Apa yang dimaksud dengan Maskulinitas?

maskulinitas

Maskulinitas (disebut juga kejantanan atau kedewasaan ) adalah sejumlah atribut, perilaku, dan peran yang terkait dengan anak laki-laki dan pria dewasa. Maskulinitas didefinisikan secara sosial dan diciptakan secara biologis.

Apa yang dimaksud dengan maskulinitas?

Maskulinitas dapat didefinisikan sebagai cara menjadi pria sesuai apa yang diterima oleh masyarakat. MacInnes (1998; dalam Beynon, 2002: 2) menyebutkan bahwa maskulinitas terbentuk karena adanya fantasi bagaimana seorang pria itu seharusnya seperti apa dan bagaimana. Maskulinitas terkonstruksi agar orang- orang tahu harus bagaimana dalam hidupnya. Contoh yang paling umum adalah, seorang pria dilarang menangis karena menangis adalah sifat perempuan.

Pencitraan maskulinitas sendiri berbeda di setiap periodenya. Dalam Exhibiting Masculinity (1997), Sean Nixon menjelaskan bahwa di era 1980an- 1990an, ciri-ciri visual maskulin biasanya adalah pria dengan tubuh tegap dan kekar, memiliki dada dan lengan yang berotot. Hal tersebut dapat dilihat dalam beberapa kampanye produk celana jeans untuk pria, yang memperlihatkan bagian atas tubuh model yang kekar dan berotot. Sedangkan menurut Metcalf dan Humphries (1985; dalam Nixon, 1997: 296), maskulinitas memiliki karakter yang keras/kasar, berjiwa kompetitif, dan cenderung emosional dan dingin. Selain itu maskulinitas juga dicirikan dengan menjaga jarak terhadap hubungan yang melibatkan emosi, baik terhadap ayah maupun dengan pasangan.

Selain dikategorikan oleh fisik dan emosi, maskulinitas juga dapat dicirikan lewat gaya berpakaian. Dalam era 1980an—1990an di Amerika, menurut Nixon gaya berpakaian maskulin terbagi kedalam tiga kategori, yaitu gaya jalanan, gaya Italia-Amerika, dan gaya konservatif Inggris. Di dalam gaya jalanan ada perpaduan antara kelembutan anak laki-laki dan ketangguhan pria dewasa. Sedangkan dalam gaya Italia-Amerika maskulin cenderung digambarkan dengan gaya macho. Dan dalam kategori konservatif Inggris, lebih ditekankan pada kualitas dan tradisi yang dapat terlihat dari bahan-bahan yang dipakai.

Messner (1992; dalam Connel & Connel, 2000: 11), memberikan contoh tentang olahraga sepakbola yang dianggap sebagai olahraga maskulin dan yang paling dominan dalam dunia Barat, oleh sebab itu banyak pria yang menginginkan menjadi seorang pesepakbola. Olahraga ini, memiliki berbagai macam aturan, disiplin, rutinitas, serta dibayang-bayangi oleh cedera, sepakbola bukanlah olahraga yang paling nyaman. Namun demikian, kaum pria banyak yang memimpikan menjadi pesepakbola. Dapat dikatakan bahwa maskulinitas hegemonik ini merupakan maskulinitas yang paling diinginkan dan yang paling dihormati.

Maskulinitas pun berhubungan dengan hirarki, oleh sebab itu dalam satu masyarakat terdapat maskulinitas dominan (hegemonik) dan maskulinitas yang terpinggirkan (Connel & Connel, 2000). Adanya hirarki ini bukan saja hanya antara pria dengan pria, namun juga pria dengan wanita. Hal tersebut ditemukan di hampir semua kebudayaan. Laki-laki hegemonik adalah laki-laki yang kuat, sukses, kompeten, serta otoriter yang mendapatkan reputasinya dari tempat ia bekerja dan meraih harga dirinya di area publik (Feasey, 2008). Secara singkat, konsep kelelakian yang dominan adalah

“a man in power, a man with power, and a man of power” (Kimmel, 2004)."

Maskulinitas merupakan konsep tentang peran sosial, perilaku dan makna-makna tertentu yang dilekatkan pada laki-laki diwaktu tertentu. (Kimmel dan Aronson, 2002). Connell (2005) mengatakan bahwa maskulinitas diletakkan pada relasi gender, yaitu praktik yang melibatkan laki-laki dan perempuan serta berimplikasi pada pengalaman jasmaniah, sifat, dan budaya. Maskulinitas adalah kejantanan seorang laki-laki yang dihubungkan dengan kualitas seksual (Sastriani, 2007).

Menurut Barker (2001) maskulin merupakan sebuah bentuk konstruksi kelelakian terhadap laki-laki. Laki-laki tidak dilahirkan begitu saja dengan sifat maskulinnya secara alami, maskulinitas dibentuk oleh kebudayaan. Hal yang menentukan sifat perempuan dan laki-laki adalah kebudayaan.

Beynon (2007) mendefinisikan maskulin merupakan laki-laki yang terlihat sangat “kebapakan”, sebagai penguasa dalam keluarga, dan sosok yang mampu memimpin perempuan serta membuat keputusan yang utama. Connell (2000) mendefinisikan maskulinitas sebagai bentuk praktik gender yang merupakan konstruk sosial, maskulinitas mengacu pada tubuh laki-laki secara langsung maupun simbolis yang bukan ditentukan oleh biologis laki-laki.

Menurut Kimmell (2005) maskulinitas adalah sekumpulan makna yang selalu berubah tentang hal-hal yang berhubungan dengan laki-laki sehingga memiliki definisi yang berbeda pada setiap individu dan waktu yang berbeda. Sedangkan Morgan (dalam Beynon, 2007) mengatakan bahwa “ what is masculinity is what men and woman do rather than what they are ” yang artinya maskulinitas adalah apa yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan.

Sifat-sifat Maskulinitas

Sifat-sifat maskulinitas yang di kemukakan oleh David dan Brannon (dalam Demartoto, 2010) adalah sebagai berikut:

  1. No Sissy Stuff (tidak menggunakan barang-barang perempuan): seorang laki-laki sejati harus menghindari perilaku atau karakteristik yang berhubungan dengan perempuan.

  2. Be a Big Wheel (menjadi tokoh atau seseorang yang penting): maskulinitas dapat diukur dari kesuksesan, kekuasaan, dan pengaguman dari orang lain. Seseorang harus memiliki kekayaan, ketenaran, dan status yang sangat “lelaki”.

  3. Be a Sturdy Oak (menjadi seseorang yang memiliki kekuatan): kelakian membutuhkan rasionalitas, kekuatan, dan kemandirian. Seorang laki-laki harus tetap bertindak kalem dalam berbagai situasi, tidak menunjukkan emosi, dan tidak menunjukkan kelemahannya.

  4. Give em Hell (menunjukkan keberanian): laki-laki harus memiliki aura keberanian dan agresi, serta mampu mengambil risiko walaupun alasan dan rasa takut menginginkan sebaliknya.

Menurut Beynon (2007), mengatakan bahwa sifat-sifat maskulinitas dapat dikelompokkan sebagai berikut:

  1. New Man as Nurturer : laki-laki memiliki kelembutan sebagai seorang bapak, misalnya untuk mengurus anak, melibatkan peran penuh laki-laki dalam arena domestik.

  2. New Man as Narcissist : laki-laki menunjukkan maskulinitasnya dengan gaya hidup yuppies yang flamboyan dan perlente, laki-laki semakin suka memanjakan dirinya dengan produk-produk komersial seperti properti, mobil, pakaian atau artafek personal yang membuatnya tampak sukses.

  3. Sifat kelaki-lakian yang macho, kekerasan, dan hologanism, laki-laki membangun kehidupannya disekitar football atau sepak bola dan dunia minumminum, juga seks dan hubungan dengan para perempuan, mementingkan leisure time , bersenang-senang menikmati hidup bebas seperti apa adanya bersama teman-temannya, menonton sepak bola, minum bir, dan membuat lelucon-lelucon yang dianggap merendahkan perempuan.

  4. Laki-laki metroseksual lebih mengutamakan fashion, mungkin mirip dengan tipe maskulin yang ada pada tahun 1980-an, bahkan mungkin sama dengan laki-laki metroseksual adalah orang-orang yang peduli dengan gaya hidup yang teratur, menyukai detail, dan cenderung perfeksionis.

Maskulinitas dapat didefinisikan secara sosial sebagai cara untuk menjadi seorang laki-laki (Tuncay, 2012). Sedangkan maskulinitas hegemonik adalah bentuk karakter maskulin yang- diidealkan secara kultural (Connel, 1990). Sehingga terjadi keseragaman konsep maskulinitas tertentu yang menjadi standar laki-laki untuk menjadi maskulin.

Kemudian muncul konsep maskulinitas tradisional menganggap tinggi nilai-nilai kekuatan, kekuasaan, ketabahan, aksi, kendali, kemandirian, kepuasan diri, kesetiakawanan laki-laki dan pekerjaan (Barker, 2000). Hal ini sangat bertolak belakang dengan konsep maskulinitas modern.

Konsep maskulinitas modern digambarkan dengan laki-laki yang lebih perhatian, sensitif, ekspresif dan bersedia melakukan pekerjaan domestik (Beynon, 2002). Ada pergeseran bentuk maskulinitas hegemonik yang timbul karena laki-laki kemudian mempunyai keberanian mengkritisi wacana kelelakiannya bagi mereka yang merasa terbebani dengan tradisi maskulinitas tradisional.

Ketika maskulinitas tradisional tidak lagi menjadi standar untuk menjadi laki-laki, maskulinitas modern menjadi maskulinitas yang hegemonik, yang diidealkan. Hal tersebut dipengaruhi oleh promosi iklan menjual berbagai citra yang menelikung ikon-ikon maskulinitas tradisional (Mort, dikutip Chapmann, 1988).

Butler (1990) memaparkan bahwa tubuh melakukan tindakan gender tertentu yang diulang, diperbaiki dan diperkuat seiring berjalanannya waktu. Dengan maraknya Korean Wave, representasi laki-laki Korea yang membawa atribusi cantik memunculkan identitas gender baru dalam maskulinitas. Hal ini menunjukkan bahwa konsep maskulinitas merupakan bentuk konstruksi sosial kultural yang dapat berubah dan bersifat dinamis.

Mort sebagaimana dikutip Chapman (1988), Maskulinitas bukan entitas yang statis dan tidak berubah, melainkan sebagai proses. Berbicara mengenai maskulinitas tentu saja tak bisa lepas dari pembicaraan mengenai gender. Secara umum, gender berbeda dengan jenis kelamin. Jenis kelamin dianggap sebagai konstruksi biologis yang dibawa setiap individu sesuai dengan kodratnya sejak lahir. Konstruksi ini tidak pernah berubah, lakilaki dan perempuan. Sedangkan gender adalah kontruksi sosial dan budaya.

Menurut Ostergaard (1997), konsep gender memungkinkan untuk membedakan secara biologis, perbedaan seksual antara perempuan dan laki-laki dari perbedaan budaya ditentukan antara peran yang diberikan atau dilakukan oleh setiap perempuan dan setiap laki-laki dalam suatu masyarakat tertentu. Hal tersebut menjelaskan bahwa setiap perempuan harus bertindak feminin dan laki-laki harus bertindak maskulin.

Konsep maskulinitas dalam literatur berbahasa Inggris sering kali didefinisikan dengan kata jamak, yakni masculinities. Hal ini dikarenakan pengertian tentang maskulinitas berbeda-beda di setiap tempat dan kebudayaannya. Budaya yang berbeda dan periode serta sejarah yang berbeda akan mengonstruksi konsep gender yang berbeda pula (Connel, 2000).

Beynon (2002) menambahkan, maskulinitas bukan bagian dari genetik laki-laki yang dibawa ketika mereka dilahirkan, melainkan sesuatu yang terbentuk dan teralkulturisasi oleh perilaku sosial, mereka mempelajari dan menirunya dengan cara yang sesuai.

Definisi maskulinitas yang beragam tidak duduk berdampingan, ada ketentuan sosial di dalamnya. Maskulinitas pun berhubungan dengan hierarki, di mana dalam suatu masyarakat terdapat maskulinitas dominan (hegemonik) dan maskulinitas yang terpinggirkan (Connel dan Connel, 2000).

Adanya hierarki ini, bukan hanya antara laki-laki dan laki-laki, namun laki-laki dan perempuan. Hal tersebut ditemukan hampir di semua kebudayaan. Hal tersebut menunjukkan bahwa maskulinitas baru yang terdapat unsur feminitas di dalamnya bukan lah yang bersifat hegemonik. Laki-laki hegemonik adalah laki-laki yang kaku, kuat, sukses, kompeten, serta otoriter yang mendapatkan reputasinya dari tempat ia bekerja dan meraih harga dirinya di area publik (Feasey, 2008).

Dengan kata lain, konsep maskulinitas dominan adalah laki-laki yang memiliki kekuatan dan berkuasa. Maskulinitas dominan ini biasanya bukan lah yang paling nyaman untuk dijalankan. Hal tersebut tidak mengurangi kredibilitas sebagai maskulinitas standar yang diharapkan oleh laki-laki (MacKinnon dikutip oleh Feasey, 2008).

Carrigan dkk sebagaimana dikutip oleh Feasey (2008) menjelaskan bahwa yang menjadi fokus utama dalam maskulinitas hegemonik ini adalah lakilaki mendapat keuntungan dari dominasinya atas kaum perempuan.