Apa yang Dimaksud dengan Manusia dan Masyarakat Dilihat Menurut Analisis Kuno?

image

Pengertian mengenai manusia dan masyarakat selalu mengalami perubaha dari waktu ke waktu.

Apa yang dimaksud dengan manusia dan masyarakat menurut analisis kuno?

Perkembangan sosiologi di Indonesia merupakan berkah di tengah tengah pandangan mengenai masyarakat yang sifatnya sangat metafisik dan idealis. Sebagai ilmu positif, sosiologi memberi kemungkinan bagi masyarakat yang irasional menuju pemahaman objektif terhadap gejala-gejala sosial yang memang perlu dijelaskan untuk memahami masyarakat dan perubahannya.

Pemahaman tentang masyarakat sebelum menyebarnya pengetahuan rasional , berupa pandangan-pandangan tentang masyarakat dari kalangan istana, para pujangga, dan sumbersumber pengetahuan lainnya. Pandangan tentang masyarakat dan hubungan-hubungan sosial juga bisa muncul dari sang raja, yang kadang titah-titah dan ucapan-ucapannya juga mengandung ajaran sosiologis yang bersifat normatif.

Sebagai misal, di Jawa muncul ajaran “Wulang Reh” yang diciptakan oleh Sri Paduka Mangkunegoro IV dari Surakarta. Isinya mengajarkan bagaimana tata hubungan di antara para anggota masyarakat Jawa yang berasal dari golongan-golongan yang berbeda. Ajaran itu dianggap mengandung aspek-aspek sosiologis, terutama dalam bidang hubungan antar-kelompok masyarakat.

Tentu ajaran-ajarannya bersifat subjektif karena lahir dari kalangan istana yang juga mencerminkan cara pandang kalangan istana atau strata sosial elite yang memiliki kepentingan untuk melanggengkan kepentingan kelas atasnya. Tak terbantahkan kalangan raja dalam sistem ekonomi kerajaan yang bersifat feodalistis (berbasis pada kepemilikan tanah yang tidak adil) merupakan penguasa yang telah mendapatkan posisi nikmat sejak beratus-ratus tahun.

Pandangan-pandangan tentang masyarakat selama kekuasaan ini bercokol juga melahirkan norma dan etika demi kepentingan penguasa agar rakyat jelata tunduk pada kekuasaan tersebut agar mau tunduk atas hubungan dominatif yang dalam banyak hal mengisap. Para kaum bangsawan hidup di istana mewah, sedangkan rakyat jelata harus bekerja di ladang-ladang dan hasilnya disetorkan ke istana.

Hubungan objektif dalam masyarakat seperti itu, terutama aspek penindasannya, sama sekali tak terkuak oleh analisis sosial, apalagi dari kalangan istana. Sebenarnya, ada pandangan-pandangan yang menguak ketidakadilan, tetapi lagi-lagi masih diekspresikan secara tidak objektif dan masih diwarnai subjektivisme tradisional, misalnya pandangan yang diwarnai paham keagamaan dan kepercayaan yang kuat.

Di zaman kerajaan, selalu muncul berbagai macam pemberontakan dan gejolak meskipun ekspresi budayanya dibungkus dalam aroma keagamaan, misalnya pemberontakan Ken Arok yang bernuansa pertentangan antara pengikut Siwa dan Wisnu. Ibarat Robinhood di Inggris yang mencuri harta orang-orang kaya untuk perjuangan dalam membela kaum tani, atau seperti kisah Jawa tentang Brandal Lokajaya di Alas Mentaok yang merampok orang-orang kaya untuk diberikan pada rakyat kecil, Arok menjadi perampok untuk kemudian hasil rampokannya dijadikan sebagai dana persiapan untuk menjatuhkan Orde Ametung.

Di tangan Arok, hasil rampokan berhasil dikelola untuk menggerakkan massa dari berbagai kalangan. Dengan gerakan massa yang dipimpinnya, Arok tak mesti memperlihatkan tangannya yang berlumut darah mengiringi kejatuhan Ametung di Bilik Agung Tumapel. Arok menggunakan tangan musuhnya, dengan memperdayakan Dedes untuk merayu musuh politiknya dari keturunan Kesatria. Arok berhasil menjadikan Dedes sebagai umpan, yang kemudian dapat menjadikan musuhnya sebagai umpan yang dituduh sebagai pembunuh penguasa Tunggul Ametung . Dengan siasatnya tersebut, Arok tampil ke muka tanpa cacat. Sementara, Dedes yang merasa sangat pantas menjadi Akuwu karena keturunan kaum Agama, harus rela menyerahkan kekuasaannya kepada Tunggul Ametung dan Ken Umang sang Permaisuri dari Kalangan Sudra.

Akan tetapi, memang perlawanan terhadap penindasanlah yang memunculkan pemahaman baru tentang masyarakat, yang tak hanya mengikuti cara pandang sosial dari kalangan kelas atas. Hal ini sudah terjadi sejak zaman lama di berbagai belahan Nusantara. Perlawanan-perlawanan dan ketidakpuasan terhadap kekuasaan dan kalangan istana yang menindas dan mengisap memunculkan semacam “khayalan-khayalan sosiologis” yang diungkapkan dengan berbagai bentuknya.

Hingga sekarang, kita masih mendengar peribahasa, cerita, dan dongeng perlawanan tanpa akhir dari para pengembara ksatria yang setia pada rakyat kecil: seperti Joko Umboro, Joko Lelono, dan sering dengan mengangkat cerita budaya di luar mainstream Kraton, seperti Syaikh Siti Jenar, Arya Penangsang, Mangir, atau Centhini, atau menulis satir dengan nama-nama gelap seperti yang disinyalir dikerjakan oleh Ronggo Warsito. Sampai pada tokoh pergerakan Tjiptomangunkusumo, Mangir dijadikan tokoh untuk melawan feodalisme Kraton, Ronggo Warsito sampai pada Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) masih harus diteliti dan diterjemahkan syair-syair kerakyatannya. Arya Penangsang—oleh sastrawan Pramoedya Ananta Toer —dapat dikatakan sebagai tokoh yang memberontak terhadap kebudayaan yang beku, pedalaman.

Beberapa peribahasa—mencerminkan imaji sosiologis—yang masih tertinggal hingga sekarang yang dianggap maju, progresif menjelaskan ketertindasan rakyat, dan memberi ruang kesadaran untuk melawan, misalnya adalah ungkapan-ungkapan kata seperti ini,

“Nek awan duweke sing nata nek wengi duweke dursila”; “Mutiara asli tetap berkilau, meski ditutupi lumpur kebohongan”; “Becik ketitik ala ketara”; “Siapa menanam angin, akan menuai badai”; “Berakit-rakit ke hulu berenang-renang ketepian – Bersakit-sakit dahulu, bersenangsenang kemudian”; “Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing”; “Ada udang di balik batu”; “Sedia payung sebelum hujan”.

Peribahasa-peribahasa ini belum diteliti latar belakang kemunculannya dan kapan. Hanya alat budaya yang muncul pada masa seperti ini kebanyakan berupa puisi yang kemudian disarikan dalam pepatah dan peribahasa. Atau, malah sebaliknya: hanya pesan-pesan bijak. Akan tetapi, bukankah ia mewakili ekspresi fi lsafat orang-orang yang curiga pada kekuasaan dan penindasan atau penipuan; yang bahkan menjunjung tinggi nilai kebersamaan.

Melawan kebudayaan yang gelap berarti melawan kepentingan orang-orang yang menikmati kegelapan tersebut, dan secara lambat laun akan menghasilkan pemahaman terhadap diri dan hubungan sosialnya yang lebih rasional , dibantu dengan perkembangan pengetahuan dan teknologi—meskipun ilmu pengetahuan dan teknologi modern Indonesia belakangan dibawa oleh penjajahan Barat (Belanda) dan bukan lahir dari masyarakatnya sebagai produk revolusi pemikiran dan filsafat.

Indonesia masih begitu terbelakangnya pada saat kolonialis Barat masuk ke Nusantara. Keterbelakangan itu disebabkan oleh adanya corak produksi feodal ketika rakyat hidup dengan bercocok tanam, tetapi hasil dari tanah kebanyakan harus diserahkan kepada tuan-tuan feodal, bangsawan , dan raja-raja. Ketimpangan Barat dan Timur (termasuk Indonesia) sangatlah nyata meskipun berada dalam waktu yang sama. Pada saat kita masih gelap tanpa penerangan, Barat telah menggunakan listrik. Penemuan energi di Barat sudah memajukan peradabannya, sudah ada alat transportasi, teknologi, mesin cetak, sudah mengenal baca tulis, dan bacaan untuk menyebarkan pengetahuan dan analisis mengenai manusia dan masyarakat—pada saat rakyat Nusantara masih berkomunikasi dan menyebarkan pemahaman dengan dongeng yang tentu saja dipenuhi dengan pemujaan pada para orang-orang besar (penguasa) karena si pembuat dongeng adalah para pembantu-pembantu si penindas (raja-raja dan tuan tanah-tuan tanah).