Apa yang dimaksud dengan nusyuz?

Nusyuz secara bahasa berarti tempat yang tinggi (menonjol). Sedangkan secara istilah nusyuz berarti istri durhaka kepada suami dalam perkara ketaatan pada suami yang Allah wajibkan.

Apa yang dimaksud dengan nusyuz ?

1 Like

nusyuz

Nusyûz secara etimologi berasal dari bahasa Arab, nasyaza yang dalam bahawa Indonesia berarti perempuan mendurhakai suaminya. Nusyûz secara terminologi adalah suatu tindakan seorang isteri yang dapat yang dapat diartikan menentang kehendak suami dengan alas an yang tidak dapat diterima menurut hukum syara‟.
Pengertian nusyûz sebagaimana dikemukan oleh para Ulama antara lain sebagai berikut:

  1. Wahbah Al-Zuhaili, dalam kitabnya al-Fiqhul Islam wa Adillatuh menerangkan bahwa nusyûz adalah isteri mengingkari (ma’siat) terhadap kewajibannya pada suami, juga perkara yang membuat salah satu dari pasangan suami isteri benci dan pergi dari rumah tanpa izin suami bukan untuk mencari keadilan kepada hakim.

  2. Sayyid Sabiq, dalam kitabnya Fiqh Sunnah mendefinisikan nusyûz sebagai kedurhakaan isteri terhadap suaminya, tidak taat kepada atau menolak diajak ketempat tidurnya atau keluar dari rumahnya tanpa seizin suaminya.

  3. Menurut Muhammad Abduh sebagaimana dikutip Muhammad Rasyid Ridha nusyûz adalah tindakan perempuan yang tidak memenuhi hak suaminya dan ia berusaha memosisikan dirinya diatas kepala keluarga.

  4. Menurut Ibnu Manzur, secara terminologis nusyûz ialah rasa kebencian suami terhadap isteri atau sebaliknya. Sedangkan menurut Wahbah Az-Zuhaili, guru besar ilmu fiqh dan ushul fiqh pada Universitas Damaskus, mengartikan nusyûz sebagai ketidakpatuhan atau kebencian suami kepada isteri terhadap apa yang seharusnya dipatuhi, begitu pun sebaliknya.

Isteri yang melakukan nusyûz dalam Kompilasi Hukum Islam didefinisikan sebagai sebuah sikap ketika isteri tidak mau melaksanakan kewajibannya yaitu kewajiban utama berbakti lakhir dan batin kepada suami dan kewajiban lainnya adalah menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari dengan sebaik-baiknya.

Bagi sebagian ulama berpendapat bahwa nusyûz tidak sama dengan syiqaq, karena nusyûz dilakukan oleh salah satu pasangan dari suami-isteri. Nusyûz berawal dari salah satu pihak, baik dari isteri maupun suami bukan kedua-duanya secara bersama-sama, karena hal tersebut bukan lagi merupakan nusyûz melainkan dikategorikan sebagai syiqaq.

Pandangan Ulama Tentang Nusyûz

Sama halnya dalam hal-hal lainnya, nusyûz menurut para ulama juga mempunyai pemahaman yang berbeda-beda antara yang satu dengan yang lainnya. Perbedaan ini tidak hanya dari sisi hukum tetapi dari sisi pemaknaanpun setiap ulama mempunyai pandangan yang berbeda.

Ulama Hanafiyah mendifinisikan nusyûz sebagai berikut:

”Keluarnya Isteri dari rumah suami tanpa hak”.

Sedangkan Ulama‟ Malikiyah, Syafi‟iyah, dan Hanabilah berpendapat bahwa nusyûz adalah:

”Keluarnya isteri dari ketaatan yang wajib kepada suami”.

Sedangkan perbuatan isteri yang termasuk kategori nusyûz terhadap suami menurut para Ulama juga terdapat beberapa perbedaan, antara lain:

  1. Ulama Hanafiyah menyatan bahwa suami tidak wajib memberikan nafkah kepada isteri nusyûz (dengan nusyûz sebagai diatas), karena tidak ada taslim (sikap tunduk atau patuh) dari isteri.

  2. Ulama Malikiyah menyatakan bahwa nusyûz terjadi jika isteri menolak “bersenang-senang” dengan suami, termasuk juga keluar rumah tanpa izin suami kesuatu tempat yang si isteri tau suaminya tidak senang kalau isterinya pergi kesitu, sementara suami tidak mampu mencegah isterinya dari awal (namun tidak suami lakukan) atau mampu mengembalikannya dengan damai atau dengan lewat hakim, maka isteri tidak terkategori melakukan nusyûz.

  3. Ulama Syafiiyah menyatakan nusyûz adalah keluarnya isteri dari rumah tanpa izin suaminya, juga termasuk nusyûz :

    • Menutup pintu rumah (agar suami tidak masuk).
    • Melarang sumi membuka pintu, mengunci suami didalam rumah supaya tidak bisa keluar.
    • Tidak mau bersenang-senang dengan suami pada saat tidak ada udzur, semisal haid, nifas atau isteri merasa kesakitan.
    • Ikut suami dalam safar (perjalanan) tanpa izin suami dan suami melarangnya.

    Namun menurut Ulama Syafiiyyah yang diperbolehkan keluar rumah tanpa izin dan tidak termasuk perbuatan nusyûz adalah jika keluar tersebut untuk/karena:

    • Menghadap qadli (hakim) untuk mencari kebenaran.
    • Mencari nafakah jika suaminya kesulitan atau jika tidak mampu memenuhi kebutuhan rumah tangga.
    • Meminta fatwa („ilmu) jika suaminya tidak fakih (sehingga tidak mingkin minta fatwa ke suami).
    • Membeli tepung atau roti atau membeli keperluan yang memang harus dibeli.
    • Menghindar karena khawatir rumahnya runtuh (jangan milih mati ketimbun di dalam rumah karena pesan suami tidak boleh keluar rumah).
    • Pergi kesekitar rumah mememui tetangga untuk berbuat baik kepada mereka.
    • Sewa rumah habis atau yang meminjamkan rumah sudah dating (sehingga harus keluar tanpa harus menunggu sumi, apalagi kalau suaminya jauh).
  4. Ulama Hanabilah memberikan tanda-tanda nusyûz, diantaranya adalah malas atau menolak diajak bersenang-senang, atau memenuhi ajakan namun merasa enggan dan menggerutu sehingga rusak adabnya terhadap suaminya. Termasuk nusyûz adalah dengan bermaksiat kepada Allah dalam kewajiban yang telah Allah bebankan kepadanya, tidak mau diajak ketempat tidur suaminya atau keluar rumah suaminya tanpa izin suaminya.

Menurut terminologis, nusyuz mempunyai beberapa pengertian di antaranya: Menurut fuqaha Hanafiyah seperti yang dikemukakan Saleh Ganim mendefinisikanya dengan ketidaksenangan yang terjadi diantara suami-isteri. Ulama mazhab Maliki berpendapat bahwa nusyuz adalah saling menganiaya suami isteri. Sedangkan menurut ulama Syafi’iyah nusyuz adalah perselisihan diantara suami-isteri, sementara itu ulama Hambaliyah mendefinisikanya dengan ketidak- senangan dari pihak isteri atau suami yang disertai dengan pergaulan yang tidak harmonis.

Menurut Al-Qurtubi, nusyuz adalah:

“Mengetahui dan meyakini bahwa isteri itu melanggar apa yang sudah menjadi ketentuan Allah dari pada taat kepada suami.”

Nusyuz menurut Slamet Abidin dan Aminudin adalah kedurhakaan yang dilakukan istri terhadap suaminya. Apabila istri menentang kehendak suami tanpa alasan yang dapat diterima menurut hukum syara’, maka tindakan itu dipandang durhaka.

Isteri yang melakukan nusyuz dalam Kompilasi Hukum Islam didefinisikan sebagai sebuah sikap ketika isteri tidak mau melaksanakan kewajibannya yaitu kewajiban utama berbakti lahir dan batin kepada suami dan kewajiban lainnya adalah menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari dengan sebaik- baiknya.

Macam- Macam Nusyuz


Ada 2 macam nusyuz, yaitu:

1. Nusyuz isteri terhadap suami

Nusyuz bermakna kedurhakaan yang dilakukan oleh isteri terhadap suaminya, hal ini bisa terjadi dalam rumah tangga dengan bentuk pelanggaran perintah, penyelewengan dan hal-hal yang menganggu keharmonisan rumah tangga.

Dalam Al Qur’an terdapat firman Allah, bagaimana cara mengatasi nusyuz isteri agar tidak terjadi perceraian. Surat an-Nisa ayat 34:

“Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar”

Kita mengetahui, bahwa nusyuz bisa terjadi pada perempuan dan juga laki-laki. Akan tetapi, watak perempuan berbeda dengan watak laki-laki. Oleh karena itu, cara penyembuhannya juga berbeda secara teori dikarenakan perbedaan nusyuz antara mereka berdua. Meskipun dalam hal itu ada persamaan antara keduanya dan bahwa pada setiap diri mereka mencemaskan bagi lainnya.

Wajib bagi suami pada saat itu untuk mencari sebab terjadinya perubahan istri, ia berterus terang dengannya mengenai apa yang terjadi, maka diharapkan istri dapat menjelaskan sebab yang membuatnya marah, yang tidak dirasakan oleh suami. Oleh karena itu, bagi suami jika telah jelas baginya bahwa nusyuz karena berpalingnya perilaku istri sehingga ia membangkang dan durhaka dengan melakukan dosa dan permusuhan, kesombongan dan tipu daya. Berangkat dari Surat An Nisa ayat 34.

Al Qur’an memberikan opsi sebagai berikut:

  1. Pertama, Isteri diberi nasihat dengan cara yang ma’ruf agar ia segera sadar terhadap kekeliruan yang diperbuatnya. Memperingatkan isteri pada suatu yang layak dan patut dan menyebutkan dampak-dampak nusyuz, di antaranya bisa berupa perceraian yang berdampak pada keretakan eksistensi keluarga dan telantarnya anak-anak.

    Kemudian, memberikan penjelasan kepada isteri tentang apa yang mungkin terjadi di akhirat, bagi perempuan yang ridha dengan Tuhannya dan taat kepada suaminya. Pemberian nasihat menurut Al-Qur’an begitu pula hadits-hadits Nabi dan juga para ulama tafsir tidak membatasi, fiqh terhadap yang terlihat selama waktu tertentu. Seharusnya bagi suami untuk terus memberi nasihat kepada isterinya dan mengutamakan hal tersebut sebelum berpindah pada fase pemecahan masalah selanjutnya.

  2. Kedua, pisah ranjang. Cara ini bermakna sebagai hukuman psikologis bagi isteri dan dalam kesendiriannya tersebut ia dapat melakukan koreksi diri terhadap kekeliruannya. Berpisah dari tempat tidur yaitu suami tidak tidur bersama isterinya, memalingkan punggungnya dan tidak bersetubuh dengannya. Jika isteri mencintai suami maka hal itu, tersa bersat atasnya sehingga ia kembali baik.

    Kemudian, jika ia masih marah maka hal itu jelas diketahui bahwa nusyuz berawal dari nya. Dalam pandangan ulama hal ini berakhir selama sebulan sebagaimana dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW ketika menawan Hafshah dengan perintah sehingga ia membuka diri tentang Nabi kepada Aisyah dan mereka berdua mendatangi Nabi. Sebagaimana berpisah itu telah bermanfaat dengan meninggalkan tempat tidur saja, tanpa meninggalkan berbicara dengannya secara mutlak.

  3. Ketiga, apabila dengan cara ini tidak berhasil, langkah berikutnya adalah memberi hukuman fisik dengan cara memukulnya. Penting untuk dicatat, yang boleh dipukul hanyalah bagian yang tidak membahayakan si istri seperti batasnya.

Sebenarnya, pemukulan ini tidak wajib secara syara’ dan juga tidak baik untuk dilakukan. Hanya saja ini, merupakan cara terakhir bagi laki-laki setelah ia tidak mampu menundukkan isterinya, mengajaknya dengan bimbingan, nasihat, dan pemisahan. Akan tetapi, ini merupakan ini merupakan usaha untuk menyelamatkan tabiat keluarga dari kehancuran, membersihkan rumah tangga dari keterpecahan yang dihadapinya.

Pemukulan yang dilakukan bersifat tidak meninggalkan bekas pada tubuh, tidak mematahkan tulangnya, dan tidak mengakibatkan luka karena yang dimaksud dari pemukulan ini adalah memperbaiki, bukan yang lain. Bagi suami untuk memukul dengan pukulan yang halus tanpa menyakiti.

Rasulullah bersabda: “Pukullah perempuan-perempuan itu jika ia mendurhakaimu dalam kebaikan dengan pukulan yang tidak menyakitkan.”

Kemudian, Imam Qurthubi berkata, “Ketahuilah bahwa Allahtidak memerintahkan untuk memukul seseorang jika ia melanggar kewajiban Nya, kecuali dalam kasus nusyuz ini dan kasus hudud yang tergolong besar. Allah menyamakan pembangkangan para istri dengan maksiat dosa besar lainnya.

Dalam pelaksanaan hukumannyapun, suami sendiri yang melaksanakannya, bukan penguasa. Bahkan Allah menetapkan hal itu tanpa proses pengadilan, tanpa saksi atau bukti, sebab dalam hal ini Allah betul-betul percaya kepada para suami dalam menangani istri-istrinya.

2. Nusyuz suami terhadap isteri

Kemungkinan nusyuz tidak hanya dari pihak isteri namun, dapat juga dari pihak suami. Selama ini, disalahpahami bahwa nusyuz hanya dari pihak istri saja.

Padahal di dalam Al Qur’an juga menyebutkan adanya nusyuz dari suami seperti yang terlihat dalam surat An Nisa’ ayat 128:

“Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan juga kamu bergaul dengan istrimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

Nusyuz suami terjadi bila ia tidak melaksanakan kewajibannya terhadap istrinya, baik meninggalkan kewajiban yang bersifat materi atau nafaqah atau meninggalkan kewajiban yang bersifat nonmateri diantaranya mu’asyarah bi al-ma’ruf atau menggauli istrinya dengan baik.

Yang terakhir ini mengandung arti yang luas, yaitu segala sesuatu yang dapat disebut menggauli istrinya dengan cara buruk, seperti berlaku kasar, menyakiti fisik dan mental istri, tidak melakukan hubungan badaniyah dalam waktu tertentu dan tindakan lain yang bertentangan dengan asas pergaulan baik.

Dalam hadist Rasul SAW, diantara kewajiban suami terhadap isteri adalah :

  1. Pertama, memberi sandang dan pangan.

  2. Kedua, tidak memukul wajah jika isteru sedang nusyuz.

  3. Ketiga, tidak mengolok-olok dengan mengucapkan hal-hal yang dibencinya.

  4. Keempat, tidak menjauhi isteri atau menghindari isteri kecuali didalam rumah.

Nusyuz secara bahasa berasal dari kata nazyaya-yansyuzunasyazan wa nusyuzan, yang berarti meninggi, menonjol, durhaka, menentang, atau bertindak kasar. Sikap tidak patuh dari salah seorang diantara suami dan isteri atau perubahan sikap suami atau isteri. Dalam pemakaiannya, arti kata annusyuuz ini kemudian berkembang menjadi al-’ishyaan yang berarti durhaka atau tidak patuh.

Nusyuz memiliki banyak pengertian, diantaranya menurut ulama madzhab. Menurut Maliki, nusyuz diartikan sebagai perbuatan saling menganiaya antar suami istri. Menurut ulama Syafi’iyah nusyuz merupakan perselisihan diantara suami istri. Ulama Hambali berpendapat nusyuz merupakan ketidaksenangan antar suami istri yang disertai dengan hubungan yang tidak harmonis. Sedangkan fuqaha Hanafiyah mendefinisikan nusyuz merupakan ketidaksenangan antar suami istri. Sedangkan menurut Hussein Bahreisy mengemukakan dalam karyanya “Kuliah Syari’at”, yaitu istri yang menolak ajakan atau perintah suami, membangkang dan marah terhadap suaminya.

Dasar Hukum Nusyuz

Nafkah istri merupakan tuntutan istri atas suami karena perintah syariat untuk istrinya. Nafkah istri tersebut berupa makanan, minuman, pakaian, temat tinggal, ranjang, serta pelayanan yang lainnya sesuai tuntunan syariat. Apabila nafkah yang diberikan dengan unsur kikir, akan menjadikan istri tertekan dan dapat mendatangkan kebencian istri. Bahkan dikhawatirkan dapat membuat istri berbuat nusyuz. Nusyuz telah dijelaskan dalam Q.S an-Nisa’ (4): 34 yang artinya: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.”

Ayat tersebut mengandung pengertian bahwa nusyuz merupakan suatu perbuatan yang dikhawatirkan akan terjadi. Menurut Imam Asy-Sya’rawi, bahwa ayat tersebut merupakan salah satu cara Allah untuk mendidik dan menambah kewaspadaan hamba-Nya ketika mengetahui istrinya yang nusyus. Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam, istri dianggap nusyuz jika tidak mau berbakti lahir dan batin terhadap suami dalam batasan-batasan yang dibenarkan dalam syar’i dan istri mesti menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari dan sebaik-baiknya.

Macam-Macam Nusyuz

Selama ini, disalahpahami bahwa nusyuznya terjadi pada pihak istri. Namun realitnya nusyuz juga terjadi dari pihak suami. Nusyuz dibagi menjadi 2 macam, yaitu:

  1. Nusyuz istri terhadap suami
    Hubungan suami istri mempunyai prinsip dasar, yaitu suami menjadikan istri sebagai tempat mencurahkan kasih sayang, dan mencari ketenangan serta tempat bergaul. Untuk menghindari runtuhnya lembaga perkawinan ini, Islam mengajarkan dalam rumah tangga cara untuk merubah sikap istri, diantaranya: menasehati istri, pisah ranjang, dan memukul istri. Namun jika tidak berhasil, mengambil langkah hakam (juru damai). Bila cara ini tidak juga berhasil, maka diperbolehkan untuk bercerai.

  2. Nusyuz suami terhadap istri
    Bentuk nusyuz suami diantaranya kelalaian suami untuk memenuhi kewajiban terhadap istri, baik nafkah lahir maupun nafkah batin. Nusyuz suami menurut Ibnu Jarir dalam tafsir Jami’ alBayangan fi tafsir al-Quran yakni sikap tidak acuh dari suami terhadap istri, yakni selalu berpaling darinya dengan wajahnya, atau tidak lagi memberikan sesuatu yang seharusnya diberikan terhadap istrinya. Nusyuz suami terjadi jika suami meninggalkan kewajibannya,yang bersifat lahir/batin, yang berupa nafkah ataupun menggauli istri dengan cara yang ma’ruf. Seperti yang dijelaskan yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Aisyah mengenai ayat nusyuz suami tersebut yaitu berkenaan dengan wanita yang terikat pernikahan dengan suaminya, dan suami tidak lagi terhadapnya dan ingin mentalaknya serta ingin menikahi wanita lain. kemudian istri tersebut mengadakan perdamaian supaya tidak ditalak suami dengan merelakan sebagian haknya dan merelakan suaminya menikahi wanita lain.

Batasan-Batasan Nusyuz

Menurut ulama fikih dan berbagai kalangan madzhab, beberapa perbuatan istri yang dikategorikan sebagai nusyuz beserta batasanbatasannya adalah :

  1. Istri meninggalkan rumah tanpa seizin suami tanpa alasan yang syar’i dianggap nusyuz. Menurut kesepakatan madzhab nafkah istri tidak berlaku. Syafi’i dan Hambali menambahkan jika istri keluar rumah untuk kepentingan suami, maka nafkah tetap berlaku. Jika istri kembali mentaati suami dan tinggal di rumah maka kembali pula nafkah istri, namun nafkah yang terlewatkan selama istri nusyuz tidak dapat diminta kembali.18 Tindakan-tindakan dalam kategori nusyuz tidak selalu dihukumi sebagai tindakan nusyuz. Dikutip dari putusan MARI Nomor 514 K/AG/1996 23 april 1998 menurut Anshary, tindakan istri yang meninggalkan rumah suami tanpa izin dapat dipandang sah dan beralasan hukum jika bertujuan untuk menghindari tindakan kekerasan suami, maka tidak termasuk nusyuz.

  2. Istri menolak ajakan suami untuk pindah ke rumah suami yang telah disediakan secara layak baginya. Perbuatan istri ini dianggap nusyuz dan menurut kesepakatan seluruh madzhab nafkah istri tidak berlaku. Syafi’i dan Hambali menambahkan bahwa ketika istri keluar rumah karena urusan suami, maka hak nafkah tidak tidak berlaku. Namun ketika istri keluar rumah meskipun dengan izin suami namun bukan untuk kepentingan suami, maka hak nafkah baginya menjadi tidak berlaku.

  3. Istri menolak untuk melakukan hubungan suami istri dengan suaminya tanpa alasan termasuk bercumbu atau bentuk kenikmatan lainnya, baik penolakan tersebut terjadi di rumah suami maupun rumahnya sendiri. Rasulullah sangat memperhatikan hal tersebut karena bercinta merupakan elemen terpenting untuk menjaga keharmonisan dalam rumah tangga.

  4. Istri enggan melakukan perjalanan (safar) bersama suami, manakala jalur transportasi dalam keadaan aman dan tidak dikhawatirkan bahaya atau kesulitan. Dan tidak berhak atas nafkah ketika istri biasa bepergian sendiri tanpa suami atau muhrim. Sebab kepergiannya dikarenakan kesalahannya yang tidak menyertakan suami atau muhrimnya.

  5. Manakala istri membuka usaha, atau berpuasa sunnah dan suami tidak ridha, ketika suami melarangnya namun istri tidak menghiraukan nasehat suami, maka istri tersebut telah nusyuz atas perintah suami, dan nafkah tidak berlaku baginya.

  6. Apabila istri menutup diri di rumah suami dan tidak keluar rumah tanpa izin suami, maka istri masih disebut patuh meskipun tidak mau dicampuri tanpa alasan syar’i, seluruh madzhab yang lain sepakat bahwa perbuatan istri tersebut nusyuz dan nafkah tidak berlaku baginya. Menurut Imam Hanafi, yang menjadi sebab kewajiban memberi nafkah adalah keberadaan istri di rumah suami. persoalan ranjang dan hubungan seksual tidak ada hubungannya dengan kewajiban nafkah. Bahkan Imam Syafi’i mengatakan bahwa sekedar mau digauli sama sekali belum dipandang cukup kalau istri tidak menawarkan dirinya kepada suami dengan mengatakan secara tegas, “Aku menyerahkan diriku kepadamu.”

  7. Apabila istri dikurung karena kejahatan istri atau hutangnya, walaupun perbuatan tersebut menzalimi istri, nafkah tetap tidak berlaku. Hal ini dikarenakan istri telah melanggar kewajibannya terhadap suami. Namun, jika suami yang menuntut pengurungan atas hutang istri terhadap dirinya, maka istri masih berhak atas nafkah.

  8. Manakala istri keluar dari agama Islam (Murtad), menurut kesepakatan seluruh ulama madzhab kewajiban memberi nafkah menjadi tidak berlaku. Namun nafkah bagi ahli kitab tetap diwajibkan seperti halnya istri muslimah.

  9. Wanita yang mau tinggal di rumah suami dan bersedia digauli kapanpun suami menghendakinya, namun kasar dalam berbicara, selalu membentak dan berbuat kasar terhadap suami, serta melawan suami dalam banyak hal. Ketika perbuatan itu sudah watak asli si istri, yakni juga berbuat kasar terhadap orang lain terlebih terhadap orang tuanya, maka perbuatan tersebut tidak dianggap nusyuz dan tetap berhak nafkah. Namun ketika perbuatan itu bukan watak aslinya, yakni istri bersikap baik terhadap orang lain dan bersikap kasar hanya terhadap suami saja. Maka istri dianggap nusyuz dan tidak berlaku nafkah baginya.

  10. Ketika istri tidak mau menuruti suami kecuali setelah menerima maharnya. Ada dua pendapat menurut ulama. Pertama, ketidakbersediaan istri sebelum digauli, maka tidak diangap nusyuz dan tetap berhak atas nafkah. Kedua, ketidakbersediaan istri setelah digauli suami secara sukarela, istri semacam ini dianggap berbuat nusyuz dan tidak berlaku nafkah atas dirinya.