Apa yang dimaksud dengan metafisik atau metafisika?

Metafisika,menurut KBBI, merupakan ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan hal-hal yang nonfisik atau tidak kelihatan

Pengertian dan Sejarah Metafisika


Secara historis, filsafat berawal dari metafisika. Pertanyaan-pertanyaan seperti apakah alam semesta; bagaimanakah asal-usulnya; apa itu kenyataan; apa hakekat jiwa; apa itu tubuh; bagaimana hubungan antara jiwa dan tubuh? adalah pertanyaan-pertanyaan pertama yang menggelitik manusia yang kemudian mereka sendiri berusaha untuk menjawabnya. Dari rasa ingin tahu tersebut, berbagai macam usaha dilakukan untuk memperoleh jawabannya. Akhirnya, lahirlah berbagai macam jawaban yang satu sama lain tidak hanya saling melengkapi,
tetapi juga tidak jarang saling bertentangan. Karena inilah, metafisika sering dihadapkan dengan epistemologi.

Penghadapan ini terkait dengan “legalitas” ilmiah metafisika sebagai salah satu capaian pengetahuan manusia. Berbagai pertanyaan kritis diajukan untuk menggugat metafisika. Artinya, keberatan terhadap metafisika ini dikarenakan konsep-konsep metafisika tidak bisa diverifikasi, tidak konkret, dan tidak positif. Di samping itu, metafisika juga dirasa unpracticable. Istilah metafisika sebenarnya kebetulan saja. Nama metafisika bukanlah dari Aristoteles melainkan istilah yang diberikan Andronikos dari Rodhos (Rodi). Ia menyusun karya-karya Aristoteles sedemikian rupa tentang filsafat pertama, mengenai metafisika yang
ditempatkan setelah fisika. Jadi metafisika adalah kata yang secara kebetulan ditempatkan setelah fisika.

Kata “meta” bagi orang Yunani mempunyai arti “sesudah atau di belakang”. Kata metafisika dipakai sekali untuk mengungkapkan isi pandangan mengenai, “hal-hal di belakang gejala fisik”. Ketika Andronikos dari Rhodos menyusun karya-karya Aristoteles, ia menemukan 14 buku tanpa nama sesudah seluruh karya-karya mengenai fisika tersusun. Ia menyebut ke- 14 buku tersebut dengan nama “buku-buku yang datang sesudah fisika” (ta meta ta physica).
Dalam buku-buku ini, ia menemukan pembahasan mengenai realitas, kualitas, kesempurnaan, yang ada, yang tidak terdapat pada dunia fisik, tetapi mengatasi dunia fisik.

Sejak tahun 1950-an, pendirian ini tidak dapat dipertahankan lagi. Dalam bukunya yang iterbitkan tahun 1951, sarjana Perancis P. Moraux membuktikan bahwa kata metafisika lazim dipakai oleh kalangan Aristotelian, jauh sebelum Andronikos. Dengan demikian, nampak jelas bahwa nama ini bukan berasal dari Andronikos. Moraux menyanggah bahwa metafisika telah dipakai oleh Ariston dari Keos yang menjadi kepala mazhab Aristotelian tahun 226 SM.
H. Reiner memperkirakan nama metafisika yang juga dikenal dengan istilah ontologi, ini telah muncul sejak era pertama Aristoteles. Aristoteles sendiri menggunakan beberapa nama untuk menunjukkan nama metafisika. Tetapi kesulitannya ialah, bahwa nama-nama ini tidak selalu diterangkan oleh Aristoteles.

Dapat dinyatakan, apakah Aristoteles memaksudkan hal yang sama dengan memakai nama-nama yang berlainan itu. Ada yang mengatakan, bahwa Aristoteles sendiri tidak konsisten dengan keterangan-keterangan ilmu ini, karena banyak nama yang dipakai oleh Aristoteles tanpa ada penjelasan lebih lanjut. Menurut Bertens, yang mengutip buku Aristoteles Metaphysica, bahwa dalam buku I, metafisika dinamakan “kebijakan” (sophia). Karena ilmu kebajikan merupakan ilmu yang tertinggi, maka ilmu-ilmu ini membicarakan hal-hal yang fundamental. Dalam buku IV disebutkan, ada ilmu yang disebut “to on hei on”, “being qua being”, atau “yang ada sejauh ada”. Maksudnya adalah metafisika, meskipun tidak menyebut langsung tentang ilmu ini. Mempelajari “yang ada sejauh ada” artinya mempelajari ilmu seluruhnya, mulai objek yang paling umum sampai yang paling khusus.8 Dalam buku IV disebutkan, bahwa ilmu yang tertinggi mempunyai objek yang paling luhur dan paling sempurna. Karena itu, kalau tidak ada substansi yang terubahkan dan abadi, maka ilmu yang menyelidiki substansi itu dinamakan “ilmu pertama” atau filsafat pertama dengan suatu nama lain yang disebut teologia.

Pada abad pertengahan, istilah metafisika ini kemudian mendapatkan arti filosofis. Metafisika oleh para filsuf Skolastik diberi arti sebagai ilmu tentang yang ada karena muncul sesudah dan melebihi yang fisika. Istilah “sesudah” di sini tidak dalam arti temporal, tetapi bahwa objek metafisika berada pada abstraksi ketiga, yaitu setelah fisika dan matematika. Demikian juga dengan kata “melebihi”, ia tidak menunjukkan unsur spasial, melainkan bahwa metafisika
melebihi abstraksi yang lain, menempati posisi tertinggi dari semua kegiatan abstraksi karena menempati jenjang abstraksi paling akhir. Istilah ini menunjukkan bagian filsafat yang perlu diajarkan sesudah fisika. Menurut Anton Bakker, setidak-tidaknya istilah metafisika telah dipakai pada abad ke- 3 SM. Mengingat bahwa metafisika adalah awal dari kegiatan berfilsafat, maka bisa dikatakan bahwa usia metafisika setua usia filsafat itu sendiri. Filsuf pertama
yang mulai menyibukkan diri dengan realitas sebagaimana adanya/realitas ultim adalah Thales (580 SM). Dia mengklaim bahwa sumber segala sesuatu adalah air, tanah mengapung di atas air dan segala sesuatu di atasnya dibuat dari air. Walau Aristoteles menyebutnya ‘kekanak-kanakkan’, namun kontribusinya terhadap perkembangan intelektual Barat sangatlah besar. Apa yang dilakukannya adalah langkah yang menentukan dalam sejarah filsafat Barat yaitu membongkar pola pikir mitis dengan mendeskripsikan realitas sebagaimana apa adanya (realitas ultim), di balik penampakkan dan opini sehari-hari. Thales adalah filsuf pertama
yang meletakkan hubungan antara common sense dan religi. Thales-lah yang mempelopori sebuah disiplin filsafat yang kemudian hari dikenal dengan sebutan metafisika. Inti dari kegiatan filsafat pada masa tersebut adalah menemukan asas pemula yang mendasari segala sesuatu, atau untuk menemukan yang mutlak. Merekalah orang pertama yang berusaha mendapatkan sesuatu yang hakiki.

Para pelopor metafisika seperti, Thales, Plato dan Aristoteles sendiri sebenarnya belum secara tegas menamakan disiplin yang mereka kembangkan sebagai ‘metafisika’. Aristoteles sendiri menamakan disiplin yang mengkaji sebab-sebab terdalam, prinsip-prinsip konstitutif dan tertinggi segala sesuatu tersebut sebagai Proto Philosophia (filsafat pertama) untuk membedakannya dari disiplin filsafat yang masih berkutat pada hal-hal yang sifatnya fisik-skunder. Ia ingin mencari filsafat pertama, yaitu filsafat yang menempati derajat tertinggi dalam pengetahuan manusia, yang tidak bisa diatasi lagi. Aristoteles berbeda pendapat dengan Plato tentang kenyataan dunia fisik. Plato mengatakan bahwa idelah yang nyata, sedangkan dunia fisik hanyalah bayangan. Menurut Aristoteles, dunia fisik sendiri juga memiliki kenyataan yang sesungguhnya. Oleh karena itu, maka filsafat pertama tersebut harus meliputi baik kenyataan yang meliputi dunia empiris maupun yang fisik empiris itu sendiri. Metafisika sebagai filsafat pertama dan sejati ini menurut Aristoteles berpusat pada ada sebagai yang ada (being qua being). “Ada” menjadi dasar untuk segala-galanya. “Ada” menjadi sifat yang melingkupi dan mendasari segala sifat lainnya. Dari sini bisa dipahami bahwasannya objek material metafisika adalah segala yang ada. Ilmu ini menyangkut realitas dalam semua bentuk atau manifestasi, bukan bagian tertentu realitas. Tidak dipedulikan di sini apakah bentuk atau manifestasi itu pada tingkat inderawi atau tidak.

Sedangkan objek formal metafisika adalah yang ada sebagai yang ada. Sebagai sebuah ilmu mengenai yang ada, metafisika berbeda dengan bentuk pengetahuan yang lain. Dalam refleksi metafisika, meja, kursi, atau manusia di tinggalkan. Metafisika hanya menyibukkan diri dengan yang ada sebagai yang ada. Dalam ilmu pengetahuan, yang ada hanya dilihat dari satu segi. Metafisika tidak mempedulikan apakah sesuatu itu berwarna atau tidak, berbau atau tidak,
dan seterusnya. Bila dikatakan “bunga itu harum”, yang menjadi masalah metafisika adalah ada, bukan bunga harum. Bunga tetap diterima sebagai sesuatu yang actual, bereksistensi. Tetapi, yang menjadi masalah metafisika adalah ada yang berada di belakang bunga. Dalam hal ini, sesuatu yang kabur pun, yang belum dapat dinamai, tetap merupakan yang ada. Yang ada bersifat universal karena menyangkut seluruh realitas.

Dengan singkat dapat dikatakan bahwa objek material atau ruang lingkup yang dicakup dalam pembahasan metafisika ialah seluruh realitas. Sedangkan objek formal atau fokus pembahasan adalah ada sebagaimana adanya. Seluruh realitas yang dibahas metafisika adalah ada sebagaimana adanya. Karena itulah, metafisika diakui sebagai ilmu yang paling universal. Ia tidak merujuk pada objek material tertentu, melainkan mengenai suatu inti yang termuat dalam setiap kenyataan. Inti itu hanya tersentuh pada taraf penelitian yang paling fundamental dan dengan menggunakan metode tersendiri. Metafisika merupakan refleksi filosofis kenyataan secara mutlak paling mendalam dan paling ultim. Berangkat dari hal di atas, maka objek material metafisika adalah seluruh realitas dipandang dari sisi adanya. Tetapi, justru di titik inilah metafisika banyak mendapatkan penolakan. Beberapa aliran filsafat menolak, minimal meragukan, terhadap keberadaan metafisika. Skeptisisme meragukan kemampuan kognisi
manusia. Aliran ini tidak mempercayai bahwa manusia mampu sampai ke abstraksi yang begitu jauh. Empirisme dan positivisme mereduksi pengetahuan manusia pada pengetahuan inderawi belaka. Materialisme mereduksi realitas sebatas pada tatanan materi, sehingga kajian metafisika sebagai kajian yang tidak memiliki arti.

Kalau metafisika ditolak keberadaannya, maka filsafat pun harus ditolak karena filsafat tidak lain adalah refleksi atas semua yang ada. Filsafat mencari sebab-sebab terdalam dari seluruh realitas. Kalau hakekat filsafat seperti itu, maka apa bedanya dengan metafisika? Sesungguhnya, pencarian filosofis tidak lain adalah usaha mencari apa yang ada di belakang fisika. Metafisika sendiri merupakan usaha manusia untuk membebaskan diri dari keterikatan pada hal-hal fisik dan mencari haekat yang ada di belakangnya. Dengan demikian, metafisika
adalah inti dari filsafat. Kalau metafisika ditolak, maka seluruh cabang filsafat harus ditolak karena setiap cabang filsafat memuat unsur metafisika. Filsafat manusia ataupun filsafat alam misalnya, ia ingin merefleksi segi-segi terdalam dari manusia dan kenyataan alam yang bersifat fisik.

Wilayah Kajian Metafisika


Wilayah kajian metafisika, sebagaimana diintrodusir oleh seorang filsuf Jerman, Christian Wolff, pada abad ke- 18 adalah ontologi di samping teologi metafisik, antropologi dan kosmologi. Ontologi berkaitan dengan filsafat tentang yang ada (being); teologi berkaitan dengan problematika filsafat ketuhanan; kosmologi berkaitan dengan filsafat alam; dan psikologi berhubungan dengan filsafat manusia dengan problematikanya (mind). Kattsoff membagi metafisika menjadi dua: ontologi dan kosmologi. Ontologi berusaha untuk menemukan esensi terdalam dari yang ada, sedang kosmologi berusaha untuk mengetahui
ketertiban serta susunannya. Ontologi merupakan istilah lain dari metafisika. Hal ini bisa dilihat dari definisi ontologi itu sendiri. Ontologi berasal dari bahasa Latin: “ontos” (being atau ada) dan “logos” (knowledge atau pengetahuan). Jadi, ontologi sama dengan metafisika, yaitu cabang filsafat yang bersangkutan dengan pertanyaan mengenai hakekat yang ada yang terdalam atau esensi terdalam dari yang ada. Oleh karenanya, ontologi sama dengan metafisika.

1. Ontologi
Ontologi membahas mengenai yang ada sebagai yang ada, artinya prinsipprinsip umum ke dalam bidang-bidang khusus, yaitu :

  • Teologi metafisik
  • Antropologi (psikologi)
  • Kosmologi.

Istilah ‘ontologi’ diperkenalkan ke dalam filsafat oleh seorang cendikiawan Skolastik-Protestan asal Jerman, Rudolphus Goclenius (Rudolph Gockel) dalam bukunya Lexicon Philosophicum (1613). Ontologi adalah disiplin yang berurusan dengan ‘yang ada sebagai yang ada’; ‘ada’ sebagaimana adanya, sebagai lawan dari disiplin yang berurusan dengan bentuk partikular ‘ada’ seperti fisika, biologi, atau psikologi. Frase ‘yang ada sebagai yang ada’ membuat orang kebanyakan sulit memahaminya. Dalam kehidupan sehari-hari kita sering mengatakan: ada pohon, ada kerbau, dari manusia unsur umum yakni ‘ada’. ‘Ada’ tidak lagi dikembalikan pada
ada manusia, ada kerbau, maupun ada pohon, melainkan ‘yang ada sebagai yang ada’. Ontologi menyentuh hal yang sangat sederhana namun sangat mendasar yaitu ‘yang ada’. Kita bisa mengatakan bahwa ada sepatu kuning, yang menjadi masalah adalah ‘ada’ bukan sepatu kuning. Sepatu tetap diterima sebagai pendukung ‘yang ada’ karena ‘yang ada’ tidak dapat melayang-layang. ‘Yang ada di balik sepatu itulah yang menjadi masalah ontologi, pendeknya ada sebagaimana adanya (ens in quantum ens).

Semua persoalan di atas, merupakan persoalan-persoalan ontologi, sehingga dalam memahami realitas yang ada tersebut konsep dan pemikirannya berbeda-beda sesuai dengan pendekatannya masing-masing. Oleh karena itu, adanya perbedaan-perbedaan tersebut pada akhirnya melahirkan aliran-aliran dalam ontologi. Semua aliran dalam ontologi membahas realitas yang ada itu berdasarkan paradigma masing-masing aliran.

Referensi :
  • James Iverach, “Epistemologi,” Encyclopaedia of Religion and Ethics, ed. James Hastings, vol. 5 (New York: Charles Scribner’s Son’s, 1995), 337.
  • Alfred Cyril Ewing, The Fundamental Question of Philosophy (New York: Collier Books, 1962)
  • Joko Siswanto, Sistem-Sistem Metafisika Barat dari Aristoteles Sampai Derrida (Yogyakarta:
  • Pustaka Pelajar, 1998)
  • Harus Hadiwijono, Sari Sejarah, 47. Baca pula Bernard Delfgaauw, Sejarah Ringkas Filsafat
    Barat, ter. Soejono Soemargono (Yogyakarta:Tiara Wacana Yogya, 1992), 4.
  • Lorens Bagus, Metafisika (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1991), 17-18.
  • Bertens, Sejarah Filsafat, 153. Ariston adalah seorang tokoh Aristotelian dari Aleksandria yang bersamaan munculnya dengan Nicholas dari Damaskus. Lihat Lorenz Bagus, Kamus Filsafat, 80.

Metafisika secara bahasa berakar dari kata “ta meta ta physica” , yaitu sebuah bahasa Yunani yang diperkenalkan oleh Aristoteles yang pada akhirnya disebarluaskan oleh Andronikos dari Rodi pada abad I SM. Hal ini disandarkan pada karya Aristoteles sebagai etikat bibliografis yang tercampakkan akibat perang, ketika Athena dikalahkan oleh Sisilia pada tahun 86 SM. Dalam karya yang berjumlah 14 buah buku tersebut kebanyakan berkaitan dengan teori dan pemahaman empiri-fisik dan buku yang keempat belas tersebut diberi nama oleh Andronikos dengan ta meta ta physica , yang di dalamnya membahas tentang realitas, kualitas, kesempurnaan, yang ada, yang tidak terdapat pada dunia fisik, tetapi mengatasi dunia fisik.

Istilah metafisika muncul karena sebagai akibat terbatasnya dunia fisik dalam menjelaskan fenomena yang ada di alam ini. Metafisika mempunyai arti filosofis, yang berlandaskan pada ilmu yang ada, karena setelah dan melebihi yang fisika (post physicam et supra physicam) . Artinya masalah metafisika adalah masalah yang paling dasar dan menjadi inti dalam filsafat, karena metafisika mempersoalkan eksisitensi Sang Ada sebagai jawaban terakhir dari semua proses perubahan. Adanya pengakuan atas Sang Ada sebagai sebab yang tidak disebabkan, sebagai penggerak yang tidak digerakkan, realitas yang selalu berubah ini tidak menjadi absurd, tetapi masuk dalam akal dan dapat dipikirkan.2

Metafisika secara terminologis dipahami sebagai semua studi mengenai “sesuatu” (ada) yang mengatasi fenomena atau mengatasi realitas fisik yang tampak. Pengertian ini menampik pemahaman bahwa metafisika sama saja dengan pengetahuan yang bersifat post physicam , yaitu ilmu yang ada karena muncul sesudah fisika dan matematika. Artinya metafisika yang dikatakan sebagai filsafat pertama memuat uraian tentang sesuatu yang ada di belakang gejala-gejala fisik.

Pandangan inilah yang mematahkan pendapat Plato bahwa hanya dunia bukan fisik ( ta paradeigmata atau idea-idea) mempunyai kenyataan yang sungguh-sungguh (ontoos on) , sedangkan dunia fisik cuma merupakan bayangannya, karena menurut Aristoteles dunia fisik sendiri memiliki kenyataan yang sungguh-sungguh, sehingga istilah metafisika tidak menunjukkan bidang ekstensif atau objek material tertentu, akan tetapi mengenai suatu inti yang termuat dalam setiap kenyataan ataupun unsur formal. Nama metafisika merupakan “ nivo pemikiran”, yaitu merupakan refleksi filosofis mengenai kenyataan yang secara mutlak paling mendalam dan paling utama.

Dengan demikian istilah memuat uraian tentang sesuatu yang ada di belakang gejala-gejala fisik seperti gerak, berubah, hidup dan mati. Metafisika dapat didefinisikan sebagai studi pemikiran tentang sifat yang terdalam (ultimate nature) dari kenyataan atau keberadaan. Aristoteles menyebutnya dengan beberapa istilah yang maknanya setara dengan metafisika, yaitu filsafat pertama (first philosophy), pengetahuan tentang sebab (knowledge of cause).

Dengan demikian studi metafisika terbagi menjadi beberapa bidang kajian, yaitu: studi tentang Ada sebagai ada (the study of Being as being), studi tentang Ousia (being), studi tentang hal-hal yang abadi yang tidak dapat bergerak (the study of the eternal and immovable), dan theologi.

Ungkapan yang “ada”, baik Tuhan maupun manusia sendiri adalah hasil dari pengalaman atau penghayatan manusia, sehingga metafisika tidak terlepas dari kancah berfilsafat. Hal ini didasarkan pada penuturan kata-kata atau verbal yang tersusun secara sistematis dengan ciri-ciri sebagai berikut:

  1. Tuhan adalah ada semesta atau ada mutlak

  2. Alam semesta merupakan pengejawantahan Tuhan

  3. Alam semesta dan manusia merupakan suatu kesatuan dengan bahasa lain disebut juga dengan makrokosmos dan mikro kosmos.
    Metafisika tidak bisa dilepaskan dari dunia dan kajian filasafat, karena metafisika merupakan ujung dari filsafat6. Berfikir filsafati adalah usaha untuk menemukan realitas yang mutlak yang memegang kendali di balik realitas dunia yang bersifat fisik, Dia-lah kekuatan adikodrati yang ber-ada di balik

semua yang ada ini. penjelasan term ini adalah keniscayaan untuk menguak hakekat dari metafisika.
Secara umum varian sumber pengetahuan secara teori adalah beragam jenis, sehingga berlandaskan pada pengklasifikasiannya, pengetahuan terbagi dalam 3 kategori:

  1. Pengetahuan indera, yaitu pengetahuan di hasilkan dari kerja atau pengalaman panca indera, semisal melihat, mendengar, merasa, mencium segala sesuatu akhirnya melalui proses pemikiran, jadilah pengetahuan.

  2. Pengetahuan ilmu, ini didasarkan pada penelitian yang menggunakan alur berfikir sistematik dan radikal yang disertai dengan eksperimen. Hasil dari penelitian atau riset itulah yang disebut dengan ilmu

  3. Pengetahuan filsafat, alur pencapaian pengetahuan dengan jalan berfikir yang sistemik, radikal dan universal.

Ketiga pengelompokan sumber pengetahuan tersebut, sumber ketiga- lah yang paling digunakan dalam menempuh suatu pengetahuan, baik pengetahuan alam (yang kasat mata) maupun pengetahuan metafisika (unsur Ilahiyah). Berfilsafat adalah mencari kebenaran dari kebenaran untuk kebenaran tentang segala sesuatu dipermasalahkan dengan berfikir secara radikal, sistematis dan universal. Sehingga bertolak dari kata kerjanya, filsafat sebagai kata benda dapat didefinisikan sebagai: “sistem kebenaran tentang segala sesuatu yang dipersoalkan sebagai hasil dari berfikir secara radikal, sistematis dan universal. Artinya filsafat secara umum dapat didefinisikan sebagai pencarian pengertian menurut akar dan dasar terdalam (ex ultimis causis).

Tujuan dari mempelajari filsafat adalah mengetahui Tuhan Yang Maha Esa, sehingga seorang filosof ialah orang yang memiliki pengetahuan tentang “al-wajib li dza tihi”, dzat yang ada dengan sendirinya, wujud yang sempurna. Makhluk adalah wujud yang tidak sempurna, karena itu pengetahuan tentang makhluk adalah pengetahuan yang tak sempurna. Filsafat bisa tercapai jika ada kemampuan untuk bisa membedakan antara yang benar dengan yang salah, yang didukung dengan tenaga pikiran untuk mengetahui kebenaran, sehingga akan dapat mengetahui yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah.

Metafisika merupakan bagian dari filsafat10, sedangkan filsafat sendiri diidentikkan dengan ilmu pengetahuan umum. Filosof kenamaan, Aristoteles membagi filsafat menjadi: ilmu pengetahuan yang produktif, ilmu pengetahuan yang praktis dan ilmu pengetahuan yang teoritis.

Ilmu pengetahuan teoritis sendiri terbagi dalam tiga bidang, yaitu fisika, matematika dan metafisika (istilah lain dari filsafat pertama, sebagaimana yang dilontarkan Arisoteles), secara sistematis filsafat terbagi dalam:

  1. Metafisika (filsafat tentang hal yang “ada”)

  2. Epistemologi (teori pengetahuan)

  3. Metodologi (teori tentang metode)

  4. Logika (teori tentang penyimpulan)

  5. Etika (filsafat tentang pertimbangan moral)

  6. Estetika (filsafat tentang keindahan)

  7. Sejarah filsafat.

Dengan demikian metafisika sebagai salah satu pokok kajian filsafat, menjadikan eksistensi metafisika tidak terlepas dari filsafat, karena bertitik tolak dari eksistensi manusia dan alam dunia sebagai wujud yang nyata yang dapat ditangkap dengan panca indera. Filsafat dapat dicapai dengan kemampauan untuk membedakan antara yang benar dan yang salah. Kepandaian itu didapat dengan tenaga pikiran untuk mengetahui kebenaran. Tenaga itu terwujud, apabila memiliki kesanggupan mengetahui perkara yang salah itu salah, kemudian menjauhi dan mampu pula untuk mengetahui kesalahan yang kelihatan benar, sehingga tidak tertipu. Sebaliknya dapat pula mengetahui hal-hal yang hakekatnya benar, tetapi kelihatannya salah, sehingga kita menyalahkannya.13 Metafisika merupakan cabang dari filsafat yang berbicara mengenai sesuatu di luar alam biasa.

Orang mulai mengadakan pemilahan terhadap pelbagai macam bagian dari metafisika pada abad ke-17 dan 18 M. Pemilhan yang paling berpengaruh adalah pemilahan yang dilakukan oleh Christian Wollf sebagaimana yang dikutip oleh Damarjati Supajar15, yaitu antara metaphysica generalis dan metaphysica specialis. Wollf menggunakan istilah ontologis bagi metaphysica generalis, yang membahas asas-asas atau prinsip-prinsip yang seumum- umunya, sedang metaphysica specialis membahas penerapan asas-asas atau prinsip-prinsip yang khusus. Pembagian metaphysica specialis terdiri atas tiga bidang, yaitu cosmologia, psichologia dan theologia. Jadi antara metafisika dan ontologi pada mulanya satu istilah, yaitu metafisika, kemudia pad aabad ke-17 antara metafisika dan ontologi mulai dipisahkan.

Ada empat macam aliran yang timbul dalam filsafat metafisika menurut Hasbullah Bakry, di antaranya:

  • 1. Dualisme
    Aliran ini berpendapat bahwa alam maujud ini terdiri atas dua macam hakekat, yaitu materi dan rohani. Keduanya sama-sama azazli dan abadi. Keterkaitan antara keduanya itulah yang menciptakan kehidupan dalam alam ini.

  • 2. Materialisme
    Aliran ini menganggap bahwa yang ada hanylah materi, segala sesuatu yang lainnya hanyalah merupakan akibat dari proses gerakan kebendaan dengan salah satu cara tertentu. Aliran ini juga menganggap bahwa kenyataan ini benar-benar merupakan mekanis seperti seperti suatu mesin yang besar.

  • 3. Idealisme
    Idealisme merupakan lawan dari materialisme, karena idealisme materi hanyalah suatu jenis dari penjelmaan rohani. Roh dianggap sebagai hakekat yang sebenarnya dan materi diangap sebagai bayangan atau penjelmaannya.

  • 4. Agnoticisme
    Aliran ini mengingkari kesanggupan manusia untuk mengetahui hakekat metafisika. Aliran ini dengan tegas menyangkal adanya suatu kenyataan mutlak yang bersifat transendental.

Lebih lanjut Hasbullah Bakry membagi aliran metafisika spesialis (theologia) dalam dua aliran, yaitu theisme dan pantheisme.

  • Theisme adalah aliran yang berpendapat bahwa ada sesuatu kekuatan yang berdiri di luar alam dan menggerakkan alam ini, kekuatan yang menggerakkan tersebut disebut dengan Tuhan.

  • Pantheisme merupakan aliran yang menganggap bahwa semua alam ini adalah Tuhan. Artinya kajian secara umum dari metafisika adalah membahas sesuatu di balik yang tampak.