Apa Yang Dimaksud Dengan Muhrim?

Apa yang dimaksud dengan Muhrim ?

Menurut pengertian bahasa, muhrim berarti yang diharamkan. Dalam ilmu fikih, muhrim adalah wanita yang haram dinikahi. Kata mahram dan muhrim sebenarnya memiliki perbedaan namun masyarakat Indonesia lebih familiar dengan istilah muhrim daripada mahram. Istilah muhrim yang sering digunakan atau diucapkan masyarakat Indonesia pada umumnya biasanya dipakai oleh orang yang sedang melakukan ihram dalam ibadah haji maupun umrah. Pemakaian istilah muhrim dalam’ ibadah haji dan umrah juga berarti bahwa mereka yang memakai pakaian ihram dilarang melakukan perbuatan tertentu. seperti melakukan hubungan suami istri, melangsungkan perkawinan, membunuh binatang, dan larangan lain selama proses haji atau umrah berlangsung. .

Dalam Ensiklopedi Hukum lslam, para ulama fikih membagi wanita yang haram dinikahi oleh seorang pria baik secara resmi maupun nikah siri kedalam dua kelompok besar yakni wanita yang haram dinikahi selamanya (Muabbad) dan yang haram dinikahi sementara atau dalam waktu tertentu (ghoiru muabbad). Wanita yang haram dinikahi selamanya tersebut kemudian dibagi menjadi tiga kelompok lagi yakni wanita yang haram dinikahi sebab nasan, pernikahan maupun persusuan.

Pengertian dan golongan wanita yang haram dinikahi telah disebutkan dengan jelas dalam Al qur’an terutama dalam surat An Nisa ayat 23 dan ayat 24. Wanita-wanita yang disebutkan dalam ayat berikut ini hukumnya haram untuk dinikahi.

Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudarasaudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu istrimu (mertua); anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dandiharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (An-Nisa’:23)

Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka istri-istri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (An-Nisa’:24)

Mahram atau yang biasa disebut dengan istilah muhrim di Indonesia berasal dari kata harama yang artinya mencegah bentuk mashdar dari kata harama yang artinya yang diharamkan atau dilarang. Dengan demikian, maka mahram secara istilah adalah orang yang haram, dilarang atau dicegah untuk dinikahi (Sholeh, 2002).

Imam Ibnu Qudamah menyatakan, mahram adalah semua orang yang haram untuk dinikahi selama-lamanya karena sebab nasab, persusuan dan pernikahan.2 Sedangkan Imam Ibnu Atsir berkata, mahram adalah orang-orang yang haram untuk dinikahi selama-lamanya seperti bapak, anak, saudara, paman, dan lain-lain. Selain itu mahram dimasyarakat lebih dikenal dengan istilah khusus yaitu orang-orang yang haram dinikahi karena masih termasuk keluarga dan dengan tambahan tidak membatalkan wudhu bila disentuh.

Dasar Hukum Mahram


Adapun nash yang menjadi dasar bagi mahram, yaitu firman Allah SWT di dalam surat al-Nisa’, ayat 23 dan 24:

"Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara- saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu istrimu (mertua); anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (an-Nisa’:23)

Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari istriistri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka istri-istri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (an-Nisa’:24)

Pembagian Mahram


Mahram nikah dalam fiqih dibagi menjadi dua, yaitu; mahram mu’abbad dan mahram ghairu muabbad.

A. Mahram Mu’abbad.
Mahram mu’abbad adalah orang-orang yang haram melakukan pernikahan untuk selamanya.9 Ada tiga kelompok mahram mu’abbad menurut fiqih, yaitu karena adanya hubungan nasab/kekerabatan, adanya hubungan pernikahan dan hubungan persusuan.

  • Mahram karena adanya hubungan nasab/kekerabatan Berikut ini orang-orang yang tidak boleh dinikahi seorang laki-laki karena ada hubungan kekerabatan :
  1. Ibu
  2. Anak perempuan
  3. Saudara perempuan
  4. Saudara perempuan ibu
  5. Anak perempuan dari saudara laki-laki
  6. Anak perempuan dari saudara perempuan
  • Mahram karena hubungan pernikahan. Perempuan-perempuan yang menjadi mahram bagi laki-laki untuk selamanya sebab ada hubungan pernikahan antara lain adalah :
  1. Ibu tiri, atau perempuan yang telah dinikahi oleh ayah
  2. Menantu
  3. Mertua
  4. Anak dari istri yang telah digauli
  • Mahram Karena Hubungan Sepersusuan
    Bila seorang anak menyusu kepada seorang perempuan, maka air susu yang diminumnya akan menjadi daging dan darah dalam tubuhnya sehingga perempuan tersebut sudah seperti ibunya sendiri. Perempuan itu sendiri dapat menyusui karena kehamilan dari hubungannya dengan suaminya, maka anak yang menyusu kepadanya juga terhubung dengan suaminya layaknya seorang anak terhubung kepada ayah kandungnya. Selanjutnya keharaman-keharaman melakukan perkawinan berlaku sebagaimana hubungan nasab. Selanjutnya keharaman-keharaman melakukan perkawinan berlaku sebagaimana hubungan nasab (Syarifuddin, 2009).

B. Mahram Ghairu Mu’abbad
Mahram Ghairu Mu‟abbad adalah orang-orang yang haram melakukan pernikahan untuk sementara dikarenakan hal tertentu, bila hal tersebut sudah tidak ada maka larangan itu tidak berlaku lagi. Beberapa sebab yang menimbulkan hubungan mahram ghairu mu’abbad antara lain adalah :

  • Larangan menikahi dua orang saudara dalam satu masa. Mengumpulkan dua orang bersaudara yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah menikahi dua orang perempuan bersaudara sekaligus dalam satu masa. Larangan tersebut melahirkan ketentuan sebagai berikut:
  1. Jika keduanya dinikahi sekaligus dengan satu akad, maka pernikahan dengan kedua perempuan tersebut menjadi batal. Jika pernikahan dilakukan secara berurutan maka pernikahan pertama sah sedangkan yang kedua batal.
  1. Larangan poligami di luar batas. Batas poligami dalam Islam adalah empat orang, maka seorang laki-laki yang telah memiliki istri empat tidak boleh menikah dengan perempuan untuk yang kelima, kecuali sudah menceraikan istrinya dengan talak ba’in. Batasan poligami ini terdapat pada al-Qur‟an surat an-Nisa’ ayat 3.

  2. Larangan karena adanya ikatan perkawinan. Islam melarang keras seorang laki-laki menikahi perempuan yang masih bersuami sehingga menutup peluang terjadinya poliandri. Ketentuan ini ditegaskan dalam al-Qur‟an surat an- Nisa‟ ayat 24.

  3. Larangan karena sedang dalam masa ‘iddah. Perempuan yang dicerai atau ditinggal mati suaminya harusmenahan diri dalam kurun waktu yang telah ditentukan. Masa ini disebut iddah. Bagi perempuan yang dicerai dan masih haid, iddahnya adalah tiga kali suci, yang tidak haid tiga bulan, yang bercerai karena mati iddahnya adalah empat bulan sepuluh hari sedangkan yang ditinggal mati dalam keadaan hamil iddahnya sampai melahirkan.

  4. Larangan karena talak tiga

  5. Larangan menikahi pezina. Perzinaan adalah hubungan kelamin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan diluar ikatan pernikahan yang sah. Larangan menikahi pezina sampai ia berhenti melakukannya dan bertaubat tertuang dalam al-Qur‟an surat an-Nur ayat 3.

  6. Larangan karena beda agama. Semua Ulama‟ mazhab sepakat mengenai keharaman seorang perempuan muslim menikah dengan laki-laki non muslim, akan tetapi mereka berbeda pendapat dalam hal hukum seorang laki-laki muslim menikahi perempuan non muslim. Berdasarkan al-Qur’an surat al- Ma’idah ayat 5, empat mazhab Sunni sepakat bahwa perempuan ahli kitab dari golongan Nasrani dan Yahudi halal bagi laki-laki muslim.

Mahram berasal dari kata اﻟﻤﺤﺮم yang berarti yang haram atau terlarang. Mahram adalah wanita- wanita yang haram dinikahi oleh seorang lelaki. Allah SWT telah menyebut wanita- wanita tersebut dalam Al-Qur’an surat An- Nisa’.34

Di antara wanita ada yang haram dinikahi seorang laki- laki selamanya, tidak halal sekarang dan tidak halal pada masa- masa yang akan datang. Dan di antara wanita ada yang haram dinikahi seorang laki- laki untuk sementara , keharaman berlangsung selama ada sebab dan menjadi halal ketika sebab keharaman itu hilang.35

Adapun urgensi mahram saat bepergian adalah sebagai pelindung wanita. Seperti pada hadits berikut:

Artinya: " Dari Abi Said al-Khudri, ia berkata: Rasulullah SAW. Bersabda: “Tidak dibolehkan bagi wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk bepergian tiga hari lebih terkecuali bersamanya ayahnya atau anak laki- lakinya atau suaminya atau saudara laki-lakinya atau muhrimnya.”(HR. Imam Muslim.). Dimana maksud dari hadits tersebut adalah perempuan yang bepergian harus ditemani oleh mahramnya yang bertujuan agar melindunginya.

Macam- Macam Mahram

Mahram dibagi menjadi dua macam, yaitu mahram abadi dan mahram sementara atau temporal.

  • Mahram abadi
    Mahram abadi adalah wanita- wanita yang haram dinikahi untuk selama- lamanya. Mereka tidak boleh dinikahi oleh lelaki sepanjang waktu. Beberapa faktor yang menjadi penyebab keharaman wanita secara abadi ada tiga, yaitu kerabat, persambungan, dan sepersusuan.

    • Mahram sebab nasab.

    • Mahram sebab persambungan/ besan

    • Mahram sebab sepersusuan

  • Mahram Sementara
    Mahram sementara adalah wanita yang haram dinikahi seorang laki- laki untuk sementara, keharaman berlangsung selama ada sebab dan terkadang menjadi halal ketika sebab keharaman itu hilang.

    • Dua perempuan bersaudara haram dikawini oleh orang laki- laki dalam waktu yang bersamaan; Maksudnya mereka haram dimadu.

    • Wanita yang telah diceraikan tiga kali.

    • Wanita yang sedang dalam masa iddah , baik iddah cerai maupun iddah ditinggal mati, dan apabila habis masa iddah- nya maka dia boleh dikawini.

    • Wanita yang menjadi isteri orang lain

    • Menikah dengan wanita kelima bagi mereka yang telah berpoligami dengan empat istri.

    • Wanita yang sedang ihram.

    • Wanita mula’anah.

    • Perbedaan Agama.

Muhrim atau lebih dikenal dengan Mahram yakni wanita yang haram dinikahi, baik yang masih konservatif maupun yang sudah maju. Sebab-sebab keharamanya itu banyak, demkian pula kelas-kelas mahram menurut bermacam-macam umat, daerah nya luas dikalangan bangsa-bangsa yang masih terbelakang, menyempit dikalangan bangsa-bangsa yang sudah maju. Maksud larangan dalam pernikahan pada pembahasan ini ialah larangan untuk menikahi (kawin) antara seorang pria dan wanita.

Secara garis besar mahram menurut Prof. Dr. Abdul Rahman dalam bukunya yang berjudul Fiqih munakahat adalah: larangan kawin antara seorang pria dan seorang wanita menurut Syara.

Di dalam Al-Qur‟an dijelaskan tentang tiga belas, atau kelompok yang tidak boleh dinikahi. Berdasarkan penyebabnya, ketiga belas orang atau kelompok ini dapat kita bagi jadi tiga golongan.

  • Pertama; Golongan karena hubungan darah, wiladah (melahirkan), nasab atau keturunan; akibat hubungan genealogi, baik secara vertikal atau secara horizontal.

  • Kedua; Golongan karena persusuan, baik yang menyusukan ataupun saudara yang sepersusuan.

  • Ketiga; Golongan karena pertalian perkawinan.

Secara terperinci golongan tersebut sebagai berikut:

  1. Ibu, yang dimaksud disini juga perempuan yang mempunyai hubungan darah dengan garis keturunan lurus ke atas, baik dari jurusan ayah maupun ibu.
  2. Anak perempuan adalah anak perempuan dalam garis keturunan lurus ke bawah, yaitu cucu perempuan, baik dari anak laki-laki maupun anak perempuan.
  3. Saudara-saudara perempuan, seibu atau seayah, seayah saja, maupun seibu saja.
  4. Saudara-saudara perempuan dari ayah ke atas atau ke bawah.
  5. Saudara-saudara perempuan dari ibu ke atas atau ke bawah.
  6. Anak perempuan dari saudara laki-laki, anak kakak atau anak adik.
  7. Anak perempuan dari saudara perempuan, anak kakak atau anak adik.
  8. Ibu yang menyusui ketika ia masih kecil (ibu susu).
  9. Perempuan yang sepersusuan, (saudara susu), yaitu mereka yang masih kecil seibu dengannya.
  10. Anak tiri, dengan catatan telah menjalin hubungan biologis dengan ibunya, kalau belum terjadi hubungan biologis belum di anggap muhrim.
  11. Istri dari anak atau menantu.
  12. Saudara perempuan dari istri, adik atau kakaknya, bibi atau uwaknya.

Semua itu tersurat dalam firman Allah SWT surah An-Nisa ayat 23;

image

Artinya : Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudarasaudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudarasaudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu istrimu (mertua); anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang .( QS An-nisa,[4]: 23)

Ayat di atas menjelaskan tentang wanita-wanita yang haram dinikahi, diantaranya, yaitu istri bekas ayah, ibu, anak perempuannya, saudara perepuan, bibi baik dari pihak ayah maupun ibu, keponakan dari saudara laki-laki maupun perempuan, ibu yang menyusui, saudara susuan, ibu mertua, anak tiri, memadu diantara dua saudara, dan wanita-wanita yang masih terkait hubungan suami istri dengan orang lain.

Macam-macam Mahram

Menurut syara larangan tersebut terbagi dua: yaitu halangan abadi dan halangan sementara.
Diantara halangan-halangan abadi yang telah disepakati dan adapula yang masih diperselisihkan, halangan yang telah disepakati ada tiga, yaitu :

  1. Larangan nikah karena Nasab (keturunan).

    Proses lahirnya sebuah keluarga atau rumah tangga dimulai dari khasrat dan keinginan individu untuk menyatu dengan individu lainya. Khasrat itu merupakan fitrah yang dibawa sejak individu itu lahir. Soerjono Soekanto mengemukakan bahwa hasrat manusia sejak dilahirkan adalah: Pertama, menjadi satu dengan manusia lain di sekelilingnya; kedua, menjadi satu dengan suasana alam sekelilingnya. Oleh karena itu, terbentuknya sebuah keluarga diawali dengan proses memilih yang dilakuan oleh individu yang berlainan jenis kelamin, lalu melamar (khitbah), Dan dilangsungkan dengan perkawinan (Al-nikah). Dalam memilih calon pasangan hidup berkeluarga, Nabi Muhammad SAW. telah menentukan beberapa kriteria seseorang untuk dapat dinikahi, diantaranya: tidak ada pertalian darah, sudah dewasa (baligh) dan berakal, dan berkemampuan, baik material maupun immaterial.

  2. Larangan Pembebasan (karena pertalian semenda atau perkawinan)

    Ada empat orang yang telah dinyatakan Al-Qur‟an tidak boleh dinikahi karena sebab perkawinan, keempat orang itu adalah ibunda istri (mertua), anak-anak istri, istri anak kandung (menantu), dan istri bapak, yang demikian itu berdasarkan firman-nya:

    image

    Artinya :“Ibu-ibu istrimu (mertua); anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS An-Nisa: 23)

  3. Larangan kawin karena hubungan sesusuan.

    berdasarkan lanjutan surat An-Nisa ayat 23 di atas:

    image

    Artinya:Ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan.

    Maksud ibu disini ialah ibu, nenek dan seterusnya keatas. Dan yang dimaksud dengan anak perempuan ialah anak perempuan, perempuan dan seterusnya ke bawah, demikian juga yang lain- lainnya. sedang yang dimaksud dengan anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu, menurut jumhur ulama termasuk juga anak tiri yang tidak dalam pemeliharaannya.

    Dari „Aisyah r.a. berkata bahwa Rasulullah SAW Telah bersabda: ”Diharamkan karena ada hubungan susuan apa yang diharamkan karena ada hubungan nasab”. (HR Bukhari dan
    Muslim, Abu Dauwud, Nasa‟I, dan Ibnu Majah).

Jika diperinci hubungan sususan yang diharamkan adalah:

  1. Ibu susuan, yaitu ibu yang menyusui, maksudnya seorang wanita yang pernah menyusui seorang anak, dipandang sebagai ibu bagi anak yang yang disusui itu sehingga haram melakukan perkawinan.

  2. Nenek susuan, yaitu ibu dari yang pernah menyusui atau ibu dari suami yang menyusui, suami dari ibu yang menyusui ini dipandang seperti ayah bagi anak susuan sehingga haram
    melakukan perkawinan.

  3. Bibi susuan, yakni saudara ibu susuan atau saudara perempuan suami ibu susuan dan seterusnya keatas.

  4. Keponakan susuan perempuan, yakni anak perempuan dari saudara ibu susuan.

  5. Saudara susuan perempuan, baik saudara seayah kandung maupun seibu saja.