konsekuensinya dapat mengancam jiwa.

Sumber : Mochamad Bahrudin, Patofisiologi Nyeri (Pain), Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah.

Referensi :

  • Asdie, Ahmad H. 1999. Harrison Prinsip-prinsip ilmu penyakit dalam. Jakarta: EGC
  • Beydoun, A., Kutluay, E. 2002. Oxcarbazepin, Expert Opinion in Pharmacotherapy, 3(1):59-71
  • Bonica, J.J., Loeser, J.D., 2001. History of Pain Concepts and Therapies, In: Loeser J.D., et al (eds)
  • Bonica’s , 2001, Management of Pain. Lippincott William & Wilkins Philadelphia, pp 3-16
  • Meliala, L. 2004. Nyeri Keluhan yang Terabaikan: Konsep Dahulu, Sekarang, dan Yang Akan Datang, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar, Fakultas Kedokteran Universitas GadjahMada.
  • Painedu.org, 2008. Physiology of Pain, http:// www.painedu.org.
  • Silbernagl/Lang, 2000, Pain in Color Atlas of Pathophysiology , Thieme New York. 320-321
  • Price, Sylvia Anderson. 2006. Patofisiologi. Jakarta: EGC
  • Tansumri, Anas. 2007. Konsep dan Penatalaksanaan Nyeri. Jakarta: EGC

Nyeri merupakan kondisi yang sangat tidak diharapkan oleh setiap individu. Rasa nyeri yang dirasakan seringkali berbeda pada tiap individu. Menurut Melzack dan Wall (dalam Andarmoyo, 2016) nyeri merupakan suatu pengalaman yang bersifat pribadi, sesuatu yang subjektif, yang dipengaruhi oleh budaya, persepsi seseorang, perhatian, dan variable-variabel psikologis lain, yang nantinya akan mengganggu perilaku individu secara berkelanjutan sehingga memotivasi setiap individu untuk menghentikan rasa tersebut.

Nyeri yang timbul merupakan campuran dari berbagai respon. Respon dapat berupa respon fisiologis maupun respon psikologis. Menurut Tournaire dan Theau- Yonneau (dalam Andarmoyo, 2016) nyeri merupakan pengalaman yang tidak menyenangkan, baik sensori maupun emosional yang berhubungan dengan risiko atau aktualnya kerusakan jaringan tubuh.
Nyeri yang terasa sangat mengganggu ternyata merupakan suatu hal yang menguntungkan bagi tubuh. Dengan adanya nyeri kita bisa mengetahui kondisi tubuh kita. Menurut Sherwood L (dalam Andarmoyo, 2016), nyeri sebenarnya merupakan mekanisme protektif yang dimaksudkan untuk menimbulkan kesadaran telah atau akan terjadinya kerusakan jaringan. Menurut Arthur C. Curton (dalam Andarmoyo, 2016) mengatakan bahwa nyeri merupakan suatu mekanisme proteksi bagi tubuh, timbul ketika jaringan sedang rusak, dan menyebabkan individu tersebut bereaksi untuk menghilangkan nyeri.

Teori Nyeri


Ada banyak teori yang berusaha menjelaskan dasar neurologis dari nyeri. Namun sampai saat ini masih belum ada teori yang dapat menjelaskan secara sempurna bagaimana nyeri ditransmisikan, mekanisme transmisi impuls nyeri, sensasi nyeri, dan perbedaan tiap individu dalam mempersepsikan sensasi nyeri yang dirasa. Beberapa teori terkait dengan nyeri menurut para ahli diantaranya adalah :

  1. Teori Spesivitas (Specivicity Theory)
    Teori spesivitas pertama kali diperkenalkan oleh Descartes. Teori ini menjelaskan mengenai prinsip dari nyeri. Descartes menjelaskan bahwa nyeri berjalan dari reseptor-reseptor nyeri yang spesifik melalui jalur neuroanatomik tertentu ke pusat nyeri di otak dan menjelaskan bahwa hubungan antar stimulus dan respons nyeri bersifat langsung dan invariable.

  2. Teori Pola (Pattern Theory)
    Teori Pola peratama kali diperkenalkan oleh Goldsheider. Teori ini menjelaskan mengenai pola nyeri. Goldsheider menjelaskan bahwa nyeri disebabkan oleh berbagai reseptor sensori yang dirangsang oleh pola tertentu. Nyeri merupakan akibat dari stimulasi reseptor yang menghasilkan pola tertentu dari impuls saraf. Pada sejumlah causalgia, nyeri pantom, dan neuralgia teori pola ini bertujuan bahwa rangsangan yang kuat mengakibatkan berkembangnya gaung terus menerus pada sinal cord sehingga saraf transmisi nyeri bersifat hipersensitif , sehingga hanya dengan rangsangan yang rendah dapat menghasilkan transmisi nyeri.

  3. Teori Pengontrolan Nyeri (Theory Gate Control)
    Teori gate control diperkenalkan oleh Melzack dan Wall. Teori ini menjelaskan bagaimana transmisi nyeri dan bagaimana nyeri dapat dikontrol ataupun dihambat. Melzack dan Wall menjelaskan bahwa impuls nyeri dapat diatur dan dapat dihambat oleh mekanisme pertahanan di sepanjang sistem saraf pusat. Pada teori ini dijelaskan bahwa impuls nyeri dihantarkan saat sebuah pertahanan dibuka dan impuls dihambat saat sebuah pertahanan tertutup. Upaya menutup pertahanan tersebut merupakan dasar teori menghilangkan nyeri.

    Proses pertahanan sangat berperan dalam memunculkan nyeri dan penghambatan nyeri. Dalam mengelola nyeri, proses pertahanan dipengaruhi oleh berbagai reseptor. Proses pertahanan diatur oleh keseimbangan aktivitas dari neuron sensori dan serabut kontrol desenden dari otak. Neuron delta-A dan C melepaskan substansi P untuk mentrasmisi impuls melalui mekanisme pertahanan. Selain itu terdapat juga mekanoreseptor (sel yang mentransduksi rangsangan mekanik dan merelay sinyal ke sistem saraf pusat), dan neuron beta-A yang lebih tebal yang lebih cepat melepaskan neurotransmitter penghambat. Apabila masukan yang dominan berasal dari serabut beta-A, akan menutup mekanisme pertahanan. Jika impuls nyeri dihantarkan ke otak, maka akan ada pusat korteks yang lebih tinggi di otak yang memodifikasi nyeri.

    Dalam memodifikasi nyeri, proses pertahanan akan merangsang bagian di dalam otak. Otak akan merangsang pengeluaran beberapa hormon. Ketika impuls nyeri dihantarkan ke otak, kemudian pusat korteks melakukan modifikasi nyeri, maka alur saraf descenden akan melepaskan opiat endogen, seperti endorfin dan dinorphin yang merupakan suatu pembunuh nyeri alami yang berasal dari tubuh. Neuromedulator ini menutup mekanisme pertahanan dengan menghambat pelepasan substansi P. Teknik relaksasi, pemberian placebo, konseling merupakan upaya untuk melepaskan endorfin.

    Pada saat tidak terjadi rangsangan atau tidak adanya suatu stimulus, sistem saraf tetap berperan. Ketika tidak ada rangsangan nyeri, inhibitory neuron mencegah projection neuron (Projection cell) untuk mengirim sinyal ke otak. Sehingga, dapat dikatakan gerbang tertutup atau tidak ada presepsi nyeri. Ketika rangsangan normal atau somatosensori (sentuhan, perubahan suhu, dll) terjadi, rangsangan akan di hantarkan melalui serabut saraf besar (hanya serabut saraf besar) yang akan meyebabkan inhibitory neuron dan projection neuron aktif. Tetapi inhibitory neuron mencegah projection neuron untuk mengirim sinyal ke otak, sehingga gerbang masih tertutup dan tidak ada presepsi nyeri. Ketika nociception (rangsangan nyeri) muncul, rangsangan akan dihantarkan melaui serabut saraf kecil dan kemudian menyebabkan inhibitory neuron menjadi tidak aktif, dan projection neuron mengirimkan sinyal ke otak sehingga, gerbang terbuka dan presepsi nyeri muncul.

  4. Endogenous Opiat Theory
    Teori endogenous opiate pertama kali dikembangkan oleh Avron Goldstein. Teori endogenous opiate menjelaskan tentang sebuah teori pereda nyeri. Goldstein menemukan bahwa terdapat substansi opiat yang terjadi secara alami di dalam tubuh. Substansi tersebut disebut dengan endorphine, yang berasal dari kata endogenous dan morphine. Endorphine atau endorfin
    merupakan sistem penekanan nyeri yang dapat diaktifkan dengan merangsang daerah reseptor endorfin pada otak tengah.

    Endorfin yang terstimulasi akan memengaruhi proses transmisi nyeri. Endorfin mempengaruhi impuls yang akan diinterpretasikan sebagai nyeri. Endorfin dapat bertindak sebagai neurotransmitter maupun neuromodulator yang menghambat transmisi dari pesan nyeri. Adanya endorfin pada sel-sel saraf menyebabkan status penurunan sensasi nyeri. Endorfin yang gagal ataupun terhambat untuk dilepaskan kemungkinan akan menimbulkan terjadinya sensasi nyeri (Andarmoyo, 2016).

Klasifikasi Nyeri


Para ahli mengklasifikasikan nyeri sesuai dengan pendapatnya masing-masing. Ada yang mencoba megklasifikasikan secara kualitatif dan secara khusus. Menurut Wolf nyeri secara kualitatif dibedakan menjadi dua bagian yaitu nyeri fisiologis dan nyeri patologis. Nyeri fisiologis merupakan nyeri yang berfungsi secara normal sebagai alat proteksi tubuh. Nyeri patologis merupakan sensor abnormal yang dirasakan oleh seseorang yang dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah adanya trauma, infeksi bakteri atau virus.
Selain mengklasifikasikan nyeri secara kualitatif, nyeri juga diklasifikasikan secara khusus oleh para ahli. Nyeri yang diklasifikasikan secara khusus akan mempermudah seseorang untuk menentukan nyeri yang dialami. Nyeri secara khusus dapat dibedakan menjadi tiga bagian, yaitu :

  1. Berdasarkan Durasi

    • Nyeri Akut
      Nyeri akut dapat berhenti secara cepat dan dapat berhenti dengan sendirinya. Nyeri akut, rasa nyeri dapat muncul secara tiba-tiba dan hilang setelahnya. Menurut Meinhart dan McCaffery nyeri akut adalah nyeri yang terjadi setelah cidera akut, penyakit, inflamasi, atau intervensi bedah dan memiliki awitan yang cepat, dengan intensitas yang bervariasi (ringan sampai berat) dan berlangsung untuk waktu singkat. Nyeri akut berdurasi kurang dari enam bulan, memiliki omset tiba-tiba dan terlokalisasi, bisa hilang dengan sendirinya tanpa pengobatan. Nyeri akut terkadang disertai dengan aktivasi system saraf simpatis sehingga akan menimbulkan gejala seperti peningkatan respirasi, peningkatan tekanan darah, peningkatan denyut jantung, menangis, mengerang kesakitan, mengerutkan wajah.

    • Nyeri Kronik
      Nyeri kronik dan nyeri akut merupakan nyeri yang berbeda. Perbedaan nyeri akut dengan nyeri kronik terletak pada lama nyeri. Klien yang mengalami nyeri kronik seringkali mengalami gejala yang hilang timbul sebagian maupun keseluruhan. Menurut McCaffery nyeri kronik adalah nyeri yang berlangsung lebih dari enam bulan. Nyeri kronik adalah nyeri yang tidak memberikan respon terhadap pengobatan yang diarahkan pada penyebabnya. Sedangkan menurut Potter dan Perry nyeri kronis dibedakan menjadi dua, yaitu nyeri kronik nonmalignant dan malignan. Nyeri kronis nonmalignan merupakan nyeri yang timbul akibat cedera jaringan yang tidak progresif, bisa timbul tanpa penyebab yang jelas, seperti nyeri pinggang, dan osteoatrhitis. Nyeri kronik malignan yang disebut juga sebagai nyeri kanker yang memiliki penyebab yang jelas dan bisa diidentifikasi.

  2. Berdasarkan Asal Nyeri

    • Nyeri Nosiseptif
      Nyeri nosiseptif sama halnya dengan nyeri akut. Nyeri akut nyerinya terlokalisasi, sama halnya dengan nyeri nosiseptif. Nyeri nosiseptif merupakan nyeri yang diakibatkan aktivasi nosiseptor perifer yang merupakan resptor khusus yang mengantarkan stimulus noxious. Nyeri nosiseptif dapat terjadi karena adanya stimulus yang mengenai kulit, tulang, sendi, otot, jaringan ikat, dan lain-lain. Nyeri ini dapat terjadi pada penyeri kanker dan nyeri post operatif. Nyeri nosiseptif merupakan nyeri akut, nyeri akut merupakan nyeri nosiseptif yang mengenai daerah perifer dan letaknya lebih terlokalisasi.

    • Nyeri Neuropatik
      Nyeri neuropatik berbeda dengan nyeri nosiseptif. Nyeri nosiseptif sama halnya dengan nyeri akut, nyeri neuropatik sama halnya dengan nyeri kronis. Nyeri neuropatik merupakan nyeri yang timbul akibat suatu cidera atau abnormalitas pada struktur saraf perifer maupun sentral. Nyeri neuropaik bertahan lebih lama daripada nyeri nosiseptif, dan merupakan proses input saraf sensorik yang abnormal oleh system saraf perifer. Nyeri ini lebih sulit untuk diobati, dan pasien yang mengalami nyeri neuropatik akan merasakan nyeri seperti terbakar, dan bersifat kronik.

  3. Berdasarkan Lokasi

    • Superficial atau kutaneus
      Dalam menjalani aktivitas, seseorang selalu bersentuhan baik secara langsung maupun tidak langsung. Saat bersentuhan secara fisik, secara sengaja maupun tidak sengaja, sentuhan tersebut bisa menimbulkan cidera ataupun perlukaan. Nyeri superficial Superficial atau kutaneus merupakan nyeri yang disebabkan oleh stimulasi kulit. Nyeri terlokasi dan berlangsung singkat, nyeri biasanya terasa sebagai sensasi yang tajam. Contohnya adalah luka tertusuk jarum suntik, laserasi.
  • Viseral Dalam
    Nyeri yang dirasakan tidak selalu timbul akibat perlukaan yang bisa dilihat secara fisik. Nyeri bisa timbul dari dalam tubuh karena adanya perlukaan ataupun proses yang tidak berjalan dengan semestinya. Nyeri viseral merupakan nyeri yang terjadi akibat stimulasi organ-organ internal. Nyeri ini bersifat difus dan dapat menyebar ke beberapa arah. Durasinya bervariasi, namun lebih lama daripada nyeri superficial. Pada nyeri ini menimbulakan rasa tidak menyenangkan, mual, nyeri dapat terasa tajam dan tumpul tergantung organ mana yang terlibat. Contoh sensasi pukul seperti pada angina pectoris dan sensasi terbakar pada ulkus lambung.

  • Nyeri Radiasi
    Nyeri yang timbul memiliki sifat yang berbeda. Terkadang nyeri terasa di satu tempat, terkadang nyeri terasa tidak jelas dimana pusatnya. Nyeri radiasi merupakan sensasi nyeri yang meluas dari tempat awal cidera ke bagian tubuh yang lain. Nyeri akan terasa menyebar ke bagian tubuh bawah atau sepanjang bagian tubuh. Nyeri dapat menjadi intermiten atupun konstan.

    Contoh nyeri punggung bagian bawah akibat diskus intravertebral yang rupture disertai nyeri yang meradiasi sepanjang tungkai dari iritasi saraf skiatik (Andarmoyo, 20136-42).

Neuroanatomi Fisiologi Nyeri


Rasa nyeri dapat timbul melalui beberapa proses dan tahapan. Proses dan tahapan nyeri berhubungan erat dengan mekanisme neuroanatomi fisiologi nyeri. Struktur dan fisiologis sistem persarafan memegang peranan penting dalam kendali terciptanya nyeri. Proses terjadinya nyeri akan melewati beberapa tahapan, yaitu diawali dengan adanya stimulasi, transduksi, transmisi, persepsi, dan modulasi.

  1. Stimulasi
    Stimulasi seringkali disebut juga sebagai rangsangan dimana rangsangan tersebut merupakan awal mula terjadinya persepsi nyeri . Rangsangan bisa berupa rangsangan fisik maupun nonfisik. Persepsi nyeri dihantarkan oleh neuron khusus yang bertindak sebagai reseptor, pendeteksi stimulus, penguat dan penghantar menuju sistem saraf pusat. Reseptor khusus tersebut dinamakan nociceptor. Nociceptor tersebar luas di dalam lapisan superficial kulit dan juga pada jaringan dalam tertentu, seperti periosteum, dinding arteri, permukaan sendi, serta falks dan tentorium serebri (Andarmoyo, 2016).

  2. Transduksi
    Setelah terjadi proses stimulasi kemudian akan dilanjutkan dengan proses transduksi. Proses transduksi bisa diibaratkan dengan sinyal yang merupakan proses penyampaian pesan, jadi ketika ada pesan dari luar sel, di membran sel pesan tersebut bertemu reseptornya dan mengakibatkan adanya suatu tanggapan dari dalam sel . Transduksi merupakan sebuah proses ketika suatu stimuli nyeri (noxious stimuli) diubah menjadi suatu aktivitas listrik yang akan diterima ujung-ujung saraf. Stimuli ini dapat berupa stimuli fisik (tekanan), suhu (panas), atau kimia (substansi nyeri) (Andarmoyo, 2016).

    Pada proses transduksi menyebabkan terjadinya beberapa perubahan. Salah satu perubahan yang terjadi yaitu perubahan patofisiologis. Perubahan patofisiologis bisa terjadi karena adanya mediator-mediator kimia seperti prostaglandin dari sel-sel yang rusak, bradikinin dari plasma, histamine dari sel masts, serotonin dari trombosit dan substansi P dari ujung saraf nyeri memengaruhi juga nosiseptor di luar daerah trauma sehingga lingkaran nyeri meluas (Andarmoyo, 2016).

    Dalam proses transduksi juga terjadi proses sensitisasi. Dimana proses sensitisasi tersebut terjadi pada perifer dan juga sensitisasi sentral. Proses sensitisasi perifer, yaitu menurunnya nilai ambang rangsang nosiseptor dan menurunnya PH jaringan karena pengaruh mediator-mediator tersebut. Akibatnya rangsangan yang sebelumya tidak mengakibatkan munculnya rasa nyeri menjadi suatu rangsangan yang menimbulkan adanya rasa nyeri. Sensitisasi perifer ini mengakibatkan pula terjadinya sensitisasi sentral yaitu hipereksibilitas neuron pada spinalis, dan menyebabkan terpengaruhnya neuron simpatis serta perubahan intraselular yang menyebabkan rasa nyeri dirasakan lebih lama. Rangsangan nyeri tersebut kemudian akan diubah menjadi depolarisasi membrane reseptor yang kemudian menjadi impuls saraf (Andarmoyo, 2016).

  3. Transmisi
    Setelah melalui proses transduksi proses yang harus dilalui berikutnya adalah proses transmisi. Proses transmisi memiliki tiga komponen yang terlibat di dalamnya. Transmisi merupakan proses penerusan impuls nyeri dari nociceptor saraf perifer melewati cornu dorsalis dan corda spinalis menuju korteks serebri. Cornu dorsalis dari medulla spinalis dapat dianggap sebagai tempat memproses sensori. Serabut perifer (missal reseptor nyei) berakhir di sini dan serabut traktus sensori asenden berawal di sini. Terdapat juga interkoneksi antara sistem neural desenden dan traktus sensori asenden. Traktus asenden berahir pada otak bagian bawah dan bagian tengah dan impuls-impuls dipancarkan ke korteks serebri (Andarmoyo, 2016: 56-61).
    Proses transmisi merupakan penentu terjadinya rasa nyeri. Stimulus dapat diteruskan menjadi rasa nyeri dan juga dapat dihambat agar tidak timbul nyeri. Nyeri dapat dicercap secara sadar apabila neuron pada sistem asenden diaktifkan, dimana ketika neuron tersebut diaktifkan maka akan meningkatkan persepsi nyeri sebagai input dari reseptor yang terletak didalam kulit dan juga pada organ internal. Dalam cornu dorsalis terdapat interkoneksi neuron, yang apabila diaktifkan maka akan menghambat atau memutuskan transmisi informasi yang menyakitkan serta informasi yang menstimulasi nyeri dalam jaras asenden. Area tersebut seringkali disebut dengan istilah “gerbang”. Gerbang ini cenderungan membiarkan semua input yang menyakitkan dari perifer untuk mengaktifkan jaras asenden dan mengaktifkan nyeri. (Andarmoyo, 2016:56-61). Kecenderungan tersebut apabila dibiarkan tanpa adanya perlawanan (penanganan) maka akan mengganggu aktivitas sehari-hari.

    Transmisi nyeri terjadi melalui beberapa serabut saraf aferen. Transmisi nyeri juga dipengaruhi oleh beberapa zat kimia yang dihasilkan tubuh. Serabut nociceptor terdiri dari serabut A (delta A) yang peka terhadap nyeri tajam dan panas disebut juga dengan first pain atau fast pain dan serabut C (C fiber) yang peka terhadap nyeri tumpul dan durasi yang lama yang disebut second pain atau slow pain. Zat-zat kimia (prostaglandin, histamine, bradikinin, asetilkolin, substansi P) diduga dapat meningkatkan sensitivitas reseptor nyeri dengan meningkatkan efek yang menimbulkan nyeri. Tubuh juga mengeluarkan endorphine dan enfekalin yang berfungsi sebagai inhibitor terhadap transmisi nyeri. Apabila tubuh mengeluarkan substansi ini maka akan menimbulkan peredaan atau penurunan rasa nyeri (Andarmoyo, 2016).

  4. Modulasi
    Selain proses transmisi proses modulasi juga berperan penting dalam keberlangsungan nyeri. Modulasi berperan aktif dalam pengendalian nyeri. Modulasi merupakan proses pengendalian internal oleh sistem saraf, yang dapat meningkatkan maupun mengurangi penerusan impuls nyeri. Proses penghambatan atau penurunan dalam penerusan impuls nyeri terjadi melalui sistem analgesia endogen yang melibatkan bermacam-macam neurotransmitter. Salah satunya adalah endorfin yang dikeluarkan oleh sel otak dan neuron di spinalis (Andarmoyo, 2016).

  5. Persepsi
    Setelah melalui proses stimulasi hingga modulasi maka rangsang akan diteruskan menjadi suatu persepsi. Persepsi berperan penting sebagai penentu berat atau ringannya nyeri yang dirasakan setiap individu. Persepsi adalah suatu hasil dari rekonstruksi susunan saraf pusat tentang impuls nyeri yang diterima. Rekonstruksi merupakan hasil dari interaksi sistem saraf sensoris, informasi kognitif (korteks serebri) dan pengalaman emosional (hipokampus dan amigdala). Setelah sampai ke otak, nyeri dirasakan secara sadar dan menimbulkan respon berupa perilaku dan ucapan yang merespon adanya nyeri (Andarmoyo, 2016).

Respon Terhadap Nyeri


Nyeri bersifat sangat subjektif. Nyeri dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik fisiologis maupun psikologis. Nyeri yang timbul menghasilkan berbagai macam respon. Berikut ini adalah penjelasan mengenai respon respon nyeri :

  1. Respon Fisiologis
    Respon fisiologis terhadap nyeri dapat membahayakan individu. Respon fisiologis meliputi saraf simpatik dan saraf parasimpatik. Pada saat impuls nyeri naik ke medulla spinalis menuju ke batang otak dan hipotalamus, sistem saraf otonom menjadi terstimulasi sebagai bagian dari respons stres. Stimulasi pada cabang simpatis pada sistem saraf otonom menghasilkan respons fisiologis. Apabila nyeri berlangsung terus-menerus, berat, dan melibatkan organ-organ dalam maka system saraf simpatis akan menghasilkan suatu aksi (Andarmoyo, 2016:68).

  2. Respon Perilaku
    Respon perilaku yang ditunjukan oleh setiap individu sangat beragam. Respon perilaku merupakan indikator adanya gangguan di dalam tubuh. Perawat bisa mengidentifikasi nyeri dari beberapa respon perilaku, dalam menentukan nyeri. Menurut Potter dan Perry dalam menentukan nyeri dapat di perhatikan melalui empat bagian, diantaranya adalah :

    • Dilihat dari segi visual yaitu :

      1. Merintih;
      2. Menangis;
      3. Sesak napas (menarik napas dalam)
    • Dilihat dari segi ekspresi wajah :

      1. Meringis;
      2. Menggeletukkan gigi;
      3. Mengernyitkan dahi;
      4. Menggigit bibir;
      5. Menutup mata maupun mulut dengan rapat atau membuka mata atau mulut dengan lebar.
    • Dilihat dari segi gerakan tubuh :

      1. Gelisah
      2. Imobilisasi
      3. Ketegangan otot
      4. Peningkatan gerakan tangan maupun jari
      5. Gerakan ritmik atau gerakan menggosok
      6. Gerakan melindungi bagian tubuh.
    • Dilihat dari segi interaksi sosial :
      1 Menghindari percakapan
      2 Menghindari kontak sosial
      3 Penurunan rentang perhatian
      4 Fokus hanya pada tindakan untuk menghilangkan nyeri. (Andarmoyo, 2016)

  3. Penilaian Respon Intensitas Nyeri
    Nyeri yang dirasakan setiap individu sangat subjektif. Rasa nyeri yang seharusnya sama dapat bernilai sangat berbeda pada masing-masing individu. Penilaian intensitas nyeri dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa skala pengukuran intensitas nyeri. Menurut Potter dan Perry pengukuran intensitas skala nyeri dapat dilakukan menggunakan alat ukur sebagai berikut :

    • Skala Numerik
      Skala numerik digunakan untuk mengukur intensitas nyeri dalam praktek klinis. Skala ini biasanya dijelaskan kepada pasien secara verbal, namun bisa juga disajikan secara visual. Skala ini paling efektif digunakan untuk mengkaji intensitas nyeri sebelum dan setelah intervensi terapeutik . Skala penilaian numerik (Numerical rating scales, NRS) lebih digunakan sebagai pengganti alat pendeskripsian kata. Dalam skala ini, klien menilai rasa nyeri dengan menggunakan skala 0-10. Contoh, klien post-appendiktomi hari pertama menunjukkan skala nyeri 9, setelah diberikan intervensi keperawatan, hari ketiga perawatan, nyeri pasien menunjukkan skala nyerinya 4.

    • Skala Deskriptif
      Skala deskriptif merupakan alat pengukuran tingkat keparahan nyeri yang lebih objektif. Alat ukur ini memungkinkan klien untuk memilih kategori dalam mendiskripsikan nyerinya. Skala deskriptif atau biasa disebut dengan skala pendiskripsi verbal (Verbal Desciption Scale, VDS) merupakan alat pengukur skala nyeri berbentuk sebuah garis yang terdiri dari tiga sampai lima kata pendeskripsi yang tersusun dengan jarak yang sama di sepanjang garis. Pendeskripsian ini diranking dari yang “tidak terasa nyeri” sampai “nyeri yang tidak tertahankan”. Perawat menunjukkan klien skala tersebut, dan meminta klien untuk memilih intensitas nyeri terbaru yang ia rasakan. Perawat juga menanyakan seberapa jauh nyeri terasa paling tidak menyakitkan. Alat VDS ini memungkinkan klien untuk memilih kategori untuk mendiskripsikan nyerinya.

    • Visual Analog Scale
      Alat pengukuran intensitas nyeri visual analog scale ini mudah untuk digunakan. Skala ini memerlukan lebih banyak waktu dalam pengukuran. Visual analog scale adalah alat pengukuran intensitas nyeri efisien yang telah digunakan secara luas dalam penelitian dan pengaturan klinis. Visual analog scale adalah alat ukur lainnya yang digunakan untuk memeriksa intensitas nyeri dan secara khusus meliputi 10-15 cm garis, dengan setiap ujungnya ditandai dengan level intensitas nyeri, ujung kiri diberi tanda “no pain” dan ujung kanan diberi tanda “bad pain” (nyeri hebat). Untuk menilai hasil, sebuah penggaris diletakkan sepanjang garis dan jarak yang dibuat klien pada garis dari “tidak ada nyeri” diukur dan ditulis dalam centimeter (Andarmoyo, 2016

Nyeri merupakan pengalaman sensorik yang tidak menyenangkan, unsur utama yang harus ada untuk disebut sebagai nyeri adalah rasa tidak menyenagkan. Tanpa unsur itu tidak dapat dikategorikan sebagai nyeri. Nyeri merupakan pengalaman emosional yang tidak menyenagkan, persepsi nyeri seseorang sangat ditentukan oleh pengalaman dan status emosionalnya. Nyeri terjadi akibat adanya kerusakan jaringan yang nyata (paid associate with actual tissue damage). Nyeri yang demikian dinamakan nyeri akut yang dapat menghilang seiring dengan penyembuhan jaringan dan nyeri yang demikian sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari (Zakiyah, 2015).

Klasifikasi Nyeri

  1. Nyeri akut

    Nyeri akut adalah respon fisiologis normal yang diramalkan terhadap rangsangan kimiawi, panas, atau mekanik menyusul suatu pembedahan, trauma, dan penyakit akut. Ciri khas nyeri akut adalah nyeri yang diakibatkan kerusakan jaringan yang nyata dan akan hilng seirama dengan proses penyembuhan, terjadi dalam waktu singkat dari 1 detik sampai kurang dari 6 bulan (Zakiyah, 2015).

  2. Nyeri kronis

    Nyeri kronis adalah nyeri yang menetap melampaui waktu penyembuhan normal yakni enam bulan. Nyeri kronis dibedakan menjadi dua, yaitu: nyeri non maligna (nyeri kronis persisten dan nyeri kronis intermitten) dan nyeri kronis maligna. Nyeri kronis persisten merupakan perpaduan dari manisfestasi fisik dan psikologi sehingga nyeri ini idealnya diberikan intervensi fisik dan psikologi. Pada umumnya nyeri ini diakibatkan oleh kesalahan diagnosis, rehabilitasi yang tidak adekuat,siklus pemulihan dan depresi. Nyeri kronis intermitten merupakan eksaserbasi dari kondisi nyeri kronis. Nyeri ini terjadi pada periode yang spesifik. Nyeri kronis maligna biasanya disebabkan oleh kanker yang pengobatanya tidak terkontrol atau disertai gangguan progresif lainya, nyeri ini dapat berlangsung terus menerus sampai kematian (Zakiyah, 2015).

Skala Nyeri

Skala nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri dirasakan individu, pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif dan individual dan kemungkinan nyeri dalam intensitas yang sama dirasakan sangat berbeda oleh dua orang yang berbeda. Berikut ini merupakan Gambar Skala nyeri Bourbonais (Anjelita, 2013)

image

Keterangan :

Skala nyeri 0 : Tidak nyeri

Skala nyeri 1-3 : Nyeri ringan. Secara obyektif klien dapat berkomunikasi dengan baik.

Skala nyeri 4-6 : Nyeri sedang. Secara obyektif klien mendesis, menyeringai, dapat menunjukan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dapat mengikuti perintah dengan baik.

Skala nyeri 7-9 : Nyeri berat. Secara obyektif klien terkadang tidak dapat mengikuti perintah tapi masih respon terhadap tindakan, dapat menunjukkan lokasi nyeri, tidak dapat mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih posisi, nafas panjang, dan distraksi.

Skala nyeri 10 : Nyeri sangat berat. Pasien sudah tidak mampu lagi berkomunikasi, perubahan ADL yang sangat mencolok (ketergantungan).

Cara Mengukur Nyeri

Mengukur nyeri dapat dikaji dengan prilaku yang menarik diri dari komunikasi, postur tubuh kaku, keluhan, dan ungkapan verbal mengenai ketidaknyamanan (Muttaqin, 2008).

Mengukur nyeri dengan menggunakan pendekatan skala PQRST :

  1. Provoking incident :

    Apakah ada peristiwa yang menjadi faktor penyebab nyeri, apakah nyeri berkurang apabila beristirahat, apakah nyeri bertambah berat bila beraktifitas ( aggravation ). Faktor-faktor yang dapat meredakan nyeri (misalnya gerakan, kurang bergerak, pengarahan tenaga, istirahat, obat-obat bebas, dan sebagainya) dan apa yang dipercaya klien dapat membantu mengatasi nyerinya (Muttaqin, 2008).

  2. Quality or quantity of pain :

    Seperti apa nyeri yang dirasakan atau digambarkan klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, tajam, atau menusuk (Muttaqin, 2008).

  3. Region radiation relief :

    Lokosi nyeri harus ditunjukkan dengan tepat oleh klien, apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa sakit menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi. Tekanan pada saraf atau akan memberikan gejala nyeri yang disebut radiotion pain misalnya pada seketika dimana rasa nyeri menjalar mulai dari bokong sampai anggota gerak bawah sesuai dengan distribusi saraf. Nyeri lain yang disebut nyeri kiriman atau referred pain adalah nyeri pada suatu tempat yang sebenarnya akibat kelainan dari tempat lain misalnya nyeri lutut akibat kelainan pada sendi panggul (Muttaqin, 2008).

  4. Severity (scale) of pain :

    Seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan klien, bisa berdasarkan skala nyeri deskriptif (tidak ada nyeri, nyeri ringan, nyeri sedang, nyeri berat, nyeri tak tertahankan) dan klien menerangkan seberapa jauh rasa sakit memengaruhi kemampuan fungsi terhadap aktifitas kehidupan sehari-hari (misalnya tidur, nafsu makan, konsentrasi, interaksi dengan orang lain, gerakan fisik, bekerja, dan aktivitas0-aktivitas santai). Nyeri akut sering berkaitan dengan cemas dan nyeri kronis dengan depresi (Muttaqin, 2008).

  5. Time :

    Berapa nyeri berlangsung (bersifat akut atau kronis), kapan, apakah ada waktu-waktu tertentu yang menambah rasa nyeri (Muttaqin, 2008).