Manajemen perubahan adalah sebuah pendekatan terstruktur yang digunakan untuk membantu baik individu, tim maupun organisasi untuk transisi dari kondisi saat ini menuju kondisi baru yang lebih baik (Coffman and Lutes, 2007). Dalam literatur yang lain manajemen perubahan didefinisikan sebagai transformasi organisasi dengan maksud agar selaras dengan eksekusi strategi perusahaan yang sudah dipilih.
Manajemen perubahan merupakan manajemen manusia dalam proyek perubahan berskala besar (Marchewka, 2003). Dari definisi diatas dapat kita lihat bahwa kesiapan dari organisasi dan individu-individu dalam organisasi menghadapi perubahan menjadi faktor yang menentukan apakah perubahan berhasil atau tidak.
Faktor Penentu Kesuksesan Manajemen Perubahan
Dalam manajemen perubahan terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilannya. Faktor tersebut terdiri dari soft factor (motivation, communication dan leadership) yang merupakan faktor–faktor yang tidak terukur dan hard factor (duration, integrity, commitment dan effort) yang merupakan faktor-faktor yang terukur (Sirkin et al., 2005). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sirkin dan kawan-kawan pada 225 perusahaan, mereka menemukan bahwa pada setiap inisiatif perubahan kedua faktor tersebut akan menentukan hasil akhir dari perubahan (keberhasilan atau kegagalan). Oleh karena itu faktor-faktor inilah yang harus menjadi perhatian untuk menentukan keberhasilan dari manajemen perubahan.
KERANGKA KERJA MANAJEMEN PERUBAHAN
Terdapat beberapa model yang dapat digunakan sebagai kerangka kerja manajemen perubahan. Dalam setiap model terdapat serangkaian langkah- langkah yang harus dilakukan dan hasil-hasil yang akan dicapai pada setiap langkah.
1. Enterprise Wide Change (Haines, 2005)
Enterprise adalah suatu entitas yang sistemik dan komplek, yang dapat berbentuk organisasi pribadi maupun organisasi publik baik profit maupun non profit. Organisasi sebagai salah satu bentuk enterprise yang terus berkembang, dimana perkembangan tersebut membutuhkan perubahan. Oleh karena itu perubahan dalam organisasi adalah suatu keniscayaan.
Enterprise Wide Change (EWC) merupakan suatu konsep yang melihat perubahan suatu organisasi tidak secara parsial atau komponen-komponennya saja tetapi secara utuh atau sistemik. Karena pengaruh dari EWC berdampak kepada seluruh komponen dari organisasi (Haines, 2005).
EWC memiliki karakteristik yang membedakanya dengan perubahan yang tidak komprehensif :
- Memiliki dampak secara struktural dan mendasar kepada seluruh organisasi atau unit dimana perubahan terjadi.
- Memiliki dampak yang strategis, karena perubahan akan membawa organisasi ke posisi yang lebih baik.
- Perubahan bersifat komplek, chaos dan radikal.
- Berskala besar dan membutuhkan tranformasi organisasi.
- Membutuhkan jangka waktu yang panjang.
- Perubahan budaya, karena perubahan akan membawa perubahan norma, kebijakan, nilai dan perilaku.
Dari karakteristik tersebut maka perubahan yang berdampak pada organisasi bukan merupakan sesuatu yang sederhana. Perubahan memerlukan strategi dan perencanaan yang matang. Sehingga dalam manajemen perubahan seluruh komponen organisasi harus menjadi perhatian. Dalam EWC digunakan pendekatan system thinking dalam melakukan perubahan
2. System Thinking Approach (Haines, 2005)
Organisasi dalam era abad 21 memiliki kompleksitas yang sangat tinggi, baik dalam struktur organisasi maupun kegiatannya. Dengan kompleksitas yang tinggi maka dalam melihat suatu perubahan organisasi, kita tidak bisa melihatnya dari salah satu komponen saja dalam suatu organisasi.
System Thinking merupakan suatu pendekatan menyeluruh dalam manajemen perubahan yang terfokus dalam hasil akhir dari suatu perubahan. Kemudian akan ditentukan faktor-faktor yang mempengaruhi dan langkah-langkah apa yang diperlukan untuk mencapai hasil akhir tersebut. Dalam pendekatan system thinking ada 5 fase yang harus dilalui yaitu :
-
Fase A : Positioning Value/Strategic Position (Menentukan posisi strategis)
Fase ini merupakan tahapan dalam system thinking dimana apa yang menjadi tujuan/posisi strategis organisasi didefinisikan dengan jelas. Posisi inilah yang akan dicapai dengan perubahan organisasi.
-
Fase B : Measures Goals ( Mengukur Tujuan)
Dalam fase ini ditentukan ukuran-ukuran dan mekanisme yang digunakan untuk melihat apakah tujuan telah dicapai.
-
Fase C : Assesment Strategy (Strategi Assesmen)
Pada fase ini ditentukan gap (kesenjangan) antara kondisi saat ini dan kondisi yang diinginkan. Sehingga dapat ditentukan langkah- langkah untul mencapai kondisi yang diingin dengan lebih baik.
-
Fase D : Acions Level-level (Aktifitas perubahan)
Fase ini akan mendefinisikan dan mengimplementasikan strategi yang akan mengintegrasikan semua proses, aktifitas, hubungan dan perubahan yang dibutuhkan untuk mengurangi gap atau untuk merealisasikan tujuan yang sudah ditentukan pada fase A.
-
Fase E : Environment Scan (Identifikasi Lingkungan Eksternal)
Pada fase ini dilakukan identifikasi lingkungan eksternal yang mempengaruhi perubahan. Identifikasi ini dilakukan dengan menggunakan scanning framework (kerangka kerja identifikasi) SKEPTIC (Social C(K)ompetition Economic Politics Technology Industri Customer) Hasil identifikasi ini akan memberikan arah dan seberapa besar perubahan yang akan dilakukan.
Gambar System Thinking Approach (Haines, 2005)
Dari gambar diatas dapat kita lihat bahwa pendekatan ini merupakan siklus dari fase-fase dimana apa yang sudah dihasilkan dalam satu siklus akan menjadi input untuk siklus berikutnya. Pada pendekatan ini reaksi-reaksi yang muncul dari individu-individu yang mengalamai perubahan digambarkan dalam The Rollercoaster of Change. Pada The Rollercoaster of Change menggambarkan ada 6 tahapan dalam menghadapi perubahan yaitu :
-
Start Smart, pada tahap ini disebut juga pre-planning atau tahap awal perencanaan perubahan dimana individu-individu bersiap-siap untuk perubahan. Ada proses edukasi dalam tahap ini.
-
Shock, pada tahap ini dimulainya perubahan dengan ditandai kickoff oleh change leader (pemimimpin perubahan). Pada tahap ini biasanya reaksi yang muncul adalah shock (keterkejutan) dari individu-individu. Keterkejutan ini muncul akibat ketidaksiapan mereka menghadapi perubahan.
-
Depression/anger, pada tahap ini perubahan sudah dilakukan dan reaksi-reaksi yang muncul akibat adanya reorganisasi, perubahan pekerjaan dan tanggung jawab karena perubahan mulai nampak dengan jelas dalam bentuk depresi, kemarahan dan perasaan kehilangan dari individu-individu.
-
Hang In/Persevere, pada tahap ini reorganisasi dan hubungan kerja yang baru mulai diberlakukan. Dan individu-individu dalam organisasi akan berusaha mempertahankan kondisi yang lama, sehingga pada tahapan ini sering kali perubahan bisa mengalami kegagalan.
-
Hope/Readjustment, pada tahap ini dilakukan penyesuaian atau penyelarasan dengan kondisi organisasi yang baru. Dan individu- individu dalam organisasi sudah lebih memahami perubahan sehingga pada tahapan ini arah dan tujuan dari perubahan yang hendak dicapai telah mapan.
-
Rebuilding, pada tahap ini kondisi organisasi yang baru telah terbangun secara permanen. Pada tahap ini tim yang solid sudah terbangun dan kegiatan organisasi sudah benjalan dengan baik.
Melihat reaksi yang muncul dari perubahan maka strategi manajemen perubahan yang dilakukan harus mampu mengatasi reaksi-reaksi yang muncul sehingga tujuan perubahan dapat tercapai. Oleh karena itu selain mengetahui reaksi yang muncul harus pula diidentifikasi penyebab dari reaksi tersebut (Bolognese, 2002).
Gambar The Rollercoaster of Change (Haines, 2005)
3. Soft System Methodology (Checkland, 2000)
Soft System Methodology (SSM) dibangun oleh Peter Checkland dan dipublikasikan pada tahun 1981. SSM merupakan suatu metodologi untuk menganalisis dan pemodelan sistem yang mengintegrasikan teknologi (hard) sistem dan human soft) system. Metodologi ini sering digunakan untuk pemodelan manajemen perubahan dimana faktor teknologi dan manusia merupakan bagian dari perubahan itu. Dalam memahami permasalahan dan menemukan penyelesaian yang mengkompromikan situasi saat ini dengan kedaaan ideal yang seharusnya, SSM menekankan pentingnya konteks keseluruhan (sistemik). Hal ini sejalan dengan konsep EWC.
Gambar Soft System Methodologi (Checkland, 2000)
Dalam gambar dapat kita lihat SSM memiliki tujuh tahapan sebagai berikut :
- Identifikasi situasi permasalahan
- Menggambarkan situasi permasalahan secara terstruktur
- Membuat definisi awal dari sistem yang bersangkutan
- Membuat dan menguji model secara konseptual konseptual
- Membandingkan model yang telah dibuat dengan kenyataan
- Mengidentifikasi kemungkinan perubahan
- Melakukan tindakan untuk memperbaiki permasalahan
Dari tahapan diatas diketahui setelah melakukan analisis terhadap situasi riil kemudian dilanjutkan dengan mendefinikan ”sistem” atau situasi permasalahan yang dipandang sebagai suatu sistem. ”Sistem” disini dinyatakan sebagai root definition (definisi dasar), yaitu merupakan sebuah kalimat yang diekspresikan dalam bahasa alami (natural language), yang mengandung komponen- komponen :
-
Customers : pihak-pihak yang memperoleh dampak dari komponen transformation (T)
-
Actors : pihak-pihak yang memfasilitasi/melakukan T
-
Transformation : proses perubahan dari awal sampai selesai
-
Weltanschauung : pandangan secara menyeluruh yang memberi arti pada T
-
Owner : pemilik sistem; pihak yang memiliki otoritas untuk menghentikan T
-
Environment : elemen-elemen lingkungan yang mempengaruhi sistem
Definisi dasar yang dibuat harus memenuhi konteks ”sebuah sistem untuk melakukan X dengan melakukan Y untuk mencapai Z”, dimana X adalah hal yang harus dilakukan, Y adalah cara untuk melakukan dan Z adalah alasan melakukan.
Dari definisi dasar yang dibuat maka langkah selanjutnya adalah membuat model konseptual yang menunjukkan hubungan antar aktivitas yang diperlukan untuk melaksanakan transformasi dalam definisi dasar.
4. Analytic Hierarchy Process (Saaty, 2001)
Dalam pengambilan keputusan sering kali bersifat komplek dimana banyak faktor, obyektif atau kriteria yang harus dipertimbangkan. Pengambilan Keputusan yang ideal harus mengikut sertakan semua faktor secara simultan dan terintegrasi, serta yang lebih penting lagi mempunyai keterkaitan dengan sasaran (goal) yang ingin dicapai.
Analytic Hierarchy Process (AHP) adalah suatu metode analisis dan sintesis yang dapat membantu proses pengambilan keputusan. AHP merupakan alat pengambil keputusan yang powerful dan fleksibel, yang dapat membantu dalam menetapkan prioritas-prioritas dan membuat keputusan di mana aspek-aspek kualitatif dan kuantitatif terlibat dan keduanya harus dipertimbangkan. Dengan mereduksi faktor-faktor yang kompleks menjadi bagian-bagian yang lebih terstruktur mulai dari goal (tujuan) ke obyektif lalu menjadi alternatif tindakan dan kemudian mensintesa hasil-hasilnya, maka AHP tidak hanya membantu orang dalam memilih keputusan yang tepat, tetapi juga dapat memberikan pemikiran alasan yang jelas.
Pada hakekatnya AHP merupakan suatu model pengambil keputusan yang komprehensif dengan memperhitungkan hal-hal yang bersifat kualitatif dan kuantitatif. AHP juga memungkinkan struktur suatu sistem dan lingkungan ke dalam komponen yang saling berinteraksi dan kemudian menyatukan mereka dengan mengukur dampak pada komponen kesalahan sistem (Saaty, 2001).
Peralatan utama dari model ini adalah sebuah hirarki fungsional dengan input utamanya. Analytic Hierarchy Process pada prinsipnya berdasarkan 3 hal yaitu :
-
Dekomposisi
Pengambil Keputusan harus memecah (to compose) permasalahan ke dalam elemen-elemen dan menyusunnya ke dalam suatu struktur hirarkis yang menunjukkan hubungan antara sasaran (goal), tujuan/kriteria (objectives), sub tujuan/sub kriteria serta alternatif- alternatif keputusan.
-
Komparasi Berpasangan (Pairwise Comparison)
Penilaian secara komparatif berpasangan. Dalam hal ini setiap faktor baik berupa obyektif/kriteria, sub obyektif dan alternatif keputusan ditentukan bobotnya dengan mengadakan pembandingan sepasang- sepasang.
-
Sintesis
Pembuatan Sintesis Keputusan, yaitu menentukan bobot prioritas menyeluruh dari elemen-elemen pada tingkat terendah, yaitu alternatif- alternatif keputusan dari struktur hirarki yang bersangkutan.
Gambar Analytic Hierarchical Process
Selanjutnya Saaty (2001) menyatakan bahwa proses analitis hirarki (AHP) menyediakan kerangka yang memungkinkan untuk membuat suatu keputusan efektif yang kompleks dengan menyederhanakan dan mempercepat proses pendukungan keputusan. Pada dasarnya AHP adalah suatu metode dalam merintis suatu situasi yang kompleks, yang terstruktur ke dalam suatu komponen-komponennya. Artinya dengan pendekatan AHP dapat memecahkan masalah dalam pengambilan keputusan.