Apa yang dimaksud dengan microfoundations?

microfoundations

Microfoundations, secara sederhana, merupakan penggabungan pendekatan mikro dan makro didalam melihat sebuah organisasi.

Gagasan “microfoundations” dapat ditelusuri karena adanya “ketegangan” historis antara disiplin mikro dan makro dalam ilmu sosial. Ketegangan sentral diantara keduanya adalah apakah penjelasan hasil individu dan kolektif harus fokus pada tingkat individu atau sosial dan budaya (Udehn, 2001). Versi debat antara mikro versus makro ini dapat ditelusuri lebih jauh lagi pada debat yang terjadi di awal abad kedua puluh antara Sekolah Historis Jerman dan Sekolah Ekonomi Austria (Caldwell, 2004).

  • Penjelasan makro, di satu sisi, menekankan peran yang dimainkan oleh sejarah, budaya, dan struktur dalam menjelaskan hasil ekonomi,
  • Sedangkan penjelasan mikro, di sisi lain, fokus pada tindakan dan interaksi individu.

Lebih jauh ke belakang, para cendekiawan Scottish Enlightenment pada abad ke delapan belas menekankan bahwa tugas ilmu-ilmu sosial yang muncul adalah untuk menjelaskan fenomena yang merupakan “hasil dari tindakan manusia, tetapi bukan dari desain manusia ( results of human action, but not of human design )” (Ferguson, 1767; juga lihat Hayek, 1945). Sosiologi juga menampilkan debat serupa, yang telah berlangsung lebih dari seratus tahun. Misalnya, perdebatan antara para sarjana yang menganjurkan kolektivisme metodologis versus individualisme metodologis dapat ditelusuri pada perdebatan Emile Durkheim dan Gabriel Tarde (lihat Clark, 1969).

Durkheim terkenal ketika menganjurkan metodologi kolektivis yang menurutnya "fakta sosial harus dipelajari sebagai sesuatu ( social facts must be studied as things ) " (Durkheim, 1962, hal. 39, dalam Rules in Sociological Method , awalnya diterbitkan pada tahun 1895). Sosiologi sebagai suatu disiplin ilmu dibedakan oleh fokus makronya yang unik, dimana Durkheim berargumen bahwa “sifat individu hanyalah “material yang tidak pasti” yang dibentuk dan ditransformasikan oleh faktor sosial (individual natures are merely the indeterminate material that the social factor molds and transforms)” (1962, hlm. 106) — dimana hal tersebut, secara efektif, merupakan lisensi untuk “membuang” faktor manusia secara individu didalam berteori.

Kolektivisme sosiolog awal tentu saja bertentangan dengan metodologis individualisme yang dianjurkan oleh para ilmuwan sosial lain, yang bagi Kolektivisme sosiolog, individu adalah analitis primitif ilmu sosial, dalam arti keyakinan, preferensi, dan minat individu (atau karakteristik demografis) memberikan titik awal untuk berteori (misalnya Coleman, 1986, 1990).

Perdebatan antara “formalis”, individualis, dan “substantivists”, para kolektivis memberikan garis pemisah sentral dalam antropologi sosial dan ekonomi (Hann & Hart, 2011; juga lihat Barth, Gingrich, Parkin, & Silverman, 2005). Melintasi area ilmu-ilmu sosial, metodologis individualisme, tentu saja, berada dalam sejumlah bentuk yang berbeda (Agassi, 1960; Hodgson, 2012; Udehn, 2001, 2002)

Klaim dasar dari individualisme ini adalah untuk menjelaskan fenomena makro membutuhkan setidaknya beberapa referensi atau perhitungan, tindakan dan interaksi individu - apakah bentuknya lemah atau kuat -. Dengan kata lain, secara ideal, penjelasan sosial dalam menguji efek kausal dari konstruksi makro berasal atau dimediasi (dan diaktifkan) oleh tindakan dan interaksi individu (Coleman, 1990).

Microfoundations dapat meningkatkan penelitian teoritis dan empiris dalam manajemen makro, strategi dan teori organisasi (dan pada saat yang sama, menarik peneliti mikro untuk mempertimbangkan hasil yang lebih khas dalam manajemen strategis ). Bukanlah hal yang produktif untuk mengadu pendekatan mikro dan makro satu sama lain. Bagaimanapun, kedua jenis pendekatan — serta pendekatan yang menghubungkan keduanya — tidak diragukan lagi, berperan dalam penjelasan ilmiah tergantung pada disiplin dan orientasi keilmuan seseorang, dan pertanyaan yang diajukan .

How Macro Disciplines Discarded the Micro


Kekhawatiran dengan adanya fenomena di tingkat mikro memainkan peran sentral dalam asal-usul teori manajemen makro. Sebagai contoh, Barnard (1938, p. 139) berargumen bahwa “individu selalu merupakan faktor strategis dasar pada organisasi ( the individual is always the basic strategic factor of organization )”. Sebagian besar, awalnya, teori perilaku perusahaan juga mikrofoundasional, mengacu pada psikologi saat itu (Cyert & March, 1963; March & Simon, 1958). Seperti yang dicatat oleh March beberapa dekade yang lalu, dalam sebuah pernyataan mikrofoundasional yang dituliskan secara eksplisit:

“Komposisi perusahaan tidak diberikan; itu dinegosiasikan. Tujuan perusahaan tidak diberikan; mereka ditawar ( The composition of the firm is not given; it is negotiated. The goals of the firm are not given; they are bargained )”(1962, p. 672).

Namun, seiring waktu, penekanan pada lebih banyak faktor mikro ini hilang (Felin & Foss, 2009). Seperti Gavetti et al. juga mencatat dalam ulasan mereka tentang teori perilaku dalam manajemen makro, " penelitian organisasi telah jauh kurang fokus untuk menghubungkan minat individu dan kognisi dengan tindakan dan keputusan organisasi ( organizational research has been considerably less focused on linking individuals’ interests and cognitions to organizations’ actions and decisions )" (2007, hal. 524). Akibatnya jalur yang dipilih pada manajemen strategis dan teori organisasi sangat terfokus pada faktor-faktor makro, dengan mengorbankan faktor mikro (lihat Felin & Hesterly, 2007).

Sebagai contoh, argumen evolusi dalam strategi (misalnya Nelson & Winter, 1982), dan argumen tingkat populasi dalam teori organisasi (Hannan & Freeman, 1977), pada dasarnya tidak berbicara tentang individu. Penekanan dalam teori organisasi makro , selama dua dekade terakhir, juga sangat menekankan pada lingkungan organisasi (Aldrich, 1999), dalam bentuk teori-teori seperti ketergantungan sumber daya (Pfeffer & Salancik, 1978), dan teori kelembagaan ( institutional theory ) (DiMaggio & Powell, 1991; Meyer & Rowan, 1977).

Teori-teori ini menekankan bagaimana lingkungan organisasi, ditafsirkan secara luas, menuntut kesesuaian dan legitimasi dalam bentuk praktek adopsi dan praktek difusi . Penekanan dalam literatur tersebut, telah benar-benar pada aspek homogenitas organisasi , dibandingkan upaya untuk memahami heterogenitas organisasi (Whetten, Felin, & King, 2009), apalagi peran individu. Baru-baru ini beberapa sosiologi organisasi bahkan berpendapat bahwa gagasan “organisasi” hanyalah sebuah konstruksi sosial dan budaya (Meyer & Bromley, 2013). Dengan demikian, tidak hanya individu memainkan peran yang rendah dalam manajemen makro, tetapi juga gagasan bahawa organisasi sebagai aktor sosial telah hilang dari peneliti organisasi makro (King, Felin, & Whetten, 2010).

Penekanan pada faktor-faktor kolektif, dengan mengorbankan individu, dirangkum dalam transkrip yang diterbitkan pada simposium Academy of Management , 1999, di mana sejumlah cendekiawan strategi makro dan organisasi terkemuka (Howard Aldrich, Dan Levinthal, dan Sid Winter) tampaknya setuju bahwa pertimbangan tingkat individu sama sekali tidak relevan untuk penelitian makro:

“jika kita benar-benar fokus pada rutinitas, kompetensi, praktik, dan sebagainya, kita tidak akan mengikuti orang (individu) lagi dalam penelitian kita. Alih-alih, kami akan mengikuti bagaimana kompetensi menyebar, meniru, dan menyusup diri mereka ke dalam organisasi ( if we truly focused on routines, competencies, practices and so on, we would not follow people anymore in our research. Instead we would follow how competencies spread, replicate, and insinuate themselves into organizations )”(Murmann, Aldrich, Levinthal, & Winter, 2003, hlm. 27).

Senada diuraikan dalam buku Nelson dan Winter, di mana mereka berpendapat lebih jauh bahwa

possession of technical knowledge is an attribute of the firm as a whole, as an organized entity, and is not reducible to what any single individual knows, or even to any simple aggregation of competencies and capabilities of all the various individuals, equipments and installations of the firm. (1982, p. 63)

Yang perlu diperhatikan, asumsi dalam literatur ini adalah bahwa individu adalah homogen dan dengan demikian mereka didistribusikan secara acak ke dalam organisasi secara efektif (Felin & Hesterly, 2007).*

Begitu juga didalam area manajemen strategis, terjadi perberdebatan bahwa pertimbangan tingkat individu sama sekali tidak relevan untuk strategi dan hasil tingkat perusahaan (lihat Henderson & Cockburn , 1994; Kogut & Zander, 1992, 1996; Nahapiet & Ghoshal, 1998; Spender, 1996). Literatur ini menekankan faktor-faktor makro seperti pengetahuan dan kompetensi tingkat perusahaan, modal sosial, jaringan, dan konstruksi kolektif lainnya.

Meskipun tidak bermasalah memasukkan konsep-konsep kolektif dan makro dalam penjelasannya, tetapi menjadi perhatian ketika mengesampingkan pertimbangan tingkat individu, yang pada kenyataannya mungkin mendorong hasil kolektif.

Literatur dan gerakan microfoundations, dapat dilihat sebagai reaksi terhadap penekanan berlebihan pada faktor-faktor kolektif, serta mengabaikan pertimbangan tingkat individu dan interaksi sosial dalam menjelaskan hasil organisasi. Selznick berpendapat bahwa " tidak ada proses sosial yang dapat dipahami kecuali karena terletak dalam perilaku individu " (1996). , hal. 274) dan dia menyerukan suatu bentuk individualisme metodologis untuk memahami bagaimana sebuah institusi berasal dan berkembang.

The Microfoundations Movement


Konsep microfoundations, secara eksplisit dalam konteks strategi dan organisasi, digunakan oleh Lippman dan Rumelt (2003a, 2003b), Foss (2003), Felin dan Foss (2005; juga lihat Felin & Hesterly, 2007), Gavetti (2005), dan Teece (2007).

  • Lippman dan Rumelt (2003b) menyoroti sumber daya individu dalam kerangka teori perundingan ekonomi (economic bargaining theory) untuk memahami bagaimana surplus ekonomi dibagi melalui proses perundingan.

  • Foss (2003) berpendapat bahwa konstruk rutinitas yang penting tidak memiliki microfoundations yang jelas.

  • Felin dan Foss (2005) berpendapat bahwa perspektif strategi kapabilitas yang dominan — strategi serta teori organisasi yang lebih umum — tidak memiliki microfoundations dan memanfaatkan argumen problematis yang berakar pada sebab-akibat makro epifenomenal (fenomena sekunder yang dihasilkan dari dan mendampingi lain…) (lih. Felin & Hesterly, 2007).

  • Gavetti (2005), mengacu pada psikologi kognitif, menyerukan untuk lebih banyak memberikan perhatian pada kognisi manajerial sebagai kemungkinan microfoundations dari penalaran kapabilitas.

  • Teece (2007) menguraikan gagasan kapabilitas dinamis (juga lihat Teece, Pisano, & Shuen, 1997) ke fungsi organisasi tingkat rendah yang membantu dalam merasakan, merebut, dan metransformasi peluang.

  • Grant (1996) menekankan peran individu dalam konteks emerging pandangan berbasis pengetahuan ( knowledge-based view ).

  • Coff (1997, 1999) mengajukan pertanyaan tentang apa makna bidang strategi terhadap keunggulan kompetitif tingkat perusahaan, khususnya ketika penciptaan nilai dan penyesuaian nilai sebenarnya terjadi atas dasar individu dan pemangku kepentingan ?

Meskipun tidak menggunakan label “microfoundations”, makalah-makalah tersebut mengangkat pertanyaan mendasar tentang keunggulan kompetitif tingkat-perusahaan dan organisasi. Bagaimanapun, perusahaan mewakili hubungan kompleks dari berbagai pemangku kepentingan yang bersama-sama menciptakan keunggulan kompetitif yang sesuai.

Ketertarikan peneliti terkait dengan peran individu, terutama manajemen puncak di perusahaan, membuat munculnya domain “strategi perilaku (behavioral strategy)” (Powell et al., 2011).*

Desain organisasi juga memiliki elemen mikrofoundasional (mis. Zenger & Hesterly, 1997). Desain dan struktur organisasi adalah cara untuk dengan sengaja menggambarkan siapa yang berinteraksi dan berkomunikasi dengan siapa, yang memiliki hak keputusan akhir atas apa, serta dengan implikasi yang sesuai untuk masalah seperti agregasi informasi, motivasi anggota organisasi, dan kinerja organisasi (lih. Felin & Zenger, 2011). Sebagai contoh, struktur organisasi yang lebih rata ( flatter )cenderung mendorong eksperimen dan heterogenitas, dan dengan demikian dapat menyebabkan hasil yang menguntungkan dalam konteks inovasi (Foss, 2003).

Microfoundations: Makna dan Artinya


Terdapat dua interpretasi konseptual yang berbeda dari microfoundations , yaitu apa yang kita sebut argumen “ microfoundations as levels ” dan “ microfoundations call for the explanatory primacy of individuals ”.

Dalam argumen “ microfoundations as a levels ”, membangun microfoundations adalah tentang penempatan (secara teoritis dan empiris) penyebab langsung dari suatu fenomena (atau penjelasan tentang suatu hasil luaran) pada tingkat analisis yang lebih rendah daripada fenomena itu sendiri.

Didalaminterpretasi ini, Felin et al. (2012, hal. 1355) mendefinisikan microfoundations sebagai,

… theoretical explanation, supported by empirical examination, of a phenomenon located at analytical level N at time t (Nt). In the simplest sense, a baseline microfoundation for level Nt lies at level N21 at time t21, where the time dimension reflects a temporal ordering of relationships with phenomena at level N21 predating phenomena at level N. Constituent actors, processes, and/or structures, at level N21t21 may interact, or operate alone, to influence phenomena at level Nt. Moreover, actors, processes, and/or structures at level N21t21 also may moderate or mediate influences of phenomena located at level Nt or at higher levels (e.g. N+1t+1 to N+n t+n).

Perhatikan bahwa definisi ini tidak mengatakan bahwa “aktor” adalah individu. Sebagai contoh, karya Teece (2007) tampaknya memiliki penekanan yang sama, di mana ia menyoroti bahwa “

microfoundations of dynamic capabilities … . the distinct skills, processes, procedures, organizational structures, decision rules, and disciplines … . which undergird enterprise-level sensing, seizing, and reconfiguring of capacities that are difficult to develop and deploy ” (hal. 1319).

dimana Teece tidak tidak menyebutkan individu atau aktor sama sekali.

Microfoundations dapat dilihat sebagai dugaan, untuk diverifikasi secara empiris, bahwa perhatian terhadap faktor mikro memang dapat menghasilkan penjelasan fenomena sosial yang lebih baik (atau lebih kaya). Microfoundations, dari perspektif ini, tidak menyangkal bahwa fenomena di tingkat yang lebih tinggi dapat memberikan pengaruh kausal pada fenomena tingkat yang lebih rendah (Coleman, 1990).

Tetapi, microfoundations menegaskan bahwa semua penjelasan fenomena tingkat tinggi seharusnya melibatkan fenomena atau pelaku di tingkat bawah sebagai penyebab langsungnya. Atau, paling tidak: faktor tingkat yang lebih rendah harus dikontrol (bukan hanya dengan asumsi bahwa tingkat yang lebih rendah adalah homogen). Dengan demikian, level yang lebih rendah tidak perlu direduksi menjadi beberapa jenis aktor, tetapi mungkin dapat menjadi hasil dari (misalnya) interaksi sosial juga.

Saat ini, microfoundations, juga berpengaruh pada penelitian multilevel approach.

Pertama , the multilevel approach is largely theoretically agnostic about which level of analysis, a priori, might have the most significant impact in the analysis—suggesting that giving any primacy to a level is an empirical question. From a microfoundations perspective, an assumption is made that analysis and theorizing associated with the more micro can indeed yield significant insights, and a priori theoretical reasoning is developed to justify the need to focus on the micro. Thus, even weak forms of the microfoundations argument would not be satisfied with an explanation that solely focused on macro factors (cf. Abell, Felin, et al., 2014). The presumption is that some insights will always be gained by being attuned to the lower level origins of (or influence on) higher level outcomes.

  • Kedua, the multilevel approach is generally agnostic about the potential directionality of the causal arrows, whether top-down or bottom-up (Kozlowski & Klein, 2000). Indeed, the early variance decomposition studies (e.g. Lieberson & O’Connor, 1972; McGahan & Porter, 1997; Rumelt, 1991; Schmalensee, 1985) provide an example of a multilevel effort that was theory-independent or neutral and simply an effort to see which level of analysis mattered most for performance (e.g. industry, corporate, business, and leadership).

Pertanyaan sentralnya adalah: Level mana yang dapat memberikan landasan teoretis terbaik untuk menjelaskan, katakanlah, varian kinerja ? (lih. Felin & Hesterly, 2007)

Nelson and Winter berpendapat,

theorists should aim to tell the truth in their theorizing, but they cannot aim to tell the whole truth . For to theorize is precisely to focus on those entities and relationships in reality that are believed to be central to the phenomenon observed—and largely ignore the rest. (1982, p. 134)

Pendekatan microfoundations condong ke arah mencari penjelasan mikro yang potensial dari hasil makro yang heterogen , cenderung berfokus pada pengaruh bottom-up , agregasi, dan berbagai bentuk emergence .

Mengapa Menggunakan Microfoundations?


Microfoundations dapat dilakukan karena berbagai alasan. Untuk seorang ekonom terapan yang bekerja dalam manajemen, microfoundations pada dasarnya dapat dikatakan " come naturally " karena ekonomi secara fundamental didasarkan pada versi metodologis individualisme tertentu.

Motivasi lain dari microfoundations adalah keinginan untuk menghindari explanatory black boxes. Konstruks kolektif seperti organisasi secara inheren dapat dibongkar untuk memahami konstituen yang mendasari dan membentuk mereka. Konstituen yang mendasari ini, tentu saja, perlu individu-individu di dalam organisasi — sama pentingnya dengan mereka — dan juga serangkaian proses, rutinitas, dan struktur yang tentu saja juga berperan dalam hasil organisasi.

Penjelasan yang sangat sedikit juga merupakan dorongan penting bagi mikrofoundasi. Seperti yang dijelaskan oleh Lewis (1986, p. 214),

[a]ny particular event that we might wish to explain stands at the end of a long and complicated causal history . We might imagine a world where causal histories are short and simple; but in the world as we know it, the only question is whether they are infinite or merely enormous .

Struktur Microfoundational Explanation
Gambar 1. Struktur Microfoundational Explanation

Angka 1,2,3 dan 4 memberikan perbedaan antara tingkat makro dan tingkat mikro, seperti tingkat organisasi dan tingkat individu. Seperti yang ditunjukkan, ada hubungan antara makro - makro (panah 4) dan makro - mikro (panah 1), mikro - mikro (panah 2), dan mikro - makro (panah 3).

Gambar diatas juga membuat perbedaan — mungkin lebih implisit — antara apa yang harus dijelaskan (yaitu, explanandum ) dan penjelasannya (yaitu explanans ), seperti yang disarankan oleh arah panah. Penjelasan yang berasal dari panah 4 dipandang bermasalah dari perspektif mikrofoundasional (Abell, Felin, & Foss, 2010), karena ini semata-mata menarik kausalitas makro tanpa menarik aktor atau mekanisme yang mendasarinya. Singkatnya, fakta makro perlu dibongkar.

Microfoundations and Micro Disciplines: Similarities and Differences

Pertanyaan sentral yang terkait dengan microfoundations disiplin makro adalah bagaimana microfoundations, mirip atau berbeda dengan, disiplin mikro seperti Organizational Behaviour (OB) dan psikologi organisasi ?

Microfoundations memperluas penelitian mikro karena menekankan tidak hanya pada individu, tetapi individu dalam konteks makro tertentu: perusahaan, organisasi, institusi, dan pasar. Dengan demikian, microfoundations dilihat secara fundamental berkaitan dengan apa yang oleh Heath dan Sitkin (2001) label besar-O (Ob) daripada jenis-B (oB) –jenis penelitian-khusus di mana konteks organisasi, perusahaan, kelembagaan, dan pasar berada di pusat.

Terdapat kesamaan antara microfoundations dan literatur mikro, dimana keduanya berurusan dengan aktor (mis. Perbedaan individu dalam kapabilitas dan kepribadian), interaksi (mis. Kelompok dan tim kecil), mekanisme (mis. Karakteristik tugas dan proses), dan konteks (mis. Iklim organisasi).

Tetapi, secara keseluruhan, gagasan microfoundations, seperti yang berlaku pada pandangan mikro, berada di penghubung aktor, interaksinya, dan mekanisme yang membentuk interaksi tersebut di dalam organisasi atau konteks terkait lainnya (mis. Pasar).

Definisi microfoundations dan kerangka Coleman membantu menyoroti beberapa perbedaan antara microfoundations dan disiplin mikro. Kerangka Coleman yang diilustrasikan dalam Gambar diatas memberikan kerangka meta-teoretis yang “sangat sedikit” untuk memahami ranah mikro, dan bagaimana ia berbeda dari disiplin mikro dan literatur yang berdekatan.

Secara khusus, microfoundations tidak akan ada tanpa adanya pertimbangan pada panah 3. Sebaliknya, literatur mikro fokus, terutama, pada panah 2, dan pada tingkat yang lebih rendah pada panah 1 dan 3. Sementara panah 3 mewakili area di mana mungkin ada persepsi redundansi antara literatur mikro dan microfoundations , tetapi pada kenyataannya literatur mikro jarang mempertimbangkan panah 3 jika hasil sosial dioperasionalkan pada tingkat perusahaan atau yang lebih tinggi, dalam konteks makro.

Dengan demikian, Gambar diatas digunakan untuk membandingkan dan membedakan kerangka kerja microfoundations dengan literatur mikro menurut empat dimensi:

  • Hasil luaran atau Outcomes (hasil sosial pada Gambar 1),
  • Konteks atau Specifying Context (fakta sosial dan panah 1 pada Gambar 1),
  • Level (lapisan pada Gambar 1) , dan
  • Emergence (panah 3 pada Gambar 1).

1. Hasil luaran atau Outcomes

Microfoundations pada dasarnya menjelaskan tentang heterogenitas dalam hasil sosial dan perbedaan dalam keunggulan kompetitif, hasil luarannya juga berada pada tingkat yang lebih tinggi (Barney & Felin, 2013; Felin & Foss, 2005; Molina-Azorin, 2014). Hasil tersebut berada di strategis unit bisnis, perusahaan, pasar, klaster industri, atau tingkat kelompok kompetitif. Oleh karena itu hasil luaran Microfoundations dapat ditemukan di tingkat makro (mis. Hasil sosial pada Gambar di atas).

Sebaliknya, sebagian besar literatur mikro menekankan hasil yang ada pada tingkat kelompok kecil dan individu. Gambar di atas menggambarkannya sebagai tingkat “tindakan individu” atau, jika berlapis, tindakan kelompok kecil.

Hasil yang paling umum dipelajari dalam literatur mikro adalah hasil individu seperti kinerja atau turnover dan hasil kelompok kecil seperti kinerja kelompok atau turnover kolektif.

Hasil-hasil ini tentu saja penting, tetapi tidak dapat diasumsikan bahwa kinerja pekerjaan atau kinerja kelompok kecil diterjemahkan langsung ke heterogenitas, kinerja, dan terutama keunggulan kompetitif perusahaan (atau di tingkat yang lebih tinggi) (misalnya Ployhart, 2012; Schneider, Smith, & Sipe, 2000; Whetten et al., 2009).

Ada juga penelitian tentang kepemimpinan dan tim manajemen puncak yang menggabungkan prinsip-prinsip teoretis Organizational Behaviour (OB) dan psikologi dan menghubungkannya dengan hasil luaran perusahaan (misalnya Hmieleski, Cole, & Baron, 2012; Hutzschenreuter & Horstkotte, 2013; Peter-son, Walumbwa, Byron , & Myrowitz, 2009).

Penelitian ini penting tetapi berbeda dari fokus penelitian microfoundations, yaitu :

  • Pertama, penekanannya biasanya pada prediksi kinerja operasional (mis. Kepuasan dan produktivitas pelanggan) daripada keunggulan kompetitif (lihat Ployhart, Nyberg, Reilly, & Maltarich, 2014).

  • Kedua , logika teoritis yang mendasarinya sebagian besar mengambil pendekatan “lebih banyak lebih baik” di mana peningkatan X diharapkan akan meningkatkan Y (Ployhart et al., 2014). Logika ini bertentangan dengan penekanan pada diferensiasi yang sangat penting bagi literatur strategi (Dierickx & Cool, 1989; Wernerfelt, 1984).

Bukanlah hal yang sederhana untuk menerapkan konstruksi mikro (misalnya kepribadian dan kepuasan kerja) atau proses interaksi (misalnya kohesi dan kepercayaan) untuk hasil keunggulan kompetitif karena perbedaan substansial dalam konteks, level, dan emergence (untuk argumen yang lebih umum tetapi terkait) , lihat Whetten et al.,

2. Specifying Context

Istilah “konteks” sering digunakan untuk mengoperasionalkan fakta sosial di bidang manajemen. Konteks juga sering digunakan sebagai sanggahan untuk semua argumen yang dianggap terlalu reduksionis dan terfokus pada individu. Tetapi konteks, tentu saja, dapat mengambil banyak bentuk, seperti pasar, lingkungan ekonomi, atau organisasi.

Diperlukan spesifikasi yang lebih cermat terkait dengan konteksnya: Siapa yang termasuk dalam konteks, tugas atau faktor lingkungan apa, bentuk interaksi potensial apa, dll?

Pertanyaan-pertanyaan ini sering dibiarkan tidak terselesaikan, dan dengan demikian membuat “konteks” tetap bersifat abstrak dan tidak spesifik (Johns, 2006). Secara keseluruhan, konteks seharusnya tidak hanya menjadi latar belakang penelitian microfoundations, konteks juga harus diletakkan di latar depan .

Dalam penelitian mikro, tingkat konteks yang lebih tinggi (tingkat organisasi, pasar, lembaga) biasanya tersirat atau diasumsikan. Sebagai contoh, Porter dan Schneider (2014, p. 16) mencatat:

“What we know about groups, leadership, motivation, and the like seems limited without more direct focus on the internal organizational context as the setting for behavior?”

Dengan demikian, tampak bahwa meskipun istilah “organisasi” dalam OB atau psikologi organisasi, tetapi tidak ada banyak perhatian yang secara eksplisit memasukkan konteks organisasi ke dalam penelitian mikro, apalagi konteks pasar (Cappelli & Sherrer, 1991; Heath & Sitkin, 2001; Whetten et al., 2009).

Fokus microfoundations adalah memindahkan konteks makro dari latar belakang ke latar depan, dan dengan melakukan hal tersebut, menawarkan peluang yang berarti untuk meneliti peneltian topik mikro dari perspektif yang baru.

3. Levels

Seperti pada fenomena alam dan sosial, organisasi disusun dalam sistem hierarkis (Von Bertalanffy, 1969). Organisasi yang lebih datar tentu memiliki level yang lebih sedikit, tetapi sebagian besar penelitian mengakui beberapa kombinasi level individu, kelompok kecil, subunit, organisasi, dan antar-organisasi (Hitt et al., 2007; Mathieu & Chen, 2011).

Untuk tujuan strategi, membongkar faktor di tingkat individu yang terkait dengan individu akan memberikan satu titik awal untuk menganalisis hasil di tingkat makro (Barney & Felin, 2013; Felin & Foss, 2005). Penelitian microfoundations tidak perlu turun di bawah tingkat individu mengingat penekanannya pada hasil di tingkat makro.

4. Emergence (Interaction)

Microfoundations concerns tentang bagaimana aktor, interaksinya, dan mekanisme serta konteks yang memengaruhi interaksi tersebut, dimana hal-hal tersebut akan menghasilkan tingkat heterogenitas kolektif dan tingkat perusahaan (panah 1 - 3 pada Gambar 1). Ini adalah pertanyaan inheren yang melintasi beberapa level intervensi antara makro dan mikro .

Kerangka kerja microfoundations membantu mendefinisikan dan mengoperasionalkan berbagai bentuk emergence, mulai dari komposisi (agregasi berdasarkan kesamaan) hingga kompilasi (agregasi berdasarkan perbedaan komplementer).

Kerangka kerja microfoundations telah membantu mengarahkan perhatian teoritis pada mekanisme yang mendasari agregasi (mis. Harrison & Klein, 2007), dan mengarahkan perhatian empiris pada metodologi untuk menguji agregasi dan emergence (mis. Bliese, 2000; LeBreton & Senter, 2007).

Secara keseluruhan, gagasan " emergence " tetap menjadi kabur dan dengan demikian masih ada peluang bagi disiplin mikro dan makro untuk secara cermat menentukan aktor apa yang mendasarinya, mekanisme sosial, bentuk agregasi, dan interaksi yang mengarah pada emergent outcomes .

Penting untuk dicatat bahwa meskipun gerakan microfoundations telah banyak berdampak pada disiplin makro seperti strategi dan teori organisasi, ia juga menerima beberapa pushback dari para peneliti di bidang makro (misalnya Hodgson & Knudsen, 2012; Jacobides & Winter, 2012; Jepperson & Meyer , 2011; Pentland, 2011; Winter, 2011, 2013).

Barney dan Felin (2013) mengorganisasikan kritik yang ada pada microfoundations di bawah empat kesalahpahaman (yang saling terkait dengan erat):

  • bahwa microfoundations hanyalah upaya untuk memperkenalkan (atau bahkan mengemas kembali) OB dan disiplin mikro lainnya ke dalam bidang strategi,

  • bahwa microfoundations hanya tentang meminjam konsep dari disiplin ilmu lain atau bidang lain dan menerapkannya ke tingkat makro,

  • bahwa microfoundations mengarah pada kemunduran yang tidak terbatas dan dengan demikian tidak berguna, dan

  • bahwa microfoundations menyangkal peran struktur dan faktor makro.

Menanggapi kritik pertama, konsep microfoundations berada di tempat yang relatif renggang secara konseptual : para peneliti makro mungkin berasumsi bahwa setiap referensi dan pertanyaan yang terkait dengan mikro sudah ditangani oleh disiplin mikro, dan para peneliti mikro juga mengasumsikan bahwa setiap referensi dan pertanyaan terkait dengan makro sudah ditangani oleh disiplin makro. Tapi, menjawab pertanyaan dengan tepat tentang pertanyaan organisasi dan pasar pasti melibatkan unit dan level mikro dan makro.

Secara keseluruhan, kritik tersebut tidak mempengaruhi konsep microfoundations karena gagal untuk mempertimbangkan sifat multilevel dari perusahaan, sehingga memerlukan tautan ke mikro dan makro (lih. Ployhart & Hale, 2014).

Menanggapi kritik kedua , kebanyakan teori dalam manajemen adalah mono-level. Pada dasarnya, membangun teori mikrofoundasional menggunakan berbagai input teoretis, teori-teori tersebut tidak dapat dipisahkan dimana dalam pembangunan teori semacam itu melibatkan setidaknya dua tingkat — panah 3 di kerangka kerja (Gambar 1), sehingga kerangka microfoundations membutuhkan lebih dari sekadar meminjam teori mikro dan menerapkannya pada tingkat yang lebih tinggi .

Menanggapi kritik ketiga , Penjelasan apa pun tentang heterogenitas (mis. Bahwa struktur organisasi tertentu mengarah pada kinerja yang unggul) mengarah ke pertanyaan langsung tentang asal-usul penjelasan itu sendiri (mis. Dari mana struktur itu berasal?).

Microfoundations hampir tidak akan menyarankan para peneliti untuk mereduksi penjelasan, katakanlah, perilaku perusahaan untuk melihatnya hingga tingkatan gen, atau bahkan big bang.

Namun, kami sependapat dengan Coleman (1990) bahwa ada yang disebut poin “natural stopping” untuk jenis reduksi dalam ilmu sosial .

The Empirical Dimension of Microfoundations


Large N Microfoundational Research

Penelitian microfoundational yang mengandalkan metode N dengan jumlah besar, yaitu, metode statistik dalam mencari variasi bersama dan inferensial kausal yang dilakukan secara luas, menghadapi sejumlah masalah dengan tingkat keparahan yang berbeda-beda. Beberapa agak pragmatis, seperti biaya yang dikeluarkan untuk membangun data set skala besar berdasarkan pengambilan sampel yang dilakukan setidaknya dua tingkat. Namun, dalam artikel ini, kami mempertimbangkan masalah yang lebih prinsip yang berasal dari bagaimana menangani penelitian empiris dengan analitis lebih dari satu tingkat.

Untuk menentukan bagaimana faktor-faktor tingkat makro (yaitu tingkat perusahaan) mempengaruhi anteseden di tingkat mikro dan, bagaimana tindakan individu yang dikumpulkan untuk agregasi (atau mungkin menyebabkan) hasil di tingkat yang lebih tinggi, maka data set sampel haruslah longitudinal

Data set tersebut harus menampilkan beberapa mobilitas (untuk mengusir efek pada multiplelevel ) dan mencakup varians yang cukup baik pada level mikro maupun makro, sehingga pengamatan harus matched pada dua tingkat yang berbeda. Hal ini sering dapat menyebabkan masalah.

Masalah pertama berkaitan dengan kriteria pengambilan sampel. Karena pengamatan tingkat makro dan mikro harus matched, pengamatan di tingkat mikro tidak bisa diambil secara acak dari populasi yang lebih besar. Sebaliknya, pengamatan di tingkat mikro secara pasif mengikuti dari sampel pengamatan di tingkat makro. Karena individu tidak secara acak memilih tempat kerja mereka (Felin & Hesterly, 2007), hal ini menimbulkan kekhawatiran mengenai keterwakilan sampel mikro .

Selain itu, pengambilan sampel di tingkat mikro yang dilakukan secara non-acak juga akan “membingungkan” efek langsung dari faktor di tingkat makro pada anteseden tingkat mikro dengan mekanisme seleksi.

Dengan menekankan anteseden dan hasil pada tingkat mikro, penelitian multilevel dapat dilakukan dengan sampel unmatched random di tingkat mikro. Karena faktor di tingkat makro dalam pengaturan ini mewakili faktor kontekstual, maka bias seleksi tidak penting dalam menentukan hubungan di tingkat mikro selama faktor-faktor tersebut dapat dipertanggungjawabkan.

Di sisi lain, melakukan analisis hubungan sebab akibat antara faktor di tingkat mikro dan hasil di tingkat makro mensyaratkan bahwa analisis dasar di tingkat mikro dapat menangkap seluruh varians pada tingkat mikro — misalnya, tidak adanya homogenitas pada tingkat mikro, semua karyawan perusahaan , seluruh tim manajemen puncak atau dewan direksi.

Penekanan pada anteseden dan hasil pada tingkat mikro dan makro merupakan masalah empiris kedua dalam melakukan penelitian mikrofoundasional berdasarkan data set dengan N besar, yaitu invariansi antara faktor di tingkat mikro dan di tingkat makro .

Pengambilan sampel pada tingkat makro berarti bahwa variasi individu dalam faktor-faktor di tingkat mikro tidak dapat secara langsung tercermin dalam hasil di tingkat makro, karena hasil tingkat makro mencerminkan efek gabungan dari banyak anteseden dan tindakan di tingkat individu . Blackbox ini merupakan mekanisme utama yang disoroti oleh microfoundations, yaitu bahwa efek dari faktor di level makro dimediasi melalui tindakan individu. Blackboxing seperti itu berarti bahwa peneliti tidak mengetahui tentang sifat mekanisme yang tepat .

Cara paling sederhana untuk menghubungkan faktor-faktor tingkat mikro dengan pengamatan di tingkat makro, melalui agregasi faktor-faktor yang didasarkan pada rata-rata sederhana .

Analisis berdasarkan pengamatan agregasi di tingkat mikro dapat menunjukkan bahwa ada hubungan antara makro-mikro. Indeks keanekaragaman dapat menjelaskan penyebaran pengamatan tingkat mikro. Namun, indeks keanekaragaman masih tidak secara langsung menangkap efek mikro-ke-makro berdasarkan tindakan individu. Selain itu, analisis mikrofoundasional berdasarkan indeks keanekaragaman mungkin tidak menghasilkan hasil yang dapat ditafsirkan dengan jelas . Singkatnya, ada kekhawatiran serius tentang efektivitas metode N besar tradisional untuk keperluan analisis mikrofoundasional empiris.

Alternative Methods for Empirical Microfoundational Research

Dalam konteks penelitian mikrofoundasional, kami percaya bahwa penelitian dengan N kecil dapat memainkan peran yang kuat. Masalah utamanya adalah bahwa model standar inferensi kausal mengandaikan generalisasi dan metode komparatif (Ragin & Becker, 1992) —keduanya bertentangan dengan N kecil ( di mana N mungkin 1). Solusi untuk masalah ini adalah dengan menggunakan konsep kausalitas singular pada tingkat mikro , yaitu, hubungan kausal yang didukung oleh klaim kausal tunggal (mis. “A melakukan ini karena itu”). Upaya-upaya ini, tentu saja, bersifat mengeksplorasi — dan tidak dapat digeneralisasikan atau diperbandingkan .

Tetapi penjelasan naratif tetap dapat memberikan fungsi yang kuat, baik secara formal (Abell, 2004) ataupun secara khusus. Bahkan hanya dengan satu contoh, seseorang kemudian dapat mengajukan pertanyaan: Seberapa digeneralisasikannya hubungan kausal tunggal yang diberikan?

Pertanyaan seperti itu harus dibedakan secara tajam dari argumen induktif standar di mana generalisasi yang mapan diperlukan untuk membuat inferensial kausal. Sebuah konsep kausalitas tunggal akan memungkinkan penelitian untuk mengakumulasi para peneliti , menggunakan metode yang tepat, menguji sejauh mana mekanisme penjelasan mikro tunggal dapat digeneralisasi.

Penelitian dengan N kecil juga memungkinkan dilakukannya studi “ekstrem”. Penelitian tradisional dengan N besar memerlukan asumsi spesifik, terutama asumsi bahwa data harus terdistribusi secara normal, seringkali mengharuskan data yang sangat bervariasi (atau ekstrem) harus dibuang (McKelvey & Andriani, 2005). Selain itu, penggunaan metode rata-rata juga menambah masalah, di mana level ekstrem yang lebih rendah sebenarnya mungkin menjadi pusat secara teoritis.

Sebaliknya, penelitian dengan N kecil dapat memungkinkan para peneliti untuk fokus pada titik ekstrem, untuk mempelajari (misalnya) bagaimana bakat ekstrem (misalnya mobilitasnya) dapat mempengaruhi hasil organisasi.

Pendekatan tradisional dengan N besar, sekali lagi, didasarkan pada rata-rata, meskipun para peneliti dalam bidang strategi sebenarnya sangat tertarik pada hal yang ekstrem , dan sifat mereka.

Studi kasus dengan N kecil dapat membantu kita lebih memahami bagaimana sifat ekstrem ini, asal usulnya yang layak dan dampaknya terhadap individu dan organisasi lain.

Co-evolution in networks. Pendekatan N besar yang sukses untuk hubungan antara makro dan mikro memperhatikan hubungan antara co-variation pada dua tingkat, sambil menghindari bahaya ecological correlation (yaitu mengkorelasikan korelasi tingkat individu dan kelompok).

Hal ini juga harus mempertimbangkan bahwa tingkat mikro akan hampir selalu melibatkan aktivitas individu yang berinteraksi, bukan independen, secara strategis (mis. Milgrom & Roberts, 1992). Salah satu model mikro tersebut berfokus pada co-evolution in networks (mis. Burk, Steglich, & Snijders, 2007), daripada teknik regresi standar yang membutuhkan kemandirian.

Yang lebih problematis, penekanannya biasanya pada prediksi di tingkat mikro, bukan di tingkat makro, yang akan memerlukan beberapa konsep ringkasan yang menggambarkan distribution of properties of nodes di seluruh jaringan.

Bayesian narratives . Dihadapkan dengan masalah pencocokan kompleksitas mekanisme mikro dengan variasi lintas unit makro, beberapa prosedur penelitian yang lebih inovatif mungkin diperlukan. Dugaan spesifik kami adalah bahwa interaksi studi kasus dipahami sebagai narasi Bayesian yang melibatkan kausalitas tunggal dan simulasi berbasis agen adalah kandidat yang menjanjikan.

Narasi Bayesian mencari bukti sebab akibat melalui subjective counterfactuals — “Saya tidak akan melakukan itu jika itu tidak terjadi”. Pendekatan ini berupaya untuk membangun hubungan sebab akibat sementara dan dapat menyediakan metode untuk membangun studi kasus di tingkat mikro (Abell, 2009).

Narasi dibangun dari jalur naratif yang didorong oleh tindakan / keputusan yang menjelaskan transformasi " the world " dari keadaan awal ke keadaan akhir di sepanjang kronologi “negara-negara” yang terlibat; dalam hal ini, jalur paralel diizinkan.

Pendekatan ini juga dapat menggerakkan kita melampaui pendekatan pilihan rasional, untuk melihat keyakinan dan alasan yang mendasari aktivitas dan perilaku di tingkat mikro dan makro (lihat Boudon, 2003).

Agent-based models . Model berbasis agen mempelajari hasil (makro) yang muncul dari dinamika interaksi secara simultan (pada jaringan / topologi tertentu) agen mikro (termasuk aturan adaptif terhadap lingkungan yang berubah, seringkali Monte Carlo,) (mis. Epstein, 2007).

Studi kasus berbasis naratif dapat memberikan petunjuk yang signifikan untuk pembangunan model simulasi, uji empiris yang merupakan generasi variasi hasil makro. Petunjuknya ada dua.

  • Pertama, jalur naratif paralel mencakup interaksi sekuensial yang simultan, yaitu siapa yang berinteraksi dengan siapa dan dipengaruhi oleh siapa (lih. Macy & Willer, 2002).

  • Kedua, sementara sebagian besar model berbasis agen mengasumsikan beberapa bentuk rasionalitas terbatas sederhana (misalnya aturan tindakan), analisis naratif dapat digunakan untuk menanamkan individu dalam kerangka keputusan / tindakan yang lebih kaya, jika ini diperlukan, untuk memprediksi hasil makro.

Future Research Opportunities


Pertama, pertanyaan sentral dalam strategi dan teori organisasi adalah masalah batas organisasi dan sifat perilaku dalam konteks komparatif, misalnya pasar versus organisasi (lih. Coase, 1937; Williamson, 1975). Secara historis, batasan organisasi telah menjadi “mikroanalitik” dalam arti mencoba membuat prediksi yang spesifik tentang transaksi mana yang akan terjadi dalam perusahaan dan mana yang akan terjadi di pasar.

Kedua, gagasan kapabilitas organisasi atau kompetensi organisasi memberikan peluang penting untuk pekerjaan teoretis di masa depan dalam ranah microfoundations .

Ketiga, penelitian yang menjanjikan di masa depan dalam domain microfoundations berkaitan dengan minat baru-baru ini dalam dasar perilaku organisasi dan pengambilan keputusan.

Keempat terkait berkaitan dengan kebutuhan untuk menggambarkan asal-usul dan sifat tindakan kolektif dan aktor sosial (lih. King et al., 2010).

Terakhir , adalah mempelajari margin pertanyaan-pertanyaan mikro. Di sini, kami menyarankan menggunakan microfoundations sebagai sarana untuk menghubungkan dan berkolaborasi dengan peneliti mikro di bidang OB dan psikologi organisasi.

Sumber : Teppo Felin, Nicolai J. Foss & Robert E. Ployhart, The Microfoundations Movement in Strategy and Organization Theory, 2015, Academy of Management

Berikut adalah penjelasan tambahan terkait dengan pendekatan microfoundations yang ditulis secara apik oleh Jay Barney & Teppo Felin.


Pertanyaan-pertanyaan tentang keutamaan microfoundations dan macrofoundations telah menjadi pusat perhatian dalam ilmu sosial sejak kelahiran bidang ini. Bentuk paling awal dari debat ini fokus pada apakah ilmu sosial harus didasarkan pada metodologis individualisme atau metodologis kolektivisme.

Emile Durkheim (1962, p. 39, 106), sering disebut sebagai bapak ilmu sosial, menganjurkan metodologi kolektivis dan berpendapat bahwa " social facts must be studied as things " dan bahwa " individual natures are merely the indeterminate material that the social factor molds and transforms …”

Metodologi Durkheimian berbeda dengan metodologis individualisme — dan gagasan tentang sifat manusia — dan berpendapat bahwa ilmu sosial, dan sosiologi khususnya, harus berfokus pada faktor sosial dan faktor makro yang lebih tinggi seperti budaya, agama, dan bahkan negara-bangsa.

Kesalahpahaman Tentang Microfoundations


Half-Truth #1: Microfoundations Are Psychology, HR, or Micro-OB

Kesalahpahaman pertama tentang microfoundations adalah bahwa microfoundations adalah tentang individu, dan dengan demikian microfoundations sama dengan disiplin mikro seperti psikologi, sumber daya manusia, atau perilaku organisasi mikro. Artinya, setiap konsep atau teori makro harus direduksi menjadi penjelasan yang berfokus pada individu : karakteristik, kemampuan, pengetahuan, kognisi, atau perilaku mereka.

Secara historis, beberapa ilmuwan sosial berpendapat bahwa semua teori dan konsep makro harus direduksi menjadi individual dan memberikan penjelasan di tingkat individu (untuk tinjauan umum, lihat Udehn, 2002; lih. Elster, 1989).

Pendekatan ini pada dasarnya mengambil perspektif aditif kolektif : Organisasi dan sistem sosial adalah fungsi dari sekumpulan individu yang terkandung di dalamnya.

  • Dari perspektif praktis, kita dapat memahami organisasi dan kinerjanya secara hati-hati dengan menentukan sifat yang tepat dari individu-individu - kepribadian, kemampuan, dan keterampilan mereka - dan mempelajari kinerja organisasi dan sosial dengan cara yang sederhana dan aditif.

  • Dari sudut pandang mikro, ini mencerminkan intuisi dari Schneider (1987) model attraction-selection-attrition perilaku organisasi, di mana organisasi adalah fungsi dari individu yang membentuk mereka.

Microfoundations tidak semata-mata tentang individu. Permasalahan yang muncul ketika kita mereduksi semuanya menjadi individu adalah bahwa hal itu akan mengabaikan interaksi di antara mereka serta konteks organisasi itu sendiri (lih. Whetten, Felin, & King, 2009). Interaksi individu bukan hanya aditif, tetapi dapat mengambil bentuk yang rumit dan mengarah pada hasil agregat yang mengejutkan dan sulit diprediksi berdasarkan pengetahuan bagian-bagian penyusunnya.

Microfoundations menjadi penting karena menekankan pada kebutuhan untuk secara khusus memahami efek unik, interaksi, dan kolektif yang tidak hanya aditif tetapi juga emergent. Oleh karena itu, kita mungkin mencatat bahwa pendekatan “ microfoundations as individual (atau psychology)” tentu memiliki beberapa keutamaan — sehingga menunjukkan bahwa itu adalah “setengah” kebenaran - dalam hal memahami perilaku dan kinerja organisasi.

Pendekatan aditif berusaha untuk setidaknya menentukan dan memahami organisasi dalam salah satu hal “masukan ( input )”, yaitu individu, dibandingkan mendalilkan penyebab makro terkait dengan perilaku individu, sehingga membuatnya langsung melompat ke faktor-faktor makro seperti budaya atau struktur. Dalam beberapa situasi, pendekatan ini, walaupun mungkin terbatas, sebenarnya dapat menghasilkan pemahaman tentang sifat organisasi dan fenomena kolektif.

Untuk memberikan contoh dari bidang ekonomi, model organisasi exit-voice-loyalty Hirschman (1971) pada dasarnya adalah pendekatan tambahan untuk memahami perilaku dan kinerja organisasi. Juga, area seperti pilihan sosial, teori permainan, dan desain mekanisme dalam ekonomi adalah aditif, tetapi mereka tetap memberi kita intuisi yang kuat untuk memahami bagaimana preferensi berkumpul (kolektif) (Arrow, 1951; Sen, 1999). Tetapi model ini tidak memperhitungkan faktor interaksional dan relasional yang dapat mempengaruhi preferensi, pengambilan keputusan kolektif, dan agregasi (Stirling & Felin, 2013).

Dari perspektif strategis, literatur tentang bakat dan mobilitas adalah relevan dan juga dapat dilihat menggunakan perspektif aditif pada organisasi. Bisa jadi dalam beberapa organisasi, dalam konteks tertentu, kinerja suatu organisasi dapat secara relatif dikaitkan langsung dengan bakat orang-orang tertentu dalam organisasi.

Henderson dan Cockburn (1994) membenarkan pendekatan makro mereka, dan asumsi tentang homogenitas modal manusia, dengan berpendapat bahwa “bintang-bintang (individu pilihan)” tidak dapat menjadi sumber keunggulan berkelanjutan karena mereka sesuai dengan marjinal rents mereka. Dengan kata lain, alasan bahwa beberapa cendekiawan memfokuskan secara langsung pada kemampuan kolektif adalah bahwa informasi tentang kemampuan individu tertentu (jika pasar relatif efisien), seperti bintang, kemungkinan besar tersedia secara luas dan dengan demikian individu-individu ini mungkin dapat menyesuaikan dengan rents yang terkait dengan kemampuan mereka.

Dengan demikian kita melihat bahwa agregasi modal manusia bukan hanya aditif, tetapi kita juga harus memberikan perhatian yang cermat pada efek agregat, interaksional, dan efek emergent .

Half-Truth #2: Borrowed Concepts Constitute Microfoundations

Konsep-konsep seperti pembelajaran organisasi, kognisi organisasi, dan identitas organisasi telah dipinjam secara langsung dari anteseden tingkat individu dan literatur yang terkait dengan psikologi. Argumennya, secara kasar, adalah karena individu belajar (misalnya) melalui pengulangan, pengalaman, asosiasi, dan umpan balik lingkungan, maka organisasi juga harus melakukannya.

Para cendekiawan menyebut jenis pekerjaan ini sebagai mikrofoundasional (mis., Eisenhardt et al., 2010; Gavetti, 2005). Sebagai contoh, literatur pembelajaran organisasi memiliki mekanisme yang sama (pengulangan, umpan balik lingkungan, dll) seperti literatur pembelajaran perilaku terkait dengan psikologi (Felin, 2012).

Terkadang konsep-konsep yang dipinjam dari disiplin ilmu lain diberikan nama yang berbeda ketika diterapkan pada tingkat organisasi. Sebagai contoh, konsep " absorptive capacity " (Cohen & Levinthal, 1990) adalah konsep yang dipinjam langsung dari teori pembelajaran stimulus-respon tingkat individu yang berfokus pada pentingnya pengalaman dalam mempelajari dan menyerap informasi (lihat Bower & Hilgard , 1981; Estes, 1970).

Kami tentu berpikir bahwa ada banyak kebajikan untuk meminjam dan menerapkan konsep tingkat individu ke tingkat organisasi. Tetapi ketika konsep-konsep ini dipinjam dari disiplin ilmu yang mikro, seperti psikologi, tindakan meminjam ( borrow ) saja bukan merupakan mikrofoundasi hanya karena konsep tersebut berasal dari disiplin ilmu yang mikro.

Pertanyaan-pertanyaan pentingnya adalah apakah sifat dari konsep-konsep yang dipinjam itu sendiri (dan mekanisme teoretis terkait) perlu berubah ketika diterapkan pada organisasi, manajemen, atau strategi.

Misalnya, bias ada pada individu yang membentuk organisasi, tetapi pertanyaan yang lebih penting adalah bagaimana konsep bias berlaku untuk organisasi, baik secara agregat atau sebagai aktor sosial yang unik (lih. King, Felin, & Whetten, 2010) .

Secara keseluruhan, peminjaman konsep lintas disiplin adalah hal yang wajar untuk bidang terapan seperti manajemen, teori organisasi, dan strategi, namun ada beberapa pertimbangan teoretis unik yang perlu dieksplorasi dengan hati-hati ketika meminjam teori mikro. Hanya dengan merujuk konsep mikro, seperti belajar atau kognisi, tidaklah cukup dan bukan merupakan sebuah microfoundation.

Orang perlu memiliki meta-teori tentang bagaimana konsep itu sendiri perlu mengubah atau mengembangkan agregasi dan interaksi yang diberikan dalam konteks suatu organisasi atau pengaturan sosial lainnya.

Half-Truth #3: Microfoundations Lead to an Infinite Regress

Kesalahpahaman lain tentang microfoundations adalah hal tersebut akan membawa kita pada kemunduran tanpa batas. Yaitu, jika analisis organisasi dan sosial perlu direduksi dengan melihat pada level mikro yang lebih rendah — individu dan interaksinya — lalu ke mana seharusnya reduksi ini akan berhenti?

Haruskah analisis organisasi direduksi melampaui individu menjadi otak atau gen atau mungkin orangtua, leluhur, atau bahkan, katakanlah, big bang ? Kritik ini baru-baru ini dikemukakan oleh Hodgson (2012) dan Winter (2012a; juga lihat Winter, 2013).

Kemunduran tak terbatas menunjukkan hierarki disiplin ilmu, dari ilmu sosial ke psikologi, biologi, kimia, dan fisika (Oppenheim & Putnam, 1958), yang menimbulkan pertanyaan apakah memang ada kemunduran yang tak terbatas atau titik perhentian yang masuk akal dan “fundamental” level ”analisis (lih. Schaffer, 2003).

Kita mungkin mencatat bahwa beberapa cendekiawan dalam manajemen sebenarnya mulai melihat otak dan perannya dalam pengaturan manajerial (misalnya, Lauiroiro-Martinez, Brusoni, & Zollo, 2010; Powell & Puccinelli, 2012; Volk & Kohler, 2012 ). Jika kemajuan dalam ilmu, termasuk ilmu sosial, memang terjadi melalui reduksi (Elster, 1989), apakah ada titik pemberhentian untuk pengurangan ini?

Pertanyaan kemunduran tak terbatas ini tentu saja juga berlaku untuk microfoundations. Sebagai ilustrasi, jika kita mengatakan bahwa seseorang memiliki preferensi atau keterampilan atau kemampuan tertentu, pertanyaan langsungnya adalah “mengapa?” Dari mana kemampuan tingkat individu ini berasal? Kami mungkin secara layak menuntut bahwa penjelasan tentang kapabilitas meluas lebih jauh ke pendidikan seseorang atau bahkan gen orang tua.

Microfoundations, bagaimanapun, tidak selalu menuntut reduksi ekstrem .

Masalah kemunduran yang tak terbatas tentu saja mengandung beberapa kebenaran. Sebagai contoh, setiap titik awal tingkat individu (katakanlah, kemampuan atau keterampilan individu) mungkin memiliki pendahuluan temporal yang cenderung jauh ke belakang ke dalam sejarah kehidupan individu tersebut: pekerjaan yang dimiliki, koneksi dan hubungan yang dia miliki, dan sebagainya. Tetapi bidang manajemen, organisasi, dan strategi juga merupakan disiplin ilmu yang unik dan independen dengan tingkat analisisnya sendiri (lih. King et al., 2010).

Half-Truth #4: Microfoundations Deny the Role of Structure and Institutions

Setengah kebenaran tentang microfoundations adalah bahwa mereka menyangkal peran struktur — dan faktor-faktor makro lainnya seperti budaya, institusi, dan norma — harus berperan dalam analisis organisasi dan sosial (mis., Hodgson, 2012; Winter, 2013). Setengah kebenaran ini terkait dengan setengah kebenaran pertama yang kami diskusikan, bahwa microfoundations menuntut segala sesuatu direduksi menjadi individu.

“Seruan” microfoundations adalah titik metodologis tentang kekuatan dalam melihat unit penyusun tingkat rendah ketika digunakan untuk menjelaskan tingkat analisis yang lebih tinggi. Dengan kata lain, titik yang tepat dari microfoundations adalah secara sistematis melihat asal-usul dan nature di level makro : bagaimana pilihan dan interaksi individu menciptakan struktur, perilaku individu dalam struktur, dan peran individu dalam membentuk evolusi struktur seiring berjalannya waktu (lih. Chwe, 2001).

Microfoundations pada dasarnya menggeser panah sebab akibat dari analisis makro-mikro (atau makro-makro) ke analisis mikro-makro .

Tetapi, tentu saja ada juga ruang dalam penelitian mikro untuk mempelajari dan memahami peran struktur dalam membentuk hasil tingkat individu, makro ke mikro. Dengan kata lain, program microfoundations dapat menerima untuk menentukan hubungan makro-mikro, meskipun microfoundations juga mengakui bahwa individu dan organisasi memiliki pilihan dalam menciptakan dan membentuk lingkungan makro.

Tetapi sebagaimana dibahas lebih lanjut oleh Selznick (1996), fokus makro-makro akan menghalangi kita untuk benar-benar dapat memahami peran yang dimainkan individu — kognisi, persepsi, dan interaksi mereka — dalam menghasilkan, mempertahankan, dan mengubah organisasi.

Complex Aggregation, “Emergence,” and (Reciprocal) Influence

Sementara agregasi aditif yang sederhana bermanfaat untuk memahami beberapa fenomena organisasi dan sosial, agregasi, dalam banyak situasi jauh lebih kompleks karena interaksi sosial, saling ketergantungan, dan adanya pengaruh. Dengan kata lain, individu saling mempengaruhi, dan interaksi mereka dapat mengarah pada hasil agregat yang bisa tidak terduga, mengejutkan, dan emergent . Interaksi sosial dapat mengambil banyak bentuk, yang mengarah ke efek positif dan negatif.

Dengan kata lain, individu akan saling mempengaruhi, dan interaksi mereka dapat mengarah pada hasil agregat yang tidak terduga, mengejutkan, dan emergent. Ada bias umum terhadap aspek-aspek positif dari interaksi sosial (sering disebut “sinergi”)

Additive Aggregation and the Independence of Individuals

Dalam beberapa situasi, agregasi bersifat aditif dan sederhana. Sebagai contoh, beberapa pandangan tentang pasar (market) mengambil perspektif ini , diamana individu bersifat independen satu sama lain, dengan preferensi dan minat mereka sendiri, dan berbagai alat seperti equilibrium-based analysis, game theory, dan pilihan sosial digunakan untuk mempelajari hasil agregat sosial dan interaksi sosial (Arrow, 1951).

Kita tentu tidak memiliki pertengkaran dengan jenis analisis ini, karena cukup kuat untuk membantu kita memahami sejumlah fenomena sosial. Banyak teori organisasi dibangun di atas pandangan aditif kolektif. Misalnya, model attraction-selection-attrition (ASA) Schneider (1987) yang disebutkan sebelumnya adalah upaya untuk menyoroti bagaimana individu memilih diri ke dalam organisasi yang sesuai dengan minat, kemampuan, dan keterampilan mereka (lih. Chatman, 1991; Harrison & Carroll, 2005).

Literatur terkait top management team, juga dapat dilihat sebagai salah satu upaya untuk melihat organisasi sebagai jenis agregat. Fokusnya adalah pada latar belakang, keterampilan, pengalaman, dan pengambilan keputusan dari mereka yang berada di puncak organisasi, dan dengan demikian literatur ini melihat " organisasi sebagai refleksi dari manajer puncaknya " (misalnya, Hambrick & Mason, 1984, hal. 193).

Proses matching individu dan bakat dengan organisasi juga memberikan perspektif yang menarik, sebagian besar aditif pada organisasi dan strategi (Felin & Zenger, 2011; lihat juga Argyres, Felin, Foss, & Zenger, 2012). Penelitian ini berfokus pada bagaimana pemilahan, pemilihan, dan mobilitas individu — dengan kapabilitas heterogen — memengaruhi batas-batas organisasi dan kinerja organisasi.

Perspektif aditif yang hampir serupa pada organisasi juga terbukti dalam literatur tentang strategis modal manusia ( strategic human capital ). Para ahli human capital berpendapat bahwa sumber daya manusia adalah konsep multilevel yang kompleks (Moliterno & Ployhart, 2011), tidak hanya faktor tingkat individu seperti pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan tetapi juga sejumlah faktor sosial seperti modal sosial dan budaya organisasi.

“Emergence” and (Reciprocal) Influence

Emergence merupakan kata yang menarik dalam ilmu sosial (untuk ikhtisar, lihat Sawyer, 2005). Tetapi masalahnya adalah bahwa ketertarikan pada emergence sering mengaburkan penjelasan dengan menyembunyikan mekanisme, proses, dan aktor yang sebenarnya, yang mengarah pada hasil yang emergence.

Emergence bukanlah ex nihilo , sesuatu dari ketiadaan. Kita tetap perlu fokus secara tajam ketika menjelaskan kelompok unsur kehidupan pada unsur-unsur pokok yang mendasarinya, individu-individu yang berinteraksi, termasuk fenomena sosial yang muncul.

Penggunaan kata emergent didasarkan pada gagasan bahwa sifat individu penyusun dan interaksi sosial perlu ditentukan secara hati-hati, interaksi ini juga dapat mengarah pada hasil kolektif yang mengejutkan dan tidak perlu direduksi menjadi individu-individu konstituen.

Misalnya, dapat menggunkaan model of segregation dari Thomas Schelling (1971, 1978). Schelling menunjukkan bagaimana pilihan individu, yang hanya memiliki sedikit preferensi untuk hidup di sebelah seseorang dari ras mereka sendiri, dapat mengarah pada segregasi skala penuh yang tidak terduga, pada tingkat makro.

Agent-based model simulation dalam ilmu sosial, memang, memberikan contoh dan peluang yang baik untuk mempelajari agregasi sosial yang kompleks (untuk tinjauan umum, lihat Macy & Willer, 2002; juga lihat Cederman, 2005).

Pasar ( market ) sering diperlakukan dengan cara aditif, di mana individu tidak saling bergantung satu sama lain, pasar juga dapat memanifestasi menjadi bentuk agregasi yang kompleks dan seringkali mengejutkan (lih. Hayek, 1945). Dengan demikian independensi pelaku pasar dapat menjadi asumsi yang lemah (lih. Fehr & Tyran, 2005).

Sebagai contoh, kami memiliki manifestasi dari berbagai fenomena pasar, seperti bubble , yang merupakan hasil dari agregasi yang kompleks, di mana para agen saling mempengaruhi keyakinan satu sama lain tentang sifat realitas atau nilai aset dan strategi — yang mengarah pada hasil makro yang mengejutkan. Tulip mania dan bubble lainnya juga merupakan manifestasi dari ini, dan telah mengarahkan para cendekiawan untuk mulai melihat fondasi perilaku dan sosial pasar (lih. Porter & Smith, 2003; Shiller, 2003).

Bagi para cendekiawan organisasi dan strategi, masalah agregasi jauh lebih kompleks, mengingat minat kami pada agregat yang jauh lebih besar: organisasi (dan juga ketergantungan variabel seperti keunggulan kompetitif). Yaitu, individu berkumpul untuk tim, kelompok tim, dan organisasi dengan cara nonlinier.

Kesulitan melakukan agregasi dengan skala yang lebih besar ini telah menyebabkan para cendekiawan organisasi dan strategi untuk menggunakan cara pintas seperti memperlakukan organisasi sebagai unitary actor and appealing to “emergent” (but unexplained) collective effects , seperti kapabilitas atau rutinitas organisasi.

Beberapa peneliti telah melewati masalah agregasi dengan cara berfokus pada beberapa individu dalam organisasi, seperti tim manajemen puncak (sifat atau pengalaman mereka). Tetapi penelitian tingkat perusahaan tentu saja sangat penting dalam membantu kita memahami pertanyaan seperti asal usul keunggulan kompetitif, dimana langkah berikutnya yang wajar adalah " unpack " agregat ini untuk memahami bagaimana faktor dan keunggulan organisasi emerge .

Sumber : Jay Barney & Teppo Felin, What are Microfoundations?, The Academy of Management Perspectives, 2013, Vol. 27, No. 2, 138–155. http://dx.doi.org/10.5465/amp.2012.0107