Apa yang dimaksud dengan Nazar?

Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia “Nazar” berarti: ”janji hendak berbuat sesuatu apabila telah tercapai maksudnya; kaul; membayar (melepasi, menunaikan), melakukan apa yang sudah
dijanjikan”. Apa yang dimaksud dengan Nazar menurut Islam?

Pengertian nazar dan cara membayar nazar- Pengertian nazar adalah seperti janji yang harus kita tepati karena jani adalah hutang yg harus dibayar, jika tidak bisa dibayar di dunia maka akab di bayar di akhirat dengan amalan kita, nazar terbagi menjadi dua yaitu ada :

  • Nazar Mutlak
    Yaitu nazar yang di­ucapkan secara mutlak tanpa dikaitkan dengan hal lain. Seperti “Lillahi ‘alayya (wajib atasku untuk Allah) bersedekah 4 milyar”.

  • Nadzar Bersyarat
    Yaitu nadzar yang akan dilakukan jika mendapat suatu kenikmatan atau dihilangkan suatu bahaya. Contoh : “Jika aku sukses akan kusumbangkan 10% kesuksesanku kepada kaum Du’afa”

Sebagaimana hadis Nabi sallallahu alaihi wasallam:

“Sesungguhnya Allah Ta’ala telah mengampuni umatku apa yang dibisikkan dalam hati selama mana ia tidak dilaksanakan atau diucapkan” (Riwayat Bukhari dan Muslim).

Harus diingat
Sebagian ulama termasuk Syeikh Ibnu Uthaimin rahimahullah melihat bahwa hukum nazar adalah makruh bahkan Syeikhul Islam Ibnu Taimiah cenderung ke arah pengharamannya. Ini berdasarkan hadis Ibnu Omar bahawa Nabi sallallahu alaihi wasallam bersabda:

“Janganlah kalian bernazar; sesungguhnya ia tidak bisa mempengaruhi takdir; ia hanya dilakukan oleh orang yang bakhil” (Riwayat Bukhari dan Muslim).

Adapun kalau seseorang itu sudah bernazar, maka wajib untuknya melaksakannya suatu yang baik atau harus. Sebagaimana sabda Baginda sallallahu alaihi wasallam:

“Barangsiapa bernazar untuk taat kepada Allah maka hendaklah dia taat; dan barangsiapa bernazar untuk kemaksiatan maka janganlah ia melakukannya” (Riwayat Bukhari).

Jika ada seorang muslim/muslimin yang tidak menunaikan nazar itu kerana ia maksiat, lupa,malas, dll. Dia harus membayar,menebus nazarnya dengan cara seperti yang ada dalam kandungan surah Al-Maa’idah ayat89 :

  1. Memberi makan kepada sepuluh orang miskin; atau
  2. Memberi pakaian kepada sepuluh orang miskin; atau
  3. Memerdekakan seorang budak
  4. Puasa 3 hari.

Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia “Nazar” berarti: ”janji hendak berbuat sesuatu apabila telah tercapai maksudnya; kaul; membayar (melepasi, menunaikan), melakukan apa yang sudah dijanjikan” (Purwadarminta, 1999).

Dalam Ilmu Fiqh “Nazar” berarti “mengingat”, maksudnya ialah mewajibkan kepada diri sendiri untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan dengan maksud mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan mengucapkan lafadz nazar, sesuai dengan ketentuan syara” (Depag RI, 1982).

Landasan Teori Nazar


Pentasyri’an Nazar termaktub dalam Kitabullah dan Sunnah. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an, Surat Al-Baqarah: 270

(وَمَا أَنفَقْتُم مِّن نَّفَقَةٍ أَوْ نَذَرْتُم مِّن نَّذْرٍ فَإِنَّ اللّهَ يَعْلَمُهُ (سورة البقرة : ٢٧٠

Artinya: “Apa saja yang kamu nafkahkan atau apa saja yang kamu nazarkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya…”

Menurut tafsir Al-Misbah, ayat ini berbicara tentang nafkah, tetapi diiringi dengan uraian tentang nazar, yaitu mengikat diri dengan kewajiban melaksanakan suatu kebajikan yang tidak diwajibkan oleh Allah. Apapun yang kita nafkahkan, sedikit atau banyak berdasar kewajiban atau anjuran Allah, atau kewajiban yang kita tetapkan sendiri, maka yakinlah bahwa Allah mengetahuinya. Allah mengetahui segala motivasi, sikap dan ucapan kita, baik itu sebelum, ketika dan sesudah menafkahkan, kadar dan jenis nafkah kita, demikian juga Allah mengetahui sampai dimana ketulusan dan pelaksanaan nazar kita. Dan juga ayat ini mengisyaratkan, bahwa yang bernafkah sesuai dengan tuntunan Ilahi serta memenuhi nazar sebagaimana mestinya, akan memperoleh banyak penolong.

Surat Al-Hajj: 29 berbunyi

ثُمَّ لْيَقْضُوا تَفَثَهُمْ وَلْيُوفُوا نُذُورَهُمْ وَلْيَطَّوَّفُوا بِالْبَيْتِ الْعَتِيق((٢٩

“Kemudian hendaklah mereka menghilangkan kotoran yang ada di badan mereka dan hendaklah mereka memenuhi nazar mereka dan hendaklah mereka melakukan thawaf di Baitullah yang tua itu (Al Hajj: 29).”

Rukun dan Syarat Nazar


Para ulama fikih berbeda pendapat mengenai rukun nazar. Menurut mazhab Hanafi, Unsur Nazar hanya ada satu yaitu: sighat (ucapan atau pernyataan) yang menunjukkan adanya keinginan untuk bernazar. Sedangkan menurut jumhur ulama fikih, unsur nazar ada tiga.

  • Subjek atau orang yang bernazar (an-nazir).
  • Objek atau yang dinazarkan (al-manzur).
  • Ungkapan atau pernyataan yang menyatakan adanya nazar (assighah).

Begitu juga dalam penentuan syarat-syarat yang berkaitan dengan unsur-unsur (rukun) nazar para ulama fikih juga berbeda pendapat.

  • Subjek

    • Muslim
      Nazir haruslah muslim, maka tidak sah jika nazar diucapkan oleh orang kafir. Sehingga apabila seorang kafir bernazar kemudian masuk islam, maka nazarnya diwaktu kafir tersebut dipandang tidak sah (mu’tabar) dan tidak harus dipenuhi setelah yang bersangkutan masuk Islam.

    • Cakap bertindak
      Yaitu berakal dan baligh, maka tidak sah nazar orang gila atau anak-anak, sebab mereka tersebut dipandang sebagai orang yang tidak cakap bertindak hukum sehingga tidak dapat dibebani suatu kewajiban, sedangkan bernazar berarti membuat suatu kewajiban tertentu yang akan dituntut pertanggung jawabannya.

  • Objek (yang dinazarkan)
    Jumhur ulama membagi objek (yang dinazarkan) menjadi dua macam, yaitu:

    • Nazar yang tidak jelas
      Nazar yang tidak jelas ialah nazar yang tidak menyebutkan secara pasti apa yang akan dinazarkannya. Misalnya, seseorang berkata: “Saya bernazar kepada Allah SWT”.

    • Nazar yang jelas

      • Nazar yang dapat menjadi media untuk mendekatkan diri
      • Nazar yang apabila dilakukan akan berakibat maksiat atau durhaka kepada Allah SWT.
      • Nazar yang dibenci menurut syara’ sebaiknya tidak dilaksanakan
      • Nazar yang mubah dilakukan, yaitu boleh dilaksanakan dan boleh juga tidak karena menurut jumhur ulama sesungguhnya ini bukan nazar.

Adapun syarat-syarat bagi yang dinazarkan agar nazarnya dapat diterima (mengikat) ialah sebagai berikut:

  • Yang dinazarkan itu dapat diterima akal dan mungkin terjadi menurut pertimbangan syara’.
  • Yang dinazarkan itu merupakan ibadah (media untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT).
  • Yang dinazarkan itu, jika terdiri dari harta, harus dimiliki oleh yang bernazar.
  • Yang dinazarkan bukan merupakan sesuatu yang memang hukumnya wajib dikerjakan oleh yang bernazar.
  • Yang dinazarkan itu bukan berupa ibadah yang bersumber dari adat. Syarat ini hanya diakui oleh ulama Mazhab Hanafi, sedangkan ulama Mazhab Syafi’i tidak memasukkannya sebagai syarat bagi yang dinazarkan.

Hukum Merubah Nazar


Sesungguhnya nazar hukumnya makruh atau haram, karena Nabi shalallahu’alaihi wasallam melarangnya dan bersabda:

Sesungguhnya ia tidak datang dengan kebaikan, dan ia hanya dikeluarkan dari orang yang bakhil .” Kebaikan yang engkau harapkan dari nazar pada dasarnya bukan nazar penyebabnya. (HR. Al-Bukhari 6608, 6609 dan Muslim 1639 dan 1640).

Banyak sekali orang yang apabila sakit, ia bernazar bila Alah subhanahu wata’ala menyembuhkannya ia akan melakukan ini dan itu. Apabila hilang sesuatu darinya, ia bernazar akan melakukan ini dan itu bila menemukannya. Kemudian bila ia sudah sembuh atau mendapatkan yang hilang, bukan berarti nazat mendatangkannya, akan tetapi sesungguhnya hal itu dari sisi Allah subhanahu wata’ala , dan Allah subhanahu wata’ala lebih pemurah dari membutuhkan syarat bila diminta.

Maka engkau harus memohon kepada Allah subhanahu wata’ala agar menyembuhkan orang yang sakit ini atau mendatangnya sesuatu yang hilang, adapun nazar maka tidak ada jalan baginya. Banyak sekali orang- orang yang bernazar, apabila sudah diperoleh apa yang mereka nazarkan, mereka malas melaksanakan nazarnya, terkadang mereka tidak melaksanakannya. Ini merupakan bahaya besar. Dengarkanlah firman Allah subhanahu wata’ala :

Dan di antara mereka ada orang yang berikrar kepada Allah:“Sesungguhnya jika Allah memberikan sebahagian dari karunia-Nya kepada kami, pasti kami akan bersedekah dan pastilah kami termasuk orang-orang yang saleh”. Maka setelah Allah memberikan kepada mereka sebahagian dari karunia-Nya, mereka kikir dengan karunia itu, dan berpaling, dan mereka memanglah orang-orang yang selalu membelakangi (kebenaran). Maka Allah menimbulkan kemunafikan pada hati mereka sampai pada waktu mereka menemui Allah, karena mereka telah memungkiri terhadap Allah apa yang telah mereka ikrarkan kepada-Nya dan (juga) karena mereka selalu berdusta. (QS. at-Taubah:75-77). Atas dasar ini, tidak semestinya seorang mumin melakukan nazar.

Adapun jawaban terhadap pertanyaan ini maka kami katakan: Apabila seseorang bernazar terhadap sesuatu di satu tempat dan ia melihat bahwa yang lain lebih utama darinya, lebih dekat kepada Allah swt dan berguna untuk hamba-hamba Allah subhanahu wata’ala , maka sesungguhnya tidak mengapa ia merubah arah nazarnya ke posisi yang lebih utama.

Dalilnya: bahwa seorang laki-laki datang kepada Nabi shalallahu’alaihi wasallam seraya berkata: Ya Rasulullah, sesungguhnya aku bernazar, jika Allah subhanahu wata’ala membuka Makkah untukmu (menaklukkan), saya akan shalat di Baitul Maqdis. Beliau shalallahu’alaihi wasallam bersabda: ‘ Shalatlah di sini .’ Kemudian laki-laki itu mengulangi. Nabi bersabda: ‘ Shalatlah di sini .’ Kemudian ia mengulangi. Nabi shalallahu’alaihi wasallam bersabda: ‘ Kalau begitu, itu urusanmu. Hal ini menunjukkan bahwa apabila seseorang ingin berpindah dari nazarnya kepada yang lebih baik, maka hal itu boleh.

Menurut tafsir Al-Misbah, ayat ini berbicara tentang nafkah, tetapi diiringi dengan uraian tentang nazar, yaitu mengikat diri dengan kewajiban melaksanakan suatu kebajikan yang tidak diwajibkan oleh Allah.

Dalam Ilmu Fiqh “Nazar” berarti “mengingat”, maksudnya ialah mewajibkan kepada diri sendiri untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan dengan maksud mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan mengucapkan lafadz nazar, sesuai dengan ketentuan syar.

Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia “Nazar” berarti: ”janji hendak berbuat sesuatu apabila telah tercapai maksudnya; kaul; membayar (melepasi, menunaikan), melakukan apa yang sudah
dijanjikan.

Rukun dan Syarat Nazar

Para ulama fikih berbeda pendapat mengenai rukun nazar. Menurut mazhab Hanafi, Unsur Nazar hanya ada satu yaitu: sighat (ucapan atau pernyataan) yang menunjukkan adanya keinginan untuk bernazar. Sedangkan menurut jumhur ulama fikih, unsur nazar ada tiga.

  1. Subjek atau orang yang bernazar (an-nazir).
  2. Objek atau yang dinazarkan (al-manzur).
  3. Ungkapan atau pernyataan yang menyatakan adanya nazar (assighah)

Begitu juga dalam penentuan syarat-syarat yang berkaitan dengan unsur-unsur (rukun) nazar para ulama fikih juga berbeda pendapat.

  1. Subjek

    • Muslim
      Nazir haruslah muslim, maka tidak sah jika nazar diucapkan oleh orang kafir. Sehingga apabila seorang kafir bernazar kemudian masuk islam, maka nazarnya diwaktu kafir tersebut
      dipandang tidak sah (mu’tabar) dan tidak harus dipenuhi setelah yang bersangkutan masuk Islam.
    • Cakap bertindak
      Yaitu berakal dan baligh, maka tidak sah nazar orang gila atau anak-anak, sebab mereka tersebut dipandang sebagai orang yang tidak cakap bertindak hukum sehingga tidak dapat
      dibebani suatu kewajiban, sedangkan bernazar berarti membuat suatu kewajiban tertentu yang akan dituntut pertanggung jawabannya.
  2. Objek (yang dinazarkan)
    Jumhur ulama membagi objek (yang dinazarkan) menjadi dua macam, yaitu:

    • Nazar yang tidak jelas
      Nazar yang tidak jelas ialah nazar yang tidak menyebutkan secara pasti apa yang akan dinazarkannya. Misalnya, seseorang berkata: “Saya bernazar kepada Allah SWT”.
    • Nazar yang jelas
      Nazar ini dibagi menjadi empat:
      • Nazar yang dapat menjadi media untuk mendekatkan diri
      • Nazar yang apabila dilakukan akan berakibat maksiat atau durhaka kepada Allah SWT.
      • Nazar yang dibenci menurut syara’ sebaiknya tidak dilaksanakan
      • Nazar yang mubah dilakukan, yaitu boleh dilaksanakan dan boleh juga tidak karena menurut jumhur ulama sesungguhnya ini bukan nazar.

    Dari segi wujudnya, objek nazar dapat dibagi kepada dua macam:

    • Nazar Aktif
    • Nazar Pasif

    Adapun syarat-syarat bagi yang dinazarkan agar nazarnya dapat diterima (mengikat) ialah sebagai berikut:

    • Yang dinazarkan itu dapat diterima akal dan mungkin terjadi menurut pertimbangan syara’.
    • Yang dinazarkan itu merupakan ibadah (media untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT).
    • Yang dinazarkan itu, jika terdiri dari harta, harus dimiliki oleh yang bernazar.
    • Yang dinazarkan bukan merupakan sesuatu yang memang hukumnya wajib dikerjakan oleh yang bernazar.
    • Yang dinazarkan itu bukan berupa ibadah yang bersumber dari adat. Syarat ini hanya diakui oleh ulama Mazhab Hanafi, sedangkan ulama Mazhab Syafi’i tidak memasukkannya sebagai syarat bagi yang dinazarkan.
  3. Ungkapan atau pernyataan yang menyatakan adanya nazar (assigah)
    Sigah nazar, dari segi yang dinazarkan, ada dua macam.

    • Pernyataan (sigah) yang tidak mengandung penjelasan (mutlaq).
    • Pernyataan (sigah) yang mengandung penjelasan (muqayyad). Penjelasan ini biasanya berupa syarat, seperti “jika” dan “apabila”.