Apa yang dimaksud dengan Mandi Jinabat (mandi wajib) atau mandi junub ?

Mandi adalah mencuci tubuh dengan air dengan cara menyiramkan air ke badan atau merendam badan di dalam sungai, danau, telaga, laut, kolam, atau bak mandi. Manusia perlu mandi untuk menghilangkan bau, debu, dan sel-sel kulit yang sudah mati.

Apa yang dimaksud dengan Mandi Jinabat (mandi wajib) atau mandi junub ?

Mandi wajib sama dengan mandi junub. Dengan demikian tidak ada perbedaan antara mandi wajib dengan mandi junub.

Tidak ada perbedaan bagi pria dan wanita dalam hal sifat mandi junub, kecuali mandi haid dan nifas. Mandi dari haid dan nifas, pada dasarnya, sama seperti mandi junub. Yaitu harus terpenuhi dua rukun utama, niat dan meratakan air ke seluruh tubuh dari ujung rambut sampai pangkal kaki. Tidak boleh ada satu titik dari itu yang tidak terbasuh air.

Tata cara mandi janabat sesusai sunnah berlaku pada mandi untuk bersuci dari haid. Hanya saja ada beberapa tambahan sebagai berikut:

1. Disunnahkan menggunakan sabun dan alat pembersih lainnya selain air agar hilang bau tidak sedap dari sisa haid

Dasarnya dalah hadits Aisyah radhiyallahu 'anha, Asma’ bertanya kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tentang cara mandi dari haid, maka beliau bersabda,

“Hendaknya salah seorang kalian menyiapkan air dan daun bidara, lalu bersuci dengannya dengan sempurna (yaitu berwudhu menurut keterangan sebagian ulama). Kemudian dia menuangkan air di atas kepalanya dan mengosoknya dengan kuat sehingga air membasahi kulit kepalanya. Lalu mengguyurkan air ke atas tubuhnya. Kemudian ambillah sepotong kapas yang telah dibubuhi minyak wangi, lalu bersihkanlah dengannya.”

Lalu Asma’ bertanya, Bagaimana wanita membersihkan dengan kapas itu?” Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, “Subhanallah, bersihkanlah dengannya.”

Aisyah radhiyallahu 'anha berkata, “Seakan-akan wanita tersebut tidak mengetahuinya, yaitu engkau membersihkan bekas darah itu dengannya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

2. Mengurai rambutnya yang dikepang dan menggosok kulit kepala dengan kuat sehingga air sampai ke kulit kepalanya

Dasarnya adalah hadits di atas,

“Kemudian dia menuangkan air di atas kepalanya dan menggosoknya dengan kuat sehingga air membasahi kulit kepalanya.”

Ini menunjukkan bahwa beliau shallallahu 'alaihi wasallam tidak mencukupkan hanya dengan menuangkan air, seperti halnya mandi junub. Apalagi dalam kelanjutan hadits tersebut ditanyakan juga tentang mandi janabat, lalu beliau shallallahu 'alaihi wasallam menjawab,

“Kemudian dia menuangkan air di atas kepalanya dan mengosoknya sehingga air membasahi kulit kepalanya” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

tanpa ada tambahan fatadlukuhu dalkan syadidan (dan mengosoknya dengan kuat). Dengan demikian, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam membedakan cara menyiram dan mengucek rambut dalam mandi janabat dan mandi selepas haid. Bagi wanita yang haid ditekankan agar bersuci dan mengucek kepalanya dengan kuat dan sungguh-sungguh. Sedangkan dalam mandi janabat tidak ditekankan hal itu.

Berkaitan dengan rambut yang dikepang, ketika mandi junub dibolehkan untuk tidak melepas ikatan rambutnya. Ini berbeda dengan mandi selepas haid, yang sangat dianjurkan untuk melepas kepangannya dan mengurai rambutnya.

Diriwayatkan dari Ummu Salamah radhiyallahu 'anha, ia berkata, “Aku pernah bertanya kepada Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam, sesungguhnya aku seorang wanita yang suka menggelung/mengepang rambut. Haruskan aku melepasnya saat mandi junub? Beliau menjawab,

“Tidak, cukup bagimu menyiram kepalamu 3 kali dan selanjutnya engkau ratakan air ke seluruh tubuh. Dengan demikian engkau telah suci.” (HR. Muslim dan Ashabus Sunan. Hadits ini dishahihkan oleh syaikh Al-Albani dalam Irwa Ghalil no. 136)

Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam pernah bersabda kepada ‘Aisyah saat mendapat haid ketika melaksanakan haji, “Tinggalkan (rangkaian tertentu ibadah) umrahmu, lepaskan ikatan rambutmu (saat mandi), dan sisirlah rambutmu.” (HR. al-Bukhari)

Syaikh Bin Bazz rahimahullaah menjelaskan dalam Ta’liqnya atas Mutaqa al-Akhbar milik Ibnu Taimiyah, “Lebih dianjurkan bagi wanita haid untuk melepas ikatan rambutnya saat mandi sehabis haid, namun tidak dianjurkan baginya untuk melepasnya saat mandi junub.”

Hukum Mengurai Rambut Saat Mandi Haid

Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum rinci tentang mengurai rambut yang dikepang bagi wanita haid saat mandi haid.

  • Imam Syafi’i, Malik, dan Abu Hanifah berpendapat: Hukumnya dianjurkan, bukan wajib.
  • Imam Ahmad, al-Hasan al-Bashri, dan Thawus berpendapat bahwa wanita yang mandi dari haid wajib melepas ikatan rambutnya, berdasarkan hadits-hadits yang lalu.

Menurut Pengarang Shahih Fiqih Sunnah, pendapat kedua-lah yang lebih kuat dalam masalah ini, seperti yang telah ditahqiq oleh Ibnul Qayyim rahimahullaah.

Lalu Syaikh Abu Malik Kamal berkata, “Berdasarkan hal ini, maka wajib bagi wanita untuk mengurai rambutnya apabila hendak mandi dari haid atau nifas secara khusus. Dan inilah yang lebih selamat untuk diamalkan.” (Shahih Fiqih Sunnah: I/293)

“Berdasarkan hal ini, maka wajib bagi wanita untuk mengurai rambutnya apabila hendak mandi dari haid atau nifas secara khusus. Dan inilah yang lebih selamat untuk diamalkan.” (Shahih Fiqih Sunnah: I/293)

Hikmah Mengurai Rambut

Tujuan dari mengurai rambut dan melepaskan kepangan adalah untuk meyakinkan sampainya air ke dasar rambut. Hanya saja pada mandi janabat (junub) masih ditolerir, karena seringnya hal itu dilakukan dan karena adanya kesulitan yang sangat saat mengurainya. Lain halnya dengan mandi haid yang hanya terjadi setiap sebulan sekali. (Disarikan dari Tahdziib Sunan Abi Dawud, Ibnul Qayyim: I/167, no. 166)

3. Mengoleskan sepotong kain atau kapas yang dibubuhi minyak wangi ke kemaluannya dan bagian tubuh yang terkena darah sesudah mandi

Dianjurkan bagi wanita untuk menggunakan sepotong kain atau kapas yang telah dibubuhi minyak wangi dan mengoleskan pada kemaluannya sesudah mandi. Demikian juga bagian tubuh yang terkena darah, hendaknya dibersihkan dengan kapas tadi. Hal ini didasakan pada hadits Aisyah di atas tentang pertanyaan Asma’ radhiyallahu 'anhuma.

Hikmahnya

Para ulama berbeda pendapat tentang hikmah dianjurkannya memakai minyak wangi ini. Dan pendapat yang kuat, tujuan mengoleskan minyak wangi tadi untuk menghilangkan bau yang tidak sedap dan supaya kemaluan dan tempat terkena darah haid menjadi harum. Karenanya, jika tidak didapatkan minyak wangi bisa digantikan dengan benda lain yang memiliki bau harum atau yang bisa menghilangkan bau tidak sedap. Jika semua itu tidak didapatkan, maka menggunakan air saja sudah cukup. Namun jika ada minyak wangi tapi tidak menggunakannya, maka dimakruhkan.

Tujuan mengoleskan minyak wangi tadi untuk menghilangkan bau yang tidak sedap dan supaya kemaluan dan tempat terkena darah haid menjadi harum.

Anjuran ini ditujukan kepada setiap wanita yang bersih dari nifas atau haid, baik dia punya suami atau tidak. Dan tentunya bagi yang bersuami lebih ditekankan, agar suami bersemangat untuk menggaulinya sesudah suci, sebagaimana anjuran bagi suami untuk segera menggauli istrinya sesudah berhenti dari haid dan nifas. Wallahu Ta’ala A’lam.

Bagaimana Dengan Wanita yang Sedang Berkabung?

Pada dasarnya wanita yang sedang berkabung tidak boleh memakai minyak wangi. Namun, untuk mandi dari haid diberi keringanan. Karenanya dia tetap dianjurkan untuk memakai minyak wangi untuk menghilangkan bau tidak sedap pada kemaluannya dan tempat yang terkena darah haidnya, walaupun dia sedang berkabung atas kematian suami atau salah seorang keluarganya.

Bagi wanita yang ditinggal suaminya tetap dianjurkan untuk memakai minyak wangi untuk menghilangkan bau tidak sedap pada kemaluannya dan tempat yang terkena darah haidnya

Dasarnya adalah hadits Ummu ‘Athiyah radhiyallahu 'anha tentang hal-hal yang dilarang ketika sedang berkabung, “Kami tidak boleh memakai minyak wangi dan tidak boleh memakai pakaian yang dicelup, kecuali pakaian yang biasa untuk bekerja. Namun kami diberikan keringanan, jika salah seorang kami mandi setelah ia suci dari haidnya untuk menggunakan sepotong kapas yang dibubuhi minyak wangi.” (HR. Al-Buhkari, no. 313)

Kata Jinabat asalnya bermakna “jauh”, sehingga makna junub adalah kejauhan. Jinabat digunakan dalam pengertian tumpah dan dalam pengertian jima ’ (bersetubuh). Mandi menjadi kewajiban orang yang junub , yaitu orang yang tidak suci karena mengeluarkan mani atau karena bersetubuh. Ia disebut demikian karena dengan jinabat ia jauh dari menunaikan salat selama dalam kondisi tersebut. Junub adalah lafal yang berlaku sama bagi laki-laki dan perempuan, individu maupun orang banyak. Karena itu, laki-laki disebut junub, perempuan disebut junub, satu orang disebut junub, dan banyak orang pun disebut junub.

Jinabat mempunyai dua sebab:

  • Pertama adalah keluarnya mani dari laki-laki atau perempuan karena sebab apa saja, baik keluarnya karena mimpi, bermain-main, melihat, atau memikirkan.

  • Kedua , bersetubuh baik keluar mani maupun tidak keluar mani.

Hal-hal berikut dilarang karena jinabat:

  • Salat fardlu maupun shalat sunnah.
  • Diam di masjid dan duduk di dalamnya (iktikaf).
  • Thawaf di sekitar Ka’bah, baik thawaf fardlu maupun thawaf sunnah.
  • Membaca al-Quran.
  • Menyentuh mushaf atau membawa Al Qur’an.

Cara mandi junub bagi laki-laki dan perempuan adalah sebagaimana Rasulullah SAW contohkan,

“Apabila beliau mandi junub terlebih dahulu beliau mencuci kedua tangannya. Kemudian beliau tuangkan air dengan tangan kanan ke tangan kiri kemudian di basuh kemaluannya. Sesudah itu beliau wudhu seperti wudhu para umumnya. Setelah itu diambilnya air lalu dimasukkannya dengan ujung-ujung jari ke pangkal rambut, sehingga apabila di rasa sudah merata, maka disiram kepalanya tiga kali dengan tiga genggam (gayung) air. Setelah itu barulah beliau menyiram seluruh badannya”.

Rasulullah SAW bersabda :

“Saya (Maimunah) menyediakan air untuk mandi Rasulullah SAW mula-mula kutuangkan air ke atas kedua tangan beliau, maka dibasuh- nya dua atau tiga kali. Kemudian dituangkannya air dengan tangan kanan ke tangan kiri lalu dibasuh kemaluannya. Sesudah itu digosok-gosokannya tangannya ke tanah. Setelah itu beliau berkumur-kumur dan istinsyaq. Kemudian dibasuhnya muka dan kedua tangannya, lalu dibasuhnya pula kepalanya tiga kali. Sesudah itu disiramnya seluruh rambutnya. Kemudian dia berdiri dari tempatnya lalu dibasuhnya kedua kakinya. Maimunah menambahkan “Maka aku berikan kepada beliau sehelai handuk, tetapi beliau tidak menghendakinya, bahkan beliau meyiramkan air dengan tangannya” (HR. Muslim).