Apa yang dimaksud dengan Modifikasi Kognitif Perilaku?

Modifikasi Kognitif Perilaku

Modifikasi kognitif perilaku adalah salah satu pendekatan terapi yang bertujuan mengubah perilaku overt (tampak jelas) dan covert (tersembunyi) dengan mengaplikasikan metode kognitif dan metode perilaku (Dobson & Block, dalam Sarafino, 1996).

Apa yang dimaksud dengan Modifikasi Kognitif Perilaku ?

Modifikasi kognitif perilaku adalah salah satu pendekatan terapi yang bertujuan mengubah perilaku overt (tampak jelas) dan covert (tersembunyi) dengan mengaplikasikan metode kognitif dan metode perilaku (Dobson & Block, dalam Sarafino, 1996). Maag (2004) menjelaskan bahwa rasionalisasi penggunaan modifikasi kognitif perilaku adalah kognisi dapat mempengaruhi perilaku seseorang. Pandangan mengenai modifikasi ini adalah bahwa respon perasaan dan perilaku terhadap situasi sehari-hari dipengaruhi oleh; bagaimana situasi tersebut diterima, ingatan terhadap situasi yang mirip di masa lalu, atribusi yang dibuat berdasarkan penyebab situasi, dan bagaimana situasi mempengaruhi persepsi individu dan tujuannya.

Secara spesifik, Dobson dan Block (dalam Maag, 2004) mengungkapkan modifikasi kognitif perilaku berdasarkan pada tiga hal. Pertama adalah aktivitas kognitif mempengaruhi perilaku seseorang sehingga pandangan seseorang mengenai situasi akan mempengaruhi perilaku yang dipilih serta tampilan perilaku pada situasi tertentu. Kedua, aktivitas kognitif dapat dipantau atau diubah, hal ini karena kognisi seseorang dapat diakses dan diidentifikasi sebagai prasyarat untuk mengubah proses kognisi seoseorang. Terakhir, perubahan perilaku yang dikehendaki dapat dilakukan melalui perubahan kognisi karena kegiatan dalam kognisi mendahului perilaku serta menjadi perantara perilaku.

Berdasarkan pengertian modifikasi kognitif perilaku tersebut, dapat disimpulkan bahwa modifikasi kognitif perilaku merupakan intervensi yang dilakukan untuk mengubah proses berpikir menggunakan prinsip modifikasi kognitif serta modifikasi perilaku.

Gambaran Modifikasi Kognitif Perilaku


Menurut Maag (2004) dalam memaknai modifikasi kognitif perilaku, individu perlu mengetahui mengenai rumusan model kognitif A-B-C, yaitu:

Tabel : Model kognitif A-B-C
image

Rumusan ini merupakan pengembangan dari modifikasi perilaku dimana dalam modifikasi perilaku, B adalah perilaku sedangkan di dalam model kognitif ini, B merupakan keyakinan atau pikiran seseorang. Model A-B-C ini menjelaskan bahwa situasi pendahulu (A) dapat menimbulkan suatu keyakinan seseorang yang dapat mempengaruhi perilaku seseorang untuk memilih dan menunjukkan kemampuannya pada situasi sedang yang dihadapi. Kedua, keyakinan (B) diasumsikan menjadi mediator perilaku dimana keyakinan tersebut dapat bersifat kaku ataupun fleksibel. Keyakinan yang bersifat kaku menyebabkan seseorang akan berpikir irasional dan cenderung memiliki kesimpulan yang irasional. Ketiga, konsekuensi dari perasaan dan perilaku ( C) berasal dari keyakinan yang telah diinterpretasikan maknanya serta dari keyakinan atas situasi sebelumnya. Dari tiga hal tersebut, Maag (2004) menyimpulkan bahwa keyakinan merupakan titik utama untuk mengubah perilaku. Seseorang berperilaku tidak berdasarkan pada situasi yang dihadapi melainkan pada interpretasi dari situasi tersebut.

Maag (2004) menyatakan tujuan modifikasi kognitif perilaku adalah mengubah kesalahan berpikir berupa pikiran negative atau irasional menjadi lebih konstruktif, sehingga menimbulkan pola berpikir yang adaptif serta menyadari individu mengenai pentingnya peranan kognisi. Modifikasi kognitif perilaku umum digunakan untuk menangani permasalahan psikologis antara lain seperti gangguan kecemasan, masalah interpersonal dan sosial, depresi, penolakan sekolah, fobia, self esteem rendah, kenakalan remaja, gangguan makan, posttraumatic stress, dan sebagainya (Sarafino, 1996; Stallard, 2004).

Stallard (2004) mengungkapkan dalam melakukan modifikasi kognitif perilaku terdapat berbagai teknik yang dapat disesuaikan atau dimodifikasi berdasarkan kebutuhan individu. Teknik yang digunakan dalam modifikasi kognitif perilaku sebaiknya perlu dilihat dari jenis permasalahan dan kebutuhan individu agar dapat meningkatkan efektivitasnya. Adapun teknik-teknik dalam modifikasi kognitif yang dapat digunakan antara lain self instruction training, attribution retraining, thought stopping , pemecahan masalah, dan restrukturisasi kognitif (Maag, 2004). Sementara itu, teknik-teknik dalam modifikasi perilaku yang dapat digunakan adalah pelatihan keterampilan sosial, pengawasan diri, percobaan perilaku, pemberian token (Menutti, dalam Arlinkasari, 2011), meningkatkan body esteem , meditasi, weight management program (Guindon, 2010), visualisasi, hipnosis, dan goal setting (McKay & Fanning, 2000).

Modifikasi Kognitif: Teknik Restrukturisasi Kognitif


Kata kognisi merujuk kepada cara orang memproses informasi, seperti melalui keyakinan, pikiran, ekspektasi, persepsi, interpretasi, dan pengetahuan. Restrukturisasi kognitif merupakan teknik yang sering digunakan untuk mengubah pola pikir yang kurang adaptif pada individu (Maag, 2004). Dalam restrukturisasi kognitif, seseorang diajarkan untuk mengubah kesalahan pikiran sehingga menjadi pikiran yang realistis.

Menurut McKay dan Fanning (2000), proses restrukturisasi kognitif dapat dilakukan dengan cara mengidentifikasi kesalahan berpikir yang berupa kritik diri. Kemudian dilanjutkan dengan menata ulang pikiran seseorang dengan menyangkal kritik diri tersebut. Yahav dan Cohen (2008) mengungkapkan bahwa perilaku atau emosi seseorang yang maladaptif dipengaruhi oleh proses berpikir yang salah. Pikiran ini yang membuat individu kesulitan menghadapi situasi tertentu sehingga perilakunya menjadi mudah menyerah, ragu-ragu dan tidak berdaya untuk menghadapi masalah seorang diri. McKay dan Fanning (2000) menjelaskan adanya pikiran negatif berupa kritik dalam diri membuat individu mudah mengingat kegagalannya daripada keberhasilan atau kelebihan yang dimilikinya. Individu juga mudah menyalahkan diri atas sebuah kesalahan yang terjadi serta membandingkan kemampuan atau prestasi diri dengan orang lain. Pikiran negatif sulit diketahui karena pikiran tersebut erat dengan cara seseorang memandang suatu realitas. Bila individu terus berpikir negatif maka pikiran tersebut dapat mengontrol pikiran individu sehingga konsekuensinya individu akan merasa cemas, takut, tidak aman, dan sulit menghadapi permasalahannya.

Bila individu yang sudah mengetahui kesalahan yang ada dalam pikirannya, maka individu perlu melawan pikiran tersebut agar tidak muncul kembali. Kunci utama dari teknik restrukturisasi kognitif adalah seseorang mencari bukti-bukti obyektif yang menantang pikiran negatif, lalu secara aktif dilakukan serangan dan tantangan terhadap pikiran negatif yang diyakininya. Seseorang diajarkan untuk menyerang dan menantang pikiran-pikirannya yang negatif, supaya kemudian dapat diganti dengan pikiran yang positif. Oleh karena itu, saat pikiran negatif muncul, individu perlu diajak untuk mencari alternatif pikiran.

Model BK kognitif-perilaku merupakan sebuah model konseling yang menggabungkan prinsip-prinsip dan metode kognitif dan perilaku dalam sebuah pendekatan tritmen yang singkat (Corey, 2005: 271). Penamaan model ini digunakan dalam beragam cara untuk menunjukkan terapi perilaku, terapi kognitif, dan untuk mengacu kepada terapi yang didasarkan pada kombinasi basis penelitian kognitif dan perilaku. Secara primer KKP dikembangkan melalui sebuah penggabungan (merging) antara pendekatan terapi perilaku dan terapi kognitif (Wikipedia, the free encyclopedia, diakses Mei 2009).

Asosiasi Psikologi Amerika menyebut KKP sebagai sebuah bentuk psikoterapi yang mengintegrasikan teori-teori tentang kognisi dan belajar serta teknik-teknik tritmen yang berasal dari terapi kognitif dan perilaku. Terapi kognitif-perilaku mengasumsikan bahwa variabel kognitif, emosi dan perilaku saling berhubungan secara fungsional. Tritmen bertujuan untuk mengidentifikasi dan memodifikasi proses-proses berpikir maladaptif dan perilaku-perilaku problematik klien melalui restrukturisasi kognitif dan teknik-teknik perilaku untuk mencapai perubahan, Disebut juga modifikasi perilaku kognitif, cognitive behavioral therapy (VandenBos, 2007).

KKP merupakan sebuah tritmen yang powerful karena menggabungkan keilmiahan, filosofis dan aspek perilaku, pada satu pendekatan yang komprehensif untuk memahami dan mengatasi problem-problem psikologis. Dari aspek keilmiahan, pendekatan KKP menghadapkan klien untuk menjadi lebih seperti saintis. Misalnya, selama KKP, klien mengembangkan kemampuan untuk memperlakukan pikiran-pikirannya sebagai teori dan dugaan tentang realitas yang diuji (hipotesis), dari sekedar sebagai fakta; dari aspek filosofis, KKP mengakui bahwa orang memegang nilai-nilai dan keyakinan tentang dirinya, dunia dan orang lain. Satu dari tujuan-tujuan KKP adalah untuk menolong orang mengembangkan fleksibilitas, tidak ekstrim, menolong diri keyakinan yang menolongnya beradaptasi dengan realitas dan mencapai tujuan-tujuannya. sedangkan dari aspek aktif, KKP secara kuat menekankan perilaku. Banyak teknik KKP melibatkan pengubahan cara berpikir dan merasa dengan memodifikasi cara seseorang berbuat (Rob Willson & Rhena Branch, 2006).

KKP memiliki karakteristik: pertama, sebuah hubungan kolaboratif antara klien dan terapis; kedua, premis bahwa derita psikologis adalah sejumlah gangguan fungsi dalam proses kognitif; ketiga, fokus pada mengubah kognisi hingga menghasilkan perubahan-perubahan yang diinginkan pada afeksi dan perilaku; dan keempat, umumnya batas waktu dan tritmen pendidikan fokus pada target masalah-masalah spesifik dan terstruktur. Semua pendekatan terapi kognitif mendasarkan pada sebuah model psikoedukasi terstruktur, dan semuanya menekankan peranan pekerjaan rumah, menempatkan tanggung jawab pada klien untuk mengasumsikan peran aktif selama dan diluar sesi terapi, serta menggambarkan dari beragam strategi kognitif dan perilaku untuk membawa ke arah perubahan( Corey, 2005).

Asumsi Dasar dan Tujuan Konseling

Dalam perspektif KKP, problema utama kehidupan yang dialami konseli bersumber pada asumsi-asumsi yang salah yang membentuk sikap, keyakinan maupun harapan-harapan. Kognisi sebagai bagian intelek yang merujuk pada penerimaan, penafsiran, pemikiran, pengingatan, penghayalan atau penciptaan, pengambilan keputusan dan penalaran merupakan faktor penting dan berpengaruh terhadap perilaku (John Mc Leod,2008; Surya,2003). Terapi kognitif memandang problem psikologis sebagai pembendungan dari proses penempatan seperti pikiran yang salah, membuat kesimpulan yang tidak benar pada basis informasi tidak tepat dan tidak benar, gagal membedakan antara fantasi dan realita (Corey, 2005).

Terapi kognitif bertujuan untuk mengidentifikasi pikiran-pikiran yang keliru ini dan menggantikannya dengan yang lebih adaptif, sebuah proses yang dikenal sebagai restrukturisasi kognitif. Terapis mengambil peran seorang pembimbing aktif yang berusaha untuk menyadarkan klien dari pola pikir yang terganggunya(distorted) serta menolong klien mengoreksi dan memperbaiki persepsinya serta sikap-sikap dengan menunjukkan bukti yang berlawanan/sebaliknya atau dengan mendatangkannya pada klien (VandenBos, 2007). Konseling dalam pendekatan kognitif perilaku memfokuskan perhatian dan bidang garapannya terhadap proses kognitif yang terjadi pada konseli (John Mc Leod,2008:151; Surya,2003).

Ada beberapa kesalahan sistematis pada penalaran yang mengarah pada asumsi yang salah dan miskonsepsi, yaitu: membuat kesimpulan tanpa dukungan bukti yang relevan (arbitrary inferences), membentuk konklusi berdasarkan detil peristiwa yang terselubung, overgeneralization, pemikiran dikhotomis (kecenderungan melihat situasi dalam kerangka kutub yang berlawanan, kecenderungan untuk membayangkan berbagai peristiwa yang ada pasti ada kaitannya dengan tindakannya, kecenderungan melihat sesuatu yang terjadi dari sudut pandang sendiri saja (Corey, 2005; Beck dalam McLeod, 2008). Jenis distorsi lainnya yaitu: kesalahan berpikir karena orang secara total menyalahkan dirinya sendiri terhadap semua yang menimbulkan kesalahan dengan menghubungkan ini dengan beberapa penyimpangan pada dirinya (personalization and blame); kesalahan berpikir karena orang memprediksi masa depan secara negative dan meyakini sesuatu akan kembali dengan keburukan (catastrophizing); kekeliruan berpikir karena orang menggambarkan konklusi tentang sebuah peristiwa berdasarkan pada perasaan dan mengabaikan bukti sebagai lawannya (emotional reasoning); pernyataan harus atau mesti (should or must statements); kekeliruan pikiran karena orang memberikan perhatian khusus terhadap satu hal negatif dengan detail dan terus menerus, tanpa melihat aspek-aspek positif yang lain (mental filter); klien mengabaikan situasi positif dan menerangkan pada dirinya bahwa pengalaman-pengalaman positif bukan hitungan (discounting the positive); orang berpikir bahwa karena pengalaman tidak menyenangkan terjadi padanya sewaktu-waktu, maka itu akan biasa terjadi (overgeneralization); orang yang melakukan ini berpikir salah ketika mengevaluasi dirinya, orang lain atau beberapa situasi akan cenderung melebih-lebihkan komponen negatif dan meminimkan komponen positif (magnification and minimization); orang memandang dirinya atau orang lain dengan menerapkan label yang menghina(labeling); orang yang pikirannya terganggu pada cara menyimpulkan bahwa hasil tertentu akan menjadi negatif, tanpa memiliki bukti (Curwen, Palmer dan Ruddel, 2008).

Berdasarkan asumsi itu, pendekatan KKP memiliki tujuan untuk menolong konseli bergerak dari masalah-masalah emosi dan perilaku yang terdefinisikan menuju tujuan-tujuan tentang bagaimana sebaiknya mereka merasa dan berperilaku. Identifikasi pikiran-pikiran otomatis dan pengenalan pikiran yang salah, memainkan peran utama dalam terapi kognitif-perilaku. Klien cenderung membuat kesalahan yang konsisten dalam berpikirnya. Terapis menolong klien untuk mengidentifikasi kesalahan-kesalahan atau distorsi kognitif ini. Jadi KKP adalah sebuah tujuan yang terarah, sistematis dan pendekatan pemecahan masalah untuk masalah-masalah emosionalnya (Hackney & Cormier, 2009).

Metode dan Teknik Konseling

Ada empat metode dasar yang digunakan untuk meng-asses kognisi klien: interview , self- recording , self report inventory , prosedur berpikir suara keras. Setiap metode mendapatkan laporan diri klien dari kognisinya, serta mendapatkan informasi langsung tentang pikiran lainnya (Spiegler & Guevremont, 2003).

Beberapa inventori laporan diri yang langsung untuk menilai kognisi terdiri dari statemen diri yang umum yang berhubungan dengan area masalah tertentu. Klien menunjukkan bagaimana seringnya mereka membuat setiap statemen diri. Inventori laporan diri yang standar merupakan metode efisien untuk tujuan intial screening . Mereka memberikan terapis gagasan umum tentang tipe pikiran yang dimiliki ( Spiegler & Guevremont,2003).

Pendekatan berpikir dengan suara keras memerlukan klien memverbalkan pikirannya (biasanya dengan berbicara pada tape recorder) ketika menggunakan pada rangsangan tugas atau situasi role playing. Contoh: klien mendengarkan skenario tape recorder yang didesain untuk mendapatkan kognisi yang berbeda.

Pendekatan berpikir suara keras didesain untuk situasi terstimulasi daripada situasi aktual ( Spiegler & Guevremont,2003). Sedangkan beberapa teknik untuk membantu klien dalam mengembangkan kemampuan mengatasi masalahnya antara lain: penghentian pikiran (thought stopping), terapi perilaku rasional emotif, dan terapi kognitif (Spiegler & Guevremont,2003).

1) Penghentian pikiran ( thought stopping )

Didesain untuk menurunkan frekuensi dan durasi yang terus-terusan, gangguan pikiran dengan menginterupsinya dan mengganti pikiran yang menyenangkan untuk mereka. Penghentian pikiran melibatkan dua tahap: pertama, menginterupsi gangguan pikiran, dan kedua fokus pada pikiran adaptif. Pada fase pertama, ketika gangguan pikiran terjadi, klien mengatakan,”Stop! Kata diucapkan dengan tajam, menyentak, seakan warning dari bahaya yang dekat. Pada awalnya klien mengatakan “Stop! Dengan suara keras; setelah mereka melakukan ini secara konsisten, kemudian mereka mengubah perkataan “stop! Secara sunyi ( silently ) pada dirinya sendiri ( Spiegler & Guevremont,2003).

2) Teknik Terapi Rasional Emotif

Prosedurnya mengikuti teori Ellis tentang bagaimana gangguan psikologis berkembang ( Spiegler & Guevremont,2003). Masalah-masalah psikologis ditimbulkan karena keyakinan yang irrasional yang berasal dari penalaran yang salah atau logika yang error, misalnya berpikir absolut, generalisasi yang berlebihan, dan catastrophizing. Berpikir absolute memandang sebuah peristiwa semuanya atau tidak sama sekali, mode hitam atau putih, misalnya “saya harus melakukannya dengan baik”. Overgeneralization menggambarkan konklusi bahwa semua situasi akan mengubah cara karena satu atau dua. Catasrtrophizing melihat sesuatu sebagai malapetaka ( Spiegler & Guevremont,2003). Tujuan rasional emotif adalah untuk memodifikasi keyakinan irasional yang ditempuh melalui tiga teknik utama: identifikasi pikiran berdasarkan keyakinan irrasional, menentang keyakinan irrasional dan mengganti pikiranpikiran irrasional dengan pikiran-pikiran yang rasional.

3) Teknik Terapi Kognitif

Teknik-teknik yang biasa digunakan dalam praktek atau proses KKP (Haaga dan Davidson, Meichenbaum dalam McLeod, 2003) adalah: menentang keyakinan irrasional; membingkai kembali isu; misalnya, menerima kondisi emosional internal sebagai sesuatu yang menarik ketimbang sesuatu yang menakutkan; mengulang kembali penggunaan beragam pernyataan diri dalam role playing dengan konselor; mencoba penggunaan berbagai pernyataan diri yang berbeda dalam situasi ril; mengukur perasaan; misalnya, dengan menempatkan perasaan cemas yang ada saat ini dalam skala 0 -100; menghentikan pikiran, ketimbang membiarkan pikiran cemas atau obsesional “mengambil alih”, lebih baik klien belajar untuk menghentikan mereka dengan cara seperti menyabetkan karet ke pergelangan tangan; desensitisasi sistematis, digantinya respon takut dan cemas dengan respon relaksasi yang telah dipelajari. Konselor membawa konseli melewati tingkatan hierarki situasi untuk melenyapkan rasa takut; pelatihan keterampilan sosial atau asertifikasi; penugasan pekerjaan rumah, Mempraktikan perilaku baru dan strategi kognitif antara sesi terapi; in vivo exposure, memasuki situasi paling menakutkan dengan didampingi oleh konselor; misalnya mengunjungi pertokoan dengan klien yang menderita agorafobia (ketakutan berlebihan terhadap tempat publik).