Konsep modal sosial muncul dari pemikiran bahwa anggota masyarakat tidak mungkin dapat secara individu mengatasi berbagai masalah yang dihadapi. Diperlukan adanya kebersamaan dan kerjasama yang baik dari segenap anggota masyarakat yang berkepentingan untuk mengatasi masalah tersebut.
Pemikiran seperti inilah yang pada awal abad ke 20 mengilhami seorang pendidik di Amerika Serikat bernama Lyda Judson Hanifan untuk memperkenalkan konsep modal sosial pertama kalinya. Dalam tulisannya berjudul ‘The Rural School Community Centre’ (Hanifan, 1916:130)
Hanifan mengatakan modal sosial bukanlah modal dalam arti biasa seperti harta kekayaan atau uang, tetapi lebih mengandung arti kiasan, namun merupakan aset atau modal nyata yang penting dalam hidup bermasyarakat. Menurut Hanifan, dalam modal sosial termasuk kemauan baik, rasa bersahabat, saling simpati, serta hubungan sosial dan kerjasama yang erat antara individu dan keluarga yang membentuk suatu kelompok sosial.
Sekalipun Hanifan telah menggunakan istilah modal sosial hampir seabad yang lalu, istilah tersebut baru mulai dikenal di dunia akademis sejak akhir tahun 1980an. Pierre Bourdieu, seorang sosiolog Perancis kenamaan, dalam sebuah tulisan yang berjudul “The Forms of Capital” (1986) mengemukakan bahwa untuk dapat memahami struktur dan cara berfungsinya dunia sosial perlu dibahas modal dalam segala bentuknya, tidak cukup hanya membahas modal seperti yang dikenal dalam teori ekonomi. Penting juga diketahui bentuk-bentuk transaksi yang dalam teori ekonomi dianggap sebagai non-ekonomi karena tidak dapat secara langsung memaksimalkan keuntungan material. Dalam setiap transaksi modal ekonomi selalu disertai oleh modal immaterial berbentuk modal budaya dan modal sosial. Bourdieu menjelaskan perbedaan antara modal ekonomi, modal budaya dan modal sosial, dan menggambarkan bagaimana ketiganya dapat dibedakan antara satu sama lain dilihat dari tingkat kemudahannya untuk dikonversikan.
Modal ekonomi, menurut Bourdieu, memang dengan mudah dapat dikonversikan ke dalam bentuk uang, dan dapat dilembagakan dalam bentuk hak kepemilikan. Tetapi dalam kondisi tertentu modal budaya juga dapat dikonversikan menjadi modal yang memiliki nilai ekonomi, dan dapat dilembagakan, seperti kualifikasi pendidikan. Demikian pula modal sosial dalam kondisi tertentu dapat dikonversikan ke dalam modal ekonomi dan bahkan dapat dilembagakan dalam bentuk gelar kesarjanaan. Sekalipun diperoleh melalui perguruan tinggi yang sama dan dalam jangka waktu pendidikan yang sama, masing-masing gelar kesarjanaan dengan bidang keahlian yang berbeda memiliki “nilai jual ekonomi” yang berbeda. Bahkan gelar kesarjanaan dalam bidang sama tetapi diperoleh dari perguruan tinggi yang berbeda akan mengandung nilai ekonomi yang berbeda. Seorang tamatan perguruan tinggi yang memiliki nilai akreditasi tinggi pada umumnya akan lebih mudah mendapat pekerjaan dengan penghasilan yang lebih besar dibandingkan dengan seorang tamatan perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta yang rendah nilai akreditasinya.
Bertolak dari pola pikir tersebut maka Bourdieu mendefinisikan modal sosial sebagai keseluruhan sumberdaya baik yang aktual maupun potensial yang terkait dengan kepemilikan jaringan hubungan kelembagaan yang tetap dengan didasarkan pada saling kenal dan saling mengakui. Dengan kata lain, dengan menjadi anggota dari suatu kelompok orang akan memperoleh dukungan dari modal yang dimiliki secara kolektif. Selanjutnya ia mengatakan bahwa besarnya modal sosial yang dimiliki seorang anggota dari suatu kelompok tergantung pada seberapa jauh kuantitas maupun kualitas jaringan hubungan yang dapat diciptakannya, serta seberapa besar volume modal ekonomi, budaya dan sosial yang dimiliki oleh setiap orang yang ada dalam jaringan hubungannya (Bourdieu, 1986: 249).
Modal sosial atau social capital sudah diperkenalkan Lyda Judson Hanifan dalam sebuah tulisan tentang keberhasilan seorang kepala sekolah membangun rasa kebersamaan dalam sebuah komunitas masyarakat, sehingga kemajuan tidak hanya dicapai oleh anak didik tetapi juga oleh warga masyarakat dalam berbagai bidang kehidupan. Dalam tulisan tersebut Hanifan bukan hanya sekedar memperkenalkan istilah dan memberi definisi terhadap istilah tersebut tetapi juga jelas menunjukkan suatu pemikiran yang konseptual tentang strategi pengembangan modal sosial dalam masyarakat. Pendekatan terhadap masalah yang ditunjukkannya memang kelihatan lebih bersifat praktis dan sederhana sehingga mudah dipahami oleh kalangan pembaca pada umumnya.
Sementara pemikiran Bourdieu ini, karena sebelumnya disampaikan dalam bahasa Perancis dan lebih bersifat gagasan filosofis dan teoritis, hanya terbatas dikenal di kalangan akademisi, tidak menjangkau kalangan pembaca yang lebih luas. Oleh karena itu konsep modal sosial yang digagasnya tetapi tinggal sebagai bahan wacana di dunia perguruan tinggi.
Sementara Pierre Bourdieu lebih menekankan pada pemahaman, teoritik James Coleman menuangkan gagasan pemikiran tentang modal sosial berdasarkan hasil-hasil penelitian (Coleman 1988, 1990) dan disusul kemudian oleh tulisan-tulisan Robert Putnam (1983, 1985) dan Francis Fukuyama (1995). Melalui tulisan-tulisan mereka konsep modal sosial mulai mendapat perhatian besar dari berbagai kalangan. Baik sebagai sebuah pendekatan teoritis yang baru untuk memahami dinamika suatu masyarakat maupun sebagai alat yang efektif untuk membantu percepatan perbaikan kondisi ekonomi, terutama pada masyarakat di negara-negara berkembang.
Coleman dalam sebuah tulisan yang berjudul “Social Capital in the Creation of Human Capital” (1988) memperkenalkan modal sosial sebagai sarana konseptual untuk memahami orientasi teoritis tindakan sosial dengan mengaitkan komponen-komponen dari perspektif sosiologi dan ekonomi. Dengan cara demikian ia menggunakan prinsip-prinsip dalam ilmu ekonomi untuk menganalisis proses sosial. Coleman membahas bagaimana modal sosial terbentuk dan menyoroti modal sosial dalam tiga bentuk yang berbeda.
Dengan menggunakan data yang berasal dari sebuah penelitian mengenai siswa di sebuah sekolah menengah, ia menggambarkan bagamana modal sosial (social capital) berperan dalam menciptakan modal manusia (human capital) dengan cara memperlihatkan apa yang berlangsung dalam keluarga dan masyarakat dalam proses perkembangan pendidikan anak-anak. Sebuah contoh yang jelas dalam hal ini adalah bagaimana pentingnya keterlibatan orang tua murid dan para guru dalam wadah POMG untuk bersama-sama membahas langkah-langkah terbaik guna meningkatkan kemajuan anak didik.
Coleman berpendapat bahwa pengertian modal sosial ditentukan oleh fungsinya. Sekalipun sebenarnya terdapat banyak fungsi modal sosial tetapi ia mengatakan bahwa pada dasarnya semuanya memiliki dua unsur yang sama, yakni:
- modal sosial mencakup sejumlah aspek dari struktur sosial, dan
- modal sosial memberi kemudahan bagi orang untuk melakukan sesuatu dalam kerangka struktur sosial tersebut.
Ia memberi penekanan terhadap dua aspek dari struktur sosial yang sangat penting dalam memudahkan tercipta dan berkembangnya modal sosial dalam berbagai bentuk.
-
Pertama, aspek dari struktur sosial yang menciptakan pengungkungan dalam sebuah jaringan sosial yang membuat setiap orang saling berhubungan sedemikian rupa sehingga kewajiban-kewajiban maupun sanksi-sanksi dapat dikenakan kepada setiap orang yang menjadi anggota jaringan itu.
-
Kedua, adanya organisasi sosial yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan bersama.
Selanjutnya Coleman mengidentifikasi tiga unsur utama yang merupakan pilar modal sosial.
-
Pertama, kewajiban dan harapan yang timbul dari rasa kepercayaan dalam lingkungan sosial. Ia mengambil contoh sistem arisan yang populer dalam masyarakat di banyak negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Sistem arisan yang dilakukan oleh sekelompok orang yang memiliki hubungan pertemanan, tetangga atau kekerabatan merupakan sebuah contoh yang jelas tentang bagaimana pentingnya arti kepercayaan.
-
Pilar kedua modal sosial menurut Coleman adalah pentingnya arus informasi yang lancar di dalam struktur sosial untuk mendorong berkembangnya kegiatan dalam masyarakat. Arus informasi yang tidak lancar cenderung menyebabkan orang menjadi tidak tahu atau ragu-ragu sehingga tidak berani melakukan sesuatu.
-
Pilar ketiga adalah norma-norma yang harus ditaati dengan sanksi yang jelas dan efektif. Tanpa adanya seperangkat norma yang disepakati dan dipatuhi oleh segenap anggota masyarakat maka yang muncul adalah keadaan anomie dimana setiap orang cenderung berbuat menurut kemauan sendiri tanpa merasa ada ikatan dengan orang lain. Juga tidak ada mekanisme untuk menjatuhkan sanksi karena tidak ada norma yang disepakati bersama berkaitan dengan sanksi tersebut.
Dengan demikian pengembangan modal sosial pada dasarnya ditujukan untuk membangun ketiga pilar yang dimaksudkan Coleman itu.
Coleman lebih mengembangkan lagi pemikirannya tentang modal sosial melalui sebuah karya besarnya yang terbit dua tahun kemudian dengan judul Foundations of Social Theory (Coleman, 1990). Dalam bukunya itu Coleman mengatakan antara lain bahwa modal sosial, seperti halnya modal ekonomi, juga bersifat produktif. Tanpa adanya modal sosial seseorang tidak akan bisa memperoleh keuntungan material dan mencapai keberhasilan lainnya secara optimal. Sebagaimana modal -modal lainnya, seperti modal fisik dan modal manusia, modal sosial tidak selalu memberi manfaat dalam segala situasi, tetapi hanya terasa manfaatnya dalam situasi tertentu. Suatu bentuk modal sosial bisa bermanfaat untuk memudahkan seseorang melakukan tindakan dalam suatu situasi, tetapi dalam situasi lain tidak ada gunanya dan bahkan bisa menimbulkan kerugian.
Untuk memahami pemikiran Coleman tersebut dapat diberikan contoh sebagai berikut. Seseorang yang memiliki modal sosial berupa hubungan baik dengan seorang pejabat atau penguasa bisa memperoleh keuntungan berupa materi atau perlindungan dari pejabat atau penguasa itu. Tetapi apabila kemudian situasi berubah modal sosial semacam itu justru bisa berbalik merugikannya. Orang-orang yang berseberangan paham politik dengan pejabat itu pasti tidak akan memberikan kesempatan padanya untuk mendapat keuntungan dalam bentuk apapun, bahkan dalam situasi tertentu bisa mencelakakannya. Paling tidak ia akan dikucilkan dan tidak akan mendapat kepercayaan di dalam jaringan hubungan lain yang para anggotanya tidak menyenangi pejabat tersebut. Dalam literatur yang muncul belakangan (Portes, 1997) sisi modal sosial yang mengandung ciri eksklusivisme disebut downside social capital.
Pemikiran Coleman dalam dua karyanya tersebut menjadi titik tolak bagi para pakar lain untuk menjelaskan pentingnya peranan modal sosial dalam berbagai aspek kehidupan. Akan tetapi adalah Robert Putnam yang paling berhasil mempopulerkan konsep modal sosial kepada berbagai kalangan pembaca, baik di dunia akademis, para praktisi sosial, media massa, maupun kalangan pembaca pada umumnya.
Dalam bukunya Making Democracy Work: Civic Traditions in Modern Italy (1993: 36) Putnam mendefinisikan modal sosial sebagai 'features of social organisation, such as networks, norms, and trust, that facilitate co-ordination and co-operation for mutual benefit,’ ciri-ciri organisasi sosial, seperti jaringan, norma- norma, dan kepercayaan yang memudahkan koordinasi dan kerjasama untuk mendapatkan manfaat bersama.
Definisi ini paling mudah dipahami kalangan masyarakat luas dibandingkan dengan definisi Bourdieu maupun Coleman yang lebih berbobot akademis. Putnam menganggap modal sosial sebagai seperangkat hubungan horizontal antara orang-orang. Maksudnya modal sosial terdiri dari “networks of civic engagements” jaringan keterikatan sosial yang diatur oleh norma- norma yang menentukan produktivitas suatu kelompok masyarakat atau komunitas. Jadi, menurut Putnam, ada dua hal yang merupakan asumsi dasar dari konsep model sosial, yakni adanya jaringan hubungan dengan norma-norma yang terkait, dan keduanya saling mendukung guna mencapai keberhasilan di bidang ekonomi bagi orang-orang yang termasuk dalam jaringan tersebut.
Berdasarkan hasil penelitiannya yang dilaporkan dalam buku tersebut Putnam menyimpulkan modal sosial yang berwujud norma-norma dan jaringan keterkaitan merupakan prakondisi bagi perkembangan ekonomi. Selain itu juga merupakan prasyarat yang mutlak diperlukan bagi terciptanya tata pemerintahan yang baik dan efektif. Ada tiga alasan penting bagi Putnam untuk mengatakan demikian.
-
Pertama, adanya jaringan sosial memungkinkan adanya koordinasi dan komunikasi yang dapat menumbuhkan rasa saling percaya di antara sesama anggota masyarakat.
-
Kedua, kepercayaan (trust) memiliki implikasi positif dalam kehidupan bermasyarakat. Hal ini dibuktikan dengan suatu kenyataan bagaimana keterkaitan orang-orang yang memiliki rasa saling percaya (mutual trust) dalam suatu jaringan sosial memperkuat norma-norma mengenai keharusan untuk saling membantu.
-
Ketiga berbagai keberhasilan yang dicapai melalui kerjasama pada waktu sebelumnya dalam jaringan ini akan mendorong bagi keberlangsungan kerjasama pada waktu selanjutnya. Lebih jauh Putnam mengatakan bahwa modal sosial bahkan dapat menjembatani jurang pemisah antara kelompok-kelompok yang berbeda ideologi dan memperkuat kesepakatan tentang pentingnya pemberdayaan masyarakat.
Kebenaran pendapat Putnam yang terakhir ini antara lain didukung oleh sebuah fakta empirik tentang bagaimana pemerintah di Polandia berhasil menghimpun para pakar dan pengusaha tanpa memandang ideologi untuk membangun negara pada masa pasca komunisme.
Sebagaimana dikemukakan Sztompka (1999), berbeda dengan negara-negara Eropa Timur lain yang melakukan “dekomunikasi” atau pembersihan pemerintahan dari unsur-unsur pengikut paham komunisme, pemerintah Polandia justru menunjukkan kemauan politik yang baik dan melupakan pertentangan ideologi masa lampau. Seluruh lapisan masyarakat yang memiliki kemampuan pemikiran dan material tanpa memandang ideologi diajak dan diberi kepercayaan untuk bersama -sama membangun negara. Dengan dikesampingkannya perbedaan ideologi maka pemerintah dan masyarakat Polandia lebih berpeluang untuk berkonsentrasi dalam membangun ekonomi. Kasus Polandia ini memperlihatkan bahwa modal sosial berupa kepercayaan dan jaringan hubungan antara pemerintah dan seluruh lapisan masyarakat merupakan salah satu kunci utama bagi kelancaran pelaksanaan pembangunan ekonomi.
Pentingnya kepercayaan dalam mencapai kesejahteraan ekonomi merupakan sorotan utama dalam kajian yang dilakukan Francis Fukuyama, seorang pakar sosiologi Amerika keturunan Jepang kelahiran Chicago. Dalam karyanya Trust: The Social Virtues and the Creation of Prosperity (1995), mengatakan kondisi kesejahteraan dan demokrasi serta daya saing suatu masyarakat ditentukan oleh tingkat kepercayaan antara sesama warga.
Bertolak dari karya pakar modal sosial sebelumnya, terutama James Coleman, Fukuyama menggunakan konsep kepercayaan untuk mengukur tingkat modal sosial. Ia berpendapat modal sosial akan menjadi semakin kuat apabila dalam suatu masyarakat berlaku norma saling balas membantu dan kerjasama yang kompak melalui suatu ikatan jaringan hubungan kelembagaan sosial.
Fukuyama menganggap kepercayaan itu sangat berkaitan dengan akar budaya, terutama yang berkaitan dengan etika dan moral yang berlaku. Karena itu ia berkesimpulan bahwa tingkat saling percaya dalam suatu masyarakat tidak terlepas dari nilai-nilai budaya yang dimiliki masyarakat bersangkutan.
Berdasarkan penelitiannya di beberapa negara di Asia, seperti Cina dan Jepang, Fukuyama menemukan bahwa untuk mencapai keberhasilan ekonomi diperlukan adanya organisasi-organisasi ekonomi berskala besar dan korporasi yang demokratis. Namun, menurut pendapatnya, kelembagaan itu baru dapat berfungsi secara baik apabila terdapat cukup perhatian terhadap pentingnya peranan kebiasaan-kebiasaan dalam budaya tradisional. Peraturan, kontrak, dan rasionalitas ekonomi semata tidak cukup menjamin stabilitas dan kesejahteraan masyarakat secara merata. Diperlukan adanya nilai-nilai resiprositas, tanggungjawab moral, kewajiban terhadap masyarakat dan kepercayaan yang lebih didasarkan pada adat kebiasaan daripada perhitungan rasional.
Selanjutnya masih dalam bukunya tersebut Fukuyama mengatakan bahwa kepercayaan muncul apabila masyarakat sama-sama memiliki seperangkat nilai -nilai moral yang memadai untuk menumbuhkan perilaku jujur pada warga masyarakat. Kelangsungan hidup organisasi dan kelembagaan besar ekonomi juga ditentukan oleh masyarakat sipil (civil society) yang sehat dan dinamis, yang pada gilirannya tergantung pula pada adat kebiasaan dan etika, sebagai hal-hal yang hanya bisa terbentuk secara tidak langsung dengan adanya kemauan untuk itu, serta adanya kesadaran yang semakin besar dan penghargaan terhadap budaya.
Bertitik tolak pada keyakinan bahwa nilai-nilai budaya yang berkaitan dengan kepercayaan pada suatu bangsa merupakan faktor penentu perkembangan ekonomi negara bersangkutan, akhirnya Fukuyama sampai pada pembedaan bangsa-bangsa dalam dua kategori.
-
Kategori pertama adalah bangsa-bangsa yang memiliki tingkat kepercayaan yang rendah (low-trust society) dalam nilai budayanya. Masyarakat seperti ini sulit untuk dapat mengembangkan usaha-usaha yang berskala besar karena dalam nilai budayanya tingkat kepercayaan terbatas pada lingkungan keluarga atau familistik. Di luar lingkungan keluarga itu kepercayaan sulit ditumbuhkan. Fukuyama menyebut Cina, Perancis dan Korea sebagai contoh-contoh masyarakat yang memiliki nilai budaya kepercayaan rendah.
-
Sebaliknya, bangsa-bangsa telah lebih dahulu berhasil menjadi kekuatan ekonomi besar dunia, seperti Amerika Serikat, Jepang dan Jerman, menurut Fukuyama, adalah berkat masyarakatnya memiliki nilai budaya kepercayaan yang tinggi (high trust society).
Tetapi tesis Fukuyama tentang keterkaitan antara nilai budaya tradisional dengan tingkat kepercayaan ini barangkali hanya merupakan salah satu faktor saja dalam menjelaskan perkembangan dan kemajuan ekonomi yang dialami suatu bangsa.
Faktor-faktor lainnya, seperti adanya kemauan politik yang juga disinggung Fukuyama, tingkat pendidikan dan pengalaman kosmopolitan yang membawa pergeseran nilai budaya di kalangan generasi yang lebih muda, bisa juga menjadi faktor pendorong perkembangan ekonomi pada bangsa-bangsa tertentu. Cina, khususnya Taiwan, dan Korea Selatan, yang dikategorikan Fukuyama sebagai bangsa-bangsa yang memiliki nilai budaya kepercayaan rendah atau low-trust society, ternyata juga berhasil menjadi kekuatan ekonomi besar, dengan produk- produk di bidang elektronika, komputer dan otomotif yang turut merajai pasaran dunia.
Keinginan untuk terus menerus mencapai hasil terbaik (need for achievement, n-Ach) sebagai faktor pendorong kemajuan ekonomi seperti yang dikemukakan McClelland (1961) dapat digunakan untuk menjelaskan kemajuan ekonomi spektakuler yang dicapai Taiwan sejak dua dekade belakangan ini.
Sementara itu, kemauan politik dan tekad pemerintah untuk memacu pertumbuhan ekonomi masyarakat, seperti yang ditunjukkan oleh Presiden Park Chung-Hee dari Korea Selatan melalui program Saemaul Undong atau Gerakan Komunitas Baru (Saemaul Undong in Korea, 1983) merupakan salah satu faktor penentu lainnya. Kerajinan, kemandirian dan kerjasama (dilligent, self-help and cooperation) sebagai tiga prinsip dasar yang didorong untuk ditumbuhkan dalam masyarakat melalui Gerakan tersebut sejak awal tahun 1970an, telah memberi kontribusi penting bagi bangkitnya Korea Selatan sebagai kekuatan ekonomi dunia.
James Coleman, Robert Putnam dan Francis Fukuyama merupakan tokoh-tokoh yang pemikirannya telah mendorong para pakar lainnya untuk melakukan pengkajian mengenai peranan modal sosial dalam berbagai bidang, seperti politik dan pemerintahan, pelayanan umum, transaksi ekonomi, pendidikan, kesehatan, rekrutment tenaga kerja, pertanian, pengelolaan sumber air, pengentasan kemiskinan, dan sebagainya.
Kajian-kajian yang telah dilakukan kemudian dijadikan sebagai titik tolak dalam mengembangkan berbagai unsur pokok modal sosial, seperti jaringan hubungan, norma-norma sosial, kepercayaan dan kemauan untuk saling berbalas kebaikan (resiprositas) guna meningkatkan kualitas dari bidang-bidang tersebut. Para pakar yang muncul belakangan melalui berbagai tulisannya berusaha menetapkan lebih lanjut kerangka konseptual bagaimana bentuk operasionalisasi modal sosial dengan menetapkan berbagai kriteria yang dapat digunakan untuk mengukur kondisi modal sosial pada suatu kelompok masyarakat.
Dengan adanya alat pengukur ini maka kemudian dapat dilakukan langkah-langkah intervensi yang diperlukan untuk meningkatkan kualitas modal pada kelompok masyarakat tersebut.
Dimensi-dimensi Modal Sosial
Bain dan Hicks (dikutip dalam Krishna dan Shradder, 2000) mengajukan dua dimensi modal sosial sebagai kerangka konseptual untuk mengembangkan alat pengukur tingkat keberadaan modal sosial.
-
Dimensi pertama yang disebutnya dimensi kognitif, berkaitan dengan nilai-nilai, sikap dan keyakinan yang mempengaruhi kepercayaan, solidaritas dan resiprositas yang mendorong ke arah terciptanya kerjasama dalam masyarakat guna mencapai tujuan bersama. Setiap kelompok etnik sebenarnya memiliki dimensi kognitif – atau bisa juga disebut sebagai dimensi kultural - ini, sekalipun dalam kadar yang berbeda. Ada yang kaya dengan nilai-nilai budaya sebagai modal sosial yang memungkinkan terpeliharanya hubungan yang harmonis, baik sesama warga masyarakat secara internal maupun dengan orang-orang dari kelompok sukubangsa atau etnik yang berbeda. Sementara kelompok etnik tertentu lebih menekankan nilai-nilai solidaritas dan kerjasama dalam kelompok sendiri dan secara tradisional tidak memiliki pedoman untuk berinteraksi secara baik dengan kelompok lain.
Pada nilai-nilai budaya yang dimiliki kelompok masyarakat yang pertama secara tradisional terdapat keseimbangan antara modal sosial yang mengatur keharmonisan dan solidaritas hubungan internal sesama anggota kelompok, yang disebut dengan istilah bonding social capital atau modal sosial pengikat, dengan modal sosial yang memungkinkan terciptanya kerjasama dan hubungan yang saling menguntungkan dengan warga dari kelompok etnik lain, yang disebut dengan istilah bridging social capital atau modal sosial jembatan. Disebut modal sosial jembatan karena menjembatani perbedaan- perbedaan yang terdapat antara kelompok masyarakat yang memiliki nilai-nilai budaya yang berbeda, dengan lebih mengutamakan persamaan yang terdapat pada kedua pihak. Kelompok masyarakat yang secara tradisional kurang memiliki nilai-nilai budaya yang merupakan modal sosial jembatan ini cenderung lebih mementingkan kelompok sendiri, bersifat eksploitatif dan mudah terlibat dalam konflik dengan kelompok lain. Konflik akan lebih mudah lagi terjadi kedua pihak sama-sama tidak memiliki modal sosial jembatan.
-
Dimensi kedua modal sosial adalah dimensi struktural, yang berupa susunan, ruang lingkup organisasi dan lembaga-lembaga masyarakat pada tingkat lokal, yang mewadahi dan mendorong terjadinya kegiatan-kegiatan kolektif yang bermanfaat bagi seluruh warga masyarakat. Dimensi struktural ini sangat penting karena berbagai upaya pembangunan ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat akan lebih berhasil bila dilakukan melalui kelembagaan sosial pada tingkat lokal. Dimensi struktural modal sosial yang secara umum adalah berupa jaringan hubungan dalam kelembagaan mendapat perhatian penting di dalam menelaah pentingnya modal sosial dalam pembangunan ekonomi.
Sumber : Rusydi Syahra, Modal sosial: konsep dan aplikasi, Jurnal Masyarakat dan Budaya, Volume 5 No. 1 Tahun 2003
Referensi
-
Alkire, S., A. Bebbington, T. Esmail, E. Ostrom, M. Polski, A. Ryan, J. Van Domelen, W. Wakeman, dan P. Dongier (2001) “Community Driven Development”. World Bank Draft for Comments.
-
Bourdieu, Pierre 1983 “The Forms of Capital”, dalam J. Richardson, ed. Handbook of Theory and Research for the Sociology of Education. Westport, CT: Greenwood Press.
-
Carroll, Thomas F. (2001) “Social Capital, Local Capacity Building, and Poverty Reduction” (Social Development Papers No. 3, Office of Environment and Social Development, Asian Development Bank)
-
Coleman, James S. (1988) ‘Social capital in the Creation of Human Capital’ American Journal of Sociology 94: S95-S120.
-
Coleman, James S. (1990) Foundations of Social Theory. Cambridge, Mass: Harvard University Press.
-
Edstrom, Judith (2002) Indonesia ’s Kecamatan Development Projec: Is It Replicable? (Social Development Project, The World Bank, Paper No. 39).
-
Fukuyama, Francis (1995) Trust: The Social Virtues and the Creation of Prosperity. New York: The Free Press.
-
Fukuyama, Francis (2001) “Social Capital and Development: The Coming Agenda”. Makalah pada Konperensi “Social Capital and Poverty Reduction In Latin America and The Caribbean: Toward A New Paradigm.”Santiago, Chile, September 24-26, 2001.
-
Gittel, Ross dan J. Phillip Thompson (2001) “ Making Social Capital Work: Social Capital and Community Economic Development” dalam Saegert, Susan, J. Phillip Thompson and Mark R. Warren (eds.) Social Capital and Poor Communities. New York: Russell Sage Foundation, pp. 115-135.
-
Hanifan, L. J. (1916) “The Rural School Community Center”, Annals of the American Academy of Political and Social Science 67: 130-138.
-
Mernissi, Fatema (1997), “Social Capital in Action: The Case of the Ait Iktel Village Association” ”(http://poverty.worldbank.org/library/topic/4294/5033)
-
Ostrom, Elinor (1996) “Crossing the Great Divide: Coproduction, Synergy, and Development.” World Development, Vol. 24, No. 6 (June 1996), 1073-87.
-
Portes, Alejandro dan Patricia Landolt (1996) “The Downside of Social Capital.” The American Prospect 26(May-June): 18-21, 94.
-
Putnam, Robert dengan Robert Leonardi dan Rafaella Nanetti (1993) Making Democracy Work: Civic Traditions in Modern Italy. Princeton, N.J.: Princeton University Press.
-
Putnam, Robert (1993) “The Prosperous Community: Social Capital and
-
Public Life," The American Prospect,13 (Spring 1993): 35-42.
-
Robison, Lindon J., Marcelo E. Siles, dan A. Allan Schmid (2002) “Social Capital and Poverty Reduction: Toward a Mature Paradigm.” Department of Agricultural Economics, Michigan State University: Research Report No. 13. (Revisi dari makalah yang disampaikan dalam konperensi “Social Capital and Poverty Reduction in Latin America and the Caribbean”, 24-26 September 2001, di Santiago, Chile.
-
Saegert, Susan, J. Phillip Thompson and Mark R. Warren, eds. (2001) Social Capital and Poor Communities. New York: Russell Sage Foundation.
-
Soos, Gabor (2001) “Dimensions of Local Government Performance” (Makalah pada Workshop on “Local Autonomy and Local Democracy : Exploring the Link”, Grenoble 6-9 April), Central European University: Tocqueville Research Center.
-
Sztompka, Pyotr (1999) Trust: A Sociological Theory. Cambridge, UK: Cambridge University Press.