Apa yang dimaksud dengan mustahiq?

Zakat dalam segi istilah adalah harta tertentu yang wajib dikeluarkan oleh orang yang beragama Islam dan diberikan kepada golongan yang berhak menerimanya (fakir miskin dan sebagainya).

Apa yang dimaksud dengan mustahiq?

Mustahik adalah orang atau badan yang berhak menerima zakat. Pada ayat 60 surat at-Taubah, dijelaskan kelompok-kelompok yang berhak menerima zakat, yaitu firman Allah SWT:

Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.(QS. At-Taubah [9]: 60)

Ayat tersebut menjelaskan bahwa penyaluran zakat itu hanya diserahkan kepada delapan golongan, yaitu:

1. Fakir (al-Fuqara)

Al-Faqir adalah kelompok pertama yang menerima bagian zakat.Al-Faqir menurut mazhab Syafi’I dan Hanbali adalah orang yang tidak memiliki harta benda dan pekerjaan yang mampu mencukupi kebutuhannya sehari-hari.Dia tidak memiliki suami ayah-ibu, dan keturunan yang dapat membiayainya, baik untuk membeli makanan, pakaian, maupun tempat tinggal.

Menurut Hanafi fakir adalah orang yang mempunyai harta kurang dari nisbah, sekalipun dia sehat dan mempunyai pekerjaan. Kalau orang yang mempunyai harta sampai senisbah apapun bentuknya yang dapat memenuhi kebutuhan primer. Kebutuhan primer itu adalah tempat tinggal (rumah), alat-alat rumah, dan pakaian. Maka orang yang memiliki harta seperti itu atau lebih, tidak boleh diberikan zakat. Alasannya bahwa orang yang mempunyai harta sampai nisbah maka ia wajib zakat. Orang yang wajib mengeluarkan zakat berarti ia tidak wajib menerima zakat.

Madzhab-madzhab lain: yang diaggap kebutuhan itu bukan berdasarkan yang dimiliki akan tetapi kebutuhan. Maka barang siapa yang tidak membuntuhkan, diharamkan untuk menerima zakat, walaupun ia tidak mempunyai sesuatu. Dan orang yang membutuhkan tentu dibolehkan untuk menerima zakat, sekalipun ia mempunyai harta sampai nisbah, karena yang dinamakan fakir itu artinya yang membutuhkannya.

para ulama modern juga mendefinisikan fakir tidak jauh berbeda dari ulama klasik, yakni yang dimaksud dengan fakir adalah mereka yang tidak mendapati sesuatu yang dapat mencukupi kebutuhan mereka beserta keluarganya

2. Miskin (al-Masakin)

Al-Masakin adalah benyuk jamak dari kata al-miskin.Kelompok ini merupakan kelompok kedua penerima zakat.Orang miskin adalah orang yang memiliki pekerjaan tetapi penghasilannya tidak dapat dipakai untuk memenuhi hajat hidupnya.

Menurut mazhan Syafi’I dan Hanbali, orang fakir lebih sengsara dibandingkan dengan orang miskin.Adapun al-Masakin menurut mazhab ini adalah orang yang memiliki pekerjaan atau mampu bekerja, tetapi penghasilannya hanya mampu memenuhi lebih dari sebagian hajat kenutuhannya, tidak mencukupi seluruh hajat hidupnya.Yang dimaksud dengan cukup ialah dapat memenuhi kebutuhan sehari-harinya, dari sisa terbesar umurnya.

Sedangkan menurut madzhab Hambali orang miskin adalah orang yang memperoleh sebagian besar biaya hidupnya atau setengah dari pekerjaannya atau dari yang lain-lain.

Begitupula halnya para ulama modern yang mendefiniskan miskin merupakan mereka yang memiliki taraf kehidupan yang jauh lebih baik dari orang-orang fakir.Karena bisa mendapatkan separuh atau bahkan lebih dari kebutuhan yang diperlukan, sekalipun tidak mencukupi secara sempurna.

3. Panitia Zakat (al-Amil)

Panitia zakat adalah orang yang memiliki wewenang untuk mengurus zakat yang wewenang itu diperoleh dari pihak penguasa.

Karena itu Allah berfirman: al-amiluna ‘alaiha (pengurus-pengurus zakat), Allah tidak berfirman al-amiluna fiha (pengurus-pengurus dalam hal zakat). Firman ini mengisyaratkan bahwa mereka memiliki semacam kewenangan untuk memungut zakat dari orang-orang yang berhak mengeluarkan zakat sekaligus mendistribusikan kepada orang yang berhak menerimanya.

Bagian yang diberikan kepada para panitia dikategorikan sebagai upah atas kerja yang dilakukan.panitia masih tetap diberi bagian zakat, meskipun dia orang kaya.Karena, jika hal itu dikategorikan sebagai zakat atau sedekah, dia tidak boleh mendapatkannya.

Adapun pengelolaan zakat menurut UU No.38 tahun 1999, adalah kegiatan perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengawasan terhadap pengumpulan dan pensistribusian serta pendayagunaan zakat”. Sedangkan orang yang berwenang untuk mengelola zakat adalah Badan Amil Zakat (BZA) yang dibentuk oleeh pemerintah dah lembaga amil zakat (LAZ) bentukan masyarakat. Institusi pengelola dana zakat paling tidak mampu memenuhi beberapa hal berikut;

A. Amil zakat adalah mereka yang bertindak mengerjakan yang berkaitan dengan

  1. pengumpulan,
  2. penyimpanan,
  3. penjagaan,
  4. pencatatan, dan
  5. penyaluran harta zakat.

B. Pihak amil zakat harus orang yang:

  1. muslim,
  2. laki-laki,
  3. jujur, dan
  4. mengetahui hukum zakat.

C. Pengurus zakat berhak mendapat bagian dari kuota amil yang diberikan oleh pihak yang mengangkat mereka dengan catatan bagian terebut tidak melebihi dari upah yang pantas walaupun mereka bukan orang fakir.

D. Para amil tidak diperkenankan menerima sogokan, hadiah atau hibah baik dalam bentuk uang atau barang.

E. Para petugas zakat harus mempunyai etika keislaman secara umum, seperti penyantun dan ramah kepada para wajib zakat.

4. Mu’allaf (yang perlu ditundukkan hatinya)

Yang termasuk kelompok ini antara lain orang-orang yang lemah niatnya untuk memasuki islam. Mereka diberi bagia dari zakat agar niat mereka memasuki islam menjadi kuat. Mereka terdiri atas dua macam: muslim dan kafir.

Kelompok kafir terdiri atas dua bagian, yaitu:

  1. orang-orang yang diharapkan kebaikannya bisa muncul, dan

  2. orang-orang yang ditakuti kejelekannya.

Para ulama berselisih pendapat dalam memberikan bagian zakat kepada mu’allaf ketika mereka belum memeluk islam. Mazhab Hanbali dan Maliki mengatakan “mereka diberi bagian agar tertarik kepada islam”karena sesungguhnya Nabi Saw pernah memberikan kepada mu’allaf yang muslim dan mu’allaf dari kaum musyrik.

Mazhab Hanafi dan Syafi’I mengatakan “pemberian bagian zakat kepada orang kafir pada masa awal islam bukanlah unuk menundukkan mereka atau yang lain, tetapi karena masa itu jumlah kaum muslim masih sedikit sedangkan jumlah musuh mereka sangat banyak.

Adapun mu’allaf yang sudah muslim boleh diberi bagian zakat, karena kita perlu menarik perhatian mereka dengan alasan-alasan berikut:

A. Mereka adalah orang-orang yang lemah niatnya untuk memeluk islam. Mereka diberi bagian zakat agar kuat niatnya dalam memeluk islam.

B. Kepala suku yang muslim yang dihormati oleh kaumnya, mereka diberi bagian dari zakat agar mereka tetap memeluk islam.

C. Orang muslim yang bertempat tinggal di wilayah kaum muslim yang berbatasan dengan orang-orang kafir, untuk menjaga agar orang-orang kafir tidak memerangi kita

D. Orang yang memungut zakat dari suatu kaum yang tidak memungkinkan pengiriman zakat itu sampai kepada mereka, meskipun pada dasarnya mereka tidak enggan mengeluarkan zakat.

Para ulama madzhab berbeda pendapat tentang hukum mereka itu, apakah masih berlaku apakan sudah mansuh (dihapus). Menurut yang mengatakan tidak mansuh, apakan yang dibujuk hatinya khusus untuk orang-orang non islam atau untuk orang-orang islam yang masih lema imannya?

Hanafi: hukum ini berlaku pada permulaan penyebaran islam, karena lemahnya kaum muslimin. Kalu dalam situasi saat ini dimana islam sudah kuat, maka hilanglah hukumnya karena sebab sebabnya tidak ada.

Madzhab-madzhab lain membahasnya secara panjang lebar tentang terbaginya muallaf itu kedalam beberapa kelompok, dan alternative yang dijadikan standar atau rujukan adalah pada satu masalah, yaitu bahwa hukum muallaf itu tetap tidak dinasakh (dihapus), sekalipun sebagian muallaf teteap diberikan kepada orang islam dan non islam dengan syarat bahwa pemberian itu dapat menjamin dan mendatangkan kemaslahatan, kebaikan kepada islam dan kaum muslimin. Rasulullah telah memberikan zakat kepada Safwan bin Umayyah, padahal dia ketika itu masih musyrik, sebagaimana beliau telah memberikan kepada Abu Sufyan dan lain-lain, setelah mereka menampakkan diri menganut agama islam karena sebenarnnya mereka takut disiksa, dan mereka sebenarnya meniupu kaum muslimin dan agama islam.

5. Budak (Riqab)

Para budak yang dimaksud disini, menurut jumhur ulama, ialah para budak muslim yang telah membuat perjanjian degan tuannya (al-mukatabun) untuk dimerdekakan dan tidak memiliki uang untuk membayar tebusan atas diri mereka, meskipun mereka telah bekerja keras dan membanting tulang mati-matian. Maka sangat dianjurkan untuk memberi zakat kepada budak itu agar dapat memerdekakan diri mereka.

Syarat pembayaran zakat budak yang dijanjikan untuk dimerdekakan ialah budak itu harus muslim dan memerlukan bantuan seperti itu.

Berdasarkan pengertianRiqab di atas, maka definisi tersebut sepintas tidak bisa lagi dipakai atau diterapkan pada kondisis sekarang. Menurut Rasyid Ridha pengertian dari riqab dapat dialihkan kepada kelompok atau bangsa yang hendak membebaskan diri mereka dari penjajahan.

Sedangkan menurut Abd al-Sami’ al-Mishary melogikakan budak dengan para pekerja/ karyawan/ buruh dengan upah yang minimum, sehingga dengan upah tersebut tidak dapat mencukupi kebutuhan.

6. Gharim (orang berhutang)

Para ulama membagi utang itu menjadi dua macam; hutang yang dipergunakan muntuk mendamaikan orang atau dua olongan yang sedang bersengketa dan hutang untuk memenuhi kebutuhan (konsumtif).

Jika utang itu dilakukannya untuk kepentingannya sendiri, dia tidak berhak mendapatkan bagian dari zakat kecuali dia adalah orang yang diangggap fakir. Tetapi jika utang itu untuk kepentingan orang banyak yang berada dibawah tanggung jawabnya, untuk menebus denda pembunuhan atau menghilangkan barang orang lain, dia boleh diberi bagian zakat, meskipun sebenarnya dia itu kaya.

Mazhab Hanafi mengatakan bahwa “orang yang berutang adalah orang yang betul-betul memiliki utang dan tidak memiliki apa-apa selain utangnya itu”. Dan mazhab maliki mengatakan “orang yang berutang adalah orang yang benar-benar dililit utang sehingga dia tidak bisa melunasi utangnya”. Dan utang itu tidak dipakai untuk melakukan maksiat, seperti minum khamar dan judi.

7. Sabilillah (jihad dijalan Allah)

Yang termasuk dalam kelompok ini adalah para pejuang yang berperang di jalan Allah yang tidak digaji oleh markas komando mereka karena yang mereka lakukan hanyalah berperang.

Menurut jumhur ulama orang-orang yyang berperang di jalan Allah diberi bagian zakat agar dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka, meskipun mereka itu kaya karena sesungguhnya orang-orang yang berperang itu adalah untuk kepentingan orang banyak. Adapun mereka yang digaji oleh markas komando mereka tidak diberi bagian zakat sebab mereka memiliki gaji tetap yang dapat dipakai untuk memenuhi segala kebutuhan mereka, dan mereka tidak memerlukan bagian itu.

Abu Hanifah berpendapat bahwa orang-orang yang berperang di jalan Allah tidak perlu diberi bagian zakat, kecuali jika mereka adalah orang-orang fakir.

Menurut mazhab Hanbali ibadah haji termasuk salah satu jenis perjuangan di jlan Allah. Oleh karena itu, orang yang memiliki keinginan untuk melaksanakan ibadah haji bisa diberi bagian zakat.

Pasa masa sekarang ini yang dimaksid dengan jihad di jalan Allah bukan lagi mereka yang mengangkat senjata, melainkan mereka ynag mengangkat pena, menuntut ilmu untuk mengibarkan panji agama di muka bumi ini. Sehingga dapat disimpulkan bahwa fisabilillah pada kondisi dewasa ini lebih dekat kepada arti pengembangn SDM umat muslim sebagai bentuk jihad, karena masih banyak putra-putri bangsa yang tidak sekolah dan putus sekolah karena tidak adanya biaya.

8. Ibnu sabil (musafir, orang yang bepergian)

Musafir, orang yang berpergian maksudnya disini yaitu seseorang yang tidak bisa melanjutkan perjalanan karena kehabisan perbekalan. Ia berhak diberi zakan dan karenanya ia bisa pulang ke daerahnya sekalipun di daerahnya ia itu orang yang kaya.

Orang yang sedang melakukan perjalanan adalah orang-orang yang berpergian (musafir) untuk melaksanakan suatu hak yang baik (tha’ah) tidak termasuk maksiat. Adapun yang termasuk perbuatan baik (tha’ah) ini antara lain, ibadah haji, berperang di jalan Allah, dan ziarah yang dianjurkan.

Pendekatan yang banyak dilakukan oleh sejumlah lembaga zakat mengategorikan para perantau yang mengalami kegagalan dalam mengais rezeki di kota atau para pelajar yang merantau di kota lain untuk menuntut ilmu dikategorikan sebagai ibnu sabil.

Meskipun para imam berbeda kriteria tetang delapan golongan di atas.Namun, subtansial isinya sama. Delapan golongan inilah yang berhak menerima zakat.Walaupun dalam studi Islam kotemporer saat ini sudah mengalami banyak perkembangan. Misalnya pada:

  1. Riqab, yang dimana Riqab menurut ulama klasik ialah para budak muslim yang telah membuat perjanjian degan tuannya (al-mukatabun) untuk dimerdekakan dan tidak memiliki uang untuk membayar tebusan atas diri mereka, meskipun mereka telah bekerja keras dan membanting tulang mati-matian. Maka sangat dianjurkan untuk memberi zakat kepada budak itu agar dapat memerdekakan diri mereka. Sedangkan menurut ulama kontemporer lebih mengarah kepada para pekerja/ karyawan/ buruh dengan upah yang minimum, sehingga dengan upah tersebut tidak dapat mencukupi kebutuhan.

  2. Kelompok fisabilillah, para ulama klasik mengartikan Ghari dengan para pejuang yang berperang di jalan Allah yang tidak digaji oleh markas komando mereka karena yang mereka lakukan hanyalah berperang. Sedangkan ulama modern mengartikannya mereka ynag mengangkat pena, menuntut ilmu untuk mengibarkan panji agama di muka bumi ini. Sehingga dapat disimpulkan bahwa fisabilillah pada kondisi dewasa ini lebih dekat kepada arti pengembangn SDM umat muslim sebagai bentuk jihad,

  3. Ibnu sabil, ulama klasik mendefinisikannya dengan orang yang berpergian maksudnya disini yaitu seseorang yang tidak bisa melanjutkan perjalanan karena kehabisan perbekalan, sedang pada zaman modern diartikan dengan perantau yang mengalami kegagalan dalam mengais rezeki di kota atau para pelajar yang merantau di kota lain untuk menuntut ilmu.

Para ulama menetapkan lima syarat atas orang yang berhak menerima zakat sebagai berikut:

  1. Fakir, kecuali panitia zakat karena tetap diberi zakat meskipun dia orang kaya.
  2. Penerima zakat harus muslim
  3. Penerima zakat bukan orang yang lazim diberi nafkah
  4. Penerima zakat bukan berasal dari keurunan Bani Hasyim
  5. Penerima zakat harus Balig, Akil, dan Merdeka.