Apa yang anda ketahui tentang Materialisme Deialektika-Historis?


Salah satu pokok pemikiran marxisme adalah materialesme dialektika-historis.

Apa yang dimaksud dengan materialism dialektika-historis?

Materialisme dalam dunia fi lsafat dipertentangkan dengan kubu satunya lagi, yaitu idealisme . Semua persoalan fi lsafat dan ilmu pengetahuan akan berujung pada pertentangan dua kubu itu. Hal ini karena persoalan penting dari persoalan filsafat pada dasarnya adalah soal hubungan antara pemikiran dan kenyataan, hubungan antara jiwa dan alam. Mereka yang menganggap bahwa pikiran adalah primer daripada alam berada dalam kubu idealisme; sementara yang menganggap alam sebagai hal yang primer berada dalam kubu materialisme.

Idealisme dalam perspektif materialisme adalah kesalahan terbesar sejarah fi lsafat . Bagi Hegel, tokoh idealis yang paling terkenal, misalnya, fi lsafat yang sampai pada pengetahuan absolut itu bahkan berada di atas agama. Baginya, Ruh Semesta merupakan proses yang menemukan diri melalui liku-liku perkembangan kesadaran diri dan kemajuan pengetahuan yang akhirnya menyatu dalam pengetahuan absolut. Menurut Hegel, agama adalah pengetahuan absolut dalam bentuk simbolis, sedangkan fi lsafat dalam kenyataan karena sadar akan dirinya. Bukan kesadaran karena seakan-akan sang fi lsuf mengetahui semuanya, melainkan semuanya dapat dimengerti, semuanya dipahami sebagai sudah semestinya. Dengan memahami segalanya, rasa kaget, kecewa, dan frustasi hilang. Semuanya menjadi bening. Tentu saja bukan karena semua menguap dalam pengalaman mistis dan khayal, melainkan seluruh pluralitas tetap ada, tetapi dipahami sebagai tahap-tahap dialektis dalam perkembangan diri Ruh Semesta yang dalam kesadaran sang fi lsuf menemukan diri.

Inilah yang cacat dalam idealisme Hegel—bagi Marx dan materialisme dialektikanya. Karena imbas pemikiran idealisme pada dasarnya kacau: memahami dalam pengetahuan absolut itu sekaligus berarti memperdamaikan dan memaafkan. Apabila kita sadar bahwa apa saja yang telah terjadi dan sedang terjadi sudah semestinya terjadi, kita berdamai dengan apa yang terjadi, kita memaafkannya karena bagaimana kita dapat marah dan menolak jika kita mengerti bahwa semuanya itu sudah semestinya terjadi karena merupakan perjalanan dialektis Ruh dalam sejarah (karena anggapan inilah Kierkegaard meninggalkan Hegel dan menganggap bahwa Idealisme Hegel)? Dalam praktik ekonomi-politik yang nyata: jika segala apa yang terjadi dapat ditempatkan dan dimengerti, segala penderitaan dan ketidakadilan—bagi pandangan sang filsuf—kehilangan sengatnya; ia memahaminya, jadi ia memaafkannya—inilah watak idealis yang ditentang Karl Marx .

Tidak seperti idealisme , marxisme menganggap bahwa persepsi, ide, pandangan, dan teori kita merupakan refl eksi, bayangan dari yang menyimpang melalui praktik. “Manusia harus membuktikan kebenaran, misalnya realitas dan kekuasaan, keduniawian dari pemikirannya dalam praktik,” demikian menurut Marx. “Perdebatan mengenai realitas dan non-realitas pemikiran yang dipisahkan dari praktik adalah sebuah persoalan yang benar-benar skolastis!” Praktik adalah kriteria kebenaran karena ia mendasari pengetahuan tentang realitas dan karena hasil dari proses kognitif direalisasikan dalam aktivitas material, objektif manusia.

Marx menandaskan bahwa praktik adalah satu-satunya kriteria objektif dari kebenaran sejauh hal itu merepresentasikan bukan hanya mental manusia, melainkan juga keterkaitan manusia yang ada secara objektif dengan dunia alam dan sosial yang melingkupi diri manusia. Pasalnya, Alam “pada dirinya” tidak bisa menjadi objek pengetahuan jika ia bukan objek dari aktivitas manusia.Praktik inilah yang sekaligus menegaskan hakikat manusia sebagai “Kerja”—dan paradigma ini menjadi penting dalam sejarah masyarakat dan hubungan sosial.

Filsafat idealisme menjauhkan pengetahuan dari materi, eksistensi materi, alam, dan struktur objektif. Idealis telah lupa bahwa kita bisa melihat sesuatu dan fenomena di dunia ini (ada batu, pohon, makhluk hidup, air, dan rasa lapar yang semuanya bisa kita sentuh dengan tangan kita, lihat dengan mata kita, berat dan ukuran, indra kita). Benda-benda dan fenomena itu ada (eksis) di luar kita secara independen dari kesadaran kita: material object and phenomena are those which exist not in our consciousness, but outside it… they are exist objectively, i.e., in reality. Meskipun seorang pemikir mati, bendabenda tetap eksis, penindasan (dalam sistem perbudakan, feodal, dan kapitalis) tetap eksis.

Para ilmuwan besar borjuis bahkan menolak dengan tegas idealisme dan pragmatisme fi lsafat . Max Planck, meskipun seorang konservatif dan taat beragama, mengatakan dalam tulisannya “Wissenchaftliche Selbstbiographie” (Scientific Autobiography) bahwa “the external world is not dependent on us, it is a thing absolute in itself, a thing we must face, and the discovery of the law governing this absolute has always seemed to me the most wonderful task in scientifi st’s life.” Albert Einstein juga mendukung pandangan ini ketika dia mengatakan, “The believe in an external world independent of the perceiving subject is the basis of all natural science.”

Para filsuf idealis mengatakan bahwa dunia ada ketika ia diciptakan oleh ide, oleh pikiran. Dunia tidak ada sampai ia diciptakan oleh Tuhan adalah pandangan agama juga. Tentu saja idealisme dan agama tidak identik; ada perbedaan tertentu antara keduanya; yang sama adalah bahwa keduanya memperkenalkan idea , prinsip-prinsip spiritual sebagai basis dari keberadaan apa saja—di sinilah keduanya berhubungan. Materialisme mengajarkan bahwa materi (zat), alam, dan kenyataan ada secara eksternal dari manusia. Karena menerima sistem penindasan yang secara objektif eksis di luar manusia—dan bisa diketahui, dirasakan, dan diubah—apa yang kemudian dikatakan oleh idealis?

In reality, when these idealists talk of “impartiality” and of being “above parties”, they are in eff ect saying to the working people: “Keep away from the struggle against capitalism, against poverty.” And whom does that benefi t if not the capitalists and exploiter? Kembali bahwa idealisme mendukung segala sesuatu yang reaksioner dan absolut, yang mereka mulai dengan eksploitasi dan berakhir dengan klerik dan khayal—untuk mempertahankan sistem yang menindasnya.

Ketika kita mengatakan bahwa idealisme mengekspresikan kepentingan kelas reaksioner, sementara materialisme mengekspresikan kelas progresif, hal ini mengacu pada kecenderungan sejarah basis dalam perkembangan filsafat . Secara nyata, dapat ditemukan bahwa kaum (filsafat) materialis mengambil realitas, kehidupan nyata, sebagai basis teorinya. Mereka melayani kelas yang maju dan progresif, yang akan membawa pengetahuan lebih maju—tidak demi penindasan dan usaha konservatif reaksioner, tetapi demi universalitas kemanusiaan. Ekspresi konfl ik antara fi lsafat idealisme dan materialisme ini adalah perjuangan kelas. (Selama berabadabad fi lsafat hanyalah urusan para elite, bangsawan , tuan tanah, pemilik budak , dan borjuis . Para elite yang tidak punya kesibukan untuk kerja produktif —tetapi justru mengeksploitasi kerja budak, tani, dan buruh—memiliki waktu yang banyak untuk merenung, berpikir tentang alam-dunia, dan berfilsafat.

Dalam corak produksi peralihan dari antara zaman perbudakan ke feodal ditemukan bahwa para penindas ini yang mulai mampu berhitung dan membaca alam, dapat meramal alam berdasarkan logika alam —mereka mampu membaca waktu hujan, pergantian musim, dan banjir; pada akhirnya para budak dan hamba justru menganggap— dan elite-elite itu juga merasa —bahwa mereka adalah wakil dewa. Inilah arkeologis dan geneologi lahirnya pola pikir feodal ketika tuan-tanah, bangsawan, raja, dan kelas penindas dianggap sebagai wakil dewa dan Tuhan— sehingga penindasan yang ada dianggap sudah ‘takdir’). Sebaliknya, filsafat materialis, dengan demikian, adalah ekspresi kelas (dan kaum) progresif yang akan membawa cita-cita universal meskipun ia mewakili kelas proletar (baca: orang tertindas).

Materialisme dialektis adalah pandangan dunia yang mendekati gejala-gejala alam. Caranya mendekati gejala dan fenomena alam adalah dialektis, sedangkan interpretasinya mengenai gejala-gejala alam adalah materialis. Sementara itu, materialism historis adalah perluasan prinsip-prinsip materialisme dialektis pada studi mengenai kehidupan masyarakat.