Martin dan Pear (2003) mendefinisikan modifikasi perilaku sebagai sebuah aplikasi sistematis dari prinsip-prinsip dan teknik-teknik belajar untuk mengukur dan meningkatkan tingkah laku individu dalam rangka membantunya agar dapat berfungsi secara penuh di tengah masyarakat. Tingkah laku yang dimaksud meliputi tingkah laku yang nampak ( overt ) maupun tidak nampak ( covert ). Tingkah laku yang tidak nampak artinya aktivitas yang terjadi di dalam diri seseorang sehingga membutuhkan instrumen khusus untuk diobservasi oleh orang lain. Baik tingkah laku overt maupun covert dapat dipengaruhi oleh teknik- teknik modifikasi perilaku.
Morris (1985) mengemukakan beberapa asumsi dasar umum dari modifikasi perilaku antara lain :
1. Tingkah laku adalah sesuatu yang dipelajari. Sekalipun gangguan tertentu seperti retardasi mental disebabkan oleh faktor biologis atau genetis, tidak berarti masalah dalam perilaku mereka juga diakibatkan oleh faktor yang sama. Asumsi modifikasi perilaku adalah masalah tingkah laku dan belajar yang dimiliki seorang anak merupakan hal yang dipelajari, kecuali terdapat bukti yang menunjukkan sebaliknya.
2. Masing-masing masalah tingkah laku dipelajari secara terpisah . Seorang anak bisa saja memiliki beberapa tingkah laku bermasalah. Asumsi modifikasi perilaku adalah bahwa setiap tingkah laku bermasalah tersebut dipelajari secara terpisah dan berkembang sendiri-sendiri.
3. Masalah tingkah laku maupun belajar dapat dimodifikasi dengan menggunakan prosedur modifikasi perilaku . Prosedur modifikasi perilaku memiliki lingkup aplikasi yang luas serta baik untuk dipertimbangkan sebagai treatment terhadap berbagai masalah tingkah laku maupun belajar anak. Beberapa penelitian bahkan mengemukakan bahwa prosedur ini bisa digunakan secara efektif untuk memodifikasi berbagai masalah tingkah laku maupun belajar yang disebabkan oleh faktor fisik atau biologis. Misalnya, untuk mengajarkan anak cerebral palsy berjalan, atau mengontrol tingkah laku disruptif seperti memukul orang pada anak-anak dengan kerusakan otak (Meyerson, Kerr, & Michael, 1967, Whitman, Scibak, & Reid, 1983 dalam Morris, 1985).
4. Masalah tingkah laku maupun belajar yang ditunjukkan oleh seorang anak pada situasi tertentu hanya mengindikasikan bagaimana ia biasanya bertingkah laku pada situasi tersebut. Masalah tingkah laku maupun belajar ini muncul pada suatu kondisi spesifik dan tidak tergeneralisasikan pada situasi yang lain.
5. Penekanan dilakukan terhadap perubahan masalah tingkah laku maupun belajar anak di sini dan saat ini ( here and now ). Tidak seperti beberapa bentuk terapi anak dan pendekatan intervensi tertentu, modifikasi perilaku berfokus pada apa yang saat ini berkontribusi terhadap tingkah laku anak dan apa yang bisa dilakukan saat ini untuk mengubah tingkah laku tersebut. Penekanannya adalah pada masa kini serta dalam menentukan bagaimana tingkah laku bisa diubah pada situasi dimana ia muncul.
6. Tujuan dari modifikasi perilaku adalah untuk memodifikasi masalah tingkah laku maupun belajar yang spesifik. Bukan hanya “menjadikan anak lebih baik” melainkan tingkah laku yang ingin diubah harus jelas.
7. Masalah tingkah laku maupun belajar disebabkan oleh lingkungan . Prosedur intervensi menekankan pada identifikasi faktor-faktor di lingkungan sekitar anak yang dapat meningkatkan atau menurunkan frekuensi munculnya tingkah laku tertentu. Faktor-faktor ketidaksadaran tidak memainkan peranan yang esensial dalam mempengaruhi tingkah laku seseorang.
8. Insight tidak diperlukan untuk mengubah tingkah laku anak . Berkaitan dengan asumsi sebelumnya, maka seorang anak tidak perlu memperhatikan faktor ketidaksadaran atau alasan-alasan lain yang mendasari tingkah lakunya sebelum perubahan tingkah laku ke arah positif terjadi.
9. Tidak terjadi substitusi simptom atau gejala . Sebagian guru dan terapis anak berkeyakinan bahwa ketika penyebab dari tingkah laku diabaikan dan hanya masalah yang di permukaan saja yang ditangani, maka anak akan terus memunculkan masalah tingkah laku baru sampai isyu yang lebih mendalam tersebut diselesaikan.
Karakteristik Modifikasi Perilaku
Martin dan Pear (2003) mengemukakan 7 karakteristik modifikasi perilaku, yaitu:
-
Menekankan pada pendefinisian masalah dalam ranah tingkah laku yang bisa diukur serta menggunakan perubahan pada pengukuran tingkah laku sebagai indikator terbaik mengenai apakah masalah telah berhasil dibantu.
-
Prosedur dan teknik treatment merupakan cara untuk mengubah lingkungan individu (orang, objek, kejadian, atau tingkah laku individu sendiri) dalam rangka membantunya berfungsi secara penuh di tengah masyarakat. Pemberi modifikasi perilaku terlibat aktif dalam merestrukturisasi lingkungan keseharian klien untuk memperkuat tingkah laku yang sesuai.
-
Metode-metode dan prinsip-prinsip modifikasi perilaku dapat dideskripsikan dengan tepat dan jelas sehingga mampu direplikasi oleh pemberi modifikasi perilaku lainnya.
-
Teknik-teknik modifikasi perilaku sering diaplikasikan oleh individu dalam kehidupan sehari-hari. Deskripsi yang jelas dari teknik modifikasi perilaku yang dilakukan memungkinkan orangtua, guru, pelatih, dan lain-lain untuk mengaplikasikan modifikasi perilaku pada situasi sehari-hari.
-
Teknik-teknik modifikasi perilaku merupakan percabangan dari penelitian aplikatif mengenai psikologi belajar secara umum dan prinsip-prinsip operant serta pavlovian conditioning secara khusus.
-
Menekankan demonstrasi ilmiah bahwa intervensi tertentu bertanggungjawab terhadap tingkah laku tertentu.
-
Sangat menekankan pada pertanggungjawaban dari setiap orang yang terlibat dalam program modifikasi perilaku, yaitu klien, staff, administrator, konsultan, dan sebagainya.
Langkah-Langkah Penyusunan Modifikasi Perilaku
Martin dan Pear (2003) mengatakan bahwa sebuah program modifikasi perilaku yang berhasil biasanya terdiri atas 4 fase pengidentifikasian, pendefinisian, dan pencatatan perilaku target, yaitu fase screening atau intake, fase baseline, fase treatment, dan fase follow up yang dijelaskan sebagai berikut :
- Fase Screening atau Intake
Fase ini merupakan interaksi awal antara klien dengan ahli atau pemberi modifikasi perilaku yang memiliki beberapa fungsi. Fungsi pertama adalah menentukan kesesuaian dari ahli yang bersangkutan untuk menangani masalah tingkah laku tertentu dari klien. Fungsi kedua adalah menyampaikan kebijakan dan prosedur yang berlaku sepanjang sesi. Fungsi ketiga adalah mengidentifikasi adanya kondisi krisis seperti risiko bunuh diri, child abuse, dan lain-lain yang harus segera ditangani. Fungsi keempat adalah mengumpulkan informasi untuk mendiagnosa gangguan atau masalah yang dimiliki oleh klien melalui wawancara atau tes psikologi. Fungsi terakhir adalah memperoleh informasi mengenai tingkah laku yang akan menjadi target intervensi. Pada fase pertama ini, pemberi informasi bisa menggunakan berbagai indikator awal, misalnya laporan guru atau skor tes inteligensi anak.
Setelah mendapatkan gambaran awal mengenai masalah yang dialami oleh klien, pemberi modifikasi perilaku masuk ke dalam fase baseline, yaitu mendefinisikan tingkah laku yang hendak diubah secara jelas, lengkap, dan terukur. Tingkah laku target harus dinyatakan secara spesifik sehingga pada akhirnya dapat ditentukan ketercapaiannya. Untuk meyakinkan hal tersebut, dapat dilakukan tes IBSO ( Is-the-Behavior-Specific-and-Objective ) yaitu : a) Apakah kita dapat menyampaikan kepada orang lain bahwa perilaku target sudah berlangsung sebanyak X kali atau selama X menit selama waktu tertentu?; b) Apakah orang lain dapat mengetahui ketika tingkah laku target dilakukan oleh anak?; c) Perilaku target seharusnya tidak dapat diuraikan kembali menjadi komponen-komponen tingkah laku yang lebih kecil dan lebih mudah diobservasi.
Setelah analisis I-B-S-O, perlu dilakukan asesmen fungsional (Martin & Pear, 2003, Morris, 1985) yaitu analisa terhadap lingkungan terkini dari klien untuk mengidentifikasi variabel yang mungkin mengontrol tingkah laku target. Caranya adalah dengan menentukan situasi pemicu munculnya tingkah laku dan konsekuensi apa yang membuat tingkah laku berulang. Namun demikian, perlu diingat bahwa tingkah laku tertentu bisa saja muncul tanpa adanya situasi pemicu yang jelas maupun konsekuensi yang membuat tingkah laku berulang. Tingkah laku yang tidak diinginkan dapat muncul karena anak belum pernah mempelajari tingkah laku yang tepat. Jika ini terjadi, pemberi modifikasi perilaku perlu mendefinisikan ulang tingkah laku yang tidak diinginkan menjadi tingkah laku yang diinginkan, lalu menggunakan prosedur modifikasi perilaku untuk mengajarkan tingkah laku yang diinginkan tersebut kepada anak (Bijou & Baer, 1979 dalam Morris, 1985). Langkah selanjutnya adalah melakukan pencatatan perilaku target untuk menentukan tingkatannya sebelum treatment diberikan. Cara pencatatan bisa berbeda antara perilaku yang satu dengan yang lain. Misalnya, jika target berupa peningkatan tingkah laku mengimitasi atau mengenali huruf, pemberi modifikasi perilaku dapat merencanakan sesi observasi harian ketika ia sedang mengajari anak untuk melakukan perilaku tersebut.
Setelah menentukan tingkah laku target dan tingkatannya, pemberi modifikasi perilaku masuk ke dalam fase treatment , yaitu mendesain program penanganan yang efektif untuk mengubah perilaku. Pada setting pendidikan,
program ini disebut dengan program pelatihan ( training ) atau pengajaran ( teaching ). Sementara itu, pada setting komunitas atau klinis, program biasanya disebut dengan strategi intervensi atau program terapi. Pada fase ini juga perlu disusun rencana pengukuran kemajuan dari tingkah laku yang menjadi target intervensi, selain pengukuran sebelum dan sesudah program. Dalam hal ini dapat digunakan grafik (Mash & Terdal, 1981; Miller, 1980 dalam Morris, 1985) yang menunjukkan efektivitas prosedur intervensi bagi anak yang sedang ditangani, yaitu apakah kemajuan menetap atau berfluktuasi serta prosedur modifikasi perilaku apa yang berhasil dan yang tidak secara obyektif dan tidak bias. Grafik bisa berupa pencatatan berapa kali tingkah laku muncul, berapa lama tingkah laku muncul, berapa langkah perilaku sudah muncul, serta persentase tingkah laku yang tepat muncul.
Fase terakhir adalah follow up, yaitu untuk menentukan apakah peningkatan yang terjadi selama treatment dilakukan tetap bertahan setelah terminasi program. Penekanan terhadap pengukuran setelah terminasi program dilakukan karena masalah belum dapat dikatakan selesai jika peningkatan tidak bersifat permanen walaupun pengukuran ini belum tentu dapat dilakukan pada situasi-situasi tertentu.