Apa yang dimaksud dengan Makrifat ?

Makrifat

Makrifat adalah ketepatan hati (dalam mempercayai hadirnya) wujud yang wajib adanya (Allah) yang menggambarkan segala kesempurnaan.

Apa yang dimaksud dengan Makrifat ?

Abu Hamid Al-Ghazali, mengatakan bahwa Makrifat merupakan ilmu yang tidak menerima keraguan seperti pengetahuan yang mantap dan mapan, yang tak tergoyahkan oleh siapapun dan apapun, karena ia (makrifat) adalah pengetahuan yang telah mencapai tingkat haqq al-yaqin.

Menurut Abul Qasim Abdul Karim Hawazin Al-Qusyairi, Makrifat merupakan sifat-sifat orang yang mengenal Allah dengan nama dan sifat-Nya, kemudian membenarkan Allah dengan melaksanakan ajarannya dalam perbuatan.

Menurut Abul Faidh Tsauban Dzun-Nun al-Mishri, mengatakan bahwa, “Aku mengetahui Tuhan dengan Tuhan dan sekiranya tidak karena Tuhan aku tak tahu Tuhan”. Ucapan itu menjelaskan bahwa makrifat tidak diperoleh begitu saja, tetapi merupakan pemberian dari Tuhan. Maksudnya adalah makrifat bukanlah hasil dari pemikiran manusia, tetapi tergantung kepada kehendak dan rahmat Tuhan.

Menurut Harun Nasution, bahwa Makrifat berarti mengetahui Tuhan dari dekat, sehingga hati sanubarinya dapat melihat Tuhan. Makrifat juga menggambarkan hubungan rapat dalam bentuk gnosis, pengetahuan dengan hati sanubari.

Menurut Abu Yazid al- Bushthami, Makrifat itu adalah mengetahui bahwa gerakan dan diamnya manusia bergantung kepada Tuhan.

Menurut Abu Bakar al- Kalabadzi berpendapat bahwa Makrifat selalu bersama dengan mahabbah. Karena keduanya menggambarkan dua aspek dari hubungan rapat yang ada bagi sufi dengan Tuhan. Mahabbah menggambarkan hubungan dalam bentuk cinta, sedangkan makrifat menggambarkan hubungan dekat dalam bentuk gnosis, pengetahuan dengan hati sanubari.

Menurut Muhyiddin Ibnu 'Arabi, menjelaskan bahw ilmu dan makrifat mempunyai makna yang sama, yaitu keduanya mengandung makna pengetahuan. Tetapi, perbedaannya adalah ilmu berarti pengetahuan lahiriah, sedangkan makrifat berarti ilmu bathiniah (spiritual).

Referensi :

  • Amin Syukur, Tasawuf Sosial (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004).
  • A Mustofa, Akhlak Tasawwuf (Bandung : Pustaka Setia, 2008).

Ma’rifat merupakan dinding antara rasa cemas (khauf) dan cinta (mahabbah) terhadap Tuhan. Al- Ghazali mengartikan ma’rifat menurut bahasa adalah melihat rahasia-rahasia ketuhanan dan mengetahui segala urusan-urusan Nya.

Żū al-Nūn al-Miṣri juga mengatakan bahwa ma’rifat pada hakikatnya adalah firman Tuhan tentang cahaya nurani yang menyinari hati manusia dan menjaganya dari maksiat dan dosa sehingga tidak ada sesuatu yang patut dicintai selain Allah SWT di dalam hatinya.

Menurut Fethullah Gulen dalam bukunya yang berjudul at-Tilāl al-Zumūrudiyyah Nahwā Hayātī al-Qalb wa al-Rūh yang diterjemahkan oleh Fuad Syaifudin Nur menjelaskan bahwa ma’rifat sebagai pengetahuan yang menyatu dengan kata ārif yaitu orang yang memilikinya, dan menjadi satu dengan kepribadiannya, sehingga akan menginterpretasikan sifat-sifat Nya. Tahapan awal ma’rifat adalah tajalliyat atau penyingkapan asmā’ al-husnā yang dimiliki Allah dan sifat-sifatNya.

Keadaan hati seorang „ābid memancarkan cahaya Illahi yang akan menimbulkan perilaku yang baik. Ia hanya merasakan musyāhadah (penyaksian) atas kehadirat Tuhan sehingga tidak terlintas dalam pikiran untuk berpaling dari-Nya. Keadaan ruh inilah menjadikan sālik dalam ḥu ḍūr (kehadiran Ilahi ) dan thumā’nīnah (tenang), yang disebut dengan keadaan orang yang ber- ma’rifat . Ketika dalam kondisi seperti ini, seorang sālik lebih bermawas diri ( ihsān ) dan lebih merenungkan tentang ke-Esaan Nya ( tafakkur ).

Dalam ma’rifat terdapat dua pintu untuk meraihnya yaitu

  • Pertama; memikirkan dan merenungkan ayat-ayat al-Qur’an dan melakukan pemahaman khusus tentang Allah dan Rasul-Nya.

  • Kedua; merenungkan ayat-ayat kauniyah, yang mengandung hikmah di dalamnya tentang kekuasaan, kelembutan, kebaikan, dan keadilan-Nya.

Menurut Żū al-Nūn al-Miṣri setiap hari orang yang „ārif selalu mendekatkan diri kepada Tuhannya dan semakin khusyū’ mengabdi kepada-Nya, karena intisari dari tasawuf adalah mencapai tingkat makrifatullah yang bertujuan untuk menyempurnakan akhlak manusia.

Berdasarkan tujuan di atas, manusia yang mencapai tingkat ma’rifat wajib mengetahui 4 perkara diantaranya: mengenal dirinya, mengenal Tuhannya, mengenal dunia dan mengenal akhirat.

  • Mengenal dirinya bahwa ia sadar sebagai hamba yang rendah dan merasa butuh kepada-Nya.

  • Mengenal Tuhannya, yaitu ia tahu benar bahwa Allah SWT yang berhak disembah, Yang Maha Agung dan Maha Kuasa.

  • Mengenal dunia bahwa ia mengetahui hakikat dunia baik yang terpuji ataupun tercela, mana yang halal dan haram.

  • Mengenal akhirat berarti mengetahui, mengenal nikmat-nikmat Nya dan siksa-siksa Nya. Sehingga dengan mengenal akhirat manusia akan merasa bahwa ia hidup di dunia hanya sebentar saja. Apabila seseorang telah mengenal dirinya, mengenal Tuhannya dan mengenal dunia dan akhirat, tentu timbul dalam hatinya cinta kepada Allah SWT sebagai buah dari ma’rifat.

Menurut al-Muhasibi ma’rifat adalah penghambaan „ubūdiyah yang sepenuhnya; yaitu penuh keikhlasan tanpa batas, dan ketakwaan yang meliputi seluruh tubuhnya. Alat untuk mencapai ma’rifat adalah ilmu dan takwa melalui ba ṣīrah (penglihatan hati) yang memberi cahaya rohaniah yang jernih.

Ma’rifat merupakan bagian dari ajaran tasawuf, maka menurut al-Muhasibi di dalam ma’rifat lebih banyak berhubungan dengan akhlak daripada tauhid seperti ittihād (persatuan dengan Tuhan), fanā’ dan sa ṭahāt (ucapan yang keluar dari kalam sufi ketika ia mencapai persatuan dengan Tuhan). Hal tersebut disebabkan, ajaran tasawuf yang dimiliki al-Muhasibi hanya beroientasi untuk membenahi ilmu dan amal, merasa diawasi oleh Allah SWT, menyucikan dan membersihkan jiwa dari noda, dan mendekatkan diri kepada keridhaan Allah SWT.

Al-Qusyairi mendefinisikan ma’rifat sebagai keyakinan bahwa Tuhan itu satu yang diketahui ke-Esaan-Nya sebelum huruf dan kata. Tidak ada batas bagi dzat-Nya, tidak ada huruf bagi setiap kalam-Nya. Ia menjadikan ma’rifat sebagai ilmu dan bagian dari keimanan. Oleh sebab itu, iman tidak bisa dijauhkan dari ilmu, dan ilmu tidak bisa diajarkan tanpa keimanan.

Puncak ma’rifat ialah tauhid, yakni al-tauhīd al- syuhūdi al-zauq yang tidak menyimpang dari ajaran Islam. Sekalipun telah mencapai tingkat fanā’ , ma’rifat seorang sufi tetap wajib berpegang dan kembali kepada syariat.

Al- Qusyairi menegaskan bahwa salah satu pertanda ma’rifat- nya seorang „ ārif , ialah bahwa ia selalu melaksanakan perintah syariat dan tidak mengabaikannya dan berusaha untuk memaknai segala ibadah yang dijalaninya. Jika ia tidak bisa memelihara waktu dalam menjalankan ibadah syariatnya, itu karena kurangnya memahami makna ibadah tersebut sehingga belum sampai pada ma’rifat.