Apa yang dimaksud dengan Musaqah?

Musaqah

Apa yang dimaksud dengan Musaqah dalam Ekonomi Islam?

Musaqah adalah kerja sama antara pemilik kebun dan petani. Pemilik kebun menyerahkan kepada petani agar dipelihara dan hasil panennya nanti akan dibagi dua menurut persentase yang ditentukan pada waktu akad.

Konsep musaqah merupakan konsep kerja sama yang saling menguntungkan antara kedua belah pihak (simbiosis mutualisme). Tidak jarang para pemilik lahan tidak memiliki waktu luang untuk merawat perkebunannya. Sementara di pihak lain ada petani yang memiliki banyak waktu luang namun tidak memiliki lahan yang bisa digarap. Dengan adanya sistem kerja sama musaqah, setiap pihak akan sama-sama mendapatkan manfaat.

Referensi

Mustahdi, dan Mustakim. 2017. Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti Kelas XI. Jakarta: Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemdikbud.

Musyaqah diambil dari kata al-saqa, yaitu seseorang bekerja pada pohon tamar, anggur (mengurusnya), atau pohon-pohon yang lainya supaya mendatangkan kemaslahatan dan mendatangkan bagian tertentu dari hasil yang diurus sebagai imbalan (Suhendi, 2011).

Musyaqah adalah betuk yang lebih sederhana dari muzaraah dimana si penggarap hanya bertanggung jawab atas penyiraman dan pemeliharaan sebagai imbalan, si penggarap berhak atas nisbah tertentu dari hasil panen (Madani, 2012).

Adapun tugas penggarap/kewajiban menyiram (musaqi) menurut Imam Nawawi adalah mengerjakan apa saja yang dibutuhkan pohon-pohon dalam rangka pemeliharaannya untuk mendapatkan buah. Ditambahkan pula untuk pohon yang berbuah musiman diharuskan menyiram, membersihkan saluran air, mengurus pertumbuhan pohon, memisahkan pohon-pohon yang merambat, memelihara buah, dan perintisan batangkannya. Maksud memelihara asalnya (pokoknya) dan tidak berulang setiap tahun adalah pemeliharaan hal-hal tertentu yang terjadi sewaktu-waktu (insidental), seperti membangun pematang, menggali sungai, mengganti pohon-pohon yang rusak atau pohon yang tidak produktif adalah kewajiban pemilik tanah dan pohon- pohonnya (pengadaan bibit).

Menurut etimologi, musaqah adalah salah satu bentuk penyiraman. Orang Madinah menyebutnya dengan istilah muamalah, akan tetapi yang lebih dikenal adalah musyaqah, sedangkan menurut terminologi Islam adalah suatu akad dengan memberikan pohon kepada penggarap agar dikelola dan hasilnya dibagi di antara keduanya (Syafei, 2001).

Musaqah ialah pemilik kebun yang memberikan kebunnya kepada tukang kebun agar dipeliharanya, dan penghasilan yang di dapat dari kebun itu dibagi antara keduanya, menurut perjanjian antara keduanya sewaktu akad.

Dalam usaha pertanian Islam mengenal pula adanya bentuk kerjasama yaitu Al-Musaqah adalah penyerahan pohon kepada orang yang menyiramnya dan memeliharanya dengan ketentuan bila sudah masak (panen) dia akan diberi imbalan buah dalam jumlah tertentu (Jafri, 2008). Kebolehan al-musaqah didasarkan kepada Hadits Rasulullah SAW Ibnu Umar yang artinya sebagai berikut “bahwa Nabi SAW memberikan kepada penduduk Khaibar dengan perjanjian mereka akan diberi sebagian dari penghasilan, baik dari hasil buah-buahan atau hasil tanaman” (Asy-Syaukani, 2006).

Musaqah menurut ulama Hanafiyah sama seperti Muzaraah, baik dalam hukum dan persyaratan yang memungkinkan terjadinya musyaqah. Menurut Abu Yusuf dan Muhammad (dua sahabat Abu Hanifah), dan Jumhur Ulama (Imam Malik, Imam Syafi`i, dan Imam Ahmad) membolehkan musaqah yang didasarkan pada muamalah Rasulullah SAW bersama orang Khaibar.

Dalam referensi lain mengatakan musaqah adalah seseorang menyerahkan pohon kurma atau pohon buah lainnya kepada orang lain yang sanggup menyiraminya dan mengerjakan segala kebutuhan yang berkaitan dengan pengurusannya dengan upah yang telah ditentukan dari buahnya (Asy-syaukani, 2006).

Dasar Hukum Musaqah


Asas hukum musaqah ialah sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Ibn Amr r,a, bahwa Rasulullah Saw bersabda:

أعطى خيبر بشطر مايخر ج منها من ثمر او زرع وفي رواية دفع إلى اليهود خيبر وأرضها على ان يعملوها من أموالهم وأنّ لر سول االله ص م شطرها

“Memberikan tanah Khaibar dengan bagian separuh dari penghasilan, baik buah-buahan maupun pertanian (tanaman). Pada riwayat lain dinyatakan bahwa Rasul menyerahkan tanah Khaibar itu kepada Yahudi untuk diolah dan modal dari hartanya, penghasilan separohnya untuk Nabi SAW”.

Dalam dalil yang lain, yamg dijadikan landasan jumhur mengenai dibolehkannya musaqah adalah Hadits Ibnu Umar Yang Shahih.

أَ نْ رَسُولَ اللٌهِ صَلَّ اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَ فَعَ إِلىَ يـَهُو دِ خَيْبـَرَ نخَْلَ خَيْبـَرَ وَأَرْضَهَا عَلَى أَنْ يـَعْمَلُوْهَا مِنْ أَمْوَا لهِِمْ ، وَلِرَسُوْلِ االله صَ لَّ االله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَطْرَ ثمَْرِهَا.

“Bahwa Rasulullah SAW telah menyerahkan pohon kurma Khaibar dan tanahnya kepada orang-orang Yahudi Khaibar agar mereka mengerjakannya dari harta mereka, dan Rasulullah SAW mendapatkan setengah dari buahnya”. (HR. Al Bukhari dan Muslim)

Hukum musaqah shahih menurut para ulama memiliki beberapa hukum atau ketetapan, yaitu sebagai berikut :

  1. Menurut ulama Hanafiyah hukum musaqah shahih adalah sebagai berikut :
  • Segala pekerjaan yang berkenaan dengan pemeliharaan pohon diserahkan kepada penggarap, sedangkan biaya yang diperlukan dalam pemeliharaan dibagi dua.
  • Hasil dari musaqah dibagi berdasarkan kesepakatan.
  • Jika pohon tidak menghasilkan sesuatu, keduanya tidak mendapatkan apa-apa.
  • Akad adalah lazim dari kedua belah pihak, dengan demikian pihak yang berakad tidak dapat membatalkan akad tanpa izin salah satunya.
  • Pemilik boleh memaksa penggarap untuk bekerja, kecuali ada uzur
  • Boleh menambah hasil dari ketetapan yang telah disepakati.
  • Penggarap tidak memberikan musaqah kepada penggarap lain, kecuali jika diizinkan oleh pemilik. Namun demikian, penggarap awal tidak mendapatkan apa-apa dari hasil, sedangkan penggarap kedua berhak mendapat upah sesuai dengan pekerjaannya.
  1. Ulama Malikiyah pada umumnya menyepakati hukum-hukum yang ditetapkan oleh ulama Hanafiyah. Namun demikian, mereka berpendapat dalam penggarapan.
  • Sesuatu yang tidak berhubungan dengan buah tidak wajib dikerjakan dan tidak boleh disyaratkan.
  • Sesuatu yang berkaitan dengan buah yang membekas di tanah, tidak wajib dibenahi oleh penggarap.
  • Sesuatu yang berkaitan dengan buah, tetapi tidak tetap adalah kewajiban penggarap, seperti menyiram atau menyediakan alat garapan, dan lain-lain.
  1. Ulama Syafi`iyah dan Hanabilah sepakat dengan ulama Malikiyah dalam membatasi pekerjaan penggarap, dan menambahkan bahwa segala pekerjaan yang rutin setiap tahun adalah kewajiban penggarap, sedangkan pekerjaan yang tidak rutin adalah kewajiban pemilik tanah.

Menurut bahasa musaqah diambil dari kata al-saqah, yaitu seseorang bekerja pada pohon tamar, anggur (mengurusnya). Atau pohon- pohon yang lainnya yang mendatangkan kemaslahatan dan mendapatkan bagian tertentu dari hasil yang diurus sebagai imbalan.1
Menurut terminologi musaqah adalah akad untuk pemeliharaan tanaman (pertanian) dan yang lainnyaa dengan syarat-syarat tertentu.
Menurut Malikiyah, al-musaqah ialah Sesuatu yang tumbuh ditanah. Yaitu dibagi menjadi lima macam:

  1. Pohon-pohon tersebut berakar kuat (tetap) dan berbuah. Buah itu dipetik serta pohon tersebut tetap ada dengan waktu yang lama, misalnya pohon anggur dan zaitun.

  2. Pohon-pohon tersebut berakar tetap, tetapi tidak berbuah seperti pohon kayu keras, karet, dan jati.

  3. Pohon-pohon tersebut tidak berakar kuat, tetapi berbuah dan dapat dipetik.

  4. Pohon-pohon tersebut tidak berakar kuat dan tidak ada buahnya yang dapat dipetik, tetapi memilikiki kembang yang bermanfaat, seperti bunga mawar.

  5. Pohon-pohon yang diambil hijau dan basahnya sebagai suatu manfaat, bukan buahnya, seperti tanaman hias yang ditanam di halaman rumah dan di tempat lainnya.

Dengan demikian musāqāh adalah sebuah bentuk kerjasama petani pemilik kebun dengan petani penggarap dengan tujuan agar kebun itu dipelihara dan dirawat sehingga memberikan hasil yang maksimal. Kemudian segala sesuatu yang dihasilkan pihak kedua adalah merupakan hak bersama antara pemilik dan penggarap sesuai dengan kesepakatan yang mereka buat.

Penggarap disebut musāqi. Dan pihak lain disebut pemilik pohon. Yang disebut kata pohon dalam masalah ini adalah: Semua yang ditanam agar dapat bertahan selama satu tahun keatas, untuk waktu yang tidak ada ketentuannya dan akhinya dalam pemotongan/penebangan. Baik pohon itu berbuah atau tidak.

Kerjasama dalam bentuk musāqāh ini berbeda dengan mengupah tukang kebun untuk merawat tanaman, karena hasil yang diterimanya adalah upah yang telah pasti ukurannya dan bukan dari hasilnya yang belum tentu.5

Rukun & Syarat Musāqāh

Terdapat beberapa perbedaan dikalangan ulama fiqh terhadap rukun-rukun musāqāh.
Ulama Hanafiyah berpendirian bahwa yang menjadi rukun dalam akad adalah ijāb dari pemilik tanah perkebunan dan qabūl dari petani penggarap, dan pekerjaan dari pihak petani penggarap.

Jumhur ulama yang terdiri atas ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah berpendiriran bahwa transaksi musāqāh harus memenuhi lima rukun, yaitu:

  • Sighāt (ungkapan) ijāb dan qābūl.

  • Dua orang/pihak yang melakukan transaksi

  • Tanah yang dijadikan objek musāqāh;

  • Jenis usaha yang akan dilakukan petani penggarap;

  • Ketentuan mengenai pembagian hasil musāqāh

Menurut Ulama Syafi’iyah ada beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam rukun-rukun musāqāh, sebagai berikut :

  • Sighāt, ijāb qabūl yang kadang-kadang berupa terang-terangan dan kadang mendekati terang (sindiran).

  • Dua orang yang bekerjasama (aqidaini) sebab perjanjian kerjasama musāqāh tak bisa berwujud kecuali dengan adanya pemilik tanah dengan penggarap yang keduanya disyaratkan agar benar-benar memiliki kelayakan kerjasama, karena kerjasama ini tidak sah dilakukan dengan orang gila, anak kecil sebagaimana yang dijelaskan di bab Jual Beli.

  • Ada sasaran penggarapan yaitu pohonnya, sebab kerjasama musāqāh
    tidak akan terwujud kecuali dengan adanya pohon tersebut.

  • Adanya pekerjaan dan pengolahan, sebab kerjasama musāqāh tidak akan terwujud tanpa adanya pekerjaan yang akan dimulai dari penggarapan sampai masa panen.11

Objek Musāqāh

Objek musāqāh menurut ulama Hanafiah adalah pohon- pohon yang berbuah, seperti kurma. Akan tetapi, menurut sebagian ulama Hanafiyah muta’akhkhirin menyatakan musāqāh juga berlaku atas pohon yang tidak mempunyai buah, jika hal itu dibutuhkan masyarakat.

Ulama Malikiyah berpendapat bahwa objek musāqāh adalah tanaman keras dan palawija, seperti anggur, kurma, dan lain-lain, dengan dua syarat:

  • Akad dilakukan sebelum buah itu layak dipanen;

  • Tenggang waktu yang ditentukan jelas;

  • Akadnya dilakukan setelah tanaman itu tumbuh;

  • Pemilik perkebunan tidak mampu untuk mengolah dan memelihara tanaman itu.

Objek musāqāh menurut ulama Hanabilah bahwa musāqāh dimaksudkan pada pohon-pohon berbuah yang dapat dimakan. Oleh sebab itu, musāqāh tidak berlaku terhadap tanaman yang tidak memeiliki buah.

Sedangkan ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa yang boleh dijadikan obyek akad musāqāh adalah kurma dan anggur saja.

Disyariatkan shighāt dengan lāfaẓ dan tidak cukup dengan perbuatan saja.17
Selain itu di dalam melakukan musāqāh disyaratkan terpenuhinya hal-hal sebagai berikut:

  • Bahwa pohon yang di-musāqāh-kan diketahui dengan jalan melihat, atau memperkenalkan sifat-sifat yang tidak bertentangan dengan kenyataan pohonnya. Karena akad dinyatakan tidak sah, untuk sesuatu yang tidak diketahui dengan jelas.

  • Bahwa masa yang diperlukan itu diketahui dengan jelas.Karena musāqāh adalah akad lazim yang menyerupai akad sewa-menyewa. Dengan kejelasan ini akan tidak ada unsur gharār.18

  • Abu Yusuf dan Muhammad berpendapat bahwa menjelaskan masa lamanya, bukanlah merupakan syarat dalam musāqāh, tetapi sunnah, yang berpendapat tidak diperlukannya syarat ini adalah ẓāhiriyah.

  • Menurut mazhab Hanafi bahwa manakala masa musāqāh telah berakhir sebelum masaknya buah, pohon wajib ditinggalkan/dibiarkan ada di tangan penggarap, agar ia terus menggarap (tetapi) tanpa imbalan, sampai pohon itu berbuah masak.

  • Bahwa akad itu dilangsungkan sebelum nampak baiknya buah/hasil. Karena dalam keadaan seperti ini, pohon memerlukan penggarapan. Adapun sesudah kelihatan hasilnya, menurut sebagian Ahli Fiqih adalah bahwa musāqāh tidak dibolehkan. Karena tidak lagj membutuhkan hal itu, kalaupun tetap dilangsungkan namanya ijarah (sewa-menyewa), bukan lagi musāqāh. Namun, ada pula yang membolehkannya sekalipun dalam keadaan seperti ini. Sebab jika hal itu boleh berlangsung sebelum Allah menciptakan buah, masa sesudah itu tentu lebih utama.

  • Bahwa imbalan yang diterima oleh penggarap berupa buah itu diketahui dengan jelas. Misalnya separuh atau sepertiga. Kalau dalam perjanjian ini disyaratkan untuk si penggarap atau si pemilik pohon mengambil hasil dari pohon-pohon tertentu saja, atau kadar tertentu, maka musāqāh tidaksa

  • Apabila satu syarat dan syarat-syarat ini tidak terpenuhi, akad dinyatakan fāsakh dan musāqāh menjadi fāsad .

Secara sederhana Musaqah diartikan dengan kerjasama dalam perawatan tanaman dengan imbalan bagian dari hasil yang diperoleh dari tanaman tersebut.

Menurut Amir Syarifuddin, yang dimaksud dengan tanaman dalam muamalah ini adalah tanaman tua, atau tanaman keras yang berbuah untuk mengharapkan buahnya. Perawatan disini mencakup mengairi (inilah arti sebenarnya musaqah) menyiangi, merawat dan usaha lain yang berkenaan dengan buahnya.

Musaqah diambil dari kata al-saqa, yaitu seseorang bekerja pada pohon tamar, anggur (mengurusnya), atau pohon-pohon yang lainnya supaya mendatangkan kemaslahatan dan mendapatkan bagian tertentu dari hasil yang diurus sebagai imbalan.

Musaqah adalah bentuk yang lebih sederhana dari muzara‟ah dimana si penggarap hanya bertanggung jawab atas penyiraman dan pemeliharaan. Sebagai imbalan, si penggarap berhak atas nisbah tertentu dari hasil panen.

Secara etimologi, al-musaqah berarti transaksi dalam pengairan, yang oleh penduduk Madinah disebut dengan al-mu‟amalah. Secara terminologis fiqh, al-musaqah didefinisikan oleh para ulama fiqh dengan : “penyerahan sebidang kebun pada petani untuk digarap dan dirawat dengan ketentuan bahwa petani mendapatkan bagian dari hasil kebun itu”.

Menurut ulama Hanabilah, musaqah mencakup dua masalah berikut ini:

  1. Pemilik menyerahkan tanah yang sudah ditanami, seperti pohon anggur, kurma dan yang lainnya. Baginya, ada buah yang dapat dimakan sebagai bagian tertentu dari buah pohon tersebut, seperti sepertiga atau setengahnya.

  2. Seseorang menyerahkan tanah dan pohon, pohon tersebut belum ditanamkan, maksudnya supaya pohon tersebut ditanam pada tanahnya, yang menanam akan memperoleh bagian tertentu dari buah pohon yang ditanamnya, yang kedua ini disebut munashabah mugharasah karena pemilik menyerahkan tanah dan pohon-pohon untuk ditanamkannya.

Rukun dan Syarat Musaqah


Kerjasama dalam bentuk musaqah ini berbeda dengan mengupah tukang kebun untuk merawat tanaman, karena hasil yang diterimanya adalah upah yang telah pasti ukurannya dan bukan dari hasilnya yang belum tentu.

Sebagai kerjasama yang timbul dari kehendak bersama, maka kerjasama ini memerlukan suatu perjanjian atau akad dengan cara dan bentuk yang sama-sama diketahui dapat menunjukkan telah terjadi kerjasama secara sukarela (suka sama suka).

Terdapat beberapa perbedaan dikalangan ulama fiqh terhadap rukun-rukun musaqah. Ulama Hanafiyah berpendirian bahwa yang menjadi rukun dalam akad adalah ijab dari pemilik tanah perkebunan dan qabul dari petani penggarap, dan pekerjaan dari pihak petani penggarap.

Sedangkan rukun-rukun musaqah menurut ulama Syafi‟iyah ada lima berikut ini.

  1. Shigat, yang dilakukan kadang-kadang dengan jelas (sharih) dan dengan samaran (kinayah). Disyaratkan shigat dengan lafazh dan tidak cukup dengan perbuatan saja.

  2. Dua orang atau pihak yang berakad (al-„aqidani), disyaratkan bagi orang-orang berakad dengan ahli (mampu) untuk mengelola akad, seperti baligh, berakal, dan tidak berada dibawah pengampuan.

  3. Kebun dan semua pohon yang berbuah, semua pohon yang berbuah boleh diparokan (bagi hasil), baik yang berbuah tahunan (satu kali dalam setahun) maupun yang buahnya hanya satu kali kemudian mati, seperti padi, jagung, dan yang lainnya.

  4. Masa kerja, hendaklah ditentukan lama waktu yang akan dikerjakan, seperti satu tahun atau sekurang-kurangnya menurut kebiasaan. Dalam waktu tersebut tanaman atau pohon yang diurus sudah berbuah, juga yang harus ditentukan ialah pekerjaan yang harus dilakukan oleh tukang kebun, seperti menyiram, memotongi cabang-cabang pohon yang akan menghambat kesuburan buah, atau mengawinkannya.

  5. Buah, hendaklah ditentukan bagian masing-masing (yang punya kebun dan bekerja dikebun), seperti seperdua, sepertiga, seperempat, atau ukuran yang lainnya.

Hukum-hukum yang terkait dengan al-musaqah


Akad al-musaqah, menurut ulama fiqh adakalanya sahih, jika memenuhi rukun dan syaratnya, dan adakalanya juga fasid, yaitu apabila salah satu syarat dari akad al-muasaqah tidak terpenuhi. Adapun hukum-hukum yang terkait dengan akad al-musaqah yang sahih adalah:

  1. Seluruh pekerjaan yang berkaitan dengan pemeliharaan tanaman, pengairan kebun, dan segala yang dibutuhkan untuk kebaikan tanaman itu, merupakan tanggung jawab petani penggarap.

  2. Seluruh hasil panen dari tanaman itu menjadi milik kedua belah pihak (pemilik dan petani).

  3. Jika kebun itu tidak menghasilkan apapun (gagal panen), maka masing-masing pihak tidak mendapatkan apa-apa.

  4. Akad al-musaqah yang telah disepakati mengikat kedua belah pihak, sehingga masing-masing pihak tidak boleh membatalkan akad itu, kecuali ada uzur (halangan) yang membuat tidak mungkin untuk melanjutkan akad yang telah disetujui itu. Atas dasar itu, pemilik perkebunan berhak untuk memaksa petani untuk bekerja, kecuali ada uzur pada diri petani itu.

  5. Petani penggarap tidak boleh melakukan akad al-musaqah lain dengan pihak ketiga, kecuali atas keizinan dari pemilik perkebunan (pihak pertama).

Akad musaqah bisa fasid apabila:

  1. Seluruh hasil panen disyaratkan menjadi milik salah satu pihak yang berakad, sehingga makna serikat tidak ada dalam akad itu.
  2. Mensyaratkan jumlah tertentu dari hasil panen bagi salah satu pihak, misalnya seperdua dan sebagainya, atau bagian petani, misalnya, dalam bentuk uang, sehingga makna al-musaqah sebagai serikat dalam hasil panen tidak ada lagi.
  3. Disyaratkan pemilik kebun juga ikut bekerja di kebun itu, bukan petani penggarap saja.
  4. Disyaratkan bahwa mencangkul tanah menjadi kewajiban petani penggarap, karena dalam akad al-musaqah pekerjaan sejenis itu bukan menjadi pekerjaan petani.
  5. Mensyaratkan seluruh pekerjaan yang bukan merupakan kewajiban petani atau pemilik.
  6. Melakukan kesepakatan terhadap tenggang waktu, sementara dalam tenggang waktu yang disepakati tanaman belum boleh dipanen, menurut adat kebiasaan setempat dan adat kebiasaan tanaman yang dipilih.

Jika akad al-musaqah fasid, maka akibat hukumnya:

  1. Petani penggarap tidak boleh dipaksa untuk bekerja di kebun itu.
  2. Hasil panen seluruhnya menjadi milik pemilik kebun, sedangkan petani penggarap tidak menerima apapun dari hasil kebun itu, tetapi ia hanya berhak upah yang wajar yang berlaku didaerah itu (ajru al-mitsil).

Berakhirnya Akad Musaqah


Menurut ulama fiqh, akad musaqah berakhir apabila:

  1. Tenggang waktu yang disepakati dalam akad telah habis
  2. Salah satu pihak meninggal dunia
  3. Uzur yang membuat salah satu pihak tidak boleh melanjutkan akad.

Uzur yang mereka maksudkan dalam hal ini di antaranya adalah petani penggarap itu terkenal sebagai seorang pencuri hasil tanaman dan petani penggarap sakit yang tidak memungkinkan dia untuk bekerja.

Jika petani wafat, maka ahli warisnya boleh melanjutkan akad itu jika tanaman itu belum dipanen, sedangkan jika pemilik perkebunan yang wafat, maka pekerjaan petani harus dilanjutkan. Jika kedua belah pihak yang berakad meninggal dunia, kedua belah pihak ahli waris boleh memilih antara meneruskan akad atau menghentikannya.

Akan tetapi ulama malikiyah menyatakan bahwa akad musaqah adalah akad yang boleh diwarisi, jika salah satu pihak meninggal dunia dan tidak boleh dibatalkan hanya karena ada uzur dari pihak petani.

Ulama Syafi‟iyah juga mengatakan bahwa akad musaqah tidak boleh dibatalkan karena adanya uzur. Jika petani penggarap mempunyai uzur maka harus ditunjuk salah seorang yang bertanggung jawab untuk melanjutkan pekerjaan itu.

Menurut ulama Hanabilah, akad musaqah sama dengan akad almuzara‟ah yaitu akad yang tidak mengikat bagi kedua belah pihak. Oleh sebab itu, masing-masing pihak boleh saja membatalkan akad itu. Jika pembatalan akad itu dilakukan setelah pohon berbuah, maka buah itu dibagi dua antara pemilik dan petani penggarap, sesuai dengan kesepakatan yang telah ada.