Apa yang dimaksud dengan mahram?

Mahram adalah semua orang yang haram untuk dinikahi selamanya karena sebab keturunan, persusuan dan pernikahan dalam syariat Islam.

Apa yang dimaksud dengan mahram? Siapa saja yang dilarang dinikahi oleh seorang laki-laki ?

Pengertian Mahram berasal dari kata dalam bahasa arab yang berarti haram dinikahi baik nikah secara resmi maupun nikah siri. Mahram juga berasal dari makna haram, yaitu wanita yang haram dinikahi dan yang dimaksud dengan keharaman menikahi wanita adalah menyangkut boleh atau tidaknya melihat aurat, dan hubungan baik langsung maupun tidak langsung.

Mahram tersebut bisa bersifat langsung artinya orang-orang yang memiliki darah yang sama otomatis menjadi mahram dan ada pula hubungan yang tidak langsung seperti mahram yang diakibatkan oleh hubungan pernikahan misalnya saja seorang wanita yang sudah menikah dan bersuami maka ia haram hukumnya untuk dinikahi oleh orang lain. Demikian pula para wanita yang masih berada dalam masa iddah setelah talak (baca hukum talak dalam pernikahan) dan termasuk juga wanita yang tidak beraga islam atau kafir non kitabiyah seperti Hindu, Budha dan majusi.

Dasar hukum mahram disebutkan baik dalam Al qur’an maupun dalam hadits dan mereka semua (wanita yang haram dinikahi) disebutkan dengan jelas dan gamblang agar tidak menimbulkan perbedaan penafsiran.

Berdasarkan Al Qur’an

Adapun dasar hukum mahram atau wanita yang haram dinikahi tertulis dalam Firman Allah SWT Qur’an Surat An Nisa ayat 23-24 yang bunyinya

Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu istrimu (mertua); anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau;sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (An-Nisa’:23)

Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dandihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka istri-istri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (An-Nisa’:24)

Berdasarkan Hadits

Pengertian mahram dan wanita yang haram dinikahi juga disebutkan dalam hadits Rasulullah SAW berikut ini

Abdullah ibn Yusuf menyampaikan kepada kami, Malik mengabarkan pada kami, dari Abi al-Zinad, dari al-A’raj, dari Abi Hurairah ra: bahwasanya Rasulullah saw berkata: Janganlah kamu mengumpulkan (dalam pernikahan) perempuan dengan bibinya (dari pihak ayah) dan perempuan dengan bibinya (dari pihak ibu).

Sumber Apa Itu Mahrom? dan Siapa Saja Mahrom Anda?

Wanita-wanita mahram adalah wanita-wanita yang diharamkan untuk dinikahi oleh seorang pria. Pengharamannya telah disebutkan dalam al-Qur’an, sebagai berikut :

'Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara- saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. an-Nisa’: 23)

Selain itu, dalam hadits Nabi Saw. juga dijelaskan

'(Perkawinan) itu dilarang karena sepersusuan (radha’ah) sebagaimana diharamkan karena keturunan (nasab)'. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan enam orang ahli hadits kecuali Tirmidzi dari Aisyah r.a. Imam Ahmad, Muslim, Nasa’i dan Ibnu Majah dari Ibnu Abbas r.a.

Sababul wurud hadits di atas adalah Aisyah bertanya: ‘Wahai Rasulullah seandainya si anu masih hidup tentu dia dilarang menikah dengan saya karena sepersusuan?’. Beliau menjawab: ‘Benar perkawinan itu dilarang karena sepersusuan… dan seterusnya’. Hadits ini menunjukkan bahwa faktor sepersusuan merupakan alasan larangan perkawinan sebagaimana larangan perkawinan karena keturunan.

Wanita-wanita yang haram dinikahi menurut Islam terdiri dari dua golongan, yaitu diharamkan untuk selamanya, dan sebagiannya diharamkan menikahinya dalam waktu tertentu. Diantara wanita yang haram dinikahi seorang laki-laki selamanya; tidak halal sekarang dan tidak halal pada masa-masa yang akan datang, mereka disebut haram abadi . Dan diantara wanita ada yang haram untuk dinikahi seorang laki-laki sementara; keharaman berlangsung selama ada sebab dan terkadang menjadi halal ketika sebab keharaman itu hilang, macam ini disebut haram sementara atau temporal .

Di antara halangan-halangan abadi ada yang telah disepakati dan ada pula yang masih diperselisihkan. Yang telah disepakati ada tiga, yaitu nasab (keturunan), pembesanan (karena pertalian kerabat semenda), dan sesusuan. Sedangkan yang diperselisihkan ada dua yaitu zina dan li’an.

Halangan-halangan sementara ada sembilan yaitu halangan bilangan, halangan mengumpulkan, halangan kehambaan, halangan kafir, halangan ihram, halangan sakit, halangan iddah (meskipun masih diperselisihkan segi kesementaraannya), halangan perceraian tiga kali bagi suami yang menceraikan, dan halangan peristrian.

Mahram karena kekerabatan ( nasab ) menurut syariat Islam ada empat tingkatan, yaitu:

  • Jurusan ushul pokok, yakni yang menurunkan dia terus ke atas. Karena itu, haram bagi seseorang nikah dengan ibu atau neneknya, baik dari jurusan ibu maupun jurusan ayah terus ke atas, ‘Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibumu.’

  • Jurusan cabang (keturunan) terus ke bawah. Maka, diharamkan nikah dengan anak wanitanya sendiri dan cucu wanitanya, baik dari keturunan anak laki-lakinya maupun anak wanitanya, terus ke bawah, ‘Dan anak-anakmu yang wanita.’

  • Keturunan dari kedua orang tuanya terus ke bawah. Karena itu, haram bagi seseorang nikah dengan saudara wanitanya, dengan anak wanita saudara lelakinya dan saudara wanitanya, dan anak-anak dari anak-anak saudara lelakinya dan saudara wanitanya, ‘Saudara-saudaramu yang wanita’ , ‘Anak-anak wanita dari saudara-saudaramu yang laki-laki, dan anak-anak wanita dari saudara-saudaramu yang wanita.’

  • Keturunan langsung dari kakek neneknya. Maka, haramlah baginya nikah dengan saudara wanita ayahnya (bibi dari pihak ayah) dan saudara wanita ibunya (bibi dari pihak ibu), bibi ayahnya, bibi kakeknya yang seayah atau seibu, bibi ibunya, bibi neneknya yang seayah atau seibu, ‘Saudara- saudara bapakmu yang wanita dan saudara-saudara ibumu yang wanita.’

Keturunan yang tidak langsung dari kakek nenek, halal dinikahinya. Oleh karena itu, dihalalkan nikah antara anak- anak paman dengan anak-anak bibi (saudara sepupu, misanan ).

Allah Swt. menghalalkan pernikahan dengan seluruh perempuan selain perempuan yang diharamkan dari kalangan kerabat di atas. Mereka semuanya halal kalian nikahi. Tujuan yang shahih dan disyariatkan dari sebuah pernikahan adalah menjaga kesucian diri, memelihara air mani, dan mewujudkan keturunan yang suci. Maka, setiap laki-laki berhubungan secara khusus dengan seorang perempuan, dan setiap perempuan berhubungan secara khusus dengan seorang laki-laki, bukan poliandri yang sekarang ini seringkali terjadi di Eropa dan Amerika. Adapun pezina, dia tidak bermaksud mewujudkan tujuan-tujuan yang disyariatkan dan bersifat permanen dari sebuah pernikahan, melainkan hanya menginginkan pelampiasan syahwat dan menumpahkan air mani, guna memenuhi naluri hewani di dalam dirinya.

Referensi :

  • Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Munakahat Khitbah, Nikah dan Talak , (Jakarta: Amzah, 2009), cet. I.

  • Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat , (Jakarta: Kencana, 2010).