Apa Yang Dimaksud Dengan Maqashid Syari’ah?

Maqashid Syariah

Islam sebagai agama samawi, memiliki kitab Al-Quran sebagai sumber utama yang mengandung berbagai ajaran. Sebagai sumber ajaran, Al-Quran tidak memuat peraturan-peraturan terperinci tentang ibadah dan muamalah. Artinya Allah hanya memberikan sebagian dasar-dasar dan prinsip dalam Al-Quran tentang masalah-masalah dalam hukum Islam. Selain itu Al-Quran mempunyai hadist sebagai media untuk menjelaskan firman Allah yang masih bermakna global. Berdasarkan dua sumber tersebut, aspek hukum dalam bidang muamalah oleh para ulama dikembangkan dengan mengaitkan dengan Maqashid Syari’ah.

Apa yang dimaksud dengan Maqashid syari’ah ?

Dikutip dari Hans Wehr dalam A Dictionary of Modern Written Arabic, Asafri menjelaskan tentang pengertian maqashid syari’ah. Secara bahasa, maqashid al-syari’ah terdiri dari dua kata, yaitu maqashid dan syari’ah. Maqas{hid merupakan bentuk jamak dari maqshad yang berarti
tujuan atau kesengajaan. Sedangkan syari’ah secara bahasa adalah ila alma’, yang berarti jalan menuju sumber air. Dapat diartikan pula sebagai jalan ke arah sumber pokok kehidupan.Menurut istilah, syariah merupakan hukum Allah yang ditetapkan sebagai pedoman manusia untuk keselamatan dunia dan akhirat. Kemudian maksud dari maqashid syari’ah adalah tujuan yang ingin dicapai dari suatu penetapan hukum.

Sebagaimana dikutip dari Izzudin, Ghofar Shidiq menjelaskan bahwa segala taklif (kewajiban) hukum merupakan untuk kemaslahan manusia baik di dunia maupun di akhirat. Al-Syatibi, dalam karya al-Muwafaqat, maqashid min syar’i alhukmi berarti yaitu tujuan hukum yang diturunkan oleh Allah kepada hambaNya. Dalam ungkapannya, al-Syatibi berkata :

هذه الشريعه… وضعت لتحقق مقاصدالشارع فى قيام مصالحمم فى الدين والديامعا

Selain itu dalam ungkapan yang lain, Syatibi juga mengatakan :

األحكام مشروعة لمصا لح العباد.

Pada kedua ungkapan tersebut memiliki arti dan makna yang sama, yakni terciptanya hukum tidak lain hanya untuk kemaslahatan manusia baik dunia maupun akhirat. Menurut Muhammad Abu Zahrah dalam hal ini menjelaskan bahwa tujuan hakiki hukum Islam adalah untuk kemaslahatan umat manusia. Tak ada satupun hukum dalam al-Quran maupun Sunnah melainkan terdapat kemaslahatan di dalamnya.

Macam-Macam Maqashid syari’ah

  1. Perlindungan Terhadap Agama
    Islam merupakan agama yang menjaga hak dan kebebasan, salah satunya adalah kebebasan berkeyakinan dan beribadah. Yakni setiap pemeluk agama berhak atas agamanya masing-masing agama serta madzhabnya. Tidak ada paksaan untuk pindah madzhab atau agama lain, serta tidak ada tekanan untuk berpindah dari keyakinan lain untuk masuk Islam.

    Al-Quran menolak segala bentuk pemaksaan. Sebab, orang yang diberi hidayah oleh Allah akan dibukakan mata batinnya. Lalu orang tersebut akan masuk Islam, tentunya masuk Islam sesuai kehendak hatinya, tanpa adanya paksaan. Karena barang siapa yang Allah butakan hatinya, pendengaran serta ditutup penglihatannya, maka tidak ada gunanya jika dipaksa masuk Islam. Untuk pemeluk nonmuslim, Islam menjaga tempat peribadatan dan menjaga kehormatan syiarnya. Bahkan al-Quran mengizinkan perang untuk menjaga kebebasan umat beragama. Maka jelas toleransi Islam dalam interaksi, muamalah, hubungan dengan tetangga, serta toleran dalam masalah kemanusiaan yang baik yaitu dengan kebaikan dan kemurahan hati. Inilah yang dibutuhkan dalam kehidupan seharihari.

  2. Perlindungan Terhadap Nyawa
    Syariat Allah sangat memuliakan jiwa manusia, sehingga harus dipelihara, dijaga, dipertahankan dan tidak menghadapkan dengan sumber kerusakan. Sedangkan kematian merupakan keluarnya ruh dari tubuh, dan struktur tubuh yang masih sehat, karena Allah yang mematikan. Manakala pembunuhan, dilakukan manusia dengan alat yang tajam untuk mengakhiri jiwanya. Dan jika membunuh, berarti telah menghancurkan dan merusak sesuatu yang bukan miliknya. Untuk itu Allah dan Rasul-Nya mengancam pelaku pembunuhan, membunuh dirinya, mempercepat hidupnya dengan berbagai siksaan di akhirat kelak.

  3. Perlindungan Terhadap Akal
    Akal merupakan sumber pengetahuan, cahaya mata hati, dan sumber kebahagiaan manusia, baik di dunia maupun akhirat. Akal sebagai penyebab surat perintah Allah tersampaikan, selain itu akal yang menjadikan manusia menjadi mulia, sempurna serta berbeda dengan makhluk lainnya. Tanpa akal, manusia tidak berhak mendapat kemuliaan, untuk itulah akal sebagai penyebab pembebanan pada manusia. Dengan akal, manusia dapat menjadi baik ataupun buruk bahkan dapat disiksa ataupun mendapat pahala tergantung pada kekuatan pengetahuan dan akal. Melalui akal, manusia dapat membedakan antara baik dan benar. Dengan akal, manusia mendapatkan petunjuk menuju ma’rifat kepada Tuhan yang membawa kabar gembira tentang surga dan memberi peringatan ancaman siksaan. Sehingga manusia mengoperasikan akal, dengan mempelajari hal-hal yang halal, haram, bermanfaat, baik dan buruk.

    Akal bertujuan untuk mencegah pemiliknya melakukan perbuatan yang buruk.menjaga akal dapat dilakukan dengan cara menjaga akal dengan ujian yang dapat melemahkan maupun merusaknya. Untuk melawan kejahatan, hak akal adalah memberikan sanksi atas pelanggaran sebagai perlindungan. oleh sebab itu, Islam memberikan sanksi terhadap peminum khamr maupun obat-obatan terlarang, dengan berbagai macam jenis, nama, dan cirinya. Karena keadaan mabuk dapat menyebabkan hilangnya pikiran, membunuh kemauan, meredupkan cahaya akal, dan mematikan cita-cita serta menyebabkan kehinaan.

    Oleh sebab itu, Islam memerintahkan untuk menjaga akal dan mencegah segala bentuk penganiayaan yang dapat menyebabkan berkurangnya akal atau kerusakan untuk menghormati dan memuliakan manusia. Sehingga pemiliknya tidak menjadi sumber kejahatan dan sampah masyarakat atau menjadikannya alat perantara kerusakan di dalamnya.

  4. Perlindungan Terhadap Kehormatan
    Islam menjamin kehormatan manusia dengan memberikan perhatian yang besar. Hal ini merupakan bentuk perlindungan terhadap manusia. Salah satu bentuk perlindungan tersebut adalah memberikan penghinaan terhadap pelaku dosa dengan siksaan yang pedih di kemudian hari. Diantaranya adalah sanksi yang diterapkan Islam untuk perbuatan zina dan penghancuran kehormatan. Perlindungan tersebut juga melalui mengharaman menggunjing, adu domba, mencela, serta perlindungan yang berhubungan dengan kehormatan manusia.

    Islam mengarahkan perhatian yang besar untuk membersihkan keluarga dari cacat lemah serta mengayomi dengan ketenangan untuk menjamin kehidupan. Salah satu usaha yang dilakukan adalah bahwa syariat Islam menetapkan, seorang yang melaksanakan perbuatan keji dengan merusak kehormatan, maka harus diberlakukan hukuman bagi pelaku.

  5. Perlindungan Terhadap Harta Benda
    Harta merupakan salah satu kebutuhan inti dalam kehidupan. Oleh karena itu manusia mencari harta demi menjaga eksistensi dan menambah kenikmatan materi. Namun, hal ini dibatasi dengan tiga syarat, yaitu harta dikumpulkan, digunakan dengan cara yang halal dan dikeluarkan hak Allah dan masyarakat yang berhak menerimanya. Sehingga harta dapat dinikmati dengan sesuka hati. Harta yang baik tentu berasal dari pekerjaan yang dianjurkan agama, yakni tidak dengan penipuan atau kecurangan. Selain dalam proses mendapatkan harta harus dengan cara yang halal, harta juga haris dilindungi. Perlindungan harta tersebut meliputi dua hal, diantaranya:

    • Harta mempunyai hak untuk dijaga keamanannya, baik dari tindak pencurian, perampokan atau tindakan lain yang memakan harta orang lain yang bukan haknya dengan cara yang salah.

    • Harta tersebut digunakan pada hal yang mubah,tanpa ada unsur mubazir atau menipu untuk hal yang dihalalkan Allah. Dan harta tersebut tidak dipergunakan dalam hal-hal yang kefasikan, minuman keras, atau berjudi.

    Islam memiliki target untuk menghindari semua bahaya yang muncul dari tindakan pemusatan harta, yakni harta akan berputar dikalangan orang kaya-saja. Dalam hal ini, benar-benar terdapat kerusakan dalam bidang materi, dunia, pikiran dan agama. Dalam Islam, harta merupakan harta Allah yang dititipkan kepada manusia. Sehingga kekayaan harus didistribusikan sesuai dengan kebutuhan, sehingga kekayaan orang-orang kaya tidak bertambah sehingga harta berubah menjadi penganiaya, dan membuat orang kaya tersebut melupakan sang pemilik harta.

Secara kebahasaan, maqashid al-syariah terdiri dari dua kata, yaitu maqashid dan syariah. Tren maqashid berasal dari bahasa arab yang merupakan bentuk jamak dari kata maqsud, yang berarti maksud,sasaran,prinsip,niat,tujuan akhir. Syariah secara bahasa berarti jalan ke sumber (mata) air, yakni jalan yang harus diikuti oleh setiap muslim. Syariah merupakan jalan hidup muslim, syariat memuat ketetapan-ketetapan Allah dan ketentuan Rasul-Nya baik berupa larangan maupun perintah, meliputi seluruh aspek hidup dalam kehidupan manusia.

Maqashid al-Syariah adalah maksud atau tujuan yang melatarbelakngi ketentuan-ketentuan hukum Islam atau dengan bahasa yang sederhana adalah maksud dan tujuan disyariatkannya hukum. Tujuan pensyariatan hukum adalah untuk kebahagiaan hidup manusia didunia dan akhirat, dengan jalan mengambil yang bermanfaat dan mencegah atau menolak yang merusak. Dengan kata lain, tujuan pensyariatan hukum adalah untuk mencapai kemaslahatan hidup manusia, baik rohani maupun jasmani.

Sebagaimana al-syatibi mengatakan bahwa hukum-hukum disyariatkan untuk kemaslahatan hamba. Adapun inti dari maqashid syariah adalah untuk mewujudkan kebaikan sekaligus menghindarkan keburukan, atau menarik manfaat dan menolak mudharat atau dengan kata lain adalah untuk mencapai kemaslahatan karena tujuan penetapan hukum dalam Islam adalah untuk menciptakan kemaslahatan dalam rangka memelihara tujuan- tujuan syara’.

Dan keberadaan Maqashid al-Syariah juga untuk mewujudkan kemaslahatan yaitu kebaikan bagi manusia baik di dunia maupun di akhirat yang dapat dicapai dengan terpenuhinya lima unsur maqashid syariah yaitu pemeliharaan agama, akal, jiwa, keturunan dan harta.

Pembagian Maqashid al- Syariah


Menurut Syathibi, maqashid dapat dipilih menjadi dua bagian yaitu menjelaskan bahwa maqshud asy-Syari’ terdiri dari beberapa bagian yaitu :

  1. Qashdu asy-Syari’fi Wadh’I asy-Syari’ah (tujuan Allah dalam menetapkan syariat).
  2. Qashdu asy- Syari’fi Wadh’I asy-Syari’ah lil Ifham (Tujuan Allah dalam menetapkan syariahnya ini adalah agar dapat dipahami)
  3. Qashdu asy-Syari’fi Wadh’I asy-Syari’ah li al-Taklif bi Muqatadhaha (Tujuan Allah dalam menetapkan syariah agar dapat dilaksanakan.

Dalam pandangan Syathibi, Allah menurunkan syariat (aturan hukum) bertujuan untuk menciptakan kemaslahatan dan menghindari kemadaratan, baik di dunia maupun diakhirat. Aturan- aturan dalam syariat tidaklah dibuat untuk syariah itu sendiri, melainkan dibuat untuk tujuan kemaslahatan.

Dengan bahasa yang lebih mudah, aturan-aturan hukum yang Allah tentukan hanyalah untuk kemaslhatan manusia itu sendiri. Syathibi kemudian membagi maqashid dalam tiga gradasi tingkat, yaitu dharuriyyat (primer), hajijiyyat (sekunder) dan tahsiniyyat (tersier). Dharuriyyat yaitu memlihara kebutuhan yang bersifat esensial bagi kehidupan manusia. Kebutuhan yang pokok itu ada lima yaitu : agama (al-din), jiwa (al-nafs), keturunan (an-nasl), harta (al-mal) dan akal (al-aql).

Sedangkan Hajijiyyat merupakan kebutuhan yang tidak bersafat esensial, melainkan kebutuhan yang dapat menghindarkan manusia dari kesulitan hidupnya. Tidak terpelihara kebutuhan ini tidak mengancam lima kebutuhan dasar manusia. Dan kalau Tahsiniyyat itu merupakan kebutuhan yang menunjang peningkatan martabat manusia dalam masyarakat dan di hadapan Tuhannya sesuai dengan kepatuhan.

Lebih lanjut terkait dengan tingkatan dalam Maqashid al- Syariah, Umar Chapra menjelaskan bahwa istilah penjagaan dalam maqashid bermakna pengembangan dan pengayaan secara terus- menerus. Disamping hal tersebut, Umar Chapra menyebutkan ahwa meletakkan iman (al-din) pada urutan pertama dan harta (al-mal) pada urutan terakhir merupakan suatu hal yang sangat bijaksana. Lebih lanjut beliau mengatakan bahwa tidak selamanya peringkat yang pertama menunjukkan yang pertama lebih penting atau sebaliknya.

Dalam mempermudah pemahaman dalam hal itu dapat digambarkan tentang gradasi tersebut berdasarkan peringkat kemaslahatan masing-masing sebagai berikut :

  1. Memelihara agama
    Menjaga atau memelihara agama berdasarkan kepentingan dapat dibedakan menjadi tiga peringkat :

    • Memelihara agama dalam peringkat dharuriyyat, yaitu memelihara dan melaksanakan kewajiban keagamaan yang masuk peringkat, seperti melaksanakan shalat lima waktu.

    • Memelihara agama dalam peringkat hajjiyyat, yaitu melaksanakan ketentuan agama, dengan maksud menghindari kesulitan, seperti shlat jamak dan qasahar.

    Kalau ketentuan ini tidak dilaksanakan maka tidak akan mengancam eksistensi agama, tetapi hanya akan mempersulit bagi orang yang melakukannya. (3) memelihara agama dalam peringkat tahsiniyyat yaitu mengikuti petunjuk agama untuk menjunjung tinggi martabat manusia, sekaligus melengkapi pelaksanaan kewajiban terhadap Tuhan, mislanya menutup aurat, baik didalam maupun diluar sholat, dll.

    Artinya bila tidak ada menutup aurat seseorang boleh shalat, jangan sampai meninggalkan shalat yang termasuk kelompok dharuriyyat. Kelihatannya menutup aurat ini tidak dikatogorikan sebagai pelengkap, karena keadaannya sangat diperlukan manusia. Namun kalau mengikuti pengelompokkan diatas tidak berarti sesuatu yang termasuk tahsiniyyat itu dianggap tidak penting, karena kelompok ini akan menguatkan kelompok hajjiyyat dan dharuriyyat.

  2. Memelihara Jiwa
    Memelihara jiwa, berdasarkan tingkat kepentinganya dapat dibedakan menjadi tiga peringkat :

    • Memelihara jiwa dalam peringkat dharuriyyat, seperti memenuhi kebuthan pokok berupa makanan untuk mempertahankan hidup.

    • Memelihara jiwa, dalam peringkat hajjiyyat, seperti diperbolehkan berburu binatang untuk menikamti makanan yang lezat dan halal. Kalau kegiatan ini tidak akan mengancam eksistensi manusia.

    • Memeliahra jiwa dalam peringkat tahsiniyyat, seperti ditetapkannya tata cara makan dan minum.

    Kegiatan ini hanya berhubungan dengan kesopanan dan etika, sama sekali tidak akan mengancam eksistensi jiwa manusia atau mempersulit kehidupan manusia.

  3. Memelihara akal
    Memelihara akal, dilihat dari segi kepentingannya, dapat dibedakan menjadi tiga peringkat :

    • Memelihara akal dalam peringkat dharuriyyat, seperti diharamkan meminum minuman keras dan lainnya

    • Memelihara akal dalam perigkat hajjiyyat seperti dianjurkannya menuntut ilmu pengentahuan. Jika hal itu tidak dilakukan maka tidak akan merusak akal.

    • Memelihara akal dalam peringkat tahsiniyyat.

    Seperti menghindarkan diri dari mengkhayal atau mendengarkan sesuatu yang tidak berfaedah. Hal ini erat kaitannya dengan etika, tidak akan mengancam ekstensi akal secara langsung.

  4. Memelihara keturunan
    Memelihara keturunan ditinjau dari segi tingkat kebutuhannya dapat dibedakan menjdai tiga peringkat:

    • Memelihara keturunan dalam peringkat dharuriyyat, seperti disyariatkan nikah dan diharamkan berzina.

    • Memelihara keturunan dalam peringkat hajjiyyat, seperti ditetapkannya ketentuan menyebutkan mahar bagi suami pada waktu akad nikah dan diberikan hak talak kepadanya.

    • Memelihara keturunan dalam peringkat tahsiniyyat, seperti disyariatkannya khitabah (tunangan) atau walimah dalam perwakinan.

    Hal ini dilakukan dalam rangka melengkapi kegiatan perwakinan. Jika hal ini diabaikan, maka tidak akan mengancam eksistensi keturunan dan tidak pula mempersulit bagi orang yang melaukan perkawinan.

  5. Memelihara harta.
    Dilihat dari segi kepentingannnya, memelihara harta dapat dibedakan menjadi tiga peringkat :

    • Memelihara harta dalam peringkat dharuriyyat, seperti syariat tentang cara pemilikan harta dan larangan mengambil harta orang lain dengan cara yang tidak sah.

    • Memelihara harta dalam peringkat hajjiyyat seperti syariat tentang jual beli dengan cara salam. Apabila cara ini tidak dipakai, maka tidak akan mengancam eksistensi harta, tetapi akan mempersulit orang yang memerlukan modal.

    • Memelihara harta dalam peringkat tahsinyyat, seperti tentang asuransi yang mana sebagai pelengkap dimasa yang genting.

    Dalam Skripsi Ekarian Katmas yang menecentuskan bahwa dalam ekonomi yang berkaitan dengan Maqashid al-Syariah dalam kesejahteraan M. Umar Chapra berpendapatan bahwa pemeliharaan tidaklah pelestraian melainkan bermakna pengembangan dan pengayaan secara terus menerus.

Referensi :
  • Nur Hayati, Ali Imran Sinaga, “ Fiqh dan Ushul Fiqh”, (Jakarta : Prenadamedia Group, Ed. 1, 2018).
  • Ekarina Katmas, “Analisis Program Pengentasan Kemiskinan Di Kecamatan Toyando Tam Perspektid Maqashid Al-Syariah”, (Malang : UIN Maulana Malik Ibrahim, 2018).
1 Like