Apa yang dimaksud dengan Model Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching and Learning - CTL)?

image

Johnson (2002) merumuskan pengertian CTL sebagai berikut:

”The CTL system is an educational process that aims to help students see meaning in the academic material they are studying by connecting academic subjects with the context of their daily lives, that is, with the context of their personal, social, and cultural circum- stances. To achieve this aims, the system encompasses the following eight com- ponents: making meaningful connections, doing significant work, self-regulated leraning, collaborating, critical and creative thinking, nurturing the individual, reaching high standards, using authentic assessment.”

Menurut Departemen Pendidikan Nasional (2003:5) menyatakan:

Pendekatan kontekstual (Contextual Teaching and Learning/CTL) adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari, dengan melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran efektif, yakni: konstruktivisme (Constructivism), bertanya (Questioning), menemukan (Inquiri), masyarakat belajar (Learning Community), pemodelan (Modeling), refleksi (reflection) dan penilaian sebenarnya (Authentic Assessment).”

Jadi, pendekatan kontekstual adalah konsep belajar yang mengaitkan antara materi pelajaran dengan aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari. Siswa dituntut menemukan dan mengembangkan pengetahuan dan keterampilan baru sesuai dengan pengetahuan yang mereka miliki. Dengan demikian, siswa akan lebih memahami dan lebih memaknai pengetahuannya itu.

Apa yang dimaksud dengan Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching and Learning - CTL) ?

Contextual Teaching and Learning (CTL) adalah pendekatan pembelajaran yang mengaitkan materi pembelajaran dengan situasi dunia nyata siswa, dengan pendekatan kontekstual diharapkan hasil belajar dapat lebih bermakna bagi siswa, sehingga siswa dapat mengaplikasikan hasil belajarnya dalam kehidupan mereka dalam jangka panjang.

Pendekatan pembelajaran kontekstual lebih mengutamakan aktifitas siswa dalam pembelajaran sehingga siswa dapat menemukan konsep tentang materi pembelajaran dan mengaitkan konsep tersebut dengan situasi dunia nyata mereka.

Sebagaimana yang dikemukakan oleh Elaine B. Johnson bahwa kekuatan, kecepatan, dan kecerdasan otak (IQ) tidak lepas dari faktor lingkungan atau faktor konteks, karena ada interface antara otak dan lingkungan.

Pendekatan pembelajaran kontekstual mendorong siswa untuk selalu aktif dalam menemukan konsep dan mengaitkan antara pengalaman yang dimiliki siswa dengan materi yanng dipelajari. Hal ini sesuai dengan “pembelajaran spiral” sebagai konsekuensi dalil J. Bruner.

Dalam matematika misalnya, setiap konsep saling berkaitan dengan konsep lain, dan suatu konsep menjadi prasyarat bagi konsep lain. Sehingga siswa harus lebih banyak diberi kesempatan untuk melakukan keterkaitan tersebut.

Contextual Teaching and Learning merupakan suatu proses pendidikan yang holistik dan bertujuan memotivasi siswa. Pembelajaran ini digunakan untuk memahami makna materi pelajaran yang sedang dipelajari dalam konteks kehidupan sehari-hari siswa (konteks pribadi, sosial, dan kultural), sehingga siswa memiliki pengetahuan yang secara fleksibel dapat diterapkan dari satu konteks ke konteks lainnya.

Dengan pendekatan pembelajaran kontekstual siswa akan memperoleh pengetahuan dan ketrampilan sebagai bekal untuk memecahkan masalah kehidupannya di lingkungan masyarakat. Siswa adalah generasi yang dipersiapkan untuk menghadapi dan memecahkan masalah di masa mendatang sehingga perlu dilatih dari sekarang.

Menurut S. Nasution memecahkan masalah adalah metode belajar yang mengharuskan pelajar untuk menemukan jawabannya (discovery) tanpa bantuan khusus. Masalah yang dipecahkan , ditemukan sendiri tanpa bantuan khusus akan memberi hasil yang lebih unggul dibanding pemecahan masalah yang mendapat bantuan khusus.

Dengan demikian pendekatan pembelajaran kontekstual pembelajaran adalah pembelajaran yang mendorong siswa untuk menemukan konsep dan mengaitkan konsep yang dipelajari dengan pengalaman yang dimiliki sebagai pengetahuan prasyarat untuk membangun konsep baru.

Dengan pendekatan pembelajaran kontekstual pembelajaran akan menjadi lebih bermakna dan siswa dapat mengaplikasikan konsep yang dipelajari dengan kehidupan nyata mereka untuk memecahkan masalah kehidupan di lingkungannya.

Komponen Pendekatan Kontekstual

Komponen - komponen yang menyusun Pendekatan kontekstual adalah sebagai berikut :

  1. Membangun hubungan untuk menemukan makna (relating),
  2. Melakukan sesuatu yang bermakna (experiencing),
  3. Belajar secara mandiri,
  4. Kolaborasi (collaborating),
  5. Berpikir kritis dan kreatif (applying),
  6. Mengembangkan potensi individu (transfering),
  7. Standar pencapaian yang tinggi,
  8. Asesmen yang autentik.

Karakteristik Pendekatan Kontekstual

Ada beberapa karakteristik dalam pendekatan kontekstual dalam pembelajaran, yaitu:

  • Kerjasama
  • Saling menunjang
  • Menyenangkan, tidak membosankan
  • Belajar dengan bergairah
  • Pembelajaran terintegrasi
  • Menggunakan berbagai sumber
  • Siswa aktif
  • Sharing dengan teman
  • Siswa kritis guru kreatif
  • Dinding dan lorong penuh dengan hasil kerja siswa, peta-peta, gambar, artikel, humor, dan lain-lain
  • Laporan kepada orang tua bukan hanya rapot tetapi hasil karya siswa, laporan hasil praktikum, karangan siswa, dan lain-lain.

Dari pernyataan di atas dapat diketahui bahwa pendekatan kontekstual mempunyai ciri khas adanya kerjasama dan sharing antar siswa agar dapat saling menunjang dalam pembelajaran, siswa aktif , senang dan bergairah dalam belajar, pembelajaran terintegrasi dengan mata pelajaran lain, dengan kebebasan berpendapat membuat siswa kritis, dan suasana kelas menjadi indah dan membuat siswa nyaman untuk belajar.

Langkah-langkah Pendekatan Kontekstual

Dalam pendekatan kontekstual ada beberapa langkah yang harus dilalui yang disebut degan fase, ada 6 fase dalam pembelajaran antara lain :

  • Fase 1 (menyampaikan tujuan dan memotivasi siswa), guru menyampaikan tujuan yan ingin dicapai dalam pembelajaran dan memotivasi siswa.

  • Fase 2 (Menyampaikan Informasi), guru menyampaikan informasi kepada siswa dengan jalan demonstrasi atau lewat bahan bacaan.

  • Fase 3 (Mengorganisasi siswa ke dalam kelompok-kelompok belajar), guru menjelaskan kepada siswa bagaimana cara membentuk kelompok belajar dan membantu setiap kelompok agar melakukan transisi secara efisien.

  • Fase 4 (Membimbing kelompok belajar dan bekerja), guru membimbing kelompok belajar pada saat mengerjakan tugas mereka.

  • Fase 5 (Evaluasi), guru mengevaluasi hasil belajar tentang materi yang telah dipelajari/ meminta kelompok untuk presentasi hasil kerja.

  • Fase 6 (Memberikan Penghargaan),guru mengharagai baik upaya maupun hasil belajar individu maupun kelompok.

Referensi :

  • Eveline Siregar dan Hartini Nara, Teori Belajar dan Pembelajaran,
  • Heruman, Model Pembelajaran Matematika,
  • Zainal Aqib, Model-Model, Media, dan Strategi Pembelajaran Kontekstual (Inovatif) (Bandung : Yrama Widya, 2013),
  • S. Nasution, Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar dan Mengajar (Jakarta : Bumi Aksara, 2011)
  • Eveline Siregar dan Hartini Nara, Teori Belajar dan Pembelajaran (Jakarta : Ghalia Indonesia, 2011)

Pembelajaran kontekstual merupakan pembelajaran yang mengkaitkan materi pembelajaran dengan konteks dunia nyata yang dihadapi siswa sehari-hari baik dalam lingkungan keluarga, masyarakat, alam sekitar dan dunia kerja, sehingga siswa mampu membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari, dengan melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran yakni : kontruktivisme (constructivism), bertanya (questioning), menyelidiki (inquiry), masyaraka belajar (learning community), pemodelan (modeling), refleksi (reflection), dan penilaian autentik (authentic assessment).

Makna dari kontruktivisme adalah siswa mengkonstruksi/membangun pemahaman mereka sendiri dari pengalaman baru berdasar pada pengetahuan awal melalui proses interaksi sosial dan asimilasi-akomodasi. Implikasinya adalah pembelajaran harus dikemas menjadi proses “mengkonstruksi” bukan menerima pengetahuan. Inti dari inquiry atau menyelidiki adalah proses perpindahan dari pengamatan menjadi pemahaman.

Oleh karena itu dalam kegiatan ini siswa belajar menggunakan keterampilan berpikir kritis Bertanya atau questioning dalam pembelajaran kontekstual dilakukan baik oleh guru maupun siswa. Guru bertanya dimaksudkan untuk mendorong, membimbing dan menilai kemampuan berpikir siswa. Sedangkan untuk siswa bertanya meupakan bagian penting dalam pembelajaran yang berbasis inquiry.

Masyarakat belajar merupakan sekelompok orang (siswa) yang terikat dalam kegiatan belajar, tukar pengalaman, dan berbagi pengalaman. Sesuai dengan teori kontruktivisme, melalui interaksi sosial dalam masyarakat belajar ini maka siswa akan mendapat kesempatan untuk mengkonstruksi pengetahuannya sendiri, oleh karena itu bekerjasama dengan orang lain lebih baik daripada belajar sendiri. Pemodelan merupakan proses penampilan suatu contoh agar orang lain (siswa) meniru, berlatih, menerapkan pada situasi lain, dan mengembangkannya.

Menurut Albert Bandura, belajar dapat dilakukan dengan cara pemodelan ini. Penilaian autentik dimaksudkan untuk mengukur dan membuat keputusan tentang pengetahuan dan keterampilan siswa yang autentik (senyatanya). Agar dapat menilai senyatanya, penilaian autentik dilakukan dengan berbagai cara misalnya penilaian penilaian produk, penilaian kinerja (performance), potofolio, tugas yang relevan dan kontekstual, penilaian diri, penilaian sejawat dan sebagainya. Refleksi pada prinsipnya adalah berpikir tentang apa yang telah dipikir atau dipelajari, dengan kata lain merupakan evaluasi dan instropeksi terhadap kegiatan belajar yang telah ia lakukan.

Alasan perlu diterapkannya pembelajaran kontekstual adalah :

  1. Sebagian besar waktu belajar sehari-hari di sekolah masih didominasi kegiatan penyampaian pengetahuan oleh guru, sementara siswa ”dipaksa” memperhatikan dan menerimanya, sehingga tidak menyenangkan dan memberdayakan siswa.

  2. Materi pembelajaran bersifat abstrak-teoritis-akademis, tdak terkait dengan masalah-masalah yang dihadapi siswa sehari-hari di lingkungan keluarga, masyarakat, alam sekitar dan dunia kerja.

  3. Penilaian hanya dilakukan dengan tes yang menekankan pengetahuan, tidak menilai kualitas dan kemampuan belajar siswa yang autentik pada situasi yang autentik.

  4. Sumber belajar masih terfokus pada guru dan buku. Lingkungan sekitar belum dimanfaatkan secara optimal.

Landasan filosofi pemelajaran kontekstual adalah konstruktivisme yang menyatakan bahwa pengetahuan tidak dapat ditransfer dari guru ke siswa seperti halnya mengisi botol kosong, sebab otak siswa tidak kosong melainkan sudah berisi pengetahuan hasil pengalaman-pengalaman sebelumnya. Siswa tidak hanya ”menerima” pengetahuan, namun ”mengkonstruksi” sendiri pengetahuannya melalui proses intra-individual (asimilasi dan akomodasi) dan inter-individual (interaksi sosial).

Pembelajaran kontekstual sebenarnya bukam merupakan pendekatan yang sama sekali baru. Dasar pembelajaran kontekstual sudah dikembangkan oleh John Dewey sejak tahun 1916. Pendekatan ini kemudian digali kembali, dikembangkan lagi, dan dipopulerkan oleh The Washington State Concorcium for Contextual Teaching and Learning dengan melibatkan 11 perguruan tinggi, 20 sekolah, dan lembaga-lembaga yang bergerak dalam dunia pendidikan di Amerika Serikat.

Penerapan Pembelajaran Kontekstual

Pembelajaran dikatakan mengunakan pendekatan kontekstual jika materi pembelajaran tidak hanya tekstual melainkan dikaitkan dengan peneapannya dalam kehidupan sehari-hari siswa di lingkungan keluarga, masyarakat, alam sekitar, dan dunia kerja, dengan melibatkan ketujuh komponen utama tersebut sehinggga pembelajaran menjadi bermakna bagi siswa.

Model pembelajaran apa saja sepanjang memenuhi persyaratan tersebut dapat dikatakan menggunakanpendekatan kontekstual. Pembelajaran kontekstual dapat diterapakan dalam kelas besar maupun kelas kecil, namun akan lebih mudah organisasinya jika diterapkan dalam kelas kecil. Penerapan pembelajaran kontekstual dalam kurikulum berbasis kompetensi sangat sesuai.

Dalam penerapannya pembelajaran kontekstual tidak memerlukan biaya besar dan media khusus. Pembelajaran kontekstual memanfaatkan berbagai sumber dan media pembelajaran yang ada di lingkungan sekitar seperti tukang las, bengkel, tukang reparasi elektronik, barang-barang bekas, koran, majalah, perabot-perabot rumah tangga, pasar, toko, TV, radio, internet, dan sebagainya.

Guru dan buku bukan merupakan sumber dan media sentral, demikian pula guru tidak dipandang sebagai orang yang serba tahu, sehingga guru tidak perlu khawatir menghadapi berbagai pertanyaan iswa yang terkait dengan lingkungan baik tradisional maupun modern.

Seperti yang dikemukakan di muka, dalam pembelajaran kontekstual tes hanya merupakan sebagian dari teknik/ instrumen penelitian yang bermaca-macam seperti wawancara, observasi, inventory, skala sikap, penilaian kinerja, portofolio, jurnal siswa, dan sebagainya yang semuanya disinergikan untuk menilai kemampuan siswa yang sebenarnya (autentik). Penilainya bukan hanya guru saja tetapi juga diri sendiri, teman siswa, pihak lain (teknisi, bengkel, tukang dsb.). Saat penilaian diusahakan pada situasi yang autetik misal pada saat diskusi, praktikum, wawancara di bengkel, kegiatan belajar-mengajar di kelas dan sebagainya.siswa.

Dalam pembelajaran kontekstual rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) sebenarnya lebih bersifat sebagai rencana pribadi dari pada sebagai laporan untuk kepala sekolah atau pengawas seperti yang dilakukan saat ini. Jadi RPP lebih cenderung berfungs mengingatkan guru sendiri dalam menyapkan alat-alat/media dan mengendalikan langkah-langkah (skenario) pembelajaran sehingga bentuknya lebih sederhana.

Beberapa model pembelajaran yang meruapakan aplikasi pembelajaran kontekstual antara lain model pembelajaran langsung (direct instruction), pembelajaran koperatif (cooperatif learning), pembelajaran berbasis masalah ( problem based learning).

Sumber :
Dr. Jumadi, Pembelajaran kontekstual dan implementasinya

Pembelajaran kontekstual adalah pembelajaran yang dimulai dengan sajian atau tanya jawab lisan (ramah, terbuka, negosiasi) yang terkait dengan dunia nyata kehidupan siswa ( daily life modeling ), sehingga akan terasa manfaat dari materi yang akan disajkan, munculnya motivasi belajar, dunia pikiran siswa menjadi konkret, dan suasana menjadi kondusif-nyaman dan menyenangkan.

Prinsip dari pembelajaran kontekstual adalah aktivitas siswa, siswa yang melakukan dan mengalami, tidak hanya menonton dan mencatat, dan pengembangan kemampuan sosialisasi.

Ada tujuh indikator pembelajaran kontekstual sehingga bisa dibedakan dengan model lainnya, yaitu :

  • Modeling (pemusatan perhatian, motivasi, penyampaian kompetensi-tujuan, pengarahan-petunjuk, rambu-rambu, dan contoh),

  • Questioning (eksplorasi, membimbing, menuntun, mengarahkan, mengembangkan, evaluasi, inkuiri, dan generalisasi),

  • Learning community (seluruh siswa berpartisipasi dalam belajar kelompok atau individual, minds-on , hands-on , mencoba, mengerjakan),

  • Inquiry (identifikasi, investigasi, hipotesis, konjektur, generalisasi, menemukan),

  • Constructivisme (membangun pemahaman sendiri, mengkonstruksi konsep-aturan, analisis-sintesis),

  • Reflection (review, rangkuman, tindak lanjut), authentic assessment (penilaian selama proses dan sesudah pembelajaran, penilaian terhadap setiap aktvitas dan usaha siswa, penilaian portofolio, penilaian seobjektif-objektifnya dari berbagai aspek dengan berbagai cara).

Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching and Learning) atau CTL merupakan konsep pembelajaran yang menekankan pada keterkaitan antara materi pembelajaran dengan dunia kehidupan siswa secara nyata, sehingga siswa mampu menghubungkan dan menerapkan kompetensi dalam kehidupan sehari-hari (Mulyasa: 2006).

Menurut Sanjaya (2006) mengemukakan bahwa CTL adalah suatu konsep pembelajaran yang menekankan kepada proses keterlibatan siswa secara penuh untuk dapat menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi kehidupan nyata.

Johnson merumuskan bahwa CTL merupakan suatu proses pendidikan yang bertujuan membantu siswa melihat makna/arti dalam bahan pelajaran yang mereka pelajari dengan cara menghubungkannya dengan konteks kehidupan sehari-hari, yaitu dengan konteks lingkungan pribadi, sosial, dan budayanya.

Sedangkan menurut Nurhadi (2003) CTL adalah konsep belajar dari guru yang menghadirkan dunia nyata kedalam kelas dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari, sementara siswa memperoleh pengetahuan dan keterampilan dari konteks yang terbatas, sedikit demi sedikit, dan dari proses mengkonstruksi sendiri, sebagai bekal untuk memecahkan masalah dalam kehidupannya sebagai anggota masyarakat.

Adapun menurut Muslich (2007), CTL adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi pembelajaran dengan situasi dunia nyata siswa, dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari.

Dari pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran kontekstual adalah pembelajaran yang menghadirkan dunia nyata di dalam kelas untuk menghubungkan antara pengetahuan yang ada untuk diterapkan dalam kehidupan siswa. Dengan CTL memungkinkan proses belajar mengajar yang tenang dan menyenangkan, karena pembelajarannya dilakukan secara alamiah, sehingga memungkinkan peserta dapat mempraktekkan secara langsung materi yang dipelajarinya. CTL mendorong peserta memahami hakekat, makna, dan manfaat belajar, sehingga memungkinkan mereka rajin, dan termotivasi dalam belajar.

Menurut Johnson (2002), pembelajaran dan pengajaran kontekstual melibatkan para siswa dalam aktivitas penting yang membantu mereka mengaitkan pelajaran akademis dengan konteks kehidupan nyata yang mereka hadapi. Nurhadi (2003) mengemukakan pentingnya lingkungan belajar dalam pembelajaran kontekstual sebagai berikut.

  1. Belajar efektif itu dimulai dari lingkungan belajar yang berpusat pada siswa. Dari ”guru akting di depan kelas, siswa menonton” ke ”siswa aktif bekerja dan berkarya, guru mengarahkan”.

  2. Pembelajaran harus berpusat pada ‘bagaimana cara’ siswa menggunakan pengetahuan baru mereka. Srategi belajar lebih dipentingkan dibandingkan hasilnya.

  3. Umpan balik amat penting bagi siswa, yang berasal dari proses penilaian (assesment) yang benar.

  4. Menumbuhkan komunitas belajar dalam bentuk kerja kelompok itu penting.

Karakteristik Pembelajaran Kontekstual


Karakteristik CTL menurut Muslich (2007) adalah sebagai berikut.

  1. Pembelajaran dilaksanakan dalam konteks autentik, yaitu pembelajaran yang diarahkan pada ketercapaian keterampilan dalam konteks kehidupan nyata atau pembelajaran yang dilaksanakan dalam lingkungan yang alamiah (learning in real life setting).

  2. Pembelajaran memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengerjakan tugas-tugas yang bermakna (meaningful learning).

  3. Pembelajaran dilaksanakan dengan memberikan pengalaman bermakna kepada siswa (learning by doing).

  4. Pembelajaran dilaksanakan melalui kerja kelompok, berdiskusi, saling mengoreksi antar teman (learning in a group).

  5. Pembelajaran memberikan kesempatan untuk menciptakan rasa kebersamaan, kerjasama, dan saling memahami antara satu dengan yang lain secara mendalam (learning to know each other deeply).

  6. Pembelajaran dilaksanakan secara aktif, kreatif, produktif, dan mementingkan kerja sama (learning to ask, to inquiry, to work together).

  7. Pembelajaran dilaksanakan dalam situasi yang menyenangkan
    (learning as an enjoy activity).

Nurhadi menyebutkan sepuluh kata kunci pembelajaran CTL, yaitu:

  • kerja sama,
  • saling menunjang,
  • menyenangkan, tidak membosankan,
  • belajar dengan gairah,
  • pembelajaran terintegrasi,
  • menggunakan berbagai sumber,
  • siswa aktif,
  • sharing dengan teman,
  • siswa kritis,
  • guru kreatif.

Komponen Utama Pembelajaran Kontekstual


CTL memiliki komponen utama yang melandasi pelaksanaan proses pembelajaran menurut Nurhadi (2003), yaitu:

  1. Konstruktivisme (Constructivism)
    Komponen ini merupakan landasan berfikir (filosofi) pembelajaran CTL, yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas (sempit) dan tidak sekonyong-konyong (Nurhadi: 2003). Pembelajaran konstruktivisme menekankan terbangunnya pemahaman sendiri secara aktif, kreatif dan produktif berdasarkan pengetahuan terdahulu dan dari pengalaman belajar yang bermakna.

    image

    Bagan tersebut menggambarkan proses pembelajaran konstruktivistik yang dimulai dengan kotak bawah yang menjelaskan bahwa siswa lahir dengan pengetahuan yang masih kosong. Dengan menjalani kehidupan dan berinteraksi dengan lingkungannya, siswa mendapatkan pengetahuan awal yang diproses melalui pengalaman-pengalaman belajar untuk memperoleh pengetahuan baru.

  2. Menemukan (Inquiry)
    Menurut Nurhadi (2003), inkuiri adalah suatu ide yang kompleks, yang berati banyak hal bagi banyak orang. Inkuiri (Sanjaya: 2006: 119), artinya proses pembelajaran didasarkan pada pencarian dan penemuan melalui proses berpikir secara sistematis. Komponen ini merupakan kegiatan inti CTL. Diawali dari pengamatan terhadap fenomena, dilanjutkan dengan kegiatan-kegiatan bermakna untuk menghasilkan temuan yang diperoleh sendiri oleh siswa. Dengan demikian pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh tidak dari hasil mengingat seperangkat fakta, tetapi hasil menemukan sendiri dari fakta yang dihadapinya.

    Langkah-langkah kegiatan inquiry adalah sebagai berikut : merumuskan masalah; mengumpulkan data melalui observasi; menganalisis dan menyajikan hasil dalam tulisan, gambar, laporan, bagan, tabel, dan karya lain; dan menyajikan hasil karya pada pembaca, teman sekelas, audiens yang lain.

  3. Bertanya (Questioning)
    Pengetahuan yang dimiliki seseorang selalu bermula dari bertanya. Guru menggunakan pertanyaan-pertanyaan untuk menuntun siswa berpikir dan untuk membuat penilaian secara kontinyu terhadap pemahaman siswa. Bertanya dalam pembelajaran dipandang sebagai kegiatan guru untuk mendorong, membimbing, dan menilai kemampuan berpikir siswa. Siswa belajar mengajukan pertanyaan tentang gejala-gejala yang ada, belajar bagaimana merumuskan pertanyaan-pertanyaan yang dapat diuji, belajar saling bertanya tentang bukti, interprestasi, dan penjelasan-penjelasan yang ada. Pertanyaan dapat digunakan untuk berbagai macam tujuan, berbagai macam bentuk, dan berbagai macam jawaban yang ditimbulkannya.

  4. Masyarakat Belajar (Learning Community)
    Komponen ini menyarankan bahwa prestasi belajar sebaiknya diperoleh dari kerja sama dengan orang lain. Prestasi belajar bisa diperoleh dengan sharing antar teman, kelompok, dan antara yang tahu kepada yang tidak tahu, baik di dalam maupun di luar kelas. Komponen ini terjadi apabila ada proses komunkasi dua arah. Karena pembelajaran yang dikemas dalam diskusi kelompok dengan anggota heterogen dan jumlah yang bervariasi sangat mendukung komponen ini. Anggota kelompok yang terlibat dalam komunikasi pembelajaran dapat saling belajar.

    Prinsip-prinsip yang bisa diperhatikan guru ketika menerapkan pembelajaran yang berkonsentrasi pada komponen learning community adalah sebagai berikut :

    • Pada dasarnya prestasi belajar diperoleh dari kerjasama atau
      sharing dengan pihak lain.

    • Sharing terjadi apabila ada pihak yang saling memberi dan saling menerima informasi.

    • Sharing terjadi apabila ada komunikasi dua atau multiarah.

    • Masyarakat belajar terjadi apabila masing-masing pihak yang terlibat di dalamnya sadar bahwa pengetahuan, pengalaman, dan keterampilan yang dimilikinya bermanfaat bagi yang lain.

    • Siswa yang terlibat dalam masyarakat belajar pada dasarnya bisa menjadi sumber belajar.

  5. Pemodelan (Modeling)
    Modeling adalah proses pembelajaran dengan memperagakan sesuatu sebagai contoh yang dapat ditiru oleh setiap siswa. Modeling merupakan asas yang cukup penting dalam pembelajaran CTL, sebab melalui modeling siswa dapat terhindar dari pembelajaran yang teoritis-abstrak yang dapat memungkinkan terjadinya verbalisme. Menurut Nurhadi (2003) pemodelan pada dasarnya membahasakan gagasan yang dipikirkan, mendemonstrasikan bagaimana guru menginginkan siswanya untuk belajar, dan melakukan apa yang guru inginkan agar siswanya melakukan.

    Pemodelan dapat berbentuk demonstrasi, pemberian contoh tentang konsep atau aktivitas belajar. Contoh itu bukan untuk ditiru persis, tapi menjadi acuan pencapaian kompetensi siswa. Dalam kontekstual, guru bukan satu-satunya model, tapi model itu dapat dirancang dengan melibatkan siswa. Model juga dapat didatangkan dari luar.

  6. Refleksi (Reflection)
    Refleksi adalah cara berpikir tentang apa yang baru dipelajari atau berpikir ke belakang tentang apa-apa yang sudah kita laukan di masa yang baru saja kita terima. Releksi merupakan respon terhadap kejadian, aktivitas, atau pengetahuan terhadap apa yang baru diterima. Guru membantu siswa membuat hubungan-hubungan antara pengetahuan yang dimiliki sebelumnya dengan pengetahuan yang baru. Dengan begitu, siswa merasa memperoleh sesuatu yang berguna bagi dirinya tentang apa baru dipelajarinya.

    Guru perlu melaksanakan refleksi pada akhir program pembelajaran. Guru menyisakan waktu sejenak agar siswa melakukan refleksi. Releksi dapat berupa:

    • pertanyaan langsung tentang apa-apayang diperolehnya hari itu,
    • catatan atau jurnal di buku siswa,
    • kesan dan saran siswa mengenai pembelajaran hari itu,
    • diskusi,
    • hasil karya, dan
    • catatan lain yang ditempuh guru untuk mengarahkan siswa kepada pemahamanmerka tentang materi yang dipelajari.
  7. Penilaian Nyata (Authentic Assesment)
    Penilaian yang benar adalah menilai apa yang seharusnya dinilai. Penilaian nyata adalah proses yang dilakukan guru untuk mengumpulkan informasi tentang perkembangan belajar yang dilakukan siswa.

    Prinsip yang dipakai dalam penilaian serta ciri-ciri penilaian autentik adalah (Nurhadi, 2003):

    • Harus mengukur semua aspek pembelajaran: proses, kinerja, dan produk.

    • Dilaksanakan selama dan sesudah proses pembelajaran berlangsung.

    • Menggunakan berbagai cara dan berbagai sumber.

    • Tes hanya salah satu alat pengumpul data penilaian.

    • Tugas-tugas yang diberikan kepada siswa harus mencerminkan bagian-bagian kehidupan siswa yang nyata setiap hari, mereka harus dapat menceritakan pengalaman atau kegiatan yang mereka lakukan setiap hari.

    • Penilaian harus menekankan kedalam pengetahuan dan keahlian siswa, bukan keluasanya (kuantitas).

Model pembelajaran kontekstual (contekstual teaching and learning) merupakan proses pembelajaran yang holistik dan bertujuan membantu siswa untuk memahami makna materi ajar dan mengaitkannya dengan konteks kehidupan mereka sehari-hari.

Adapun pengertian CTL menurut Elaine B. Johnson dalam Rusman (2011) mengatakan pembelajaran kontekstual adalah sebuah sistem yang merangsang otak untuk menyusun pola-pola yang mewujudkan makna dan menghubungkan muatan akademis dengan konteks kehidupan sehari-hari siswa. Jadi, pembelajaran kontekstual adalah usaha untuk membuat siswa aktif dalam memompa kemampuan diri tanpa merugi menetapkan dan mengaitkan dengan dunia nyata.

Warsiti (2011) menyatakan model CTL menerapkan prinsip belajar bermakna yang mengutamakan proses belajar, sehingga siswa dimotivasi untuk menemukan pengetahuan sendiri dan bukan hanya melalui transfer pengetahuan dari guru. Dengan konsep tersebut, hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan mentransfer pengetahuan dari guru ke siswa, strategi pembelajaran lebih dipentingkan daripada hasil.

Pembelajaran di sekolah seharusnya tidak hanya difokuskan pada pemberian (pembekalan) kemampuan pengetahuan yang bersifat teoretis saja, akan tetapi bagaimana agar pengalaman belajar yang dimiliki siswa senantiasa terkait dengan permasalahan- permasalahan aktual yang terjadi di lingkungannya. Dengan demikian, inti dari pendekatan CTL adalah keterkaitan setiap materi atau topik pembelajaran dengan kehidupan nyata.

Konsep Dasar Pembelajaran Kontekstual


Pembelajaran kontekstual (contextual teaching and laerning) atau biasa di sebut dengan model pembelajaran CTL merupakan konsep belajar yang dapat membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat (Nurhadi, 2002).

Sementara itu, Howey R, Keneth, dalam Rusman (2011) mendefinisikan CTL

“Contextual teaching is teaching that enables learning in wich student aploy their academic understanding and abilities in a variety of in-and out of school context to solve simulated or real world problems, both alone and with others”

(CTL adalah pembelajaran yang memungkinkan terjadinya proses belajar di mana siswa menggunakan pemahaman dan kemampuan akademiknya dalam berbagai konteks dalam dan luar sekolah untuk memecahkan masalah yang bersifat simulatif ataupun nyata, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama.

Untuk memperkuat dimilikinya pengalaman belajar yang aplikatif bagi siswa, tentu saja diperlukan pembelajaran yang lebih banyak memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan, mencoba, dan mengalami sendiri (learning to do) . Dengan demikian, pembelajaran akan lebih bermakna, sekolah lebih dekat dengan lingkungan masyarakat (bukan dekat dari segi fisik), akan tetapi secara fungsional apa yang dipelajari di sekolah senantiasa bersentuhan dengan situasi dan permasalahan kehidupan yang terjadi di lingkungannya (keluarga dan masyarakat).

CTL (contextual teaching and learning) merupakan proses pembelajaran yang holistik dan bertujuan membantu siswa untuk memahami makna materi ajar dengan mengaitkannya terhadap konteks kehidupan mereka sehari-hari (konteks pribadi, sosial dan kultural), sehingga siswa memiliki pengetahuan/ketrampilan yang dinamis dan fleksibel untuk mengkonstruksi sendiri secara aktif pemahamannya (Bandono, 2008). Hal ini dipertegas Sanjaya (2006) menyatakan bahwa, ” contextual teaching and learning (CTL) adalah suatu pendekatan pembelajaran yang menekankan proses keterlibatan siswa secara penuh untuk dapat menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi kehidupan nyata sehingga mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan mereka.”

Dari beberapa pendapat tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa pendekatan CTL merupakan pembelajaran yang memungkinkan siswa menerapkan dan mengalami apa yang sedang diajarkan dengan mengacu pada masalah-masalahdunia nyata, sehingga pembelajaran akan menjadi lebih berarti dan menyenangkan.

Pembelajaran kontekstual sebagai suatu model pembelajaran yang memberikan fasilitas kegiatan belajar siswa untuk mencari, mengolah, dan menemukan pengalaman belajar yang lebih bersifat konkret melalui keterlibatan aktivitas siswa dalam mencoba, melakukan, dan mengalami sendiri. Dengan demikian, pembelajaran tidak sekedar dilihat dari sisi produk, akan tetapi yang terpenting adalah proses.

Dalam pembelajaran kontekstual, tugas guru adalah membantu siswa mencapai tujuannya. Tugas guru mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja bersama untuk menemukan sesuatu yang baru bagi anggota kelas (siswa).

Ciri khas CTL ditandai oleh tujuh komponen utama, yaitu :

  1. Constructivism;
  2. Inkuiri;
  3. Questioning;
  4. Learning Community;
  5. Modelling;
  6. Reflection;
  7. Autthentic Assesment .

Sebelum melaksanakan pembelajaran dengan menggunakan CTL, guru harus membuat desain/skenario pembelajaran sebagai pedoman umum dan sekaligus sebagai alat kontrol dalam pelaksanaannya. Pada intinya pengembangan komponen CTL tersebut dalam pembelajaran dapat dilakukan melalui langkah- langkah sebagai berikut.

  • Mengembangkan pemikiran siswa untuk melakukan kegiatan belajar lebih bermakna, apakah dengan cara bekerja sendiri, menemukan sendiri, dan mengkonstrusi pengetahuan dan keterampilan baru siswa.

  • Melaksanakan kegiatan inkuiri untuk semua topik yang diajarkan.

  • Mengembangkan sifat ingin tahu melalui pertanyaan-pertanyaan.

  • Menciptakan masyarakat belajar, seperti melalui kegiatan kelompok berdiskusi, tanya jawab, dan lain sebagainya.

  • Menghadirkan contoh pembelajaran melalui ilustrasi, model, bahkan media yang sebenarnya.

  • Membiasakan anak melakukan refleksi setiap kegiatan pembelajaran yang telah dilakukan.

  • Melakukan penilaian secara objektif, yaitu menilai kemampuan yang sebenarnya pada setiap siswa.

Komponen Pembelajaran Kontekstual


Komponen pembelajaran kontekstual meliputi :

  1. menjalin hubungan-hubungan yang bermakna (making meaningful connections) ;

  2. mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang berarti (doing significant work) ;

  3. melakukan proses belajar yang diatur sendiri (self-regulated learning) ;

  4. mengadakan kolaborasi (collaborating) ;

  5. berpikir kritis dan kreatif (critical and creative thingking) ;

  6. memberikan layanan secara individual (nurturing the individual) ;

  7. mengupayakan pencapaian standar yang tinggi (reaching high standards) ;

  8. menggunakan asesmen autentik (using authentic assessment) (Johnson B. Elaine, 2002).

Pendekatan CTL merupakan pembelajaran yang memungkinkan siswa menerapkan dan mengalami apa yang sedang diajarkan dengan mengacu pada masalah-masalah dunia nyata, sehingga pembelajaran menjadi lebih menyenangkan. Siswa menggunakan pengalaman dan pengetahuannya untuk membangun pengetahuan baru. Dan selanjutnya memanfaatkan kembali pemahaman pengetahuan dan kemampuannya itu dalam berbagai konteks di luar sekolah untuk menyelesaikan masalah dunia nyata yang kompleks, baik secara mandiri maupun dengan berbagai kombinasi dan struktur kelompok.

Prinsip Pembelajaran Kontekstual


CTL sebagai suatu model dalam implementasinya tentu saja memerlukan perencanaan pembelajaran yang mencerminkan konsep dan prinsip CTL. Setiap model pembelajaran, disamping memiliki unsur kesamaan, juga ada beberapa perbedaan tertentu. Hal ini karena setiap model memiliki karakteristik khas tertentu, yang tentu saja berimplikasi pada disesuaikan dengan model yang akan diterapkan.

Ada tujuh prinsip pembelajaran kontekstual yang harus dikembangkan oleh guru, yaitu :

1. Konstruktivisme (Constructivism)

Konstruktivisme merupakan landasan bepikir dalam CTL, yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas. Pengetahuan bukan seperangkat fakta, konsep atau kaidah yang siap umtuk diambil dan diingat. Manusia harus membangun pengetahuan itu memberi makna melalui pengalaman yang nyata.

Nur (2002) menyatakan, menurut teori konstruktivisme, salah satu prinsip yang paling penting dalam psikologi pendidikan adalah bahwa guru tidak hanya sekadar memberikan pengetahuan untuk siswa. Siswa harus membangun sendiri pengetahuan di dalam benaknya. Guru dapat memberikan kemudahan untuk proses ini. Batasan konstruktivisme di atas memberikan penekanan bahwa konsep bukanlah tidak penting sebagai bagian integrasi dari pengalaman belajar yang harus dimiliki oleh siswa, akan tetapi bagaimana dari setiap konsep atau pengetahuan yang dimiliki siswa itu dapat memberikan pedoman nyata terhadap siswa untuk diaktualisasikan dalam kondisi nyata.

Hasil belajar sebagai bentuk nyata dari adanya proses pembelajaran dipengaruhi beberapa faktor. Clark dalam Sudjana (2013) mengungkapkan bahwa hasil belajar siswa di sekolah 70% di pengaruhi oleh kemampuan siswa dan 30% dipengaruhi oleh lingkungan. Kedua faktor tersebut saling mempengaruhi dalam proses belajar individu sehingga menentukan kualitas hasil belajar. Menurut Rifa’I dan Anni (2011) faktor-faktor yang memberikan kontribusi terhadap proses dan hasil belajar adalah kondisi internal dan eksternal peserta didik. Kondisi internal mencakup kondisi fisik, seperti kesehatan organ tubuh, kondisi psikis, kemampuan intelektual, emosional, dan kondisi sosial. Kondisi eksternal adalah kondisi yang ada di lingkungan peserta didik.

2. Menemukan (Inkuiri)

Menemukan, merupakan kegiatan inti dari CTL, melalui upaya menemukan akan memberikan penegasan bahwa pengetahuan dan keterampilan serta kemampuan-kemampuan lain yang diperlukan bukan dari hasil mengingat seperangkat fakta-fakta, tetapi merupakan hasil menemukan sendiri. Kegiatan pembelajaran yang mengarah pada upaya menemukan, telah lama diperkenalkan pula dalam pembelajaran inkuiri and discovery (mencari dan menemukan). Proses inkuiri merupakan proses investigasi dengan mencari kebenaran dan pengetahuan yang memerlukan pikiran kritis, kreatif dan menggunakan intuisi. Dampak pengajaran model inkuiri dideskripsikan sebagai berikut.

Dampak Model Inkuiri Ilmiah
Gambar Dampak Model Inkuiri Ilmiah (Joyce dan Weil, 2003)

Model pembelajaran inkuiri melibatkan dan memberi kesempatan peserta didik untuk mengembangkan keingintahuannya dan melakukan eksplorasi menyelidiki suatu fenomena (Ridwan Abdul Sani, 2013). Vygotsky (Slavin, 2009) menegaskan bahwa pembelajaran terjadi apabila anak-anak belajar menangani tugas- tugas yang belum dipelajari namun tugas-tugas itu berada dalam jangkauan kemampuannya (zone of proximal development). Scaffolding, yaitu pemberian bantuan pada anak selama tahap-tahap awal pembelajaran kemudian mengurangi dan memberikan kesempatan kepada anak untuk mengambil tanggung jawab yang semakin besar setelah anak dapat melakukannya. Pembelajaran inkuiri terbimbing (guided inkuiri) adalah zona intervensi di mana petunjuk dan bantuan khusus diberikan untuk membimbing siswa dalam mengumpulkan informasi untuk menyelesaikan tugasnya kemudian sedikit demi sedikit dikurangi sesuai dengan perkembangan pengalaman siswa.

John Dewey (Kuhlthau, 2007) menjelaskan pendidikan bukan sekedar memberitahu dan diberitahu tapi sebuah sebuah proses aktif dan konstruktif. Menurutnya pembelajaran sebagai proses kreatif dari penyelidikan, dimulai dengan usulan karena informasi baru yang menimbulkan pertanyaan atau masalah. Siswa melalui refleksi secara aktif informasi baru untuk membentuk ide-ide mereka sendiri melalui proses pembelajaran yang secara bertahap menyebabkan pemahaman mendalam. Untuk menumbuhkan kebiasaan siswa secara kreatif agar bisa menemukan pang alaman belajarnya sendiri, berimplikasi pada strategi yang dikembangkan oleh guru.

3. Bertanya (Questioning)

Unsur lain menjadi karakteristik utama CTL adalah kemampuan dan kebiasaan untuk bertanya. Pengetahuan yang dimiliki seseorang selalu bermula dari bertanya. Oleh karena itu, bertanya merupakan strategi utama dalam CTL. Penerapan unsur bertanya dalam CTL harus difasilitasi oleh guru, kebisaan siswa untuk bertanya atau kemampuan guru dalam mengunakan pertanyaan yang baik akan mendorong pada peningkatan kualitas dan produktivitas pembelajaran.

Dalam implementasi CTL, pertanyaan yang diajukan oleh guru atau siswa harus dijadikan alat atau pendekatan untuk menggali informasi atau sumber belajar yang ada kaitannya dengan kehidupan nyata (Muchith, 2008). Dengan kata lain, tugas bagi guru adalah membimbing siswa melalui pertanyaan yang diajukan untuk mencari dan menemukan kaitan antara konsep yang dipelajari dalam kaitan dengan kehidupan nyata. Proses yang terjadi setelah guru bertanya pada peserta didik diilustrasikan dalam bagan berikut (Martin, dkk, 1994).

Bagan Alir Kegiatan Bertanya
Gambar Bagan Alir Kegiatan Bertanya

Guru harus memiliki kemampuan bertanya tingkat lanjut, yaitu kemampuan mengajukan pertanyaan untuk mengembangkan dan meningkatkan kemampuan berpikir kognitif dan evaluasinya. Melalui penerapan bertanya, pembelajaran akan lebih hidup, akan mendorong proses dan hasil pembelajaran yang lebih luas dan mendalam, dan akan banyak ditemukan unsur-unsur terkait yang sebelumnya tidak terpikir oleh guru maupun oleh siswa.

Oleh karena itu, cukup beralasan jika dengan pengembangan bertanya produktivitas pembelajaran akan lebih tinggi karena dengan bertanya, maka:

  1. Dapat menggali informasi, baik administrasi maupun akademik;
  2. Mengecek pemahaman siswa;
  3. membangkitkan respons siswa;
  4. Mengetahui sejauh mana keingintahuan siswa;
  5. Mengetahui hal-hal yang diketahui siswa;
  6. Memfokuskan perhatian siswa;
  7. Membangkitkan lebih banyak lagi pertanyaan dari siswa; dan
  8. Menyegarkan kembali pengetahuan yang telah dimiliki siswa (Ridwan Abdullah Sani, 2013).

4. Masyarakat Belajar (Learning Community)

Manusia diciptakan sebagai makhluk individu sekaligus sebagai makhluk sosial. Hal ini berimplikasi pada ada saatnya seseorang berkerja sendiri untuk mencapai tujuan yang diharapkan, namun disisi lain tidak bisa melepaskan diri ketergantungan dengan pihak lain. Penerapan learning community dalam pembelajaran di kelas akan banyak bergantung pada model komunikasi pembelajaran yang dikembangkan oleh guru. Di mana dituntut keterampilan dan profesionalisme guru untuk mengembangkan komunikasi banyak arah (interaksi), yaitu model komunikasi yang yang bukan hanya hubungan antara guru dengan siswa atau sebaliknya, akan tetapi secara luas dibuka jalur hubungan komunikasi pembelajaran antara siswa dengan siswa lainnya (Muslich, 2007).

Kebiasaan penerapan dan pengembangan masyarakat belajar dalam CTL sangat memungkinka dan dibuka dengan luas memanfaatkan masyarakat belajar lain di luar kelas. Setiap siswa semestinya dibimbing dan diarahkan untuk mengembangkan rasa ingin tahunya melalui pemanfaatan suber belajjar dengan luas yang tidak hanya disekat oleh masyarakat belajar di dalam kelas, akan tetapi sumber manusia lain di luar kelas (keluarga dan masyarakat) . Ketika kita dan siswa dibiasakan untuk memberikan pengalaman yang luas pada orang lain, maka saat itu pula kita atau siswa akan mendapatkan pengalaman yang lebih banyak dari komunitas lain.

5. Pemodelan (Medelling)

Perkembangan ilmu pemgetahuan dan teknologi serta rumitnya permasalahan hidup yang dihadapi secara tuntutan siswa yang semakin berkembang dan beranekaragam, telah berdampak pada kemampuan guru yang memiliki kemampuan lengkap, dan ini yang sulit dipenuhi. Oleh karena itu, maka kini guru bukan lagi satu- satunya sumber belajar begi siswa, karena dengan segala kelebihan dan keterbatasan yang dimiliki oleh guru akan mengalami hambatan untuk memberikan pelayanan sesuai dengan keinginan dan kebutuhan siswa yang cokup heterogen. Oleh karena itu, tahap pembuatan model dapat dijadikan alternatif untuk mengembangkan pembelajaran siswa bisa memenuhi harapan siswa secara menyeluruh, dan membantu mengatasi keterbatasan yang dimiliki oleh para guru (Muslich, 2007)

6. Refleksi (Reflection)

Refleksi adalah cara berpikir tentang apa yang terjadi atau baru saja dipelajari. Dengan kata lain refleksi adalah berpikir ke belakang tentang apa-apa yang sudah dilakukan di masa lalu, siswa mengendapkan apa yang baru dipelajarinya sebagai struktur pengetahuan yang baru yang merupakan pengayaan atau revisi dari pengetahuan sebelumnya. Pada saat refleksi, siswa diberi kesempatan untuk mencerna, menimbang, membandingkan, menghayati, dan melakukan diskusi dengan dirinya sendiri (learning to be).

Pengetahuan yang bermakna diperoleh dari suatu proses yang bermakna pula, yaitu melalui penerimaan, pengolahan dan pengendapan, untuk kemudian dapat dijadikan sandaran dalam menanggapi terhadap gejala yang muncul kemudian. Melalui model CTL, pengalaman belajar bukan hanya terjadi dan dimiliki ketika seseorang siswa, berada di dalam kelas, akan tetapi jauh lebih penting dari itu adalah bagaimana membawa pengalaman belajar tersebut ke luar dari kelas, yaitu pada saat ia dituntut untuk menanggapi dan memecahkan permasalahan nyata yang dihadapi sehari-hari (Muchith, 2008). Kemampuan untuk mengaplikasikan pengetahuan, sikap, dan keterampilan pada dunia nyata yang dihadapinya akan mudah diaktualisasikan manakala pengalaman belajar itu telah terinternalisasi dalam setiap jiwa siswa dan di sinilah pentingnya menerapkan unsur refleksi pada setiap kesempatan pembelajaran.

7. Penilaian Sebenarnya (Authentic Assessment)

Tahap terakhir dari pembelajaran kontekstual adalah melakukan penilaian. Penilaian sebagai bagaian integral dari pembelajaran memiliki fungsi yang amat menentukan untuk mendapatkan informasi kualitas proses dan hasil pembelajaran melalui penerapan CTL. Penilaian adalah proses pengumpulan berbagai data dan informasi yang bisa memberikan gambaran atau petunjuk terhadap pengalaman belajar siswa. Dengan terkumpulnya berbagai data informasi yang lengkap sebagai perwujudan dari penerapan penilaian, maka semakin akurat pula pemahaman guru terhadap proses dan hasil pengalaman belajar setiap siswa.

Guru dengan cermat akan mengetahui kemajuan, kemunduran, dan kesulitan siswa dalam belajar, dengan itu guru akan memiliki kumudahan melakukan upaya-upaya perbaikan dan penyempurnaan proses bimbingan belajar selanjutnya. Dengan cara tersebut, guru secara nyata akan mengetahui tingkat kemampuan siswa yang sebenarnya.

Proses pembelajaran dengan menggunakan CTL harus mempertimbangkan karakteristik-karakteristik :

  1. Kerja sama;
  2. Saling menunjang;
  3. Menyenangkan dan tidak membosankan;
  4. Belajar dengan bergairah;
  5. Pembelajaran terintegrasi;
  6. Menggunakan berbagai sumber;
  7. Siswa aktif;
  8. Sharing dengan teman;
  9. Siswa kritis guru kreatif;
  10. Dinding kelas dan lorong-lorong penuh dengan hasil karya siswa (peta-peta, gambar, artikel);
  11. Laporan kepada orang tua bukkan hanya rapor, tetapi hasil karya siswa, laporan hasil praktikum, karangan siswa, dan lain-lain. (Depdiknas, 2002)

Dalam pembelajaran kontekstual, program pembelajaran merupakan rencana kegiatan kelas yang dirancang oleh guru, yaitu dalam bentuk skenario tahap demi tahap tentang apa yang akan dilakukan bersama siswa selama berlangsungnya proses pembelajaran. Dalam program tersebut harus tercermin penerapan dari ketujuh komponen CTL dengan jelas, sehingga setiap guru memiliki persiapan yang utuh mengenai rencana yang akan dilaksanakan dalam membimbing kegiatan belajar-mengajar di kelas.

Tabel Perbedaan Pembelajaran Kontekstual dengan Konvensional

PENDEKATAN KONTEKSTUAL PENDEKATAN KONVENSIONAL
Siswa secara aktif terlibat dalam proses pembelajaran. Siswa penerima informasi secara pasif.
Siswa belajar dari teman melalui kerja kelompok, diskusi, dan saling mengoreksi. Siswa belajar secara individu.
Pembelajaran dikaitkan dengan kehidupan nyata dan atau masalah yang disimulasikan. Pembalajaran abstrak dan teoritis.
Perilaku dibangun atas kesadaran diri. Perilaku dibangun atas kebiasaan.
Keterampilan dikembangkan atas dasar pemahaman. Keterampilan dikembangkan atas dasar latihan.
Hadiah untuk perilaku baik adalah kepuasan. Hadiah untuk perilaku baik adalah pujian atau nilai (angka) rapor.
Seseorang tidak melakukan yang jelek karena dia sadar hal itu keliru dan merugikan. Seseorang tidak melakukan yang jelek karena takut hukuman.
Bahasa diajarkan dengan pendekatan komunikatif, siswa menggunakan bahasa dalam konteks nyata. Bahasa diajarkan dengan pendekatan struktural; rumus diterangkan sampai paham, kemudian dilatihkan ( drill ).
Pemahaman rumus dikembangkan atas dasar skemata yang sudah ada dalam diri siswa. Rumus itu ada diluar diri siswa, yang harus diterangkan, diterima, dihafalkan, dan dilatihkan.
Pemahaman rumus itu relatif berbeda antara siswa yang satu dengan lainnya sesuai dengan skemata siswa ( on going process of development ). Rumus adalah kebenaran absolut (sama untuk semua orang). Hanya ada dua kemungkinan, yaitu pemahaman rumus yang salah atau benar.
Siswa diminta bertanggung jawab memonitor dan mengembangkan pembelajaran mereka masing-masing. Guru adalah penentu jalannya proses pembelajaran.
Penghargaan terhadap pengalaman siswa sangat diutamakan. Pembelajaran tidak memperhatikan pengalaman siswa.
Hasil belajar diukur dengan berbagai cara: proses bekerja, hasil karya, penampilan, rekaman, tes, dan lain-lain. Hasil belajar diukur hanya dengan tes.
Pembelajaran terjadi di berbagai tempat, konteks, dan setting . Pembelajaran hanya terjadi di kelas.
Penyesalan adalah hukuman dari perilaku jelek. Sanksi adalah hukuman dari perilaku jelek.
Perilaku baik berdasar motivasi intrinsik. Perilaku baik berdasar motivasi ekstrinsik.
Seseorang berperilaku baik karena yakin itulah yang terbaik dan bermanfaat. Seseorang berperilaku baik karena dia terbiasa melakukan begitu. Kebiasaan ini dibangun dengan hadiah yang menyenangkan.

Sumber: Ditjen Dikdasmen (2003).

Perbedaan mendasar program pembelajaran konstekstual dan konvensional terletak pada penekanannya, di mana pada model konvensional lebih menekankan pada deskripsi tujuan yang akan dicapai (jelas dan operasional), sementara program pembelajaran CTL lebih menekankan pada skenario pembelajarannya, yaitu kegiatan tahap demi tahap yang dilakukan oleh guru dan siswa dalam upaya mencapai tujuan pembelajaran yang diharapkan.

Skenario Pembelajaran Kontekstual


Sebelum melaksanakan pembelajaran dengan menggunakan CTL, tentu saja terlebih dahulu guru harus membuat desain (skenario) pembelajarannya, sebagai pedoman umum dan sekaligus sebagai alat kontrol dalam pelaksanaannya. Pada intinya pengembangan setiap komponen CTL dapat dilakukan sebagai berikut :

  • Mengembangkan pemikiran siswa untuk melakukan kegiatan belajar lebih bermakna apakah dengan cara bekarja sendiri, menemukan sendiri, dan mengonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan baru yang harus dimilikinya.

  • Melaksanakan sejauh mungkin kegiatan inkuiri untuk semua topik yang diajarkan.

  • Mengembangkan sifat ingin tahu siswa melalui memunculkan pertanyaan-pertanyaan.

  • Menciptakan masyarakat belajar, seperti melalui kegiatan kelompok berdiskusi, Tanya jawab, dan lain sebagainya.

  • Menghadirkan model sebagai contoh pembelajaran, bisa melalui ilustrasi, model, bahkan media yang sebenarnya.

  • Membiasakan anak untuk melakukan refleksi dari setiap kegiatan pembelajaran yang telah dilakuakan.

  • Melakukan penilaian secara objektif, yaitu menilai kemampuan yang sebenarnya pada setiap siswa.

Dalam pembelajaran kontekstual, program pembelajaran merupakan rencana kegiatan kelas yang dirancang oleh guru, yaitu dalam bentuk skenario tahap demi tahap tentang apa yang akan dilakukan bersama siswa selama berlangsungnya proses pembelajaran. Dalam program tersebut harus tercermin penerapan dari ketujuh komponen CTL dengan jelas, sehingga setiap guru memiliki persiapan yang utuh mengenai rencana yang akan dilaksanakan dalam membimbing kegiatan belajar-mengajar di kelas.

Teori Dasar Pendekatan CTL


1.Teori Belajar Bermakna Ausubel

Menurut Ausubel, belajar merupakan asimilasi bermakna. Materi yang dipelajari diasimilasikan dan dihubungkan dengan pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya. Faktor motivasi dan pengalaman emosional sangat penting dalam peristiwa belajar, sebab tanpa motivasi dan keinginan yang kuat dari pihak si belajar, maka tidak akan terjadi asimilasi pengetahuan baru ke dalam struktur kognitif yang dimilikinya. Agar belajar lebih bermakna ( meaningful learning ), maka materi pelajaran diurutkan dari umum ke khusus, dari keseluruhan ke perinci yang sering disebut sebagai subsumptive sequence .

Belajar bermakna merupakan suatu proses mengaitkan informasi baru pada konsep-konsep relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang. Struktur kognitif ialah fakta-fakta, konsep-konsep, dan generalisasi-generalisasi yang telah dipelajari dan diingat oleh siswa. Ausubel dalam Suparno (1997) mengatakan belajar bermakna adalah suatu proses belajar di mana informasi baru dihubungkan dengan struktur pengetahuan yang sudah dipunyai seseorang yang sedang belajar. Belajar bermakna terjadi bila pelajar mencoba menghubungkan fenomena baru ke dalam struktur pengetahuan mereka. Artinya bahan belajar itu harus cocok dengan kemampuan siswa dan harus relevan dengan struktur kognitif yang dimiliki siswa.

2. Teori Belajar Piaget

Menurut Piaget (1951), proses belajar terjadi pada tahap-tahap asimilasi, akomodasi, dan ekuilibrasi (penyeimbangan). Proses asimilasi merupakan proses penyatuan atau pengintegrasian informasi baru ke dalam struktur kognitif yang telah dimiliki oleh individu. Proses akomodasi merupakan proses penyesuaian struktur kognitif ke dalam situasi baru. Adapun proses ekuilibrasi adalah penyesuaian berkeseimbangan antara asimilasi dan akomodasi.

Menurut teori ini pengetahuan tidak hanya sekadar dipindahkan secara verbal tetapi harus dikonstruksi dan direkonstruksi oleh peserta didik. Sebagai realisasi teori ini, maka dalam kegiatan pembelajaran peserta didik haruslah bersifat aktif. CTL adalah sebuah pendekatan pembelajaran aktif yang berorientasi pada pembelajaran yang berpusat pada siswa ( student centered ). Oleh karena itu, dalam upaya meningkatkan kualitas kognitif siswa, maka guru dalam melaksanakan pembelajaran harus lebih ditujukan pada kegiatan pemecahan masalah atau latihan meneliti dan menemukan. Di samping itu, pembentukan otak dengan pengetahuan hafalan dan drill yang berlebihan selain tidak mewujudkan peningkatan perkembangan kognitif yang optimal, juga secara psikologis tidak seimbangnya memfungsikan belahan otak sebelah kiri dengan belahan otak sebelah kanan. Akibatnya pembelajaran tidak tidak dapat memotivasi siswa untuk berpikir secara kreatif dan inovatif.

3. Teori Belajar Vygotsky

Berbeda dengan Piaget yang lebih menekankan aktivitas individu dalam pembentukan pengetahuan. Sumbangan Vygotsky adalah penekanan pada bakat sosio kultural dalam pembelajaran. Menurutnya bahwa pembelajaran terjadi saat anak bekerja dalam zona perkembangan proksimal ( zone of proximal development ). Zona perkembangan proksimal adalah tingkat perkembangan sedikit di atas tingkat perkembangan pada saat ini.

Gagasan penting lain dalam pembelajaran yang diangkat dari teori Vygotsky adalah konsep scaffolding , yaitu memberikan sejumlah bantuan kepada anak pada tahap-tahap awal pembelajaran, kemudian menguranginya sedikit demi sedikit, dan memberi kesempatan kepada anak untuk mengambil alih tanggung jawab tersebut saat mereka dinilai telah mampu. Bantuan tersebut berupa petunjuk, peringatan dorongan, menguraikan masalah pada langkah-langkah pemecahan, memberi contoh, atau hal-hal lain yang memungkinkan siswa tumbuh mandiri.

Sumber : Nurdyansyah, Eni Fariyatul Fahyuni, 2016, Inovasi Model Pembelajaran, Nizamial Learning Center