Apa yang dimaksud dengan Model Pembelajaran Realistic Mathematics Education (RME)?

Pembelajaran

Konsep pembelajaran adalah suatu proses dimana lingkungan seseorang secara disengaja dikelola untuk memungkinkan ia turut serta dalam tingkah laku tertentu dalam kondisi-kondisi khusus atau menghasilkan respons terhadap situasi tertentu, pembelajaran merupakan subset khusus dari pendidikan.

Model pembelajaran Realistic Mathematics Education (RME) dikembangkan oleh Freud di Belanda dengan pola guided reinvention dalam mengkontruksi konsep-aturan melalui process of mathematization, yaitu matematika horizontal (tools, fakta, konsep, prinsip, algoritma, aturan uantuk digunakan dalam menyelesaikan persoalan, proses dunia empirik) dan vertikal (reoorganisasi matematik melalui proses dalam dunia rasio, pengemabngan mateastika).

Prinsip RME adalah aktivitas (doing) konstruksivis, realitas (kebermaknaan proses-aplikasi), pemahaman (menemukan-informal daam konteks melalui refleksi, informal ke formal), inter-twinment (keterkaitan-intekoneksi antar konsep), interaksi (pembelajaran sebagai aktivitas sosial, sharing), dan bimbingan (dari guru dalam penemuan).

Pendidikan Matematika Realistik atau Realistic Mathematics Education (RME) adalah suatu pendekatan pembelajaran matematika yang mengungkapkan pengalaman dan kejadian yang dekat dengan siswa sebagai sarana untuk memahamkan persoalan matematika. (Depdiknas, 2010).

Anwar (2010) menyatakan bahwa Pendidikan Matematika Realistik adalah satu pendekatan pembelajaran matematika yang coba menggunakan pengalaman dan lingkungan siswa sebagai alat bantu mengajar primer.

Supinah (2008) menyatakan bahwa Pendidikan Matematika Realistik adalah “suatu teori pembelajaran yang telah dikembangkan khusus untuk matematika. Konsep matematika realistik ini sejalan dengan kebutuhan untuk memperbaiki pendidikan matematika di Indonesia yang didominasi oleh persoalan bagaimana meningkatkan pemahaman siswa tentang matematika dan mengembangkan daya nalar”

Dari pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa Pendekatan Pendidikan Matematika Realistik adalah suatu pendekatan pembelajaran matematika yang dekat dengan kehidupan nyata siswa sebagai sarana untuk meningkatkan pemahaman dan daya nalar.

Ciri-Ciri Pendidikan Matematika Realistik


Suryanto dan Sugiman (Supinah, 2008) menyatakan bahwa Pendidikan Matematika Realistik adalah pendekatan pembelajaran yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut :

  1. Menggunakan masalah konstektual, yaitu matematika dipandang sebagai kegiatan sehari-hari manusia, sehingga memecahkan masalah kehidupan yang dihadapi atau dialami oleh siswa.

  2. Menggunakan model, yaitu belajar matematika berarti bekerja dengan matematika.

  3. Menggunakan hasil dan konstruksi siswa sendiri, yaitu siswa diberi kesempatan untuk menemukan konsep-konsep matematis, di bawah bimbingan guru.

  4. Pembelajaran terfokus pada siswa

  5. Terjadi interaksi antara murid dan guru, yaitu aktivitas belajar meliputi kegiatan memecahkan masalah kontekstual yang realistik, mengorganisasikan pengalaman matematis, dan mendiskusikan hasil-hasil pemecahan masalah tersebut.

Prinsip Pendidikan Matematika Realistik


Terdapat tiga prinsip kunci Pendidikan Matematika Realistik menurut Gravemeijer (Supinah, 2008), yaitu Guided re-invention, Didactical Phenomenology dan Self-delevoped Model.

  1. Guided Re-invention atau Menemukan Kembali Secara Seimbang.
    Memberikan kesempatan bagi siswa untuk melakukan matematisasi dengan masalah kontekstual yang realistik bagi siswa dengan bantuan dari guru. Siswa didorong atau ditantang untuk aktif bekerja bahkan diharapkan dapat mengkonstruksi atau membangun sendiri pengetahuan yang akan diperolehnya. Pembelajaran tidak dimulai dari sifat-sifat atau definisi atau teorema dan selanjutnya diikuti contoh-contoh, tetapi dimulai dengan masalah kontekstual atau real/nyata yang selanjutnya melalui aktivitas siswa diharapkan dapat ditemukan sifat atau definisi atau teorema atau aturan oleh siswa sendiri.

  2. Didactical Phenomenology atau Fenomena Didaktik.
    Pembelajaran matematika yang cenderung berorientasi kepada memberi informasi atau memberitahu siswa dan memakai matematika yang sudah siap pakai untuk memecahkan masalah, diubah dengan menjadikan masalah sebagai sarana utama untuk mengawali pembelajaran sehingga memungkinkan siswa dengan caranya sendiri mencoba memecahkannya. Dalam memecahkan masalah tersebut, siswa diharapkan dapat melangkah ke arah matematisasi horisontal dan matematisasi vertikal.

    Menurut Hartanto (2008) Matematisasi horizontal adalah proses penyelesaian soal-soal konstektual dari dunia nyata, sedangkan matematisasi vertikal adalah proses formalisasi konsep matematika. Pencapaian matematisasi horisontal ini, sangat mungkin dilakukan melalui langkah-langkah informal sebelum sampai kepada matematika yang lebih formal. Dalam hal ini, siswa diharapkan dalam memecahkan masalah dapat melangkah kearah pemikiran matematika sehingga akan mereka temukan atau mereka bangun sendiri sifat-sifat atau definisi atau teorema matematika tertentu (matematisasi horisontal), kemudian ditingkatkan aspek matematisasinya (matematisasi vertikal).

    Kaitannya dengan matematisasi horisontal dan matematisasi vertikal ini, De Lange menyebutkan:

    • Proses matematisasi horisontal antara lain meliputi proses atau langkah-langkah informal yang dilakukan siswa dalam menyelesaikan suatu masalah (soal), membuat model, membuat skema, menemukan hubungan dan lain-lain,

    • Proses matematisasi vertikal, antara lain meliputi proses menyatakan suatu hubungan dengan suatu formula (rumus), membuktikan keteraturan, membuat berbagai model, merumuskan konsep baru, melakukan generalisasi, dan sebagainya.

    Proses matematisasi horisontal-vertikal inilah yang diharapkan dapat memberi kemungkinan siswa lebih mudah memahami matematika yang berobyek abstrak. Dengan masalah kontekstual yang diberikan pada awal pembelajaran seperti tersebut di atas, dimungkinkan banyak/beraneka ragam cara yang digunakan atau ditemukan siswa dalam menyelesaikan masalah.

    Dengan demikian, siswa mulai dibiasakan untuk bebas berpikir dan berani berpendapat, karena cara yang digunakan siswa satu dengan yang lain berbeda atau bahkan berbeda dengan pemikiran guru tetapi cara itu benar dan hasilnya juga benar. Ini suatu fenomena didaktik. Dengan memperhatikan fenomena didaktik yang ada didalam kelas, maka akan terbentuk proses pembelajaran matematika yang tidak lagi berorientasi pada guru, tetapi diubah atau beralih kepada pembelajaran matematika yang berorientasi pada siswa atau bahkan berorientasi pada masalah.

  3. Self-delevoped Models atau model dibangun sendiri oleh siswa.
    Gravemeijer menyebutkan bahwa pada waktu siswa mengerjakan masalah kontekstual, siswa mengembangkan suatu model. Model ini diharapkan dibangun sendiri oleh siswa, baik dalam proses matematisasi horisontal ataupun vertikal. Kebebasan yang diberikan kepada siswa untuk memecahkan masalah secara mandiri atau kelompok, dengan sendirinya akan memungkinkan munculnya berbagai model pemecahan masalah buatan siswa.

Konsep Pendidikan Matematika Realistik


Teori Pendidikan Matematika Realistik sejalan dengan teori belajar yang berkembang saat ini, seperti konstruktivisme dan pembelajaran kontekstual (CTL). Namun baik konstruktivisme maupun pembelajaran kontekstual mewakili teori belajar secara umum, sedangkan Pendidikan Matematika Realistik suatu teori pembelajaran yang dikembangkan khusus untuk matematika. Juga telah disebutkan terdahulu, bahwa konsep matematika realistik ini sejalan dengan kebutuhan untuk memperbaiki pendidikan matematika di Indonesia yang didominasi oleh persoalan bagaimana meningkatkan pemahaman siswa tentang matematika dan mengembangkan daya nalar.

Menurut Hadi (Supinah, 2008) beberapa konsepsi Pendidikan Matematika Realistik tentang siswa, guru dan pembelajaran yang mempertegas bahwa Pendidikan Matematika Realistik sejalan dengan paradigma baru pendidikan, sehingga Pendidikan Matematika Realistik pantas untuk dikembangkan di Indonesia.

Konsepsi Pendidikan Matematika Realistik tentang siswa adalah sebagai berikut.

  • Siswa memiliki seperangkat konsep alternatif tentang ide- ide matematika yang mempengaruhi belajar selanjutnya.

  • Siswa memperoleh pengetahuan baru dengan membentuk pengetahuan itu untuk dirinya sendiri; Pembentukan pengetahuan merupakan proses perubahan yang meliputi penambahan, kreasi, modifikasi, penghalusan, penyusunan kembali dan penolakan.

  • Pengetahuan baru yang dibangun oleh siswa untuk dirinya sendiri berasal dari seperangkat ragam pengalaman.

  • Setiap siswa tanpa memandang ras, budaya dan jenis kelamin mampu memahami dan mengerjakan matematika.

Konsepsi Pendidikan Matematika Realistik tentang guru adalah sebagai berikut :

  • Guru hanya sebagai fasilitator dalam pembelajaran

  • Guru harus mampu membangun pembelajaran yang interaktif

  • Guru harus memberikan kesempatan kepada siswa untuk secara aktif terlibat pada proses pembelajaran dan secara aktif membantu siswa dalam menafsirkan persoalan riil, dan

  • Guru tidak terpancang pada materi yang ada didalam kurikulum, tetapi aktif mengaitkan kurikulum dengan dunia riil, baik fisik maupun sosial.

Konsepsi Pendidikan Matematika Realistik tentang pembelajaran Matematika adalah :

  • Memulai pembelajaran dengan mengajukan masalah (soal) yang ’riil’ bagi siswa sesuai dengan pengalaman dan tingkat pengetahuannya, sehingga siswa segera terlibat dalam pembelajaran secara bermakna.

  • Permasalahan yang diberikan tentu harus diarahkan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai dalam pembelajaran tersebut

  • Siswa mengembangkan atau menciptakan model-model simbolik secara informal terhadap persoalan/permasalahan yang diajukan

  • Pembelajaran berlangsung secara interaktif, siswa menjelaskan dan memberikan alasan terhadap jawaban yang diberikannya, memahami jawaban temannya (siswa lain), setuju terhadap jawaban temannya, menyatakan ketidaksetujuan, mencari alternatif penyelesaian yang lain, dan melakukan refleksi terhadap setiap langkah yang ditempuh atau terhadap hasil.

Karakteristik Pendidikan Matematika Realistik


Lima karakteristik Pendidikan Matematika Realistik, yaitu :

  1. Penggunaan Konteks
    Konteks atau permasalahan realistik dugunakan sebagai titik awal pembelajaran matematika. Konteks tidak harus berupa masalah dunia nyata namun bisa dalam bentuk permainan, penggunaan alat peraga, atau situasi lain selama hal tersebut bermakna dan bisa dibayangkan dalam pikiran siswa. Melalui penggunaan konteks, siswa dilibatkan secara aktif untuk melakukan kegiatan eksplorasi permasalahan. Hasil eksplorasi siswa tidak hanya bertujuan untuk menemukan jawaban akhir dari permasalahan yang diberikan, tetapi juga diajarkan untuk mengembangkan strategi penyelesaian masalah yang bisa digunakan.

  2. Penggunaan model untuk matematisasi progresif
    Dalam Pendidikan Matematika Realistik , model digunakan dalam melakukan matematisasi secara progresif. Penggunaan model berfungsi sebagai jembatan (bridge) dari pengetahuan dan matematika tingkat konkrit menuju pengetahuan matematika tingkat formal.

  3. Pemanfaatan hasil konstruksi siswa
    Mengacu pada pendapat Frudenthal bahwa matematika tidak diberikan kepada siswa sebagai suatu produk yang siap dipakai tetapi sebagai suatu konsep yang dibangun oleh siswa maka dalam Pendidikan Matematika Realistik siswa ditempatkan sebagai subjek belajar.

    Siswa memiliki kebebasan untuk mengembangkan strategi pemecahan masalah sehingga diharapkan akan diperoleh startegi yang bervariasi. Hasil kerja dan konstruksi siswa selanjutnya digunakan untuk landasan pengembangan konsep matematika.

  4. Interaktivitas
    Proses belajar seseorang bukan hanya suatu proses individu melainkan juga secara bersamaaan merupakan suatu proses sosial. Proses belajar siswa akan menjadi lebih singkat dan bermakna ketika siswa saling mengkomunikasikan hasil kerja dan gagasan mereka.

  5. Keterkaitan
    Konsep-konsep dalam matematika tidak bersifat parsial, namun banyak konsep matematika yang memiliki keterkaitan. Oleh karena itu, konsep-konsep matematika tidak diperkenalkan kepada siswa secara terpisah atau terisolasi satu sama lain. Pendidikan Matematika Realistik menempatkan keterkaitan antar konsep matematika sebagai hal yang harus dipertimbangkan dalam proses pembelajaran. Melalui keterkaitan ini, satu pembelajaran matematika diharapkan bisa mengenalkan dan membangun lebih dari satu konsep matematika secara bersamaan. (Treffers dalam Wijaya 2011)

Langkah-langkah Pendidikan Matematika Realistik

Langkah-langkah Pembelajaran Matematika Realistik dapat dijelaskan sebagai berikut:

  1. Persiapan
    Selain menyiapkan masalah kontekstual, guru harus benar- benar memahami masalah dan memiliki berbagai macam strategi yang mungkin akan ditempuh siswa dalam menyelesaikannya.

  2. Pembukaan
    Pada bagian ini siswa diperkenalkan dengan strategi pembelajaran yang dipakai dan diperkenalkan kepada masalah dari dunia nyata. Kemudian siswa diminta untuk memecahkan masalah tersebut dengan cara mereka sendiri

  3. Proses Pembelajaran
    Siswa mencoba berbagai strategi untuk menyelesaikan masalah sesuai dengan pengalamannya, dapat dilakukan secara perorangan maupun secara kelompok. Kemudian setiap siswa atau kelompok mempresentasikan hasil kerjanya di depan siswa atau kelompok lain dan siswa atau kelompok lain memberi tanggapan terhadap hasil kerja siswa atau kelompok penyaji. Guru mengamati jalannya diskusi kelas dan memberi tanggapan sambil mengarahkan siswa atau kelompok penyaji. Guru mengamati jalannya diskusi kelas dan memberi tanggapan sambil mengarahkan siswa untuk mendapatkan strategi terbaik serta menemukan aturan atau prinsip yang bersifat lebih umum

  4. Penutup
    Setelah mencapai kesepakatan tentang strategi terbaik melalui diskusi kelas, siswa diajak menarik kesimpulan dari pelajaran saat itu. Pada akhir pembelajaran siswa harus mengerjakan soal evaluasi dalam bentuk matematika formal (Zulkardi dalam Hartono 2008)

Kelebihan dan Kelemahan Pendekatan Realistik


Menurut Suwarsono dalam Nalole (2008), kelebihan pendekatan realistik adalah :

  1. Pembelajaran Matematika Realistik memberikan pengertian yang jelas dan operasional kepada siswa tentang keterkaitan antar matematika dengan kehidupan sehari-hari (kehidupan dunia nyata) dan tentang kegunaan matematika pada umumnya bagi manusia.

  2. Pembelajaran Matematika Realistik memberikan pengertian yang jelas dan operasional kepada siswa bahwa matematika suatu bidang kajian yang dikonstruksi dan dikembangkan sendiri oleh siswa, tidak hanya oleh mereka yang disebut pakar dalam bidang tersebut.

  3. Pembelajaran Matematika Realistik memberikan pengertian yang jelas dan operasional kepada siswa bahwa cara penyelesaian suatu soal atau masalah tidak harus tunggal, dan tidak harus sama antara orang yang satu dengan orang yang lain.

  4. Pembelajaran Matematika Realistik memberikan pengerian yang jelas dan operasional kepada siswa bahwa dalam mempelajari matematika, proses pembelajaran merupakan sesuatu yang utama, dan untuk mempelajari matematika orang harus menjalani proses itu dan berusaha untuk menemukan sendiri konsep-konsep matematika dengan bantuan pihak lain yang lebih tahu (misalnya guru).

Beberapa kelemahan Pembelajaran Matematika Realistik (PMR) menurut pendapat Suwarsono dalam Nalole (2008) antara lain sebagai berikut :

  1. Upaya mengimplementasikan PMR membutuhkan perubahan pandangan yang sangat mendasar mengenai berbagai hal yang tidak mudah dipraktikan, misalnya mengenai siswa, guru, dan peranan soal kontekstual

  2. Mengkonstruksi soal-soal kontekstual yang memnuhi syarat- syarat yang dituntut PMR tidak selalu mudah untuk setiap topik matematika yang perlu dipelajari siswa, apalagi jika soal-soal tersebut harus dapat diselesaikan dengan bermacam-macam cara.

  3. Upaya mendorong siswa agar dapat menemukan berbagai cara untuk menyelesaikan soal juga merupakan hal yang tidak mudah dilakukan guru

  4. Proses pengembangan kemampuan berpikir siswa melalui soal-soal kontekstual, proses matematisasi horizontal, dan pross matematisasi vertikal juga bukan merupakan sesuatu yang sederhana, karena proses dan mekanisme berpikir siswa dalam melakukan penemuan kembali terhadap konsep-konsep matematika tertentu.

Menurut Nalole (2008) meskipun pembelajaran matematika dengan pendekatan realistik mempunyai beberapa kelemahan, dapat dilakukan upaya-upaya untuk mengatasinya antara lain sebagai berikut :

  1. Pada tahap awal pembelajaran, guru selalu mengaktifkan dan mengembangkan kemampuan awal siswa sehingga memiliki kemampuan awal yang memadai untuk terlibat aktif dalam merespon masalah kontekstual yang diberikan dengan berbagai cara atau jawaban

  2. Memotivasi semua siswa untuk aktif dalam kegiatan pembelajaran, usaha-usaha yang dapat dilakukan guru untuk memotivasi siswa misalnya dengan memberikan pujian jika siswa menjawab benar dan teteap mnghargai jawaban iswsa walaupun jawaban yang dikemukakan salah tanpa melukai perasaan siswa.

  3. Guru selalu memantau cara-cara yang dilakukan siswa dalam menjawab permasalahan kontekstual yang diberikan agar proses dan mekanisme berpikir siswa dapat diikuti dengan cermat, sehingga jika ada iswa yang mengalami kesulitan guru dapat segera memberikan bantuan, misalnya dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang dapat mengarahkan siswa untuk menemukan jawaban dari permasalahan yang diberikan.

Pembelajaran Matematika Realistik (PMR) merupakan operasionalisasi dari suatu pendekatan pendidikan matematika yang dikembangkan di Belanda dengan nama Realistic Mathematics Education (RME) yang artinya pendidikan matematika realistik. Pembelajaran matematika realistik pada dasarnya adalah pemanfaatan realita dan lingkungan yang dialami oleh siswa untuk melancarkan proses pembelajaran matematika, sehingga mencapai tujuan pendidikan matematika yang lebih baik daripada yang lalu.

Prinsip Pembelajaran Matematika Realistik

Gravemeijer mengemukakan tiga prinsip pembelajaran matematika realistik, yaitu guided reinvention and progressive mathematizing, didactical phenomenology, dan self-developet models. Ketiga prinsip tersebut dapat dijelaskan secara singkat sebagai berikut:

  1. Guided reinvention Throug progressive mathematizing

Prinsip yang pertama adalah penemuan kembali secara terbimbing melalui matematisasi secara progressif. Prinsip ini menghendaki bahwa dalam pembelajaran matematika realistik, siswa harus diberi kesempatan untuk mengalami proses yang sama dengan proses penemuan konsep matematika.

  1. Didactical phenomenology (fenomena pembelajaran)

Prinsip ini terkait dengan suatu gagasan fenomena pembelajaran, yang menghendaki bahwa didalam menemukan masalah kontekstual untuk digunakan dalam pembelajaran dengan pendekatan pembelajaran matematika realistik yang berdasakan atas dua alasan, yaitu untuk menggunakan berbagai macam aplikasi suatu topik yang harus diantisipasi dalam pembelajaran dan ntuk dipertimbangkan pantas tidaknya masalah kontekstual itu digunakan sebagai poin-poin untuk suatu proses pematematikaan progresif.

  1. Self-developed models (mengembangkan model sendiri)

Menurut prinsip ini, model-model yang dibangun berfungsi sebagai jembatan antara pengetahuan formal dengan pengetahuan informal dan matematika formal. Dalam menyelesaikan masalah kontekstual, siswa diberi kebebasan untuk membangun sendiri model matematika terkait dengan masalah konstektual yang dipecahkan.

Karakteristik Pembelajaran Matematika Realistik

Sebagai operasionalisasi ketiga prinsip utama pembelajaran matematika realistik di atas, pembelajaran matematika realistik memiliki lima karakteritik, yaitu :

  1. Menggunakan masalah kontekstual

Pembelajaran matematika harus dimulai dari masalah kontekstual yang diambil dari dunia nyata, sehingga memungkinkan siswa menggunakan pengalaman atau pegetahuan yang telah dimiliki sebelumnya secara langsung.

  1. Menggunakan berbagai model ( use model, bridging by vertical instrument )

Istilah model berkaitan dengan model matematika yang dibangun sendiri oleh siswa dalam mengaktualisasikan masalah kontekstual ke dalam bahasa matematika yang merupakan jembatan bagi siswa untuk membuat sendiri model-model dari situasi nyata ke abstrak atau dari situasi informal ke formal.

c. Kontribusi siswa ( student contribution )

Siswa diberi kesempatan seluas-luasnya untuk mengembangkan berbagai strategi informal yang dapat mengarahkan pada pengkontruksian berbagai prosedur untuk memecahkan masalah. Dengan kata lain, kontribusi yang besar dalam proses pembelajaran diharapkan datang dari siswa bukan dari guru, artinya semua pikiran atau pendapat siswa sangat diperhatikan dan dihargai.

d. Interaktifitas ( intraktivity )

Proses pembelajaran harus interaktif. Interaksi baik antara siswa dengan guru, siswa dengan siswa, serta siswa dengan peragkat pembelajaran merupakan hal yang sangat penting dalam pembelajaran matematika realistik.

e. Keterkaitan

Struktur dan konsep matematika saling berkaitan, biasanya pembahasan suatu topik (unit pembelajaran) harus dieksplorasi untuk mendukung terjadinya proses pembelajaran yang lebih bermakna.

Kelebihan dan Kekurangan PMR

Menurut suwarsono (dalam fajar, 2004) terdapat beberapa kelebihan dalam PMR, antara lain:

  1. PMR dapat memberikan pengertian yang jelas dan operasional kepada siswa bahwa matematika itu berkaitan dengan kehidupan sehari-hari (kehidupan nyata) dan kegunaan (manfaat) matematika dalam kehidupan.

  2. PMR dapat memberikan pengertian yang jelas dan operasional kepada siswa bahwa matematika adalah suatu bidang kajian yang dikonstruksi dan dikembangkan sendiri oleh siswa, tidak hanya mereka yang disebut pakar (ahli matematika/para matematikawan).

  3. PMR dapat memberikan pengertian yang jelas dan operasional kepada siswa bahwa cara penyelesaian (jawaban) suatu soal atau masalah tidak harus tunggal dan tidak harus sama antara siswa yang satu dengan siswa yang lain bahkan dengan guru.

  4. PMR dapat memberikan pengertian yang jelas dan operasional kepada siswa bahwa dalam mempelajari matematika, proses pembelajaran merupakan sesuatu yang utama.

Selain mempunyai kelebihan diatas dalam PMR juga terdapat beberapa kesulitan, antara lain:

  1. Tidak mudah mengubah pandangan yang sangat mendasar tentang berbagai hal, misalnya: siswa, guru dan peranan sosial (masalah kontekstual). Sedangkan perubahan tersebut merupakan syarat PMR.

  2. Tidak mudah mencari dan menyusun soal-soal atau masalah-masalah kontekstual yang memenuhi tuntutan PMR seperti harus dapat diselesaikan dalam berbagai cara.

  3. Tidak mudah bagi guru medorong siswa untuk dapat menemukan berbagai cara untuk menyelesaikan soal atau memecahkan masalah.

  4. Tidak mudah bagi guru untuk memberi bantuan kepada siswa agar dapat melakukan penemuan kembali konsep-konsep atau prinsip-prinsip matematika yang dipelajari.