Maskulinitas dapat didefinisikan secara sosial sebagai cara untuk menjadi seorang laki-laki (Tuncay, 2012). Sedangkan maskulinitas hegemonik adalah bentuk karakter maskulin yang- diidealkan secara kultural (Connel, 1990). Sehingga terjadi keseragaman konsep maskulinitas tertentu yang menjadi standar laki-laki untuk menjadi maskulin.
Kemudian muncul konsep maskulinitas tradisional menganggap tinggi nilai-nilai kekuatan, kekuasaan, ketabahan, aksi, kendali, kemandirian, kepuasan diri, kesetiakawanan laki-laki dan pekerjaan (Barker, 2000). Hal ini sangat bertolak belakang dengan konsep maskulinitas modern.
Konsep maskulinitas modern digambarkan dengan laki-laki yang lebih perhatian, sensitif, ekspresif dan bersedia melakukan pekerjaan domestik (Beynon, 2002). Ada pergeseran bentuk maskulinitas hegemonik yang timbul karena laki-laki kemudian mempunyai keberanian mengkritisi wacana kelelakiannya bagi mereka yang merasa terbebani dengan tradisi maskulinitas tradisional.
Ketika maskulinitas tradisional tidak lagi menjadi standar untuk menjadi laki-laki, maskulinitas modern menjadi maskulinitas yang hegemonik, yang diidealkan. Hal tersebut dipengaruhi oleh promosi iklan menjual berbagai citra yang menelikung ikon-ikon maskulinitas tradisional (Mort, dikutip Chapmann, 1988).
Butler (1990) memaparkan bahwa tubuh melakukan tindakan gender tertentu yang diulang, diperbaiki dan diperkuat seiring berjalanannya waktu. Dengan maraknya Korean Wave, representasi laki-laki Korea yang membawa atribusi cantik memunculkan identitas gender baru dalam maskulinitas. Hal ini menunjukkan bahwa konsep maskulinitas merupakan bentuk konstruksi sosial kultural yang dapat berubah dan bersifat dinamis.
Mort sebagaimana dikutip Chapman (1988), Maskulinitas bukan entitas yang statis dan tidak berubah, melainkan sebagai proses. Berbicara mengenai maskulinitas tentu saja tak bisa lepas dari pembicaraan mengenai gender. Secara umum, gender berbeda dengan jenis kelamin. Jenis kelamin dianggap sebagai konstruksi biologis yang dibawa setiap individu sesuai dengan kodratnya sejak lahir. Konstruksi ini tidak pernah berubah, lakilaki dan perempuan. Sedangkan gender adalah kontruksi sosial dan budaya.
Menurut Ostergaard (1997), konsep gender memungkinkan untuk membedakan secara biologis, perbedaan seksual antara perempuan dan laki-laki dari perbedaan budaya ditentukan antara peran yang diberikan atau dilakukan oleh setiap perempuan dan setiap laki-laki dalam suatu masyarakat tertentu. Hal tersebut menjelaskan bahwa setiap perempuan harus bertindak feminin dan laki-laki harus bertindak maskulin.
Konsep maskulinitas dalam literatur berbahasa Inggris sering kali didefinisikan dengan kata jamak, yakni masculinities. Hal ini dikarenakan pengertian tentang maskulinitas berbeda-beda di setiap tempat dan kebudayaannya. Budaya yang berbeda dan periode serta sejarah yang berbeda akan mengonstruksi konsep gender yang berbeda pula (Connel, 2000).
Beynon (2002) menambahkan, maskulinitas bukan bagian dari genetik laki-laki yang dibawa ketika mereka dilahirkan, melainkan sesuatu yang terbentuk dan teralkulturisasi oleh perilaku sosial, mereka mempelajari dan menirunya dengan cara yang sesuai.
Definisi maskulinitas yang beragam tidak duduk berdampingan, ada ketentuan sosial di dalamnya. Maskulinitas pun berhubungan dengan hierarki, di mana dalam suatu masyarakat terdapat maskulinitas dominan (hegemonik) dan maskulinitas yang terpinggirkan (Connel dan Connel, 2000).
Adanya hierarki ini, bukan hanya antara laki-laki dan laki-laki, namun laki-laki dan perempuan. Hal tersebut ditemukan hampir di semua kebudayaan. Hal tersebut menunjukkan bahwa maskulinitas baru yang terdapat unsur feminitas di dalamnya bukan lah yang bersifat hegemonik. Laki-laki hegemonik adalah laki-laki yang kaku, kuat, sukses, kompeten, serta otoriter yang mendapatkan reputasinya dari tempat ia bekerja dan meraih harga dirinya di area publik (Feasey, 2008).
Dengan kata lain, konsep maskulinitas dominan adalah laki-laki yang memiliki kekuatan dan berkuasa. Maskulinitas dominan ini biasanya bukan lah yang paling nyaman untuk dijalankan. Hal tersebut tidak mengurangi kredibilitas sebagai maskulinitas standar yang diharapkan oleh laki-laki (MacKinnon dikutip oleh Feasey, 2008).
Carrigan dkk sebagaimana dikutip oleh Feasey (2008) menjelaskan bahwa yang menjadi fokus utama dalam maskulinitas hegemonik ini adalah lakilaki mendapat keuntungan dari dominasinya atas kaum perempuan.