Apa yang dimaksud dengan monukultur?

Monokultur

Pertanaman tunggal atau monokultur adalah salah satu cara budidaya di lahan pertanian dengan menanam satu jenis tanaman pada satu areal. Monokultur menjadikan penggunaan lahan efisien karena memungkinkan perawatan dan pemanenan secara cepat dengan bantuan mesin pertanian dan menekan biaya tenaga kerja karena wajah lahan menjadi seragam. Kelemahan utamanya adalah keseragaman kultivar mempercepat penyebaran organisme pengganggu tanaman (OPT, seperti hama dan penyakit tanaman), pola tanam monokultur memiliki pertumbuhan dan hasil yang lebih besar daripada pola tanam lainnya. Hal ini disebabkan karena tidak adanya persaingan antar tanaman dalam memperebutkan unsur hara maupun sinar matahari.

Apa yang dimaksud dengan Monokultur?
Pertanian merupakan komponen kompleks dalam proses menghasilkan bahan pangan. Mulai dari kegiatan budidaya tanaman hingga distribusi. Di Indonesia sektor pertanian masih terus dikembangkan baik dari segi pengadaan varietas unggul, teknik budidaya yang lebih optimal diterapkan, dan sebagainya. Kolaborasi antara pemerintah, akademisi, dan petani sebagai praktisi merupakan hal penting dalam penerapan inovasi tersebut. Dalam hal budidaya, ada beberapa istilah yang sering didengar saat proses perencanaan tanam, yaitu pola tanam.
Pola tanam merupakan penanaman dengan mengatur susunan tanaman, urutan tanam dalam satu tahun tanam, termasuk waktu dalam pengolahan tanah dan waktu lahan tidak ditanami (bero) (Disperta Madiun, 2019). Singkatnya, pola tanam merupakan perencanaan kegiatan yang akan dilakukan selama satu tahun penanaman. Hal ini mencakup, pemilihan jenis tanaman tiap periode tanam, urutan tanam, bero (lahan tidak ditanami), serta pengolahan lahan. Petani dapat membuat perencanaan ini berdasarkan ketersediaan air dan musim selama satu tahun.
Istilah pola tanam kemudian dibagi menjadi 3, yaitu monokultur, polikultur dan rotasi tanam. Pembahasan dalam penulisan ini akan lebih fokus pada pola tanam monokultur. Monokultur merupakan pola tanam dengan menanam 1 jenis tanaman pada suatu lahan dalam periode waktu tertentu. Misalnya, dalam sepetak lahan berukuran 100 x 100 m secara keseluruhan ditanami tanaman Padi saja.

Gambar. Pola Tanam Monokultur Padi
(Sumber : Paktanidigital.com, 2019)
Dalam penerapannya, pola tanam monokultur cenderung lebih mudah perawatannya (Sari, 2019). Perawatan dalam satu petak lahan hanya terfokus pada satu tanaman saja. Mulai dari segi penanaman, penyiraman, pemupukan, hingga panen. Pada dasarnya kebutuhan tanaman satu dengan lainnya berbeda, apabila terdapat dua tanaman atau lebih maka praktek budidaya nya pun akan berbeda-beda dan tentunya perawatannya akan lebih kompleks dan cenderung ribet. Syahputra et al. (2017) menambahkan kelebihan lainnya adalah pemanenan dapat dilakukan dengan bantuan mesin pertanian sehingga akan lebih cepat. Hal ini dapat mengurangi biaya tenaga kerja yang dibutuhkan saat panen.
Namun di sisi lain, monokultur memiliki beberapa permasalahan, yaitu perkembangan hama dan penyakit menjadi lebih tinggi serta ketidakseimbangan unsur hara dalam tanah (Marlia et al., 2010). Pada saat suatu lahan ditanami jenis tanaman yang sama, maka organisme pengganggu tanaman pun akan sama sehingga kemungkinan besar populasinya akan meningkat. Organisme pengganggu tanaman ini dapat berupa hama maupun penyakit. Populasi hama cenderung meningkat saat musim kemarau, sedangkan pada musim hujan populasi penyakit cernderung meningkat akibat kelembaban yang makin tinggi. Sutoro et al., (1988) berpendapat bahwa penerapan pola tanam monokultur memiliki resiko kegagalan yang cukup besar.
Pengendalian hama dan penyakit pada pola tanam monokultur disarankan tidak menggunakan pestisida kimia sintesis terlebih dahulu apabila populasinya masih dalam tahap ambang ekonomi. Ambang ekonomi merupakan istilah yang sudah dikenal dan digunakan untuk pengambilan keputusan pengendalian hama sesuai dengan konsep Pengelolaan Hama Terpadu (PHT) (Yos dan Abdul, 2013). Konsep ambang ekonomi adalah mengenai pengambilan keputusan mengenai waktu dan dosis yang tepat dalam melakukan pencegahan hama dan penyakit tanaman dengan beberapa perhitungan tertentu.
Penggunaan pestisida kimia sintesis tidak disarankan digunakan pada pengendalian utama karena memiliki dampak negatif pada lingkungan secara berkelanjutan. Selain itu, juga berdampak buruk bagi petani apabila aplikasinya tidak sesuai standar. Dampak pada lingkungan menurut (Ratnasari, 2017) antara lain yaitu :

  1. Hama menjadi resisten (kebal) terhadap pestisida kimia
  2. Peledakan hama baru akibat sudah kebal (resurjensi)
  3. Adanya residu kimia pada hasil panen (berdampak pada konsumen)
  4. Musuh alami ikut terbunuh (karena racun pestisida bersifat menyeluruh)
  5. Residu kimia pada lingkungan (tanah dan air)
  6. Berbahaya bagi pengguna
    Cara lain yang mampu digunakan dalam pengendalian hama dan penyakit adalah monitoring, mekanis ,fisik dan hayati. Dalam konsep Pengendalian Hama Terpadu (PHT) terdapat 4 prinsip, yaitu budidaya tanaman sehat, pemanfaatan musuh alami, pengamatan rutin (monitoring), dan petani sebagai manajer (Balitsa, 2015). 4 prinsip ini merupakan pengendalian hama dengan pendekatan ekologis, sehingga tidak membahayakan lingkungan.
    a. Budidaya Tanaman Sehat
    Budidaya tanaman sehat merupakan poin penting dalam kegiatan pengendalian hama dan penyakit. Kondisi tanaman yang sehat mampu meminimalisir kerusakan akibat serangan hama dan penyakit. Hal ini dikarenakan sistem imunitas yang kuat dari tanaman tersebut. Kondisi ini dapat diciptakan dengan memperhatikan kegiatan budidayanya, mulai dari pemilihan varietas bibit/benih, pengolahan lahan, kesesuaian dengan musim, perawatan dan dosis pupuk yang tepat .
    b. Pemanfaatan Musuh Alami
    Musuh alami mampu mengendalikan populasi hama dalam area lahan. Oleh karena itu, pengadaannya sangat penting. Beberapa usaha yang dapat dilakukan untuk menarik atau mengundang musuh alami datang yaitu menanam tanaman pagar/refugia berupa tanaman berbunga dan introduksi secara langsung dengan meletakkan musuh alami pada area lahan tersebut. Musuh alami setiap hama berbeda-beda, sehingga dibutuhkan kajian literatur terlebih dahulu mengenai hama utama dan musuh alami potensialnya.
    c. Pengamatan Rutin (Monitoring)
    Agroekosistem bersifat dinamis, karena beberapa factor didalamnya yang saling mempengaruhi. Oleh karena itu dibutuhkan pengamatan rutin untuk mengetahui kondisi aktual, utamanya mengenai hama dan musuh alami. Dari pengamatan tersebut, dapat dijadikan acuan dalam pengambilan keputusan pengendalian yang perlu dilakukan.
    d. Petani sebagai Manajer
    Petani sebagai praktisi dalam agroekosistem harus menyesuaikan penerapatan PHT pada lahan. Sosialiasi dari pemerintah maupun akademisi sangat diperlukan agar konsep PHT dapat dijalankan oleh petani.

Gambar. Alur Penerapan Konsep PHT pada Agroekosistem
(Sumber : Balitsa, 2015)
Berdasarkan penjabaran tersebut, penerapan PHT dalam suatu lahan monokultur mampu menjadi solusi untuk menekan pertumbuhan hama dan penyakit. Hal ini mampu meminimalisir resiko saat petani berencana memakai pola tanam monokultur.
Permasalahan selanjutnya dari pola tanam monokultur adalah ketidakseimbangan unsur hara dalam tanah. Pola tanam monokultur memiliki dampak negatif bagi kesuburan tanah, yaitu defisiensi unsur tertentu akibat tidak adanya pengembalian seresah tanaman kedalam tanah (Budana et al., 2016). Makna kesuburan tanah adalah ketika tanah mampu menyediakan unsur hara bagi tanaman. Saat permasalahan agroekositem mengacu pada kondisi tanah, maka ada 3 sifat tanah yang akan berubah dan saling mempengaruhi yaitu sifat fisika, kimia, dan biologi tanah.
Umumnya, tanaman yang ditanam menggunakan pola tanam monokultur hanya memiliki sedikit seresah (bagian tanaman yang kering dan jatuh ke permukaan tanah). Hal ini dikarenakan jenis tanaman hanya satu, apalagi saat jenis tanaman tersebut adalah tanaman semusim yang cenderung memiliki seresah yang sedikit. Manfaat seresah bagi tanah adalah sebagai bahan organik. Bahan organik inilah yang akan berfungsi sebagai pembenah sifat fisika tanah dan makanan bagi organisme tanah. Oleh karena itu, sangat relefan apabila penerapan pola tanam monokultur dapat menjadikan ketersediaan unsur hara dalam tanah tidak seimbang.
Tanah merupakan komponen agroekositem yang sangat penting. Tanah adalah lapisan lapisan permukaan bumi yang secara fisik, kimia, dan biologi mampu menunjang produktivitas tanaman dalam menghasilkan hasil serta biomassa. Secara fisik berfungsi sebagai tempat tumbuh & berkembangnya perakaran penopang tegak tumbuhnya tanaman dan menyuplai kebutuhan air dan udara. Secara kimiawi berfungsi sebagai gudang dan penyuplai hara atau nutrisi (senyawa organik dan anorganik sederhana dan unsur-unsur esensial seperti: N, P, K, Ca, Mg, S, Cu, Zn, Fe, Mn, B, Cl). Dan secara biologi berfungsi sebagai habitat biota (organisme) yang berpartisipasi aktif dalam penyediaan hara tersebut dan zat-zat aditif (pemacu tumbuh, proteksi) bagi tanaman (Roni, 2015).
Dari penjabaran tersebut, permasalahan dalam ketidakseimbangan hara dalam tanah merupakan permasalahan yang kompleks karena berdampak langsung pada produktivitas tanaman. solusi yang dapat diterapkan yaitu dengan penambahan bahan organik serta pemupukan yang rutin. Bahan organik bisa didapatkan dari pupuk organik, seperti pupuk kandang, pupuk hijau, dan kompos. Pemberian pupuk organik dalam tanah mampu menggantikan seresah atau bahkan mampu menyediakan lebih banyak hara bagi tanah. Juarsah (2014) menyatakan bahwa pengembalian sisa tanaman saja ternyata belum cukup mampu mempertahankan kadar C-organik tanah pada kondisi awal 2-2,5% C.
Pupuk organik sangat bermanfaat bagi peningkatan produksi pertanian baik secara kualitas maupun kuantitas, mengurangi pencemaran lingkungan, dan meningkatkan kualitas lahan secara berkesinambungan. Namun kelemahan pupuk organik dibanding pupuk kimia adalah dosis unsur yang tidak bisa fokus pada 1 unsur. Misalkan tanah sedang mengalami defisiensi unsur K, maka penambahan pupuk organik tidak hanya menambahkan unsur K namun termasuk unsur-unsur lain didalamnya seperti N, P, Ca, dan sebagainya.
Pupuk organik bisa didapat dari bahan kotoran ternak, seperti ayam, sapi, kuda, kerbau, dan kambing/domba juga bisa dari tanaman. tanaman yang umumnya digunakan adalah tanaman dengan genus leguminose. Hal ini dikarenakan tanaman tersebut mampu menyediakan N bagi tanah. Kandungan hara masing-masing tergantung pada jumlah dan jenis pakan. Kandungan hara dalam kotoran hewan lebih rendah daripada pupuk kimia. Oleh karena itu aplikasi dari pemberian pupuk kandang ini lebih besar daripada pupuk anorganik.
Bahan-bahan dari ternak dan tanaman kemudian dilakukan proses pengomposan. Pengomposan tanah adalah proses dekomposisi atau pemecahan dari material organik yang dilakukan oleh berbagai macam mikroorganisme dalam keadaan panas, lembab, ada udara (aerob) ataupun tanpa udara (anaerob). Proses ini menggunakan beberapa alat dan bahan tertentu. Umumnya, terdapat beberapa kelompok tani yang difasilitasi pemerintah agar dapat mengelola pupuk organik secara mandiri.
Pemberian pupuk organik tetap umumnya tetap diimbangi dengan pemberian pupuk kimia (racikan pabrik) seperti NPK, KCL, SP 36, Urea, dan sebagainya. Hal ini menyesuaikan ketersediaan pupuk organik yang ada, sehingga sifat pupuk kimia adalah sebagai tambahan. Pemberian pupuk organik yang dikombinasikan dengan pupuk anorganik, telah diterapkan dalam sistem pengelolaan tanaman terpadu (PTT), sistem integrasi padi/palawija dan ternak (SIPT), sistem pertanian mandiri yang mengintegrasikan ternak dan tanaman crop livestock system (CLS) (Hartatik et al., 2015).
Berdasarkan penjabaran mengenai kekurangan pola tanam monokultur dapat disimpulkan bahwa permasalahan yang ada mampu diminimalisir sehingga menurunkan resiko gagal panen. Solusi yang diberikan dimulai dari aplikasi bahan atau material yang bersifat ekologis terlebih dahulu untuk mengurangi pencemaran lingkungan. Pada dasarnya, pemilihan pola tanam baik monokultur (satu jenis tanaman) maupun polikultur (dua jenis tanaman atau lebih) harus didasarkan pada ketersediaan air, musim serta kemampuan petani sebagai praktisi.
Referensi
Hartatik, Wiwik; Husnain; Ladiyani R . 2015. Peranan Pupuk Organik dalam Peningkatan Produktivitas Tanah dan Tanaman. Jurnal Sumberdaya Lahan 9 (2): 107-120.
Juarsah, Ishak. 2014. Pemanfaatan Pupuk Organik Untuk Pertanian Organik Dan Lingkungan Berkelanjutan. Prosiding Seminar Nasional Pertanian Organik. Balai Penelitian Tanah.
Roni, Ni Gusti Ketut. 2015. Tanah Sebagai Media Tumbuh. Bahan Ajar Fakultas Peternakan Universitas Udayana.
Balitsa. 2015. Empat Prinsip Dasar Dalam Penerapan Pengendalian Hama Terpadu (PHT). Disadur Dari Empat Prinsip Dasar dalam Penerapan Pengendalian Hama Terpadu (PHT) pada 14 Desember 2020.
Ratnasari, Dewi. 2017. Mengendalikan Hama dan Penyakit secara Alami. Disadur dari Mengendalikan Hama dan Penyakit Secara Alami pada 14 Desember 2020.
Yos, F. dan Abdul K. 2013. Ambang Ekonomi. MODUL-03. Department of Dryland Agriculture Management, Kupang State Agriculture Polytechnic.
Sutoro; Soelaeman, Y; Iskandar. 1988. Budidaya Tanaman Jagung. Balai Penelitian Tanaman Pangan, Bogor.
Marlia, Ainun; Jumini; Jamilah. 2010. Pengaruh Jarak Tanam Antar Barisan Pada Sistem Tumpangsari Beberapa Varietas Jagung Manis Dengan Kacang Merah Terhadap Pertumbuhan Dan Hasil. Agrista 14 (1): 30-38.
Syahputra, Nurdarmawan; Mawardati; Suryadi. 2017. Analisis Faktor Yang Mempengaruhi Petani Memilih Pola Tanam Pada Tanaman Perkebunan Di Desa Paya Palas Kecamatan Ranto Peureulak Kabupaten Aceh Timur
Sari, Maya. 2019. Pengertian dan Jenis Pola Tanam. Disadur dari http://sumsel.litbang.pertanian.go.id/web/berita-pengertian-dan-jenis-pola-tanam.html pada 13 Desember 2020.
Paktanidigital.com. 2019. Apa Saja Jenis-Jenis Pola Tanam dalam Pertanian. Disadur dari https://paktanidigital.com/artikel/jenis-jenis-pola-tanam/#.X9mP7NgzbIU pada 13 Desember 2020
Disperta Madiun, 2019. Sosialisasi Pola Tanam pada Petani. Disadur dari https://disperta.madiunkota.go.id/2019/12/05/sosialisasi-pola-tanam-pada-petani/ pada 13 Desember 2020.

1 Like