Apa yang dimaksud dengan multikulturalisme?

multikulturalisme

Seringkali kita mendengar kata “multikulturalisme”, apa yang dimaksud dengan multikulturalisme?

Masyarakat mengenal kata multikulturalisme sebagai sesuatu yang beraneka ragam. Terdapat tiga pengertian tentang multikulturalisme menurut Liliweri, yaitu :

  • Multikulturalisme adalah konsep yang menjelaskan dua perbedaan dengan makna yang saling berkaitan. Pertama, multikulturalisme sebagai kondisi kemajemukan kebudayaan atau pluralisme budaya dari suatu masyarakat. Kondisi ini diasumsikan dapat membentuk sikap toleransi. Kedua, multikulturalisme merupakan seperangkat kebijakan pemerintah pusat yang dirancang sedemikian rupa agar seluruh masyarakat dapat memberikan perhatian kepada kebudayaan dari semua kelompok etnik atau suku bangsa. Hal ini beralasan karena, bagaimanapun juga semua kelompok etnik atau suku bangsa telah memberi kontribusi bagi pembentukan dan pembangunan bangsa.

  • Sebagian besar negara, multikulturalisme merupakan konsep sosial yang diintroduksi ke dalam pemerintahan agar pemerintah dapat menjadikannya sebagai kebijakan pemerintah. Rasionalisasi masuknya multikulturalisme dalam perumusan kebijakan pemerintahan karena hanya pemerintah yang dianggap sangat representatif ditempatkan di atas kepentingan maupun praktik budaya dari semua kelompok etnik dari suatu bangsa. Akibatnya setiap kebijakan pemerintah diharapakn mampu mendorong lahirnya sikap apresiasif,toleransi, prinsip kesetaraan antara berbagai kelompok etnik termasuk kesetaraan bahasa, agama, maupun praktik budaya lainnya.

  • Pendidikan multikulturalisme (multicultural education). Multikulturalisme merupakan strategi pendidikan yang memanfaatkan keragaman latar belakang kebudayaan dari peserta didik sebagai salah satu kekuatan untuk membentuk sikap multikultural. Strategi ini sangat bermanfaat sekurang-kurangnya dari sekolah sebagai lembaga pendidikan, dapat terbetuk pemahaman bersama atas konsep kebudayaan, keseimbangan dan demokrasi dalam artian luas.

Istilah multikulturalisme berasal dari asal kata kultur. Adapun definisi dari kultur menurut Elizabeth Taylor dan L.H. Morgan (Ainul Yaqin, 2005) berarti sebuah budaya yang universal bagi manusia dalam berbagai macam tingkatan yang dianut oleh seluruh anggota masyarakat.

Sementara Emile Durkheim sebagaimana yang dikutip oleh Ainul Yaqin, (2005) menjelaskan kultur sebagai sekelompok masyarakat yang menganut sekumpulan simbol-simbol yang mengikat di dalam masyarakat untuk diterapkan.

Selain itu banyak sekali para ahli yang mendefinisikan mengenai kultur sesuai dengan kajiannya. Walaupun pengertian kultur demikian beragam namun ada titik kesamaannya yaitu kultur memiliki beberapa karakter seperti diungkapkan Conrad P. K yang dikutip oleh Ngainun Naim dan Achmad Sauqi (2008) sebagai berikut:

  1. Kultur adalah sesuatu yang general dan sekaligus spesifik. General bahwa setiap manusia di dunia ini mempunyai kultur, spesifik dalam hal ini berarti bahwa satu kelompok masyarakat satu dengan kelompok masyarakat lain adalah bervariasi, tergantung pada kelompok masyarakat yang mana kultur itu berada.

  2. Kultur adalah sesuatu yang dipelajari. Pembelajaran dalam hal ini menyangkut tiga hal yaitu pertama, pembelajaran individu secara situasional. Kedua, pembelajaran situasi secara sosial.

    Pembelajaran kultural sebagai suatu kemampuan unik dari manusia dalam membangun kapasitasnya untuk menggunakan simbol-simbol atau tanda- tanda yang tidak ada hubungannya dengan asal-usul di mana seseorang berada.

  3. Kultur adalah sebuah simbol. Dalam hal ini simbol dapat berbentuk sesuatu yang verbal ataupun nonverbal dapat juga berwujud bahasa khusus yang hanya dapat dipahami secara khusus pula atau bahkan tidak dapat diartikan atau dijelaskan.

  4. Kultur dapat membentuk dan melengkapi sesuatu yang alami.

  5. Kultur adalah sesuatu yang dilakukan secara bersama-sama yang menjadi atribut bagi individu sebagai anggota dari kelompok masyarakat.

  6. Kultur adalah model. Artinya kultur bukan kumpulan adat istiadat dan kepercayaan yang tidak ada artinya sama sekali. Kultur adalah sesuatu yang disatukan dan sistem-sistem yang tersusun dengan jelas. Adat stiadat, institusi, agama dan nilai-nilai adalah sesuatu yang saling berkaitan satu sama lain.

  7. Kultur adalah suatu yang bersifat adaptif. Artinya kultur merupakan sebuah proses bagi seluruh populasi untuk membangun hubungan yang baik dengan lingkungan di sekitarnya, sehingga anggotanya melakukan usaha maksimal untuk bertahan hidup dan melanjutkan keturunan.

Menurut Choirul Mahfud, (2011), secara etimologis multikulturalisme dibentuk dari kata multi (banyak), kultur (budaya), dan isme (aliran/paham). Secara hakiki, dalam kata itu terkandung pengakuan akan martabat manusia yang hidup dalam komunitas dengan kebudayaannya masing-masing yang unik. Dengan demikian, setiap individu merasa dihargai sekaligus merasa bertanggungjawab untuk hidup bersama komunitasnya.

Dari karakteristik ini, dapat dikembangkan pemahaman mengenai multikulturalisme yaitu sebagai sebuah paham tentang kultur yang beragam. Dalam situasi keragaman kultur ini meniscayakan adanya pemahaman, saling pengertian, toleransi, penghargaan, penghormatan, kerjasama dan lainnya agar tercipta suatu kehidupan yang damai dan sejahtera serta terhindar dari konflik dan kekerasan (Ngainun Naim dan Achmad Sauqi, 2008).

Dari pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa mutikulturalisme sebenarnya merupakan konsep sebuah komunitas dalam konteks kebangsaan dapat mengakui keberagaman, perbedaan, dan kemajemukan budaya baik ras, suku, etnis dan agama. Konsep yang memberikan pemahaman bahwa sebuah bangsa yang plural atau majemuk adalah bangsa yang dipenuhi dengan budaya-budaya yang beragam.

Bangsa yang muktikultur adalah bangsa yang kelompok-kelompok etnik dan budaya yang ada dapat hidup berdampingan secara damai dalam prinsip co-existence yang ditandai dengan kesediaan untuk menghormati budaya lain. Adapun masyarakat multikultur adalah masyarakat yang mampu menekankan dirinya sebagai arbitrer yaitu sebagai penengah bagi proses rekonsiliasi ketika proses dialektika tersebut menemui titik jenuh.

Multikulturalisme, dengan keragaman dan kecenderungan perkembangan konsep dan praktek, oleh Parekh dibedakan menjadi lima macam, yaitu :

1. Pertama, isolasionis, yang mengacu kepada masyarakat yang memiliki berbagai kelompok kultural yang ada di dalamnya menjalankan hidup secara otonom dan terlibat dalam interaksi yang hanya minimal antara yang satu dengan yang lainnya.

2. Kedua , akomodatif, yakni masyarakat plural yang memiliki kultur dominan, yang membuat penyesuaian dan akomodasi-akomodasi tertentu bagi kebutuhan kultural kaum minoritas.

3. Ketiga, otonomis, yaitu masyarakat plural dimana kelompok-kelompok kultural utama berusaha mewujudkan kesetaraan (equality) dengan budaya dominan dan menginginkan kehidupan otonom dalam kerangka politik yang secara kolektif dapat diterima.

4. Keempat , kritikal atau interaktif yakni masyarakat plural dimana kelompok-kelompok kultural tidak terlalu concern dengan kehidupan kultural otonom, tetapi lebih menuntut penciptaan kultur kolektif yang mencerminkan dan menegaskan perspektif-perspektif distingtif mereka.

5. Kelima, kosmopolitan, mayarakat ini berusaha menghapuskan batas-batas kultural sama sekali untuk menciptakan sebuah masyarakat dimana setiap individu tidak lagi terikat dan commited kepada budaya tertentu, sebaliknya secara bebas terlihat dalam eksperimen interkultural dan sekaligus mengembangkan kehidupan kultural masing-masing.

Konsep multikulturalisme yang diuraikan oleh Bikhu Parekh memiliki perbedaan yang tidak terlalu signifikan dengan penjelasan multikulturalisme yang disampaikan oleh H.A.R. Tilaar. Perbedaan tersebut adalah H.A.R. Tilaar lebih mengedepankan multikulturalisme sebagai sebuah paham yang memiliki nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, yang hendaknya dipelajari dan dipahami oleh masyarakat plural seperti di Indonesia dalam rangka perwujudan persatuan dan kesatuan bangsa. Sementara pemikiran Parekh tentang multikulturalisme menekankan pada pembagian kecenderungan multikulturalisme yang terjadi dalam lingkup masyarakat, yang dijelaskan berdasarkan pengelompokan tipe-tipe atau jenis-jenis masyarakat plural.

Multikulturalisme tidak pernah lepas dari rasa kebangsaan yang kuat dari setiap masyarakat. Paham kebangsaan (nasionalisme) sejak akhir abad 18 hingga paruh pertama abad 20 pernah menjadi ideologi modern paling ampuh. Dalam konteks Indonesia, harus diakui bahwa ada faktor internal yang turut melemahkan bangunan kebangsaan, terutama belum terwujudnya janji-janji kemerdekaan, antara lain kesejahteraan umum dan keadilan sosial. Melemahnya kebangsaan dalam masyarakat multikultural seperti Indonesia patut menjadi keprihatinan.

Oleh karena itu perlu dilakukan beberapa hal, yaitu :

1. Pertama optimalisasi ruang-ruang akademik. Lokus-lokus pembelajaran mestinya menjadi ruang untuk transformasi nasionalisme, untuk didiskusikan dan diperdebatkan untuik memperkuat sendi-sendinya.

2. Kedua, penguatan kebangsaan berbasis gerakan mahasiswa.

3. Ketiga, modeling, untuk mencetak mahasiswa yang berpaham, berrasa, dan berlaku kebangsaan dibutuhkan akademisi dan praktisi dengan ajektif serupa.

4. Keempat, membangun komunikasi lintas budaya yang menguatkan kebangsaan (Suharno, 2010)

Multikulturalisme adalah pemahaman dan cara pandang yang menekankan interaksi dengan memperhatikan keberadaan setiap kebudayaan sebagai entitas yang memiliki hak- hak yang setara. Dari konsep multikulturalisme inilah kemudian muncul gagasan normatif mengenai kerukunan, toleransi, saling menghargai perbedaan dan hak-hak masing- masing kebudayaan penyusun suatu bangsa.

Berbeda dari konsep pluralisme yang menekankan keanekaragaman suku bangsa dan kebudayaannya, sehingga setiap kebudayaan dipandang sebagai entitas yang distinktif, maka multikulturalisme lebih menekankan relasi antar-kebudayaan dengan pengertian bahwa keberadaan suatu kebudayaan harus mempertimbangkan keberadaan kebudayaan lainnya. Dari sini lahir gagasan kesetaraan, toleransi, saling menghargai, dan sebagainya. Membangun masyarakat multikulturalisme Indonesia berarti membangun suatu ideologi yang menempatkan kesetaraan dalam perbedaan pada posisi sentral.

Namun, sebagaimana halnya setiap konsep dalam ilmu pengetahuan, khususnya ilmu sosial, konsep multikulturalisme tak luput dari perbedaan pengertian. Mengikuti Bikhu Parekh (2001) istilah multikulturalisme mengandung tiga komponen, yakni :

  1. pertama, konsep ini terkait dengan kebudayaan;
  2. kedua, konsep ini merujuk kepada pluralitas kebudayaan; dan
  3. ketiga, konsep ini mengandung cara tertentu untuk merespons pluralitas itu.

Oleh sebab itu multikulturalisme bukanlah doktrin politik pragmatik melainkan sebagai cara pandang atau semacam ideologi dalam kehidupan manusia. Oleh karena hampir semua negara di dunia tersusun dari anekaragam kebudayaan – artinya perbedaan menjadi asasnya – dan gerakan manusia dari satu tempat ke tempat lain di muka bumi semakin intensif, maka multikulturalisme sebagai ideologi itu harus diterjemahkan ke dalam kebijakan multikultural sebagai politik pengelolaan perbedaan kebudayaan warga negara dengan mengutamakan kesetaraan dan saling menghargai.

Multikulturalisme sebagai Pendekatan dan sebagai Kebijakan Nasional


Sebagaimana dikemukakan di atas multikulturalisme adalah suatu ideologi jalan keluar dari persoalan mundurnya kekuatan integrasi dan kesadaran nasionalisme suatu bangsa sebagai akibat dari perubahan-perubahan di tingkat global. Indonesia, khususnya, mengalami perubahan tersebut belakangan ini. Setidak-tidaknya kekhawatiran terjadinya kemunduran dalam kesadaran nasionalisme telah terbukti akhir-akhir ini. Contoh yang paling nyata adalah semakin meningkatnya keinginan beberapa daerah tertentu untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, meskipun sebegitu jauh pemerintah masih mampu meredam kehendak tersebut sehingga perceraian daerah-daerah tersebut belum terwujud pada saat ini. Selain itu, konflik-konflik yang terjadi akibat ketidaksetaraan sosial dan ekonomi juga meningkat pada awal abad keduapuluh satu ini.

Sebagian orang berpendapat bahwa konflik-konflik itu terjadi karena kontrol negara yang selama otoriter telah melonggar, tetapi menjadikan kontrol itu kembali ketat nampaknya bukan jalan keluar yang terbaik karena Indonesia (pemerintah) akan berhadapan dengan arus kekuatan global yang lebih menyukai demokrasi, sehingga secara politik negara ini akan tersingkir dari pergaulan dunia. Akan tetapi, membuka lebih lebar lagi “keran- keran keterbukaan juga mengandung risiko jangka panjang, yakni kemungkinan tercerai- berainya negara-bangsa ini menjadi sejumlah negara-negara yang lebih kecil. Hal ini yang mendorong sebagian ahli untuk memikirkan alternatif solusi terbaik agar tidak terjebak kedalam perpecahan, yakni jalan multikulturalisme.

Secara hipotetis, semua atau sekurang- kurangnya sebagian besar kebudayaan multikultural di dunia dapat digolongkan ke dalam salah satu dari tiga model multikulturalisme (lihat, Parekh 1997; 2001).

  1. Pertama, model yang mengedepankan nasionalitas (nationality). Nasionalitas adalah sosok baru yang dibangun bersama tanpa memperhatikan anekaragam suku bangsa, agama, dan bahasa, dan nasionalitas bekerja sebagai perekat integrasi. Model ini memandang setiap orang – bukan kolektif – berhak untuk dilindungi negara sebagai warga negara. Sebagai konsekuensi dari diterapkannya model ini adalah tidak diperhatikannya akar kebudayaan etnik- etnik penyusun negara, dan menjadikannya sebagai masa lampau saja. Banyak orang menuding model ini sebagai penghancur kebudayaan etnik.

    Model kebijakan multikulturalisme ini rentan terjerumus ke dalam kekuasaan otoritarian karena kekuasaan untuk menentukan unsur-unsur integrasi nasional tersebut berada di tangan suatu kelompok elite tertentu yang menguasai negara. Nasionalitas dan nasionalisme menjadi tameng bagi para elite untuk mencapai tujuannya. Perancis adalah contoh negara yang menerapkan model ini. Di negara ini diberlakukan aturan-aturan bagi semua individu warga negara Perancis tanpa memperhatikan latar belakang etnik, dan sekaligus larangan untuk memanifestasikan identitas kebudayaan etnik atau agama ke tatanan publik. Larangan menggunakan jilbab di Perancis baru-baru ini adalah salah satu contoh bekerjanya model nasionalitas tersebut.

  2. Kedua, model nasionalitas-etnik yang berdasarkan kesadaran kolektif etnik yang kuat yang landasannya adalah hubungan darah dan kekerabatan dengan para founders . Selain itu, kesatuan bahasa juga merupakan ciri nasional- etnik ini. Model ini dianggap sebagai model tertutup karena orang luar yang tidak memiliki sangkut paut hubungan darah dengan etnis pendiri bangsa akan tersingkir menjadi orang luar dan diperlakukan sebagai orang asing. Jerman dikenal sebagai bangsa yang menggunakan model multikulturalisme ini secara konsisten. Khususnya pada masa lampau, orang Jerman yang diakui sebagai bangsa Jerman adalah orang yang berasal dari etnik Arya, dan tindakan pemurnian ras Jerman menjelang Perang Dunia II adalah sebuah contoh ekstrim bekerjanya model multikulturalisme nasionalitas-etnik.

  3. Ketiga, model multikultural-etnik yang mengakui eksistensi dan hak-hak warga etnik secara kolektif. Dalam model ini keanekaragaman menjadi realitas yang harus diakui dan diakomodasi negara, dan identitas dan asal-usul warga negara diperhatikan. Model ini diterapkan terutama oleh negara-negara yang memiliki persoalan orang pribumi (aborigines) dan orang pendatang (migrants) seperti Kanada dan Australia. Isu-isu yang muncul karena penerapan kebijakan ini tidak hanya keanekaragaman kolektif dan etnik, tetapi juga isu mayoritas-minoritas, dominan-tidak dominan.

    Persoalannya menjadi lebih kompleks lagi karena ternyata mayoritas tidak selalu berarti dominan, karena berbagai kasus menunjukkan bahwa minoritas justru dominan dalam ekonomi. Apabila kekuasaan negara lemah, karena prioritas kekuasaan dilimpahkan kepada anekaragam kolektif sebagai konsekuensi pengakuan negara, maka negara mungkin diramaikan oleh konflik-konflik internal berkepanjangan yang pada gilirannya akan melemahkan negara itu sendiri.

Kalau kita simak secara mendalam ketiga model di atas, nampaknya sukar bagi kita untuk mengatakan model yang mana yang sesuai untuk kondisi Indonesia karena kesesuaian dan keberlakuan model juga ditentukan oleh kondisi-kondisi obyektif Indonesia seperti geografi kepulauan yang sangat luas dengan jarak yang berjauhan satu sama lain, keanekaragaman etnik dan agama dan golongan sosial, jurang sosial-ekonomi yang semakin dalam, dan – yang tak kalah penting adalah arus besar (mainstream) politik dan ekonomi dunia global yang mempengaruhi arah kebijakan multikulturalisme di Indonesia. Model multikulturalisme seharusnya adalah suatu bentuk sosio-kultural adaptif yang sesuai dengan kondisi-kondisi menyeluruh Indonesia.

Model multikulturalisme nasionalitas jelas tidak relevan dibicarakan di Indonesia, karena sejak negara ini dibangun, meskipun istilah multikulturalisme belum dikenal, bangsa Indonesia sudah jelas menyatakan dirinya “Bhinneka Tunggal Ika” yang menunjukkan diperhatikannya keanekaragaman kebudayaan. Model multikulturalisme nasionalitas-etnis juga tidak dikenal di Indonesia karena persoalan rasial sesungguhnya tidak dominan. Kalaupun isu rasial pribumi-Cina yang mengemuka beberapa tahun terakhir lebih merupakan isu ekonomi-politik daripada isu etnik, dan bukan dalam pengertian nasionalitas-etnik seperti di Jerman.

Selain itu, beberapa kebijakan kewarganegaraan seperti asimilasi pada tahun 1960-an justru menunjukkan keinginan negara untuk mendekatkan golongan etnik Cina dengan mayoritas pribumi. Model multikulturalisme yang mengedepankan kesetaraan juga mengandung risiko. Populasi yang sangat besar selalu rentan perpecahan, terlebih jika kondisi-kondisi obyektif seperti diutarakan sebelumnya kurang mendukung proses demokratisasi kebudayaan yang notabene adalah pesan di balik multikulturalisme tersebut.

Referensi

http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/15290/etv-apr2006-%20(1).pdf;sequence=1