Model pembelajaran kontekstual (contekstual teaching and learning) merupakan proses pembelajaran yang holistik dan bertujuan membantu siswa untuk memahami makna materi ajar dan mengaitkannya dengan konteks kehidupan mereka sehari-hari.
Adapun pengertian CTL menurut Elaine B. Johnson dalam Rusman (2011) mengatakan pembelajaran kontekstual adalah sebuah sistem yang merangsang otak untuk menyusun pola-pola yang mewujudkan makna dan menghubungkan muatan akademis dengan konteks kehidupan sehari-hari siswa. Jadi, pembelajaran kontekstual adalah usaha untuk membuat siswa aktif dalam memompa kemampuan diri tanpa merugi menetapkan dan mengaitkan dengan dunia nyata.
Warsiti (2011) menyatakan model CTL menerapkan prinsip belajar bermakna yang mengutamakan proses belajar, sehingga siswa dimotivasi untuk menemukan pengetahuan sendiri dan bukan hanya melalui transfer pengetahuan dari guru. Dengan konsep tersebut, hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan mentransfer pengetahuan dari guru ke siswa, strategi pembelajaran lebih dipentingkan daripada hasil.
Pembelajaran di sekolah seharusnya tidak hanya difokuskan pada pemberian (pembekalan) kemampuan pengetahuan yang bersifat teoretis saja, akan tetapi bagaimana agar pengalaman belajar yang dimiliki siswa senantiasa terkait dengan permasalahan- permasalahan aktual yang terjadi di lingkungannya. Dengan demikian, inti dari pendekatan CTL adalah keterkaitan setiap materi atau topik pembelajaran dengan kehidupan nyata.
Konsep Dasar Pembelajaran Kontekstual
Pembelajaran kontekstual (contextual teaching and laerning) atau biasa di sebut dengan model pembelajaran CTL merupakan konsep belajar yang dapat membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat (Nurhadi, 2002).
Sementara itu, Howey R, Keneth, dalam Rusman (2011) mendefinisikan CTL
“Contextual teaching is teaching that enables learning in wich student aploy their academic understanding and abilities in a variety of in-and out of school context to solve simulated or real world problems, both alone and with others”
(CTL adalah pembelajaran yang memungkinkan terjadinya proses belajar di mana siswa menggunakan pemahaman dan kemampuan akademiknya dalam berbagai konteks dalam dan luar sekolah untuk memecahkan masalah yang bersifat simulatif ataupun nyata, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama.
Untuk memperkuat dimilikinya pengalaman belajar yang aplikatif bagi siswa, tentu saja diperlukan pembelajaran yang lebih banyak memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan, mencoba, dan mengalami sendiri (learning to do) . Dengan demikian, pembelajaran akan lebih bermakna, sekolah lebih dekat dengan lingkungan masyarakat (bukan dekat dari segi fisik), akan tetapi secara fungsional apa yang dipelajari di sekolah senantiasa bersentuhan dengan situasi dan permasalahan kehidupan yang terjadi di lingkungannya (keluarga dan masyarakat).
CTL (contextual teaching and learning) merupakan proses pembelajaran yang holistik dan bertujuan membantu siswa untuk memahami makna materi ajar dengan mengaitkannya terhadap konteks kehidupan mereka sehari-hari (konteks pribadi, sosial dan kultural), sehingga siswa memiliki pengetahuan/ketrampilan yang dinamis dan fleksibel untuk mengkonstruksi sendiri secara aktif pemahamannya (Bandono, 2008). Hal ini dipertegas Sanjaya (2006) menyatakan bahwa, ” contextual teaching and learning (CTL) adalah suatu pendekatan pembelajaran yang menekankan proses keterlibatan siswa secara penuh untuk dapat menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi kehidupan nyata sehingga mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan mereka.”
Dari beberapa pendapat tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa pendekatan CTL merupakan pembelajaran yang memungkinkan siswa menerapkan dan mengalami apa yang sedang diajarkan dengan mengacu pada masalah-masalahdunia nyata, sehingga pembelajaran akan menjadi lebih berarti dan menyenangkan.
Pembelajaran kontekstual sebagai suatu model pembelajaran yang memberikan fasilitas kegiatan belajar siswa untuk mencari, mengolah, dan menemukan pengalaman belajar yang lebih bersifat konkret melalui keterlibatan aktivitas siswa dalam mencoba, melakukan, dan mengalami sendiri. Dengan demikian, pembelajaran tidak sekedar dilihat dari sisi produk, akan tetapi yang terpenting adalah proses.
Dalam pembelajaran kontekstual, tugas guru adalah membantu siswa mencapai tujuannya. Tugas guru mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja bersama untuk menemukan sesuatu yang baru bagi anggota kelas (siswa).
Ciri khas CTL ditandai oleh tujuh komponen utama, yaitu :
- Constructivism;
- Inkuiri;
- Questioning;
- Learning Community;
- Modelling;
- Reflection;
-
Autthentic Assesment .
Sebelum melaksanakan pembelajaran dengan menggunakan CTL, guru harus membuat desain/skenario pembelajaran sebagai pedoman umum dan sekaligus sebagai alat kontrol dalam pelaksanaannya. Pada intinya pengembangan komponen CTL tersebut dalam pembelajaran dapat dilakukan melalui langkah- langkah sebagai berikut.
-
Mengembangkan pemikiran siswa untuk melakukan kegiatan belajar lebih bermakna, apakah dengan cara bekerja sendiri, menemukan sendiri, dan mengkonstrusi pengetahuan dan keterampilan baru siswa.
-
Melaksanakan kegiatan inkuiri untuk semua topik yang diajarkan.
-
Mengembangkan sifat ingin tahu melalui pertanyaan-pertanyaan.
-
Menciptakan masyarakat belajar, seperti melalui kegiatan kelompok berdiskusi, tanya jawab, dan lain sebagainya.
-
Menghadirkan contoh pembelajaran melalui ilustrasi, model, bahkan media yang sebenarnya.
-
Membiasakan anak melakukan refleksi setiap kegiatan pembelajaran yang telah dilakukan.
-
Melakukan penilaian secara objektif, yaitu menilai kemampuan yang sebenarnya pada setiap siswa.
Komponen Pembelajaran Kontekstual
Komponen pembelajaran kontekstual meliputi :
-
menjalin hubungan-hubungan yang bermakna (making meaningful connections) ;
-
mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang berarti (doing significant work) ;
-
melakukan proses belajar yang diatur sendiri (self-regulated learning) ;
-
mengadakan kolaborasi (collaborating) ;
-
berpikir kritis dan kreatif (critical and creative thingking) ;
-
memberikan layanan secara individual (nurturing the individual) ;
-
mengupayakan pencapaian standar yang tinggi (reaching high standards) ;
-
menggunakan asesmen autentik (using authentic assessment) (Johnson B. Elaine, 2002).
Pendekatan CTL merupakan pembelajaran yang memungkinkan siswa menerapkan dan mengalami apa yang sedang diajarkan dengan mengacu pada masalah-masalah dunia nyata, sehingga pembelajaran menjadi lebih menyenangkan. Siswa menggunakan pengalaman dan pengetahuannya untuk membangun pengetahuan baru. Dan selanjutnya memanfaatkan kembali pemahaman pengetahuan dan kemampuannya itu dalam berbagai konteks di luar sekolah untuk menyelesaikan masalah dunia nyata yang kompleks, baik secara mandiri maupun dengan berbagai kombinasi dan struktur kelompok.
Prinsip Pembelajaran Kontekstual
CTL sebagai suatu model dalam implementasinya tentu saja memerlukan perencanaan pembelajaran yang mencerminkan konsep dan prinsip CTL. Setiap model pembelajaran, disamping memiliki unsur kesamaan, juga ada beberapa perbedaan tertentu. Hal ini karena setiap model memiliki karakteristik khas tertentu, yang tentu saja berimplikasi pada disesuaikan dengan model yang akan diterapkan.
Ada tujuh prinsip pembelajaran kontekstual yang harus dikembangkan oleh guru, yaitu :
1. Konstruktivisme (Constructivism)
Konstruktivisme merupakan landasan bepikir dalam CTL, yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas. Pengetahuan bukan seperangkat fakta, konsep atau kaidah yang siap umtuk diambil dan diingat. Manusia harus membangun pengetahuan itu memberi makna melalui pengalaman yang nyata.
Nur (2002) menyatakan, menurut teori konstruktivisme, salah satu prinsip yang paling penting dalam psikologi pendidikan adalah bahwa guru tidak hanya sekadar memberikan pengetahuan untuk siswa. Siswa harus membangun sendiri pengetahuan di dalam benaknya. Guru dapat memberikan kemudahan untuk proses ini. Batasan konstruktivisme di atas memberikan penekanan bahwa konsep bukanlah tidak penting sebagai bagian integrasi dari pengalaman belajar yang harus dimiliki oleh siswa, akan tetapi bagaimana dari setiap konsep atau pengetahuan yang dimiliki siswa itu dapat memberikan pedoman nyata terhadap siswa untuk diaktualisasikan dalam kondisi nyata.
Hasil belajar sebagai bentuk nyata dari adanya proses pembelajaran dipengaruhi beberapa faktor. Clark dalam Sudjana (2013) mengungkapkan bahwa hasil belajar siswa di sekolah 70% di pengaruhi oleh kemampuan siswa dan 30% dipengaruhi oleh lingkungan. Kedua faktor tersebut saling mempengaruhi dalam proses belajar individu sehingga menentukan kualitas hasil belajar. Menurut Rifa’I dan Anni (2011) faktor-faktor yang memberikan kontribusi terhadap proses dan hasil belajar adalah kondisi internal dan eksternal peserta didik. Kondisi internal mencakup kondisi fisik, seperti kesehatan organ tubuh, kondisi psikis, kemampuan intelektual, emosional, dan kondisi sosial. Kondisi eksternal adalah kondisi yang ada di lingkungan peserta didik.
2. Menemukan (Inkuiri)
Menemukan, merupakan kegiatan inti dari CTL, melalui upaya menemukan akan memberikan penegasan bahwa pengetahuan dan keterampilan serta kemampuan-kemampuan lain yang diperlukan bukan dari hasil mengingat seperangkat fakta-fakta, tetapi merupakan hasil menemukan sendiri. Kegiatan pembelajaran yang mengarah pada upaya menemukan, telah lama diperkenalkan pula dalam pembelajaran inkuiri and discovery (mencari dan menemukan). Proses inkuiri merupakan proses investigasi dengan mencari kebenaran dan pengetahuan yang memerlukan pikiran kritis, kreatif dan menggunakan intuisi. Dampak pengajaran model inkuiri dideskripsikan sebagai berikut.
Gambar Dampak Model Inkuiri Ilmiah (Joyce dan Weil, 2003)
Model pembelajaran inkuiri melibatkan dan memberi kesempatan peserta didik untuk mengembangkan keingintahuannya dan melakukan eksplorasi menyelidiki suatu fenomena (Ridwan Abdul Sani, 2013). Vygotsky (Slavin, 2009) menegaskan bahwa pembelajaran terjadi apabila anak-anak belajar menangani tugas- tugas yang belum dipelajari namun tugas-tugas itu berada dalam jangkauan kemampuannya (zone of proximal development). Scaffolding, yaitu pemberian bantuan pada anak selama tahap-tahap awal pembelajaran kemudian mengurangi dan memberikan kesempatan kepada anak untuk mengambil tanggung jawab yang semakin besar setelah anak dapat melakukannya. Pembelajaran inkuiri terbimbing (guided inkuiri) adalah zona intervensi di mana petunjuk dan bantuan khusus diberikan untuk membimbing siswa dalam mengumpulkan informasi untuk menyelesaikan tugasnya kemudian sedikit demi sedikit dikurangi sesuai dengan perkembangan pengalaman siswa.
John Dewey (Kuhlthau, 2007) menjelaskan pendidikan bukan sekedar memberitahu dan diberitahu tapi sebuah sebuah proses aktif dan konstruktif. Menurutnya pembelajaran sebagai proses kreatif dari penyelidikan, dimulai dengan usulan karena informasi baru yang menimbulkan pertanyaan atau masalah. Siswa melalui refleksi secara aktif informasi baru untuk membentuk ide-ide mereka sendiri melalui proses pembelajaran yang secara bertahap menyebabkan pemahaman mendalam. Untuk menumbuhkan kebiasaan siswa secara kreatif agar bisa menemukan pang alaman belajarnya sendiri, berimplikasi pada strategi yang dikembangkan oleh guru.
3. Bertanya (Questioning)
Unsur lain menjadi karakteristik utama CTL adalah kemampuan dan kebiasaan untuk bertanya. Pengetahuan yang dimiliki seseorang selalu bermula dari bertanya. Oleh karena itu, bertanya merupakan strategi utama dalam CTL. Penerapan unsur bertanya dalam CTL harus difasilitasi oleh guru, kebisaan siswa untuk bertanya atau kemampuan guru dalam mengunakan pertanyaan yang baik akan mendorong pada peningkatan kualitas dan produktivitas pembelajaran.
Dalam implementasi CTL, pertanyaan yang diajukan oleh guru atau siswa harus dijadikan alat atau pendekatan untuk menggali informasi atau sumber belajar yang ada kaitannya dengan kehidupan nyata (Muchith, 2008). Dengan kata lain, tugas bagi guru adalah membimbing siswa melalui pertanyaan yang diajukan untuk mencari dan menemukan kaitan antara konsep yang dipelajari dalam kaitan dengan kehidupan nyata. Proses yang terjadi setelah guru bertanya pada peserta didik diilustrasikan dalam bagan berikut (Martin, dkk, 1994).
Gambar Bagan Alir Kegiatan Bertanya
Guru harus memiliki kemampuan bertanya tingkat lanjut, yaitu kemampuan mengajukan pertanyaan untuk mengembangkan dan meningkatkan kemampuan berpikir kognitif dan evaluasinya. Melalui penerapan bertanya, pembelajaran akan lebih hidup, akan mendorong proses dan hasil pembelajaran yang lebih luas dan mendalam, dan akan banyak ditemukan unsur-unsur terkait yang sebelumnya tidak terpikir oleh guru maupun oleh siswa.
Oleh karena itu, cukup beralasan jika dengan pengembangan bertanya produktivitas pembelajaran akan lebih tinggi karena dengan bertanya, maka:
- Dapat menggali informasi, baik administrasi maupun akademik;
- Mengecek pemahaman siswa;
- membangkitkan respons siswa;
- Mengetahui sejauh mana keingintahuan siswa;
- Mengetahui hal-hal yang diketahui siswa;
- Memfokuskan perhatian siswa;
- Membangkitkan lebih banyak lagi pertanyaan dari siswa; dan
- Menyegarkan kembali pengetahuan yang telah dimiliki siswa (Ridwan Abdullah Sani, 2013).
4. Masyarakat Belajar (Learning Community)
Manusia diciptakan sebagai makhluk individu sekaligus sebagai makhluk sosial. Hal ini berimplikasi pada ada saatnya seseorang berkerja sendiri untuk mencapai tujuan yang diharapkan, namun disisi lain tidak bisa melepaskan diri ketergantungan dengan pihak lain. Penerapan learning community dalam pembelajaran di kelas akan banyak bergantung pada model komunikasi pembelajaran yang dikembangkan oleh guru. Di mana dituntut keterampilan dan profesionalisme guru untuk mengembangkan komunikasi banyak arah (interaksi), yaitu model komunikasi yang yang bukan hanya hubungan antara guru dengan siswa atau sebaliknya, akan tetapi secara luas dibuka jalur hubungan komunikasi pembelajaran antara siswa dengan siswa lainnya (Muslich, 2007).
Kebiasaan penerapan dan pengembangan masyarakat belajar dalam CTL sangat memungkinka dan dibuka dengan luas memanfaatkan masyarakat belajar lain di luar kelas. Setiap siswa semestinya dibimbing dan diarahkan untuk mengembangkan rasa ingin tahunya melalui pemanfaatan suber belajjar dengan luas yang tidak hanya disekat oleh masyarakat belajar di dalam kelas, akan tetapi sumber manusia lain di luar kelas (keluarga dan masyarakat) . Ketika kita dan siswa dibiasakan untuk memberikan pengalaman yang luas pada orang lain, maka saat itu pula kita atau siswa akan mendapatkan pengalaman yang lebih banyak dari komunitas lain.
5. Pemodelan (Medelling)
Perkembangan ilmu pemgetahuan dan teknologi serta rumitnya permasalahan hidup yang dihadapi secara tuntutan siswa yang semakin berkembang dan beranekaragam, telah berdampak pada kemampuan guru yang memiliki kemampuan lengkap, dan ini yang sulit dipenuhi. Oleh karena itu, maka kini guru bukan lagi satu- satunya sumber belajar begi siswa, karena dengan segala kelebihan dan keterbatasan yang dimiliki oleh guru akan mengalami hambatan untuk memberikan pelayanan sesuai dengan keinginan dan kebutuhan siswa yang cokup heterogen. Oleh karena itu, tahap pembuatan model dapat dijadikan alternatif untuk mengembangkan pembelajaran siswa bisa memenuhi harapan siswa secara menyeluruh, dan membantu mengatasi keterbatasan yang dimiliki oleh para guru (Muslich, 2007)
6. Refleksi (Reflection)
Refleksi adalah cara berpikir tentang apa yang terjadi atau baru saja dipelajari. Dengan kata lain refleksi adalah berpikir ke belakang tentang apa-apa yang sudah dilakukan di masa lalu, siswa mengendapkan apa yang baru dipelajarinya sebagai struktur pengetahuan yang baru yang merupakan pengayaan atau revisi dari pengetahuan sebelumnya. Pada saat refleksi, siswa diberi kesempatan untuk mencerna, menimbang, membandingkan, menghayati, dan melakukan diskusi dengan dirinya sendiri (learning to be).
Pengetahuan yang bermakna diperoleh dari suatu proses yang bermakna pula, yaitu melalui penerimaan, pengolahan dan pengendapan, untuk kemudian dapat dijadikan sandaran dalam menanggapi terhadap gejala yang muncul kemudian. Melalui model CTL, pengalaman belajar bukan hanya terjadi dan dimiliki ketika seseorang siswa, berada di dalam kelas, akan tetapi jauh lebih penting dari itu adalah bagaimana membawa pengalaman belajar tersebut ke luar dari kelas, yaitu pada saat ia dituntut untuk menanggapi dan memecahkan permasalahan nyata yang dihadapi sehari-hari (Muchith, 2008). Kemampuan untuk mengaplikasikan pengetahuan, sikap, dan keterampilan pada dunia nyata yang dihadapinya akan mudah diaktualisasikan manakala pengalaman belajar itu telah terinternalisasi dalam setiap jiwa siswa dan di sinilah pentingnya menerapkan unsur refleksi pada setiap kesempatan pembelajaran.
7. Penilaian Sebenarnya (Authentic Assessment)
Tahap terakhir dari pembelajaran kontekstual adalah melakukan penilaian. Penilaian sebagai bagaian integral dari pembelajaran memiliki fungsi yang amat menentukan untuk mendapatkan informasi kualitas proses dan hasil pembelajaran melalui penerapan CTL. Penilaian adalah proses pengumpulan berbagai data dan informasi yang bisa memberikan gambaran atau petunjuk terhadap pengalaman belajar siswa. Dengan terkumpulnya berbagai data informasi yang lengkap sebagai perwujudan dari penerapan penilaian, maka semakin akurat pula pemahaman guru terhadap proses dan hasil pengalaman belajar setiap siswa.
Guru dengan cermat akan mengetahui kemajuan, kemunduran, dan kesulitan siswa dalam belajar, dengan itu guru akan memiliki kumudahan melakukan upaya-upaya perbaikan dan penyempurnaan proses bimbingan belajar selanjutnya. Dengan cara tersebut, guru secara nyata akan mengetahui tingkat kemampuan siswa yang sebenarnya.
Proses pembelajaran dengan menggunakan CTL harus mempertimbangkan karakteristik-karakteristik :
- Kerja sama;
- Saling menunjang;
- Menyenangkan dan tidak membosankan;
- Belajar dengan bergairah;
- Pembelajaran terintegrasi;
- Menggunakan berbagai sumber;
- Siswa aktif;
-
Sharing dengan teman;
- Siswa kritis guru kreatif;
- Dinding kelas dan lorong-lorong penuh dengan hasil karya siswa (peta-peta, gambar, artikel);
- Laporan kepada orang tua bukkan hanya rapor, tetapi hasil karya siswa, laporan hasil praktikum, karangan siswa, dan lain-lain. (Depdiknas, 2002)
Dalam pembelajaran kontekstual, program pembelajaran merupakan rencana kegiatan kelas yang dirancang oleh guru, yaitu dalam bentuk skenario tahap demi tahap tentang apa yang akan dilakukan bersama siswa selama berlangsungnya proses pembelajaran. Dalam program tersebut harus tercermin penerapan dari ketujuh komponen CTL dengan jelas, sehingga setiap guru memiliki persiapan yang utuh mengenai rencana yang akan dilaksanakan dalam membimbing kegiatan belajar-mengajar di kelas.
Tabel Perbedaan Pembelajaran Kontekstual dengan Konvensional
PENDEKATAN KONTEKSTUAL |
PENDEKATAN KONVENSIONAL |
Siswa secara aktif terlibat dalam proses pembelajaran. |
Siswa penerima informasi secara pasif. |
Siswa belajar dari teman melalui kerja kelompok, diskusi, dan saling mengoreksi. |
Siswa belajar secara individu. |
Pembelajaran dikaitkan dengan kehidupan nyata dan atau masalah yang disimulasikan. |
Pembalajaran abstrak dan teoritis. |
Perilaku dibangun atas kesadaran diri. |
Perilaku dibangun atas kebiasaan. |
Keterampilan dikembangkan atas dasar pemahaman. |
Keterampilan dikembangkan atas dasar latihan. |
Hadiah untuk perilaku baik adalah kepuasan. |
Hadiah untuk perilaku baik adalah pujian atau nilai (angka) rapor. |
Seseorang tidak melakukan yang jelek karena dia sadar hal itu keliru dan merugikan. |
Seseorang tidak melakukan yang jelek karena takut hukuman. |
Bahasa diajarkan dengan pendekatan komunikatif, siswa menggunakan bahasa dalam konteks nyata. |
Bahasa diajarkan dengan pendekatan struktural; rumus diterangkan sampai paham, kemudian dilatihkan ( drill ). |
Pemahaman rumus dikembangkan atas dasar skemata yang sudah ada dalam diri siswa. |
Rumus itu ada diluar diri siswa, yang harus diterangkan, diterima, dihafalkan, dan dilatihkan. |
Pemahaman rumus itu relatif berbeda antara siswa yang satu dengan lainnya sesuai dengan skemata siswa ( on going process of development ). |
Rumus adalah kebenaran absolut (sama untuk semua orang). Hanya ada dua kemungkinan, yaitu pemahaman rumus yang salah atau benar. |
Siswa diminta bertanggung jawab memonitor dan mengembangkan pembelajaran mereka masing-masing. |
Guru adalah penentu jalannya proses pembelajaran. |
Penghargaan terhadap pengalaman siswa sangat diutamakan. |
Pembelajaran tidak memperhatikan pengalaman siswa. |
Hasil belajar diukur dengan berbagai cara: proses bekerja, hasil karya, penampilan, rekaman, tes, dan lain-lain. |
Hasil belajar diukur hanya dengan tes. |
Pembelajaran terjadi di berbagai tempat, konteks, dan setting . |
Pembelajaran hanya terjadi di kelas. |
Penyesalan adalah hukuman dari perilaku jelek. |
Sanksi adalah hukuman dari perilaku jelek. |
Perilaku baik berdasar motivasi intrinsik. |
Perilaku baik berdasar motivasi ekstrinsik. |
Seseorang berperilaku baik karena yakin itulah yang terbaik dan bermanfaat. |
Seseorang berperilaku baik karena dia terbiasa melakukan begitu. Kebiasaan ini dibangun dengan hadiah yang menyenangkan. |
Sumber: Ditjen Dikdasmen (2003).
Perbedaan mendasar program pembelajaran konstekstual dan konvensional terletak pada penekanannya, di mana pada model konvensional lebih menekankan pada deskripsi tujuan yang akan dicapai (jelas dan operasional), sementara program pembelajaran CTL lebih menekankan pada skenario pembelajarannya, yaitu kegiatan tahap demi tahap yang dilakukan oleh guru dan siswa dalam upaya mencapai tujuan pembelajaran yang diharapkan.
Skenario Pembelajaran Kontekstual
Sebelum melaksanakan pembelajaran dengan menggunakan CTL, tentu saja terlebih dahulu guru harus membuat desain (skenario) pembelajarannya, sebagai pedoman umum dan sekaligus sebagai alat kontrol dalam pelaksanaannya. Pada intinya pengembangan setiap komponen CTL dapat dilakukan sebagai berikut :
-
Mengembangkan pemikiran siswa untuk melakukan kegiatan belajar lebih bermakna apakah dengan cara bekarja sendiri, menemukan sendiri, dan mengonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan baru yang harus dimilikinya.
-
Melaksanakan sejauh mungkin kegiatan inkuiri untuk semua topik yang diajarkan.
-
Mengembangkan sifat ingin tahu siswa melalui memunculkan pertanyaan-pertanyaan.
-
Menciptakan masyarakat belajar, seperti melalui kegiatan kelompok berdiskusi, Tanya jawab, dan lain sebagainya.
-
Menghadirkan model sebagai contoh pembelajaran, bisa melalui ilustrasi, model, bahkan media yang sebenarnya.
-
Membiasakan anak untuk melakukan refleksi dari setiap kegiatan pembelajaran yang telah dilakuakan.
-
Melakukan penilaian secara objektif, yaitu menilai kemampuan yang sebenarnya pada setiap siswa.
Dalam pembelajaran kontekstual, program pembelajaran merupakan rencana kegiatan kelas yang dirancang oleh guru, yaitu dalam bentuk skenario tahap demi tahap tentang apa yang akan dilakukan bersama siswa selama berlangsungnya proses pembelajaran. Dalam program tersebut harus tercermin penerapan dari ketujuh komponen CTL dengan jelas, sehingga setiap guru memiliki persiapan yang utuh mengenai rencana yang akan dilaksanakan dalam membimbing kegiatan belajar-mengajar di kelas.
Teori Dasar Pendekatan CTL
1.Teori Belajar Bermakna Ausubel
Menurut Ausubel, belajar merupakan asimilasi bermakna. Materi yang dipelajari diasimilasikan dan dihubungkan dengan pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya. Faktor motivasi dan pengalaman emosional sangat penting dalam peristiwa belajar, sebab tanpa motivasi dan keinginan yang kuat dari pihak si belajar, maka tidak akan terjadi asimilasi pengetahuan baru ke dalam struktur kognitif yang dimilikinya. Agar belajar lebih bermakna ( meaningful learning ), maka materi pelajaran diurutkan dari umum ke khusus, dari keseluruhan ke perinci yang sering disebut sebagai subsumptive sequence .
Belajar bermakna merupakan suatu proses mengaitkan informasi baru pada konsep-konsep relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang. Struktur kognitif ialah fakta-fakta, konsep-konsep, dan generalisasi-generalisasi yang telah dipelajari dan diingat oleh siswa. Ausubel dalam Suparno (1997) mengatakan belajar bermakna adalah suatu proses belajar di mana informasi baru dihubungkan dengan struktur pengetahuan yang sudah dipunyai seseorang yang sedang belajar. Belajar bermakna terjadi bila pelajar mencoba menghubungkan fenomena baru ke dalam struktur pengetahuan mereka. Artinya bahan belajar itu harus cocok dengan kemampuan siswa dan harus relevan dengan struktur kognitif yang dimiliki siswa.
2. Teori Belajar Piaget
Menurut Piaget (1951), proses belajar terjadi pada tahap-tahap asimilasi, akomodasi, dan ekuilibrasi (penyeimbangan). Proses asimilasi merupakan proses penyatuan atau pengintegrasian informasi baru ke dalam struktur kognitif yang telah dimiliki oleh individu. Proses akomodasi merupakan proses penyesuaian struktur kognitif ke dalam situasi baru. Adapun proses ekuilibrasi adalah penyesuaian berkeseimbangan antara asimilasi dan akomodasi.
Menurut teori ini pengetahuan tidak hanya sekadar dipindahkan secara verbal tetapi harus dikonstruksi dan direkonstruksi oleh peserta didik. Sebagai realisasi teori ini, maka dalam kegiatan pembelajaran peserta didik haruslah bersifat aktif. CTL adalah sebuah pendekatan pembelajaran aktif yang berorientasi pada pembelajaran yang berpusat pada siswa ( student centered ). Oleh karena itu, dalam upaya meningkatkan kualitas kognitif siswa, maka guru dalam melaksanakan pembelajaran harus lebih ditujukan pada kegiatan pemecahan masalah atau latihan meneliti dan menemukan. Di samping itu, pembentukan otak dengan pengetahuan hafalan dan drill yang berlebihan selain tidak mewujudkan peningkatan perkembangan kognitif yang optimal, juga secara psikologis tidak seimbangnya memfungsikan belahan otak sebelah kiri dengan belahan otak sebelah kanan. Akibatnya pembelajaran tidak tidak dapat memotivasi siswa untuk berpikir secara kreatif dan inovatif.
3. Teori Belajar Vygotsky
Berbeda dengan Piaget yang lebih menekankan aktivitas individu dalam pembentukan pengetahuan. Sumbangan Vygotsky adalah penekanan pada bakat sosio kultural dalam pembelajaran. Menurutnya bahwa pembelajaran terjadi saat anak bekerja dalam zona perkembangan proksimal ( zone of proximal development ). Zona perkembangan proksimal adalah tingkat perkembangan sedikit di atas tingkat perkembangan pada saat ini.
Gagasan penting lain dalam pembelajaran yang diangkat dari teori Vygotsky adalah konsep scaffolding , yaitu memberikan sejumlah bantuan kepada anak pada tahap-tahap awal pembelajaran, kemudian menguranginya sedikit demi sedikit, dan memberi kesempatan kepada anak untuk mengambil alih tanggung jawab tersebut saat mereka dinilai telah mampu. Bantuan tersebut berupa petunjuk, peringatan dorongan, menguraikan masalah pada langkah-langkah pemecahan, memberi contoh, atau hal-hal lain yang memungkinkan siswa tumbuh mandiri.
Sumber : Nurdyansyah, Eni Fariyatul Fahyuni, 2016, Inovasi Model Pembelajaran, Nizamial Learning Center