Apa yang dimaksud dengan Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA)?

Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus

Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) merupakan bakteri yang resisten terhadap beberapa kelas antibiotik, sehingga merupakan agen penting dari infeksi nosokomial yang sering dikaitkan dengan peningkatan mortalitas dan biaya kesehatan yang tinggi.

Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) adalah bentuk dari infeksi bakteri yang tahan terhadap berbagai antibiotik, termasuk methicillin, amoxicillin, penicillin, dan oxacillin, sehingga menyulitkan dalam pengobatannya.

Pada awalnya MRSA hanya resisten terhadap antimikroba bercincin b-laktam, namun dalam perkembangannya muncul kekebalan juga terhadap golongan quinolone, aminoglikosida, tetracycline, bahkan vancomycin.

MRSA mengalami resistensi karena adanya perubahan genetik yang disebabkan paparan terapi antibiotik yang tidak rasional. MRSA yang sesungguhnya (true MRSA) dapat didiagnosis dengan pemeriksaan Polymerase Chain Reaction (PCR) atau kultur dengan CHROMagar MRSA.

Meskipun sebagian besar infeksi MRSA tidak serius, tetapi beberapa dapat mengancam jiwa. Dan karena sulitnya mengobati infeksi MRSA dikarenakan resistensi terhadap beberapa antibiotik, MRSA kadang disebut sebagai “ super bug ”.

Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus ( MRSA ) merupakan salah satu agen penyebab infeksi nosokomial yang utama. Bakteri MRSA berada di peringkat keempat sebagai agen penyebab infeksi nosokomial setelah Escherichia coli, Pseudomonas aeruginosa , dan Enterococcus (Howard et al , 1993) .

Lebih dari 80% strain S. aureus menghasilkan penicilinase, dan penicillinase-stable betalactam seperti Methicillin, cloxacillin, dan fluoxacillin yang telah digunakan sebagai terapi utama dari infeksi S. aureus selama lebih dari 35 tahun. Strain yang resisten terhadap kelompok penicillin dan beta-lactam ini

Epidemiologi


Bakteri MRSA merupakan galur Staphylococcus aureus yang resisten terhadap antibiotika metisilin sebagai akibat dari penggunaan antibiotika yang tidak rasional. Bakteri MRSA tersebar hampir di seluruh dunia, dengan insiden tertinggi terdapat di area yang densitasnya padat dan kebersihan individunya rendah. Bakteri MRSA biasanya dikaitkan dengan pasien di rumah sakit.muncul tidak lama setelah penggunaan agen ini untuk pengobatan (Biantoro, 2008).

Saat ini diperkirakan sekitar 2-3% populasi umum telah terkolonisasi oleh MRSA. Jumlah ini akan meningkat lagi menjadi ±5% pada populasi yang berkelompok seperti militer dan penjara. Orang yang terkolonisasi akan mudah untuk terjadi infeksi, walaupun sebagian besar akan tetap asimtomatik (Navy Environmental Health Center, 2005).

Antara tahun 1996-1999 dilaporkan bahwa 23 rumah sakit di Kanada terdapat 6% dari seluruh isolat S. aureus yang resisten terhadap methicillin, dengan rerata 4,14 kasus MRSA per 1000 pasien yang dirawat dari 35% pasien dengan infeksi. Sebagian besar isolat diperoleh dari MRSA yang berasal dari ruang perawatan akut (72,6%), 7,2% diperoleh dari bangsal perawatan, 4,6% diperoleh dari komunitas masyarakat, dan sisanya (15,6%) tidak diketahui asalnya (BC Center for Disease Control, 2001).

Di Amerika Serikat, selama 13 tahun (1993-2005) infeksi MRSA telah sangat berkembang. Pada tahun 2005 terdapat 368.600 kasus MRSA di rumah sakit seluruh AS. Keadaan ini menunjukkan adanya peningkatan sebesar 30% dibandingkan pada tahun 2004(Elixhauser & Steiner, 2007). Di Inggris sampai dengan tahun 2004 didapatkan data prevalensi bahwa: 1) MRSA menjadi masalah yang predominan pada usia lanjut (82% usia > 60 tahun; 2) strain MRSA yang ada 92% resisten terhadap fluoroquinolone dan 72% resisten terhadap makrolid; 3) sebagian besar isolat masih sensitif terhadap tetracyclin, fusidic acid, rifampicin, dan gentamycin; 4) strain MRSA yang telah diuji 12% resisten terhadap mupirocin (Gemmell et al ., 2006).

Selama tahun 2006 di Laboratorium Patologi Klinik RSUP (Rumah Sakit Umum Pusat) Dr. Sardjito Yogyakarta diperoleh 3729 isolat kuman, yaitu 1128 dari spesimen darah, 825 dari spesimen urin, 957 dari spesimen sputum, dan 819 spesimen pus. Proporsi beberapa jenis kuman Gram (+) ternyata cukup signifikan. Spesies yang menonjol adalah S. epidermidis , S. aureus , dan S. viridians (Biantoro, 2008).

Dari seluruh spesimen, diperoleh isolat S. epidermidis sebanyak 679 (18,2%), S. aureus 171 (4,6%), dan S. viridians 169 (4,5%). Sehingga ketiga kuman ini saja sudah mencapai 1019 isolat (27,3%). Untuk sediaan darah, S. epidermidis merupakan isolat yang terbanyak (34,5%). Dari sediaan sputum, S. viridians juga merupakan isolat yang terbanyak (17,7%), sedangkan S.aureus masuk dalam 5 besar isolat yang ditemukan di darah dan pus (Biantoro, 2008). MRSA paling banyak ditemukan di tangan, hidung, dan perineum. Penelitian yang dilakukan dengan subjek pasien di ruang perawatan intensif Bandung dan Semarang tahun 2001 menggambarkan bahwa sebanyak 35,9% pada nostril hidung dan 21,8% pada tangan petugas kesehatan (Fitri, 2010).

Dari penelitian pendahuluan yang dilakukan oleh Ahmed di beberapa bagian rumah sakit yang berbeda di Libya didapatkan 128 (22%) positif MRSA berdasarkan hasil laboratorium dan 109 (19%) dikonfirmasi sebagai MRSA dengan PCR dari 569 subjek penelitian. Hidung dan bagian nares anterior adalah bagian yang paling penting dari koloni Staphylococcus dan berpotensi sebagai sumber MRSA. Penelitian ini cenderung dianggap remeh karena hanya menggunakan nasal swab dan tidak menguji tempat lain, seperti swab pada tenggorokan (Ahmed et al , 2012).

Klasifikasi


Pada awal tahun 1990 telah muncul MRSA yang didapatkan pada individu yang sebelumnya tidak memiliki faktor risiko yang berhubungan dengan MRSA. Keadaan ini disebut sebagai community-acquired MRSA (CA-MRSA). Community-Acquired MRSA terjadi pada penderita dengan riwayat rawat inap rumah sakit maupun tidak. Tempat pelayanan umum, sekolah, penjara dan tempat yang penduduknya padat mudah ditemukan bakteri tersebut. Abses, luka bakar ataupun luka gigitan serangga dapat dijadikan CA-MRSA sebagai tempat berkembang. Sekitar 75% infeksinya terjadi pada kulit dan jaringan lunak (Biantoro, 2008).

  • CA-MRSA dapat diklasifikasikan kedalam empat kategori, yaitu (Salmenlina, 2002) :

  • Pasien di rumah sakit dan staf di rumah sakit dengan MRSA.

  • Perawat dirumah dengan MRSA.

  • Penyebaran MRSA pada pasien yang tidak dirawat di rumah sakit.

  • MRSA yang timbul di masyarakat secara de novo.

Healthcare-associated MRSA (HA-MRSA) oleh Centers for Disease Control and Prevention (CDC) didefinisikan sebagai infeksi MRSA yang terdapat pada individu yang pernah dirawat di rumah sakit atau menjalani tindakan operasi dalam 1 tahun terakhir, memiliki alat bantu medis permanen dalam tubuhnya, bertempat tinggal di fasilitas perawatan jangka panjang atau individu yang menjalani dialisis. HA-MRSA secara tipikal dihubungkan dengan seseorang yang memiliki faktor risiko perawatan di rumah sakit atau panti, dialisis, mendapat terapi antibiotik, atau terpapar oleh alat atau prosedur yang invasif. HA-MRSA memiliki resistensi yang sangat tinggi dan merupakan penyakit nosokomial yang penting.

Secara genetik dan fenotipe strain HA-MRSA berbeda dengan strain CA-MRSA. CA-MRSA memiliki komposisi yang lebih kecil, mengalami kejadian virulensi yang lebih tinggi, dan jarang terjadi multidrug resistant pada antimikroba non β- laktam (misalnya terhadap tetrasiklin, trimetoprim- sulfametoksazol, rifampin, clindamycin, dan fluoroquinolone) (Biantoro, 2008).

image

Faktor Resiko


Faktor-faktor resiko terjadinya MRSA antara lain :

  1. Faktor-faktor community-acquired :

    • Kondisi tempat tinggal yang berdesakan dan kumuh (penjara, barak militer, penampungan gelandangan).
    • Populasi (penduduk kepulauan pasifik, asli Alaska, asli Amerika).
    • Kontak olahraga (sepakbola, rugby, gulat).
    • Laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki.
    • Berbagi handuk, alat-alat olahraga, barang-barang pribadi.
    • Higiene personal yang buruk.
  2. Faktor-faktor healthcare-acquired :

    • Perawatan di rumah sakit sebelumnya (dalam 1 tahun terakhir).
    • Dilakukan operasi sebelumnya (rawat inap atau rawat jalan dalam 1 tahun terakhir).
    • Riwayat abses yang rekuren, folikulitis, furunkulosis atau infeksi kulit lainnya.
    • Riwayat infeksi kulit yang rekuren dalam keluarga atau yang tinggal bersama.
    • Terbukti secara laboratorium adanya kasus MRSA dalam keluarga atau yang tinggal bersama.
    • Tinggal di fasilitas perawatan jangka lama atau kontak dengan penghuninya berkali-kali.
    • Pengguna obat intavena.
    • Terpasang kateter.
    • Kondisi medis (misalnya diabetes, HIV, gagal ginjal).

Cara penyebaran


Staphylococcus yang umum terdapat pada lipatan kulit, seperti perineum dan aksila serta berada di nares anterior. Staphylococcus juga dapat membentuk koloni pada luka yang kronis, seperti eksim, varises, dan ulkus decubitus. MRSA memiliki cara penyebaran yang sama dengan strain Staphylococcus lain yang sensitif, yaitu (Royal College of Nursing, 2005):

  1. Penyebaran Endogen

    Hal ini terjadi ketika bakteri dari satu bagian tubuh seseorang menyebar ke tempat yang lain. Mengajarkan pasien untuk mencuci tangan mereka dan mencegah mereka dari menyentuh luka, kulit yang rusak atau menyentuh perangkat invasif, akan meminimalkan risiko penyebaran organisme secara endogen.

  2. Penyebaran Eksogen

    Hal ini terjadi ketika organisme ditransmisikan dari orang ke orang yang terjadi melalui kontak langsung dengan kulit, melalui lingkungan atau peralatan yang terkontaminasi. Pencegahan penyebaran secara eksogen dapat dilakukan melalui :

    • Mencuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan setiap pasien atau peralatan yang berpotensi terkontaminasi.
    • Mencuci tangan setelah melepas sarung tangan.
    • Menjaga lingkungan selalu bersih dan kering.
    • Melakukan pembersihan secara menyeluruh dan mengeringkan semua peralatan yang telah digunakan.
    • Menerapkan pengobatan topikal untuk mengurangi penyakit kulit jika secara klinis diperlukan.

Cara Mendeteksi MRSA


Untuk mengetahui adanya MRSA, terdapat dua metode, yaitu metode molekuler dan metode konvensional. Beberapa penelitian telah dilakukan untuk menilai penggunaan metode molekuler secara langsung mendeteksi MRSA dengan menggunakan dasar gel dan real-time PCR, penyelidikan DNA, serta penyelidikan asam nukleat peptida (peptide nucleic acid). Kelemahan metode ini adalah memerlukan alat-alat khusus dan seorang yang sudah ahli (Biantoro, 2008).

Untuk mengidentifikasi MRSA secara konvensional dibutuhkan beberapa media agar, antara lain media Mannitol Salt Agar (MSA) dan media Agar Darah Domba (ADD) (Mainous et al, 2006). Media Mannitol Salt Agar (MSA) adalah media yang mengandung manitol, yaitu suatu karbihidrat yang dapat dijadikan sebagai media pertumbuhan bakteri. Media MSA ini penting untuk melakukan identifikasi Staphylococcus. MSA mengandung 7,5% sodium klorida (garam) yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri gram negatif. Selain itu media ini juga memiliki indikator pH yang disebut sebagai phenol red. Media MSA merupakan media yang bekerja dengan prinsip bakteri yang dapat tumbuh pada media ini adalah bakteri yang tahan pada keadaan garam yang tinggi dan selama pertumbuhan menghasilkan asam, sehingga mengubah indikator pH yang mengubah warna merah menjadi kuning.

Agar darah merupakan media yang paling banyak digunakan unuk penanaman bakteri yang sukar tumbuh karena pada agar darah domba mengandung nutrisi yang dibutuhkan bakteri. Media pada dasarnya terdiri dari sumber protein (pepton), protein kedelai olahan (mengandung KH), NaCl, agar dan darah domba 5%. Bakteri penghasil enzim ekstraseluler yang dapat melisiskan sel darah merah domba pada agar (hemolisis). Terdapat tiga bentuk hemolisis darah, yaitu :

  • Alpha-hemolisis yang membentuk zona kehijauan hingga coklat muda disekitar koloni, bakteri menghemolisa sebagian hemoglobin sehingga meninggalkan pigmen hijau biliverdin.
  • Beta-hemolisis yang membentuk zona transparan atau jernih disekitar koloni, bakteri memproduksi β-hemolisin (Streptolisin O dan S), yang melisiskan sel darah merah di media secara sempurna.
  • Gamma-hemolisis yang tidak meghemolisa darah sehingga tidak terbentuk zona hemolysis pada sekeliling koloni bakteri.
3 Likes

Methicillin Resistant Staphylococcus aureus atau MRSA adalah jenis Staphylococcus aureus yang resisten terhadap antibiotik metisilin. MRSA juga resisten terhadap antibiotik betalaktam, makrolida, tetrasiklin, kloramfenikol, dan kuinolon. Infeksi MRSA merupakan infeksi opportunistik, sama halnya dengan infeksi Staphylococcus aureus (Putri, 2015). MRSA pertama kali diuraikan pada tahun 1961, dan sejak saat itu menjadi permasalahan di berbagai negara di dunia (Utaminingsih, 2015). Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus ( MRSA ) merupakan salah satu agen penyebab infeksi nosokomial yang utama. Bakteri MRSA berada di peringkat keempat sebagai agens penyebab infeksi nosokomial setelah Escherichia coli, Pseudomonas aeruginosa , dan Enterococcus. Lebih dari 80% strain S. aureus menghasilkan penicilinase, dan penicillinase-stable betalactam seperti Methicillin, cloxacillin, dan fluoxacillin yang telah digunakan sebagai terapi utama dari infeksi S. aureus selama lebih dari 35 tahun. Strain yang resisten terhadap kelompok penicillin dan beta-lactam ini muncul tidak lama setelah penggunaan agen ini untuk pengobatan (Biantoro, 2008).

Epidemiologi


MRSA merupakan galur Staphylococcus aureus yang resisten terhadap antibiotika metisilin sebagai akibat dari penggunaan antibiotika yang tidak rasional. MRSA tersebar hampir di seluruh dunia, dengan insiden tertinggi terdapat di area yang densitasnya padat dan kebersihan individunya rendah. Bakteri MRSA biasanya dikaitkan dengan pasien di rumah sakit. Di Inggris sampai dengan tahun 2004 didapatkan data prevalensi bahwa MRSA menjadi masalah yang predominan pada usia lanjut 82% usia > 60 tahun, strain MRSA yang ada 92% resisten terhadap fluoroquinolone dan 72% resisten terhadap makrolid, sebagian besar isolat masih sensitif terhadap tetrasiklin, asat fusidat, rifampicin, dan gentamisin, dan strain MRSA yang telah diuji 12% resisten terhadap mupirocin (Gemmel et al , 2006).

MRSA dibagi menjadi 2 kelompok yaitu Hospital-Acquired MRSA (HA- MRSA) dan Community-Acquired MRSA (CA-MRSA). Definisi HA-MRSA menurut Centers for Disease Control and Prevention (CDC) adalah infeksi MRSA pada individu yang pernah dirawat di rumah sakit atau menjalani operasi dalam 1 tahun terakhir, menggunakan alat bantu medis dan berada dalam perawatan jangka panjang. HA-MRSA memiliki resistensi yang sangat tinggi dan merupakan penyakit nosokomial yang penting.

Faktor risiko infeksi HA-MRSA adalah pasien dengan luka operasi, ulkus dekubitus, dan pengguna kateter intravena. CA- MRSA adalah MRSA yang terjadi dalam suatu komunitas, disebabkan adanya perpindahan bakteri dari suatu individu yang sudah terinfeksi MRSA ke individu sehat yang belum pernah mendapatkan pengobatan di tempat pelayanan kesehatan, pertama kali ditemukan tahun 1990. Berbeda dengan HA-MRSA, strain CA-MRSA memiliki komposisi lebih kecil, memiliki virulesi lebih tinggi, dan jarang terjadi multidrug resistance pada antibakteri non betalaktam (Utaminingsih, 2015).

Klasifikasi


Pada awal tahun 1990 telah muncul MRSA yang didapatkan pada individu yang sebelumnya tidak memiliki faktor risiko yang berhubungan dengan MRSA. Keadaan ini disebut sebagai community-acquired MRSA (CA-MRSA). Community- Acquired MRSA terjadi pada penderita dengan riwayat rawat inap rumah sakit maupun tidak. Tempat pelayanan umum, sekolah, penjara dan tempat yang penduduknya padat mudah ditemukan bakteri tersebut. Abses, luka bakar ataupun luka gigitan serangga dapat dijadikan CA-MRSA sebagai tempat berkembang. Sekitar 75% infeksinya terjadi pada kulit dan jaringan lunak (Gorwitz, 2006). CA-MRSA dapat diklasifikasikan kedalam empat kategori, yaitu :

  1. Pasien di rumah sakit dan staf di rumah sakit dengan MRSA.
  2. Perawat dirumah dengan MRSA.
  3. Penyebaran MRSA pada pasien yang tidak dirawat di rumah sakit.
  4. MRSA yang timbul di masyarakat secara de novo .

Healthcare-associated MRSA (HA-MRSA) oleh Centers for Disease Control and Prevention (CDC) didefinisikan sebagai infeksi MRSA yang terdapat pada individu yang pernah dirawat di rumah sakit atau menjalani tindakan operasi dalam 1 tahun terakhir, memiliki alat bantu medis permanen dalam tubuhnya, bertempat tinggal di fasilitas perawatan jangka panjang atau individu yang menjalani dialisis. HA-MRSA secara tipikal dihubungkan dengan seseorang yang memiliki faktor risiko perawatan di rumah sakit atau panti, dialisis, mendapat terapi antibiotik, atau terpapar oleh alat atau prosedur yang invasif.

HA-MRSA memiliki resistensi yang sangat tinggi dan merupakan penyakit nosokomial yang penting (Anderson et al , 2007). Secara genetik dan fenotipe strain HA-MRSA berbeda dengan strain CA-MRSA. CA-MRSA memiliki komposisi yang lebih kecil, mengalami kejadian virulensi yang lebih tinggi, dan jarang terjadi multidrug resistant pada antimikroba non β-laktam (misalnya terhadap tetrasiklin, trimetoprim-sulfametoksazol, rifampin, clindamycin, dan fluoroquinolone) (Vavra et al , 2007).

Mekanisme Resistensi


Sejarah resistensi bakteri terhadap antibiotika diawali dari ditemukannya Staphylococcus aureus yang resisten terhadap penicillin pada awal 1940-an. Sejak itu resistensi tunggal maupun multiple (multidrug resistance) yang dimediasi oleh plasmid yang dapat dipindahkan dari satu ke lain mikroorganisme di traktus gastrointestinal juga dilaporkan sekitar tahun 1950-an. Pada pertengahan 1970-an

gen-gen resisten ditemukan semakin menyebar di berbagai pelayanan kesehatan dan bahkan melibatkan organisme-organisme yang bersifat komensal di traktus respiratorius dan genitourinarius penderita yang dirawat di rumah sakit. Penyebaran bakteri resisten semakin dramatik di pertengahan 1990-an (Dwiprahasto, 2005).

Resistensi bakteri terhadap antimikroba terjadi melalui banyak mekanisme dan cenderung semakin rumit pendeteksiannya. Berbagai mekanisme genetik ikut terlibat, termasuk di antaranya mutasi kromosom, ekspresi gen-gen resisten kromosom laten, didapatnya resistensi genetik baru melalui pertukaran langsung DNA, bakteriofag, atau plasmid DNA ekstrakromosom, ataupun didapatnya DNA melalui mekanisme transformasi (Dwiprahasto, 2005).

Staphylococcus aureus berubah menjadi galur resisten metisilin (MRSA) karena mendapat sisipan suatu elemen DNA berukuran besar antara 20-100 kb yang disebut SCCmec. SCCmec selalu mengandung mec A, yaitu gen yang menyandi PBP2a (Valencia, 2015). Eksperimen dan eksplorasi genetik menunjukkan bahwa mekanisme resistensi terhadap antimikroba betalaktam diperankan oleh operon mec A. Operon mec A secara organisasi, struktur, fungsi dan mekanisme serupa dengan operon bla Z pada plasmid Staphylococcus aureus produsen betalaktamase. Regulator pada operon bla Z adalah bla I yang menyandi DNA binding protein berfungsi menekan transkripsi gen betalaktamase dan bla R1 berupa signal transduction PBP yang akan menginduksi transkripsi jika ada betalaktam.

Mekanisme ini analog dengan yang terjadi pada operon mec A yang dikendalikan oleh regulator mec I dan mec R1. Mayoritas isolat klinis MRSA sebelum tahun 1970 memiliki delesi pada gen mec R1. Diduga PBP2a pada isolat ini diproduksi secara konstitutif atau jika terjadi induksi kemungkinan berupa induksi silang dari bla R1. Pada isolat tahun 1980-an tidak ditemukan delesi pada regulator tetapi ditemukan polimorfisme pada mec I dan mutasi pada promoter mec A. Pada keadaan seperti ini terjadi penekanan atau perlambatan produksi PBP2a. Secara in vitro keadaan ini mendasari munculnya fenomena heteroresisten yaitu dalam satu biakan murni MRSA dapat ditemukan populasi sensitif dan populasi resisten sekaligus.

Umumnya populasi yang resisten tumbuh lebih lambat dibandingkan populasi yang sensistif. Selain dipengaruhi oleh perbedaan aktivitas transkripsi gen mec A , heteroresisten kemungkinan juga dipengaruhi polimorfisme gen-gen disekitar gen mec A dan pengaruh gen-gen lain disekitar SCC mec seperti gen grup hmr dan gen grup fem . Sebagai dampak dari fenomena heteroresisten ini maka identifikasi MRSA yang hanya didasarkan pada pola kepekaan terhadap antimikroba atau identifikasi MRSA dengan mendeteksi PBP2a saja akan menjadi kurang akurat. Oleh karena itu para ahli merekomendasikan baku emas untuk identifikasi MRSA yaitu dengan cara mendeteksi keberadaan gen mec A dengan metode polymerase chain reaction (PCR) (Yuwono, 2010).

Mekanisme resistensi MRSA terhadap berbagai antimikroba nonbetalaktam diduga didasari adanya bukti bahwa SCC mec mengandung transposon dan insertion sequences seperti Tn554 pada ujung 5’ mec A dan IS431 pada ujung 3’ mec A. IS431 memiliki kemampuan rekombinasi dan dapat menjadi determinan resistensi terhadap merkuri, kadmium dan tetrasiklin. Gen lain yang berada di sekitar SCC mec seperti gen gyr A diperkirakan juga berinteraksi dengan SCC mec mengakibatkan resistensi terhadap kuinolon (Yuwono, 2010).