Model BK kognitif-perilaku merupakan sebuah model konseling yang menggabungkan prinsip-prinsip dan metode kognitif dan perilaku dalam sebuah pendekatan tritmen yang singkat (Corey, 2005: 271). Penamaan model ini digunakan dalam beragam cara untuk menunjukkan terapi perilaku, terapi kognitif, dan untuk mengacu kepada terapi yang didasarkan pada kombinasi basis penelitian kognitif dan perilaku. Secara primer KKP dikembangkan melalui sebuah penggabungan (merging) antara pendekatan terapi perilaku dan terapi kognitif (Wikipedia, the free encyclopedia, diakses Mei 2009).
Asosiasi Psikologi Amerika menyebut KKP sebagai sebuah bentuk psikoterapi yang mengintegrasikan teori-teori tentang kognisi dan belajar serta teknik-teknik tritmen yang berasal dari terapi kognitif dan perilaku. Terapi kognitif-perilaku mengasumsikan bahwa variabel kognitif, emosi dan perilaku saling berhubungan secara fungsional. Tritmen bertujuan untuk mengidentifikasi dan memodifikasi proses-proses berpikir maladaptif dan perilaku-perilaku problematik klien melalui restrukturisasi kognitif dan teknik-teknik perilaku untuk mencapai perubahan, Disebut juga modifikasi perilaku kognitif, cognitive behavioral therapy (VandenBos, 2007).
KKP merupakan sebuah tritmen yang powerful karena menggabungkan keilmiahan, filosofis dan aspek perilaku, pada satu pendekatan yang komprehensif untuk memahami dan mengatasi problem-problem psikologis. Dari aspek keilmiahan, pendekatan KKP menghadapkan klien untuk menjadi lebih seperti saintis. Misalnya, selama KKP, klien mengembangkan kemampuan untuk memperlakukan pikiran-pikirannya sebagai teori dan dugaan tentang realitas yang diuji (hipotesis), dari sekedar sebagai fakta; dari aspek filosofis, KKP mengakui bahwa orang memegang nilai-nilai dan keyakinan tentang dirinya, dunia dan orang lain. Satu dari tujuan-tujuan KKP adalah untuk menolong orang mengembangkan fleksibilitas, tidak ekstrim, menolong diri keyakinan yang menolongnya beradaptasi dengan realitas dan mencapai tujuan-tujuannya. sedangkan dari aspek aktif, KKP secara kuat menekankan perilaku. Banyak teknik KKP melibatkan pengubahan cara berpikir dan merasa dengan memodifikasi cara seseorang berbuat (Rob Willson & Rhena Branch, 2006).
KKP memiliki karakteristik: pertama, sebuah hubungan kolaboratif antara klien dan terapis; kedua, premis bahwa derita psikologis adalah sejumlah gangguan fungsi dalam proses kognitif; ketiga, fokus pada mengubah kognisi hingga menghasilkan perubahan-perubahan yang diinginkan pada afeksi dan perilaku; dan keempat, umumnya batas waktu dan tritmen pendidikan fokus pada target masalah-masalah spesifik dan terstruktur. Semua pendekatan terapi kognitif mendasarkan pada sebuah model psikoedukasi terstruktur, dan semuanya menekankan peranan pekerjaan rumah, menempatkan tanggung jawab pada klien untuk mengasumsikan peran aktif selama dan diluar sesi terapi, serta menggambarkan dari beragam strategi kognitif dan perilaku untuk membawa ke arah perubahan( Corey, 2005).
Asumsi Dasar dan Tujuan Konseling
Dalam perspektif KKP, problema utama kehidupan yang dialami konseli bersumber pada asumsi-asumsi yang salah yang membentuk sikap, keyakinan maupun harapan-harapan. Kognisi sebagai bagian intelek yang merujuk pada penerimaan, penafsiran, pemikiran, pengingatan, penghayalan atau penciptaan, pengambilan keputusan dan penalaran merupakan faktor penting dan berpengaruh terhadap perilaku (John Mc Leod,2008; Surya,2003). Terapi kognitif memandang problem psikologis sebagai pembendungan dari proses penempatan seperti pikiran yang salah, membuat kesimpulan yang tidak benar pada basis informasi tidak tepat dan tidak benar, gagal membedakan antara fantasi dan realita (Corey, 2005).
Terapi kognitif bertujuan untuk mengidentifikasi pikiran-pikiran yang keliru ini dan menggantikannya dengan yang lebih adaptif, sebuah proses yang dikenal sebagai restrukturisasi kognitif. Terapis mengambil peran seorang pembimbing aktif yang berusaha untuk menyadarkan klien dari pola pikir yang terganggunya(distorted) serta menolong klien mengoreksi dan memperbaiki persepsinya serta sikap-sikap dengan menunjukkan bukti yang berlawanan/sebaliknya atau dengan mendatangkannya pada klien (VandenBos, 2007). Konseling dalam pendekatan kognitif perilaku memfokuskan perhatian dan bidang garapannya terhadap proses kognitif yang terjadi pada konseli (John Mc Leod,2008:151; Surya,2003).
Ada beberapa kesalahan sistematis pada penalaran yang mengarah pada asumsi yang salah dan miskonsepsi, yaitu: membuat kesimpulan tanpa dukungan bukti yang relevan (arbitrary inferences), membentuk konklusi berdasarkan detil peristiwa yang terselubung, overgeneralization, pemikiran dikhotomis (kecenderungan melihat situasi dalam kerangka kutub yang berlawanan, kecenderungan untuk membayangkan berbagai peristiwa yang ada pasti ada kaitannya dengan tindakannya, kecenderungan melihat sesuatu yang terjadi dari sudut pandang sendiri saja (Corey, 2005; Beck dalam McLeod, 2008). Jenis distorsi lainnya yaitu: kesalahan berpikir karena orang secara total menyalahkan dirinya sendiri terhadap semua yang menimbulkan kesalahan dengan menghubungkan ini dengan beberapa penyimpangan pada dirinya (personalization and blame); kesalahan berpikir karena orang memprediksi masa depan secara negative dan meyakini sesuatu akan kembali dengan keburukan (catastrophizing); kekeliruan berpikir karena orang menggambarkan konklusi tentang sebuah peristiwa berdasarkan pada perasaan dan mengabaikan bukti sebagai lawannya (emotional reasoning); pernyataan harus atau mesti (should or must statements); kekeliruan pikiran karena orang memberikan perhatian khusus terhadap satu hal negatif dengan detail dan terus menerus, tanpa melihat aspek-aspek positif yang lain (mental filter); klien mengabaikan situasi positif dan menerangkan pada dirinya bahwa pengalaman-pengalaman positif bukan hitungan (discounting the positive); orang berpikir bahwa karena pengalaman tidak menyenangkan terjadi padanya sewaktu-waktu, maka itu akan biasa terjadi (overgeneralization); orang yang melakukan ini berpikir salah ketika mengevaluasi dirinya, orang lain atau beberapa situasi akan cenderung melebih-lebihkan komponen negatif dan meminimkan komponen positif (magnification and minimization); orang memandang dirinya atau orang lain dengan menerapkan label yang menghina(labeling); orang yang pikirannya terganggu pada cara menyimpulkan bahwa hasil tertentu akan menjadi negatif, tanpa memiliki bukti (Curwen, Palmer dan Ruddel, 2008).
Berdasarkan asumsi itu, pendekatan KKP memiliki tujuan untuk menolong konseli bergerak dari masalah-masalah emosi dan perilaku yang terdefinisikan menuju tujuan-tujuan tentang bagaimana sebaiknya mereka merasa dan berperilaku. Identifikasi pikiran-pikiran otomatis dan pengenalan pikiran yang salah, memainkan peran utama dalam terapi kognitif-perilaku. Klien cenderung membuat kesalahan yang konsisten dalam berpikirnya. Terapis menolong klien untuk mengidentifikasi kesalahan-kesalahan atau distorsi kognitif ini. Jadi KKP adalah sebuah tujuan yang terarah, sistematis dan pendekatan pemecahan masalah untuk masalah-masalah emosionalnya (Hackney & Cormier, 2009).
Metode dan Teknik Konseling
Ada empat metode dasar yang digunakan untuk meng-asses kognisi klien: interview , self- recording , self report inventory , prosedur berpikir suara keras. Setiap metode mendapatkan laporan diri klien dari kognisinya, serta mendapatkan informasi langsung tentang pikiran lainnya (Spiegler & Guevremont, 2003).
Beberapa inventori laporan diri yang langsung untuk menilai kognisi terdiri dari statemen diri yang umum yang berhubungan dengan area masalah tertentu. Klien menunjukkan bagaimana seringnya mereka membuat setiap statemen diri. Inventori laporan diri yang standar merupakan metode efisien untuk tujuan intial screening . Mereka memberikan terapis gagasan umum tentang tipe pikiran yang dimiliki ( Spiegler & Guevremont,2003).
Pendekatan berpikir dengan suara keras memerlukan klien memverbalkan pikirannya (biasanya dengan berbicara pada tape recorder) ketika menggunakan pada rangsangan tugas atau situasi role playing. Contoh: klien mendengarkan skenario tape recorder yang didesain untuk mendapatkan kognisi yang berbeda.
Pendekatan berpikir suara keras didesain untuk situasi terstimulasi daripada situasi aktual ( Spiegler & Guevremont,2003). Sedangkan beberapa teknik untuk membantu klien dalam mengembangkan kemampuan mengatasi masalahnya antara lain: penghentian pikiran (thought stopping), terapi perilaku rasional emotif, dan terapi kognitif (Spiegler & Guevremont,2003).
1) Penghentian pikiran ( thought stopping )
Didesain untuk menurunkan frekuensi dan durasi yang terus-terusan, gangguan pikiran dengan menginterupsinya dan mengganti pikiran yang menyenangkan untuk mereka. Penghentian pikiran melibatkan dua tahap: pertama, menginterupsi gangguan pikiran, dan kedua fokus pada pikiran adaptif. Pada fase pertama, ketika gangguan pikiran terjadi, klien mengatakan,”Stop! Kata diucapkan dengan tajam, menyentak, seakan warning dari bahaya yang dekat. Pada awalnya klien mengatakan “Stop! Dengan suara keras; setelah mereka melakukan ini secara konsisten, kemudian mereka mengubah perkataan “stop! Secara sunyi ( silently ) pada dirinya sendiri ( Spiegler & Guevremont,2003).
2) Teknik Terapi Rasional Emotif
Prosedurnya mengikuti teori Ellis tentang bagaimana gangguan psikologis berkembang ( Spiegler & Guevremont,2003). Masalah-masalah psikologis ditimbulkan karena keyakinan yang irrasional yang berasal dari penalaran yang salah atau logika yang error, misalnya berpikir absolut, generalisasi yang berlebihan, dan catastrophizing. Berpikir absolute memandang sebuah peristiwa semuanya atau tidak sama sekali, mode hitam atau putih, misalnya “saya harus melakukannya dengan baik”. Overgeneralization menggambarkan konklusi bahwa semua situasi akan mengubah cara karena satu atau dua. Catasrtrophizing melihat sesuatu sebagai malapetaka ( Spiegler & Guevremont,2003). Tujuan rasional emotif adalah untuk memodifikasi keyakinan irasional yang ditempuh melalui tiga teknik utama: identifikasi pikiran berdasarkan keyakinan irrasional, menentang keyakinan irrasional dan mengganti pikiranpikiran irrasional dengan pikiran-pikiran yang rasional.
3) Teknik Terapi Kognitif
Teknik-teknik yang biasa digunakan dalam praktek atau proses KKP (Haaga dan Davidson, Meichenbaum dalam McLeod, 2003) adalah: menentang keyakinan irrasional; membingkai kembali isu; misalnya, menerima kondisi emosional internal sebagai sesuatu yang menarik ketimbang sesuatu yang menakutkan; mengulang kembali penggunaan beragam pernyataan diri dalam role playing dengan konselor; mencoba penggunaan berbagai pernyataan diri yang berbeda dalam situasi ril; mengukur perasaan; misalnya, dengan menempatkan perasaan cemas yang ada saat ini dalam skala 0 -100; menghentikan pikiran, ketimbang membiarkan pikiran cemas atau obsesional “mengambil alih”, lebih baik klien belajar untuk menghentikan mereka dengan cara seperti menyabetkan karet ke pergelangan tangan; desensitisasi sistematis, digantinya respon takut dan cemas dengan respon relaksasi yang telah dipelajari. Konselor membawa konseli melewati tingkatan hierarki situasi untuk melenyapkan rasa takut; pelatihan keterampilan sosial atau asertifikasi; penugasan pekerjaan rumah, Mempraktikan perilaku baru dan strategi kognitif antara sesi terapi; in vivo exposure, memasuki situasi paling menakutkan dengan didampingi oleh konselor; misalnya mengunjungi pertokoan dengan klien yang menderita agorafobia (ketakutan berlebihan terhadap tempat publik).