Luka adalah kerusakan kontinyuitas kulit, membran mukosa dan tulang atau organ tubuh yang lain.
Apa yang dimaksud dengan Luka ?
Luka adalah kerusakan kontinyuitas kulit, membran mukosa dan tulang atau organ tubuh yang lain.
Apa yang dimaksud dengan Luka ?
Luka adalah rusaknya struktur dan fungsi anatomis kulit normal akibat proses patologis yang berasal dari internal maupun eksternal dan mengenai organ tertentu. Keadaan ini dapat disebabkan oleh trauma tajam atau tumpul, perubahan suhu, zat kimia, ledakan, sengatan listrik atau animal bite (Sinaga, 2009).
Ada beberapa penggolongan klasifikasi luka. Namun yang umum dipakai adalah sebagai berikut :
Berdasarkan waktu terjadinya
Luka Akut
Luka akut merupakan luka yang biasanya segera mendapat penanganan dan biasanya dapat sembuh dengan baik bila tidak terjadi komplikasi. Kriteria luka akut adalah luka baru, mendadak dan penyembuhannya sesuai dengan waktu yang diperkirakan. Sebagai contoh pada luka sayat, luka bakar, luka tusuk dan crush injury. Luka operasi juga dapat dianggap sebagai luka akut yang dibuat oleh ahli bedah. Contoh pada luka jahit dan skin grafting (Sinaga, 2009; Yadi, 2008).
Luka Kronik
Luka kronik merupakan luka yang berlangsung lama atau sering timbul kembali (recurrent), dimana terjadi gangguan pada proses penyembuhan yang biasanya disebabkan oleh masalah multifaktor dari penderita. Pada luka kronik terjadi luka yang gagal sembuh pada waktu yang diperkirakan, tidak berespon baik terhadap terapi dan mempunyai kemungkinan untuk timbul kembali. Contoh pada ulkus dekubitus, ulkus diabetik, ulkus venosus, luka bakar dan lain sebagainya (Sinaga, 2009; Yadi, 2008).
Berdasarkan kedalaman luka
Stadium I : Luka Superfisial atau Non-Blanching Erithema : yaitu luka yang terjadi pada lapisan epidermis kulit.
Stadium II : Luka Partial Thickness : yaitu hilangnya lapisan kulit pada lapisan epidermis dan bagian atas dari dermis. Merupakan luka superficial ditambah dengan adanya tanda klinis seperti abrasi, blister atau lubang yang dangkal.
Stadium III : Luka Full Thickness : yaitu hilangnya kulit secara keseluruhan meliputi kerusakan atau nekrosis jaringan subkutan yang dapat meluas sampai bawah tetapi tidak melewati jaringan yang mendasarinya. Luka yang terjadi mengenai lapisan epidermis, dermis dan fasia tetapi tidak mengenai otot. Luka timbul secara klinis sebagai suatu lubang yang dalam dengan atau tanpa merusak jaringan sekitarnya.
Stadium IV : Luka Full Thickness yang telah mencapai lapisan otot, tendon dan tulang dengan adanya destruksi atau kerusakan yang luas (Sinaga, 2009; Tawi, 2008).
Berdasarkan tingkat kontaminasi
Clean Wounds (Luka bersih), yaitu luka bedah tak terinfeksi yang mana tidak terjadi proses peradangan dan infeksi pada sistem pernafasan, pencernaan, genital dan urinari tidak terjadi (Hidayat, 2007).
Luka bersih biasanya menghasilkan luka yang tertutup; jika diperlukan dimasukkan drainase tertutup. Kemungkinan terjadinya infeksi luka sekitar 1% – 5%.
Clean-contamined Wounds (Luka bersih terkontaminasi), yaitu luka pembedahan dimana saluran respirasi, pencernaan, genital atau perkemihan dalam kondisi terkontrol, kontaminasi tidak selalu terjadi, kemungkinan timbulnya infeksi luka adalah 3% – 11%.
Contamined Wounds (Luka terkontaminasi), termasuk luka terbuka, fresh, luka akibat kecelakaan dan operasi dengan kerusakan besar dengan teknik aseptik atau kontaminasi dari saluran cerna; pada kategori ini juga termasuk insisi akut, inflamasi nonpurulen. Kemungkinan infeksi luka 10% – 17%.
Dirty or Infected Wounds (Luka kotor atau infeksi), yaitu terdapatnya mikroorganisme pada luka (Hidayat, 2007).
Berdasarkan Mekanisme terjadinya
Luka insisi (Incised Wound), terjadi karena teriris oleh instrument yang tajam. Missal yang terjadi akibat pembedahan.
Luka memar (Contusion Wound), terjadi akibat benturan oleh suatu tekanan dan dikarakteristikkan oleh cedera pada jaringan lunak, perdarahan dan bengkak.
Luka lecet (Abraded Wound), terjadi akibat kulit bergesekan dengan benda lain yang biasanya dengan benda yang tidak tajam.
Luka tusuk (Punctured Wound), terjadi akibat adanya benda, seperti pisau yang masuk ke dalam kulit dengan diameter yang kecil.
Luka gores (Lacerated Wound), terjadi akibat benda yang tajam seperti oleh kaca atau oleh kawat.
Luka tembus (Penetrating Wound), yaitu luka yang menembus organ tubuh biasanya pada bagian awal luka masuk diameternya kecil tetapi pada bagian ujung biasanya lukanya akan melebar.
Luka bakar (Combustio), yaitu luka akibat terkena suhu panas seperti api, matahari, listrik, maupun bahan kimia (Hidayat, 2007).
Luka didefinisikan sebagai terputusnya kontinuitas jaringan tubuh oleh sebab-sebab fisik, mekanik, kimia dan termal. Luka, baik luka terbuka atau luka tertutup, , merupakan salah satu permasalahan yang paling banyak terjadi di praktek sehari-hari ataupun di ruang gawat darurat. Penanganan luka merupakan salah satu keterampilan yang harus dikuasai oleh dokter umum.
Tujuan utama manajemen luka adalah mendapatkan penyembuhan yang cepat dengan fungsi dan hasil estetik yang optimal.Tujuan ini dicapai dengan pencegahan infeksi dan trauma lebih lanjut serta memberikan lingkungan yang optimal bagi penyembuhan luka.
Keterlambatan penyembuhan luka dapat diakibatkan oleh penatalaksanaan luka yang kurang tepat, seperti :
Tidak mengidentifikasi masalah-masalah pasien yang dapat mengganggu penyembuhan luka.
Tidak melakukan penilaian luka (wound assessment) secara tepat.
Pemilihan dan penggunaan larutan antiseptik yang kurang tepat.
Penggunaan antibiotika topikal dan ramuan obat perawatan luka yang kurang tepat.
Teknik balutan (dressing) kurang tepat, sehingga balutan menjadi kurang efektif atau justru menghalangi penyembuhan luka.
Pemilihan produk perawatan luka kurang sesuai dengan kebutuhan pasien atau justru berbahaya.
Tidak dapat memilih program penatalaksanaan yang sesuai dengan kebutuhan pasien dan kondisi luka.
Tidak mengevaluasi efektifitas manajemen luka yang diberikan.
Assessment didefinisikan sebagai kegiatan untuk mendapatkan informasi, yang diperoleh dengan cara mengamati, memberikan pertanyaan serta melakukan pemeriksaan fisik dan penunjang. Informasi tersebut berguna untuk menegakkan diagnosis kerja dan merencanakan program penatalaksanaan selanjutnya.
Dua hal penting yang pertama kali harus dinilai oleh dokter dalam memberikan penatalaksanaan luka adalah :
Menilai adanya kegawatan, yaitu apakah terdapat kondisi yang membahayakan jiwa pasien (misalnya luka terbuka di dada atau abdomen yang kemungkinan dapat merusak struktur penting di bawahnya, luka dengan perdarahan arteri yang hebat, luka di leher yang dapat mengakibatkan obstruksi pernafasan dan lain-lain).
Menilai apakah luka akut atau kronis.
Penilaian luka dilakukan terhadap 2 aspek, yaitu terhadap pasien dan terhadap luka itu sendiri.
PENILAIAN TERHADAP PASIEN
Anamnesis
Aspek anamnesis dalam penilaian luka bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang dapat mempengaruhi penyembuhan luka.
Anamnesis meliputi :
1. Riwayat luka :
Tabel Penilaian Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penyembuhan Luka
Faktor yang dinilai | Keterangan |
---|---|
1. Adanya penyakit lain : Anemia, Arteriosklerosis, Keganasan, Diabetes, Penyakit autoimun, Penyakit inflamasi, Gangguan fungsi hati, Rheumatoid arthritis, Gangguan fungsi ginjal | Underlying disease dapat menghambat penyembuhan luka karena : Mengganggu deposisi kolagen jaringan, Berkurangnya vaskularisasi berakibat penurunan suplai oksigen dan nutrisi, Berkurangnya mobilitas, Pengaruh terhadap metabolisme sel |
2. Infeksi | Respons host terhadap bakteri/ reaksi inflamasi akan memperlambat penyembuhan luka. |
3. Umur dan komposisi tubuh | Kapasitas kulit untuk memperbaiki diri semakin menurun dengan bertambahnya usia. |
4. Status nutrisi | Penyembuhan luka memerlukan nutrisi- nutrisi tertentu. Undernutrition dan overnutrition (obesitas) mempengaruhi penyembuhan luka. |
5. Merokok | Merokok mengakibatkan vasokonstriksi sehingga suplai oksigen dan nutrisi ke daerah luka berkurang. |
6. Pengobatan | Obat-obat steroid, AINS, kemoterapi, imunosupresan dan antiprostaglandin mengganggu penyembuhan luka dan meningkatkan risiko terjadinya infeksi. |
7. Status psikologis | Stress memperlambat penyembuhan luka. |
8. Lingkungan sosial dan higiene | |
9. Akses terhadap perawatan luka | |
10. Riwayat perawatan luka sebelumnya |
Sumber : Eagle, 2009
2. Keluhan yang dirasakan saat ini :
3. Riwayat kesehatan dan penyakit pasien secara keseluruhan :
Menilai faktor-faktor yang mempengaruhi penyembuhan luka dan pemilihan regimen penanganan luka, yaitu :
Umur
Dehidrasi : gangguan keseimbangan elektrolit mempengaruhi fungsi jantung, ginjal, metabolisme seluler, oksegenasi jaringan dan fungsi endokrin.
Status psikologis : Status psikologis pasien berpengaruh pada pemilihan regimen terapi yang tepat bagi pasien tersebut.Pemilihan regimen terapi dengan mempertimbangkan status psikologis pasien mempengaruhi kepatuhan pasien terhadap terapi yang ditetapkan dokter.
Status nutrisi: Nutrisi berperan penting dalam proses penyembuhan luka. Kekurangan salah satu atau beberapa nutrient mengakibatkan penyembuhan luka terhenti pada tahapan tertentu.
- Protein
- Asam amino : Proline, hydroxyproline, cysteine, cystine, methionine, tyrosine, lysine, arginine, glycine
- Karbohidrat : Glukosa
- Lipid: Asam linoleat, asam linolenat, asam arachidonat, eicosanoat, asam lemak
- Vitamin: A, B kompleks, C, D, E, K
- Mineral: Natrium, Kalium, Cuprum, Calcium, Ferrum, Magnesium, Zinc, Nikel, Chromium
- Air
Berat badan: Pada pasien dengan obesitas, adanya lapisan lemak yang tebal di sekitar luka dapat mengganggu penutupan luka.Selain itu, vaskularisasi jaringan adiposa tidak optimal sehingga jaringan adiposa merupakan salah satu jenis jaringan yang paling rentan terhadap trauma dan infeksi.
Vaskularisasi ke area luka: Penyembuhan luka di kulit paling optimal di area wajah dan leher karena merupakan area dengan vaskularisasi paling baik. Sebaliknya dengan ekstremitas. Kondisi-kondisi yang mengakibatkan gangguan vaskularisasi ke area luka, misalnya diabetes atau arteriosklerosis, dapat memperlambat atau bahkan menghentikan penyembuhan luka.
Respons imun.
Penyakit kronis, seperti penyakit endokrin, keganasan, inflamasi dan infeksi lokal serta penyakit autoimmun.
Radioterapi
Riwayat alergi : makanan, obat (anestetik, analgetik, antibiotik, desinfektan, komponen benang, lateks/plester dan lain-lain).
4. Riwayat penanganan luka yang sudah diperoleh :
5. Konsekuensi luka dan bekas luka bagi pasien :
Konsekuensi yang dinilai meliputi konsekuensi luka terhadap :
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan tanda vital
Pemeriksaan fisik umum : bertujuan mencari tanda adanya faktor komorbid, seperti :
Menilai status gizi (mengetahui adanya malnutrisi atau obesitas).
Pemeriksaan neurologi (reflex dan sensasi – mengetahui kemungkinan neuropati).
Pemeriksaan kardiovaskuler (menilai oksigenasi jaringan dan kemungkinan adanya penyakit vaskuler perifer).
Penilaian adanya infeksi :
Gejala dan tanda umum : demam, malaise, limfadenopati regional
Gejala dan tanda lokal : edema, eritema, rasa nyeri, peningkatan suhu lokal, gangguan fungsi.
Penilaian terhadap terjadinya kerusakan struktur di bawah luka (pembuluh darah, saraf, ligamentum, otot, tulang) :
Pembuluh darah :
Cek pengisian kapiler : adakah pucat atau sianosis, apakah suhu area di distal luka teraba hangat.
Cek pulsasi arteri di distal luka.
Jika terdapat perdarahan, dinilai apakah perdarahan berasal dari kapiler, vena atau arteri. Dilakukan penanganan sesuai dengan sumber perdarahan.
Saraf :
Lakukan penilaian status motorik (kekuatan otot, gerakan) dan fungsi sensorik di distal luka.
Penilaian status sensorik harus selalu dilakukan sebelum tindakan infiltrasi anestesi.
Otot dan tendo :
Tulang :
Tabel Perbedaan Perdarahan Kapiler, Vena dan Arteri
Sumber perdarahan | Karakteristik | Penatalaksanaan |
---|---|---|
Arteri | Memancar, pulsatil | Eksplorasi segera |
Warna darah merah terang | Ligasi arteri | |
Perdarahan hebat, cepat mengakibatkan shock hipovolemik | ||
Kapiler | Merembes | Kompresi |
Warna merah terang | ||
Dapat mengakibatkan shock hipovolemik bila lukanya luas | ||
Vena | Mengalir (flowing) | Kompresi langsung (direct pressure) secara adekuat |
Warna merah gelap |
Inspeksi Luka
Meliputi :
Berdasarkan penyebabnya, luka dibagi menjadi :
Erosi, Abrasi, Excoriasi :
Erosi: Luka hanya sampai stratum corneum Abrasi: Luka sampai stratum spinosum Excoriasi: Luka sampai stratum basale
Merupakan kerusakan epitel permukaan akibat trauma gesek pada epidermis.
Abrasi luas dapat mengakibatkan kehilangan cairan tubuh.
Luka harus segera dicuci, benda asing dalam luka harus dibersihkan dengan seksama untuk meminimalkan risiko infeksi dan mencegah “tattooing” (luka kedalamannya sampai stratum papilare dermis).
Kontusio :
Biasanya disebabkan oleh trauma tumpul atau ledakan.
Dapat mengakibatkan kerusakan jaringan yang luas.
Pada awalnya, lapisan kulit di atasnya bisa jadi intak, tapi pada akhirnya dapat menjadi non-viable.
Hematoma berukuran besar yang terletak di bawah kulit atau atau di dalam otot dapat menetap.
Kontusio luas dapat mengakibatkan infeksi dan compartment syndromes.
Laserasi :
Laserasi terjadi jika kekuatan trauma melebihi kekuatan regang jaringan, misalnya robekan kulit kepala akibat trauma tumpul pada kepala.
Laserasi diklasifikasikan berdasarkan mekanisme terjadinya, yaitu :
Insisi :
Luka sayatan, disebabkan oleh benda tajam.
Kerusakan jaringan sangat minimal. Contoh : luka tusuk, luka pembedahan, terkena pecahan kaca.
Ditutup dengan bantuan jahitan, klip, staples, adhesive strips (plester) atau lem. Luka pembedahan dapat terbuka kembali secara spontan (dehisensi) atau dibuka kembali karena terbentuk timbunan cairan, darah (hematoma) atau infeksi.
Tension laceration :
Crush laceration atau compression laceration :
Laserasi kulit terjadi karena kulit tertekan di antara objek dan tulang di bawahnya.
Laserasi tipe ini biasanya berbentuk stellate dengan kerusakan sedang dari jaringan di sekitarnya.
Kejadian infeksi lebih tinggi.
Hasil kosmetik kurang baik.
Contoh : laserasi kulit di atas alis seorang anak karena terjatuh dari meja.
Kombinasi dari mekanisme di atas.
Kombinasi dari ketiga tipe luka di atas.
Berdasarkan tingkat kontaminasinya, luka diklasifikasikan sebagai :
Luka bersih :luka elektif, bukan emergency, tidak disebabkan oleh trauma, ditutup secara primer tidak ada tanda inflamasi akut, prosedur aseptik dan antiseptik dijalankan dengan baik, tidak melibatkan traktus respiratorius, gastrointestinal, bilier dan genitourinarius. Kulit di sekitar luka tampak bersih, tidak ada tanda inflamasi. Jika luka sudah terjadi beberapa saat sebelumnya, dapat terlihat sedikit eksudat (bukan pus), tidak terlihat jaringan nekrotik di dasar luka. Risiko infeksi <2%.
Gambar Luka bersih
Luka bersih terkontaminasi : luka urgent atau emergency tapi bersih, tidak ada material kontaminan dalam luka. Risiko infeksi <10%.
Gambar Luka bersih terkontaminasi
Luka terkontaminasi : tampak tanda inflamasi non-purulen; luka terbuka < 4 jam; luka terbuka kronis; luka terbuka dan luas (indikasi untuk skin grafting); prosedur aseptic dan antiseptic tidak dijalankan dengan baik; risiko infeksi 20%.
Gambar Luka terkontaminasi
Luka kotor/ terinfeksi : tampak tanda infeksi di kulit sekitar luka, terlihat pus dan jaringan nekrotik; luka terbuka > 4 jam; terdapat perforasi traktus respiratorius, gastrointestinal, bilier atau genitourinarius, risiko infeksi 40%.
Gambar Luka kotor/ terinfeksi
Tabel Penilaian Status Lokalis
Kondisi | Keterangan |
---|---|
1. Benda asing dalam luka | Adakah pasir, aspal, kotoran binatang, logam atau karat dan lain-lain. Benda asing dalam luka akan mengganggu penyembuhan luka dan meningkatkan risiko infeksi. |
2. Dasar luka/ tingkat penyembuhan luka | Identifikasi jenis jaringan di dasar luka penting untuk menentukan penatalaksanaan dan pemilihan dressing (balutan). |
3. Posisi luka | Posisi luka mempengaruhi kecepatan penyembuhan dan pemilihan dressing. |
4. Ukuran luka | - Ukur panjang, lebar, kedalaman dan luas dasar luka. |
- Amati adakah pembentukan sinus, kavitas dan traktus. | |
- Amati adanya undermining (menggaung). | |
- Dinilai adakah penambahan atau pengurangan ukuran luka. | |
- Gunakan alat ukur yang akurat, jangan berganti-ganti alat ukur. | |
- Penyembuhan luka ditandai dengan pengurangan ukuran luka. | |
5. Jumlah discharge | - Lakukan penilaian kelembaban luka (luka kering, lembab atau basah). |
- Lakukan penilaian jumlah discharge(sedikit, sedang, banyak). | |
- Lakukan penilaian konsistensi discharge (berupa pus, seropurulen, serous, serohemoragis, hemoragis) | |
6. Bau | Tidak berbau, berbau, sangat berbau |
7. Nyeri | - Penyebab nyeri (adakah inflamasi atau infeksi) |
- Lokasi nyeri | |
- Derajat nyeri | |
- Kapan nyeri terasa (sepanjang waktu, saat mengganti pembalut) | |
8. Tepi luka | Teratur, tidak teratur, menggaung, adakah tanda radang, dinilai kurang lebih sampai 5 cm dari tepi luka |
9. Jaringan di sekeliling luka | Jaringan nekrotik di sekeliling luka menghambat penyembuhan dan meningkatkan risiko infeksi. |
Sumber : Eagle, 2009
Berdasarkan onset terjadinya luka, luka diklasifikasikan menjadi :
Luka akut : disebabkan oleh trauma atau pembedahan. Waktu penyembuhan relatif cepat, dengan penyembuhan secara primer.
Luka kronis : luka kronis didefinisikan sebagai luka yang belum sembuh setelah 3 bulan. Sering disebabkan oleh luka bakar luas, gangguan sirkulasi, tekanan yang berlangsung lama (pressure ulcers/ ulkus dekubitus), ulkus diabetik dan keganasan. Waktu penyembuhan cenderung lebih lama, risiko terinfeksi lebih besar.
Semua jenis luka berpotensi menjadi kronis jika pemilihan regimen terapi tidak adekuat.
Keadaan dasar luka (wound bed)
Keadaan dasar luka mencerminkan tahapan penyembuhan luka. Karakteristik dasar luka bervariasi dan sering diklasifikasikan berdasarkan tipe jaringan yang berada di dasarnya, yaitu : nekrotik, sloughy, granulasi, epithelial dan jaringan hipergranulasi. Pada satu luka sering terdapat beberapa jenis tipe jaringan sekaligus.Keadaan dasar luka menentukan pemilihan dressing.
Jaringan nekrotik
Akibat kematian jaringan, permukaan luka tertutup oleh lapisan jaringan nekrotik (eschar) yang seringkali berwarna hitam atau kecoklatan. Pada awalnya konsistensi lunak, tetapi kemudian akan mengalami dehidrasi dengan cepat sehingga menjadi keras dan kering. Jaringan nekrotik dapat memperlambat penyembuhan dan menjadi fokus infeksi.Diperlukan pembersihan luka (debridement) dari jaringan nekrotik secepatnya sehingga luka dapat memasuki tahapan penyembuhan selanjutnya.
Gambar Dasar luka tertutup jaringan nekrotik & slough
Slough
Slough, juga merupakan jenis jaringan nekrotik, merupakan material lunak yang terdiri atas sel-sel mati, berwarna kekuningan dan menutupi luka.Dapat berbentuk seperti serabut/ benang yang menempel di dasar luka.Slough harus dibedakan dari pus, di mana slough tetap menempel di dasar luka meski diguyur air, sementara pus akan terlarut bersama air. Slough merupakan predisposisi infeksi dan menghambat penyembuhan luka, meski demikian, adanya slough tidak selalu merupakan tanda terjadinya infeksi pada luka. Pada luka kronis yang dalam, tendo yang terpapar (gambar 12) juga sering dikelirukan dengan slough, sehingga dokter harus hati-hati saat melakukan debridement menggunakan skalpel. Untuk menstimulasi pembentukan jaringan granulasi dan membersihkan luka dari eksudat, slough dibersihkan dengan aplikasi dressing yang sesuai.
Gambar Abrasi kulit
Gambar Luka pembedahan.
Gambar Laserasi di atas alis.
Gambar Luka bakar derajat 3 akibat ledakan radiator.
Gambar Ulkus kronis di kaki.
Gambar Ulkus pressure (dekubitus) grade 4 pada tuberositas ischii dengan tendon terpapar.
Gambar Ulkus maligna pada karsinoma mammae.
Gambar Osteomyelitis kronis di pre-tibia.
Jaringan granulasi
Granulasi adalah jaringan ikat yang mengandung banyak kapiler baru yang akan membantu penyembuhan dasar luka. Jaringan granulasi sehat berwarna merah jambu pucat atau kekuningan, mengkilat dan terlihat seperti tumpukan kelereng.Jika disentuh terasa kenyal, tidak nyeri dan tidak mudah berdarah meski dalam jaringan granulasi terdapat banyak pembuluh darah baru.Jaringan granulasi yang berwarna merah terang dan mudah berdarah menunjukkan terjadinya infeksi.
Gambar Kiri : jaringan granulasi sehat, Kanan : jaringan hipergranulasi
Jaringan hipergranulasi
Hipergranulasi merupakan pembentukan jaringan granulasi secara berlebihan. Hipergranulasi akan mengganggu migrasi epitel sehingga memperlambat penyembuhan luka.
Jaringan epitel
Berupa jaringan berwarna putih keperakan atau merah jambu, merupakan epitel yang bermigrasi dari tepi luka, folikel rambut atau kelenjar keringat.Biasanya menutupi jaringan granulasi.Terbentuknya jaringan epithelial menandakan fase penyembuhan luka tahap akhir hampir selesai.
Gambar Jaringan epithelial
Jaringan terinfeksi
Luka yang terinfeksi ditandai dengan :
Lokasi luka
Lokasi dan posisi mempengaruhi pemilihan dressing, sebagai contoh jenis dan ukuran dressing untuk luka di abdomen berbeda dengan dressing untuk luka di tumit atau jari-jari kaki.
Ukuran luka
Harus diukur panjang, lebar, lingkar luka, kedalaman luka dan luas dasar luka, serta perubahan ukuran luka setiap kali pasien datang. Pergunakan alat ukur yang sama supaya hasil ukuran akurat dan dapat saling diperbandingkan.
Kedalaman luka diukur dengan bantuan aplikator atau cotton-bud yang dimasukkan tegak lurus ke dasar luka terdalam – tandai aplikator – ukur dengan penggaris.
Kadang kerusakan jaringan dan nekrosis meluas ke lateral luka, di bawah kulit, sehingga sering tidak terlihat.Perlu dinilai ada tidaknya pembentukan sinus, kavitas, traktus atau fistula, yang dapat mengganggu drainase eksudat, berpotensi infeksi dan menghambat penyembuhan luka.Penyembuhan luka ditandai dengan berkurangnya ukuran luka.
Gambar Kiri : sinus Kanan : fistula
Gambar Mengukur kedalaman luka, kiri : dengan jari, kanan : dengan aplikator
Tipe dan jumlah eksudat
Terlihat pada luka terbuka. Selama penyembuhan luka, jenis dan jumlah pembentukan eksudat bervariasi. Luka terus menghasilkan eksudat sampai epitelisasi terjadi secara sempurna. Kuantitas eksudat bervariasi dari sedikit, sedang, banyak, dan sangat banyak (profuse). Biasanya, makin besar ukuran luka, makin banyak eksudat yang terbentuk.
Berdasarkan kandungan material di dalamnya, eksudat dibedakan menjadi : serous, serohemoragis, hemoragis dan purulen (pus).
Tingkat kelembaban luka dan jumlah eksudat mempengaruhi pemilihan dressing. Perban harus dapat menyerap cairan berlebihan sekaligus mempertahankan kelembaban lingkungan luka. Dokter harus waspada jika luka menghasilkan banyak eksudat. Eksudat banyak mengandung protein, sehingga pada beberapa kasus dengan luka eksudatif yang luas, misalnya luka bakar luas, diperlukan pemantauan kadar protein serum.
Gambar Eksudat kekuningan di dasar luka (bukan pus)
Bau
Luka diklasifikasikan sebagai tidak tidak berbau, berbau dan sangat berbau. Bau luka berdampak psikologis sangat hebat bagi pasien. Bau biasanya terjadi pada luka terinfeksi, ditimbulkan oleh adanya jaringan nekrotik, eksudat dan material toksik dalam luka (pus, debris dan bakteri), sehingga tindakan membersihkan luka dan nekrotomi dapat mengurangi bau dan memperbaiki infeksi.Akan tetapi, hal ini tidak dapat sepenuhnya dilakukan pada lesi maligna.Pada kasus-kasus ini, bau luka dikurangi dengan mengaplikasikan balutan mengandung antibiotic, balutan mengandung karbon, larval therapy atau gel antibakteri.
Nyeri
Rasa nyeri akan membatasi aktifitas, mempengaruhi mood dan berdampak besar terhadap kualitas hidup pasien. Nyeri merupakan tanda bahwa luka tidak mengalami penyembuhan atau terjadi infeksi pada luka.Nyeri pada luka harus diidentifikasi penyebabnya (inflamasi atau infeksi), kualitas dan kuantitasnya.
Tepi luka
Tepi luka dapat menyempit atau justru melebar. Dapat menggaung (meluas ke lateral, di bawah kulit – undermining), membentuk kavitas, traktus atau sinus. Tepi luka bisa curam, landai, regular, ireguler atau meninggi.Selama penyembuhan luka pasti terjadi perubahan
bentuk luka.Penting untuk memantau dan mencatat keadaan tepi luka karena merupakan indikator penyembuhan luka.
Gambar Tepi luka undermining (menggaung), membentuk kavitas di bawah kulit
Kulit di sekitar luka
Maserasi kulit di sekitar luka terjadi karena retensi cairan, sering diakibatkan oleh pemilihan dressing yang kurang tepat.Kondisi ini dapat menjadi fokus infeksi dan menghambat penyembuhan luka.Kulit kering dan berskuama juga berpotensi infeksi karena masuknya bakteri melalui retakan-retakan epidermis.Jaringan nekrotik harus dibersihkan dan kulit harus direhidrasi kembali dengan krim pelembab.
Gambar Kiri : maserasi kulit, kanan : luka terinfeksi. Tampak selulitis di sekitar luka.
Tujuan penatalaksanaan luka adalah :
Peralatan Yang Diperlukan :
Kursi untuk pasien (dengan sandaran lengan)
Kursi untuk operator
Lampu penerangan
Alat pengamanan diri :
Instrumen anestesi :
Instrumen untuk mencuci luka :
Instrumen bedah minor :
Material untuk perawatan luka :
Agen anestetikum yang sering diberikan adalah lidocaine 1% atau bupivacaine. Penambahan epinefrin sebagai vasokonstriktor bertujuan untuk mengurangi perdarahan, dan memperpanjang efek anestesi. Epinefrin tidak boleh diberikan pada laserasi yang
terjadi di ujung-ujung jari atau area yang divaskularisasi oleh end artery, seperti hidung, pinna dan penis.
Efek Lidocaine berakhir dalam 1 jam, sementara efek Bupivacaine dalam 2-4 jam.
Prosedur :
Tindakan mencuci luka harus dilakukan sesegera mungkin setelah terjadi luka. Jika kulit terbuka, bakteri yang berada di sekitarnya akan masuk ke dalam luka. Paling baik adalah menggunakan air mengalir dan sabun. Tekanan dari pancaran air akan membersihkan luka dari bakteri dan material kontaminan lain.
Pencucian luka harus dilakukan pada :
Luka dangkal
Luka dengan risiko tinggi terjadinya infeksi :
Untuk membersihkan luka yang sangat kotor, misalnya kontaminasi kotoran atau aspal, diperlukan irigasi tekanan tinggi (5-8 psi) atau tindakan scrubbing. Irigasi tekanan tinggi dilakukan dengan menyemprotkan NaCl fisiologis atau akuades menggunakan spuit 10- 50 mL.Irigasi dengan tekanan terlalu tinggi (>20-30 psi, misalnya dengan jet shower) tidak boleh dilakukan karena justru merusak jaringan.Dokter dapat mengenakan kacamata pelindung untuk menghindari percikan air ke mata.Jika luka sangat kotor, mungkin diperlukan washlap dan pinset untuk membersihkan kotoran dari dalam luka.
Larutan antiseptik seperti alkohol atau hydrogen peroksida sebaiknya tidak digunakan, sementara larutan antiseptik seperti povidone iodine 10% hanya digunakan pada luka akut, dan tidak digunakan terlalu sering, karena justru akan merusak sel-sel kulit baru dan sel-sel fagosit yang bermigrasi ke area luka, sehingga risiko infeksi lebih besar dan penyembuhan luka lebih lama.
Imunisasi Tetanus
Tetanus merupakan penyakit infeksi serius yang disebabkan oleh bakteri Clostridium tetani yang banyak ditemukan di tanah atau kotoran binatang. Tetanus tidak akan terjadi jika seseorang telah diimunisasi secara adekuat.
Imunisasi tetanus pada anak diberikan sebanyak 3 kali dengan interval 1 bulan. Berikutnya pasien harus mendapatkan imunisasi booster tiap 10 tahun untuk tetap kebal terhadap tetanus seumur hidup. Jika luka terkontaminasi oleh tanah atau kotoran binatang, pasien harus diberikan booster tetanus jika imunisasi tetanus terakhir lebih dari 5 tahun sebelumnya. Jika luka bersih, misalnya terpotong pisau atau pecahan kaca, riwayat imunisasi 10 tahun sebelumnya cukup adekuat memberikan kekebalan terhadap tetanus.
Indikasi pemberian ATS profilaktik dengan ATS 1500 IU atau Ig Tetanus 250 IU pada luka kotor terkontaminasi, luka tusuk yang dalam.
Gambar Kiri : Mencuci luka dengan saline, B. Irigasi luka dengan tekanan
DEBRIDEMENT LUKA
Debridement adalah proses mengangkat jaringan mati dan benda asing dari dalam luka untuk memaparkan jaringan sehat di bawahnya. Jaringan mati bisa berupa pus, krusta, eschar (pada luka bakar), atau bekuan darah.Debridement harus dilakukan karena:
Terdapat beberapa jenis teknik debridement :
Surgical debridement (sharp debridement)
Mechanical debridement :
Kekurangan metode ini adalah :
Sangat menyakitkan
Perdarahan
Merusak jaringan epitel regeneratif yang baru terbentuk.
Irigasi dengan saline bertekanan tinggi lebih menguntungkan karena tidak menyakitkan dan tidak merusak jaringan.
Chemical debridement :
Dengan aplikasi obat-obat mengandung enzim proteolitik (misalnya collagenase) yang akan melisiskan jaringan nekrotik.
Dengan aplikasi balutan yang akan melunakkan jaringan nekrotik (misalnya pembalut yang mengandung hydrogel atau hydrocolloid untuk luka yang kering, dan alginate atau cellulose untuk luka basah). Jaringan nekrotik yang sudah lunak kemudian diangkat secara manual. Cara ini kurang efisien karena memerlukan waktu lebih lama.
Biological debridement :
Terapi larva, yang dipergunakan adalah larva Lucilia sericata (greenbottle fly).Larva diaplikasikan pada luka.Larva dibiarkan mencerna jaringan nekrotik dan bakteri, serta meninggalkan jaringan sehat.Meski cukup efisien, efikasi terapi ini masih menjadi kontroversi.
Kontraindikasi debridement :
DEBRIDEMENT LUKA MENGGUNAKAN SCALPEL (SHARP DEBRIDEMENT)
Jika luka tertutup oleh jaringan nekrotik berwarna kehitaman atau debris tebal, mencuci luka dan balutan saja belum adekuat untuk membersihkan luka.Diperlukan pembersihan luka secara tajam (sharp debridement) untuk mengangkat jaringan luka dan debris yang menempel erat di dasar luka.Merupakan teknik debridement yang paling cepat dan paling efisien.
Prosedur :
Mungkin diperlukan sedasi atau anestesi umum. Akan tetapi, biasanya pada jaringan nekrotik yang telah mati tidak ada sensasi lagi, sehingga debridement dapat dilakukan dengan anestesi lokal oleh dokter umum di tempat praktek atau bedside pasien.
Debridement dilakukan menggunakan forcep. Pegang tepi jaringan nekrotik dengan ujung forcep, pergunakan gunting yang tajam untuk memisahkannya dari luka di bawahnya. (gambar A dan B). Jaringan sehat ditandai dengan terjadinya perdarahan bila terluka, jadi bersihkan jaringan nekrotik sampai tampak perdarahan pada potongan yang menandakan batas jaringan sehat.
Luka bersih, siap untuk ditutup secara primer (gambarC).
Surgical debridement menggunakan kuret.
Luka harus ditutup secara primer (dengan jahitan atau flap kulit) jika :
Struktur penting di bawah kulit terpapar (otot, tendo, tulang).
Luka terjadi di area di mana terbentuknya jaringan parut akan mengganggu fungsi (luka di area persendian, di bawah kelopak mata atau di lipatan-lipatan kulit, seperti fossa cubiti, leher dan aksila) dan mengakibatkan problem kosmetik (luka di wajah).
Gambar Kiri : Penutupan Luka secara Primer, kanan : penyembuhan luka secara primer
MENJAHIT LUKA LASERASI
Membalut luka yang ditutup secara primer
Menutup luka jahitan (kecuali luka di wajah dan kepala) menggunakan balutan steril tidak menempel (non-adherent). Menutup luka dan memberikan antibiotika topikal mencegah luka mengering yang akan mengganggu re-epitelisasi.
Penggunaan antibiotik topikal secara rutin masih kontroversial.Antibiotika tidak diperlukan untuk laserasi yang bersih dan sederhana. Antibiotika harus diberikan pada luka jahitan yang tidak ditutup, luka terkontaminasi, luka kotor, crush laceration, fraktur terbuka, kerusakan tendon, luka gigitan, dan pada pasien dengan status immunocompromised.
Instruksikan kepada pasien untuk menjaga luka tetap kering dalam 12-24 jam pertama.Berikutnya, perban diganti setiap 24 jam,
sebelumnya luka dibersihkan perlahan dengan air dan sabun yang lembut.Tidak dianjurkan untuk mengompres atau merendam luka.Sebaiknya luka tidak terpapar sinar matahari langsung selama 6-12 bulan karena dapat mengakibatkan hiperpigmentasi pada parut.
Luka biasanya akan merapat dalam 24-48 jam dan sembuh dalam 8-10 hari. Menutup luka dengan perban non-adheren selama 24-48 jam sudah adekuat, selanjutnya luka dibiarkan terpapar udara.
Perawatan harian luka yang ditutup secara primer
Perawatan luka yang ditutup secara primer relatif sederhana.
Setelah dijahit, diberikan aplikasi salep antibiotika atau vaselin tipis-tipis, kemudian tutup luka dengan kassa steril dan diplester.
Kassa diganti setelah 24 jam.
Luka dijaga tetap bersih dan kering. Pasien boleh mandi, luka dibersihkan dengan air dan sabun dengan seksama, kemudian segera dikeringkan dengan handuk bersih dan kering. Aplikasikan salep antibiotika tipis-tipis pada garis jahitan, kemudian luka kembali ditutup dengan kassa steril.
Luka ditutup selama 3-5 hari (tergantung ukuran luka), kemudian dibiarkan dalam keadaan terbuka sampai jahitan diangkat.
Pada luka di ujung-ujung ekstremitas, mintalah pasien untuk melakukan elevasi kaki dan tangan secara berkala untuk mengurangi oedema jaringan, sehingga membantu penyembuhan luka.
Jahitan diangkat setelah 5-7 hari (luka di wajah), 10-14 hari (luka di tangan atau di tempat-tempat lain dengan regangan tinggi, misalnya di atas persendian) atau 7-10 hari (di tempat lain).
Instruksikan pasien untuk datang kembali jika terlihat tanda-tanda infeksi lokal pada luka.
Kontraindikasi penutupan luka secara primer :
Terkadang luka dapat dibiarkan terbuka tanpa usaha menutup luka secara primer, bila :
Gambar Dead space
Pada penyembuhan luka sekunder, tepi luka tidak dapat menyatu dengan mudah, karena terjadi hilangnya jaringan yang cukup luas atau karena infeksi. Biasanya luka terbuka, dengan pembentukan kavitas. Penyembuhan dimulai dari dasar luka dan diakhiri dengan kontraksi tepi-tepi luka.
Gambar Terbentuknya jaringan granulasi pada penyembuhan sekunder, A. Luka dibiarkan terbuka, B. Luka mengecil setelah 2 minggu dressing dengan salep antibiotika, C. Jaringan parut setelah luka sembuh.
Luka harus dinilai secara cermat untuk menyingkirkan kemungkinan terjadinya kerusakan strukturinternal yang memerlukan eksplorasi segera di ruang operasi.Evaluasi dan mencuci luka sering menyakitkansehingga terkadang diperlukan pemberian anestesi lokal.
Lamanya penyembuhan luka bervariasi, tergantung pada faktor intrinsik dan ekstrinsik yang mempengaruhi penyembuhan luka.Pemilihan balutan utamanya bertujuan untuk menciptakan lingkungan yang optimal bagi penyembuhan luka.
Penyembuhan luka tersier, biasanya terjadi jika dokter menilai penutupan luka secara primer belum dapat dilakukan karena adanya infeksi, gangguan vaskularisasi atau regangan berlebihan pada tepi-tepi luka. Dokter akan memberikan antibiotika dan antiinflamasi untuk menghilangkan infeksi, inflamasi dan memperbaiki vaskularisasi jaringan. Biasanya pasien diminta datang kembali 3-4 hari kemudian untuk dilakukan re-assessment luka dan dilakukan penutupan secara primer jika kondisi luka sudah memungkinkan. Selama menunggu penutupan secara primer, perawatan luka sama dengan perawatan luka yang ditutup secara sekunder.
Komplikasi utama setelah tindakan penjahitan luka adalah infeksi dan dehisensi. Pasien harus diberi informasi bagaimana mengenali tanda-tanda awal infeksi pada luka dan sekitar luka. Tanda-tanda tersebut jangan sampai disalahartikan sebagai tahapan inflamasi dari penyembuhan luka, yang biasanya terjadi 3-7 hari setelah penutupan luka. Bila terjadi dehisensi luka, maka pilihan penatalaksanaannya adalah dengan penyembuhan sekunder atau tersier.
Karakteristik Pembalut Luka yang Ideal
Pembalut luka yang ideal harus dapat memberikan lingkungan yang optimal bagi penyembuhan luka dan melindungi luka dari trauma. Berikut ini adalah karakteristik pembalut luka yang ideal :
TEKNIK PEMASANGAN BALUTAN
Balutan basah-kering
Indikasi : untuk membersihkan luka kotor atau terinfeksi.
Teknik :
Balutan basah-basah
Indikasi :
Teknik :
Salep antibiotika
Indikasi : supaya luka bersih tetap bersih; menstimulasi penyembuhan luka.
Cara :
Memilih balutan
Untuk luka bersih, gunakan balutan basah-basah atau balutan mengandung pelembab.
Untuk luka yang memerlukan debridement, gunakan balutan basah-kering sampai luka bersih dan diganti dengan regimen balutan yang berbeda.
Untuk luka yang tertutup oleh jaringan nekrotik, tetap harus dilakukan debridement mekanis, baru kemudian ditutup dengan balutan yang sesuai.
Langkah 1: Melepas balutan
Tindakan melepas perban merupakan tahapan yang paling menyakitkan selama penggantian balutan karena perban mungkin telah kering atau ada bagian yang menempel pada luka, sehingga langkah ini harus dilakukan sangat hati-hati. Melembabkan balutan menggunakan saline dapat memudahkan melepas balutan yang menempel. Oleh karena itu, penting untuk mempertahankan kelembaban di area luka, salah satunya adalah untuk memudahkan saat penggantian balutan.
Langkah 2 : Membersihkan luka
Luka dicuci menggunakan saline. Sebaiknya tidak menggunakan sabun atau larutan pembersih lain karena justru akan merusak sel-sel baru dan melarutkan substansi-substansi biokimia alamiah yang penting untuk penyembuhan luka. Bahan kimia justru juga akan membuat kulit kering sehingga luka akan lebih nyeri. Setelah luka bersih, keringkan hati-hati
dengan handuk bersih dan kering.
Langkah 3 : Mengaplikasikan obat-obat topikal
Pada luka kronis, obat topikal digunakan untuk memanipulasi suasana lingkungan di dasar luka. Yang sering diberikan adalah antibiotika topikal atau pelembab (moisturizer). Jika masih terdapat jaringan nekrotik dapat diberikan obat yang mengandung enzim proteolitik (papain, urea, collagenase). Obat diaplikasikan menggunakan lidi kapas secara merata ke seluruh dasar luka.
Langkah 4: Memasang perban baru
Dipasang 2 lapis perban. Perban lapis pertama dipilih yang dapat mempertahankan kelembaban luka dan menjaga dasar luka tetap bersih. Perban lapis kedua dipilih yang dapat menempel dengan erat sehingga melindungi luka dari trauma.
ABRASI
Setelah pencucian luka, tutup luka dengan kassa perban atau bebat. Berikan kompresi luka bila masih terjadi perdarahan, kecuali bila sumber perdarahan dari arteri.
Lingkungan dengan kelembaban optimal akan mempercepat penyembuhan luka dengan mencegah dehidrasi sel, terutama akhiran saraf, serta menstimulasi sintesis kolagen dan angiogenesis, sehingga mengurangi nyeri dan risiko infeksi serta memperbaiki hasil kosmetik. Lingkungan yang lembab diciptakan dengan menutup luka menggunakan antibiotika topikal dan mengaplikasikan perban occlusive mengandung lapisan atau gel hidrokoloid yang akan melembabkan luka dan mencegah penguapan cairan berlebihan.
Pemilihan pembalut luka tergantung pada sebab, ukuran, kedalaman, lokasi, jumlah eksudat yang dihasilkan dan kontaminasi luka. Perban oklusif mengurangi nyeri, mempercepat penyembuhan luka dan lebih nyaman untuk pasien, meski lebih mahal dibandingkan pembalut kassa. Pembalut basah yang memicu maserasi jaringan dan proliferasi bakteri harus dihindari. Antibiotika sistemik untuk profilaksi tidak perlu diberikan secara rutin, kecuali bila luka kotor, terkontaminasi atau terinfeksi.
Setelah luka dicuci dengan irigasi saline dan dibersihkan dari benda asing, abrasi yang hanya meliputi epidermis dan bagian superfisial dermis dapat diolesi antibiotik topikal dan ditutup dengan balutan oklusif.
Abrasi sampai di bawah dermis, terutama bila luasnya melebihi 1 cm2 atau melibatkan struktur di bawahnya, dan luka abrasi yang tidak sembuh dalam 2 minggu memerlukan konsultasi bedah plastik dan penatalaksanaan lebih lanjut, misalnya grafting
Pada abrasi yang disebabkan ledakan, kembang api atau kecelakaan lalu lintas (kontak dengan aspal jalan atau permukaan yang kotor) sehingga partikel kotoran masuk ke dalam jaringan, diperlukan scrubbing luka dengan sikat. Selama prosedur, dapat diberikan lidokain topikal, anestesi lokal infiltratif atau anestesi regional (bila luka berukuran kecil- sedang) dan analgetik opioid atau sedatif bila abrasi luas. Pengangkatan partikel benda asing dari dalam luka sebelum 24 jam memberikan hasil akhir kosmetik yang baik.
Saat pasien datang kembali kepada dokter, dokter harus melakukan re-assessment luka untuk memastikan manajemen luka yang diberikan efektif dalam membantu penyembuhan luka.
1. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk mencari faktor risiko dan faktor prognosis yang akan mempengaruhi penyembuhan luka.
Tabel Pemeriksaan Laboratorium dalam Manajemen Luka
Pemeriksaan | Tujuan |
---|---|
Jumlah lekosit, hitung jenis lekosit, laju enap darah, C-reactive protein (CRP) | Mengetahui kemungkinan infeksi. |
Hemoglobin (Hb) | Mengetahui adanya anemia, menilai oksigenasi jaringan. |
Glukosa | Mengetahui adanya diabetes. |
HbA1c | Menilai pengendalian diabetes. |
Kadar protein dan albumin | Menilai adanya malnutrisi dan risiko keterlambatan penyembuhan luka. |
Rheumatoid factor, autoantibody | Mengetahui adanya rheumatoid arthritis dan (misalnya anti-nuclear antibody – ANA) penyakit autoimmune. |
Pemeriksaan mikrobiologi (usapan dasar luka, kemudian dilakukan pengecatan Gram, kultur dan uji sensitivitas terhadap antibiotika) | Mengidentifikasi kuman penyebab infeksi luka dan jenis-jenis antibiotika yang masih sensitive terhadap kuman. |
2. Pemeriksaan lainnya
Pemeriksaan radiologi : untuk mengetahui adanya osteomyelitis sebagai komplikasi dari luka kronis.
Sumber : Buku Pedoman Keterampilan Klinis : Manajemen Luka, Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret
Luka adalah rusaknya kesatuan/komponen suatu jaringan, secara spesifik pada luka terdapat substansi jaringan yang rusak atau hilang. Berdasarkan kedalaman dan luasnya, luka dibagi menjadi luka superficial, partial thickness, dan full thickness. Luka superficial merupakan luka yang terbatas pada lapisan epidermis. Luka partial thickness merupakan luka yang disertai dengan hilangnya jaringan kulit pada lapisan epidermis, sedangkan luka full thickness merupakan luka yang diikuti dengan hilangnya jaringan kulit pada lapisan epidermis, dermis, dan fasia, namun tidak mengenai jaringan otot (Gitarja 2008).
Luka berdasarkan waktu penyembuhannya dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu luka akut dan luka kronis. Luka akut merupakan luka yang apabila segera mendapat penanganan, maka dapat sembuh dengan cepat, sedangkan luka kronis merupakan luka yang mengalami kegagalan dalam proses penyembuhannya. Hal tersebut dapat disebabkan oleh faktor eksogen dan endogen. Setiap terjadi luka, tubuh akan berupaya mengembalikan komponen jaringan yang rusak dengan membentuk struktur baru dan fungsional yang sama dengan keadaan sebelumnya (Gitarja 2008).
Penyembuhan luka merupakan suatu proses yang kompleks, yang meliputi berbagai kegiatan bioseluler dan biokimia yang terjadi secara berkesinambungan (Gitarja 2008: 3). Proses penyembuhan luka secara alami akan mengalami tiga fase, yaitu :
Fase inflamasi
Fase inflamasi disebut juga dengan fase substrat, atau fase eksudasi. Fase inflamasi bertujuan untuk membersihkan luka dari mikroorganisme, benda asing, dan jaringan nekrotik pada luka. Fase inflamasi terdiri dari tiga respons. Respons yang pertama kali terjadi adalah respons vaskuler.
Respons vaskuler terjadi setelah lima sampai sepuluh menit sesudah perlukaan. Pada saat tersebut pembuluh darah mengalami vasokonstriksi yang kemudian akan diikuti dengan pelebaran pembuluh darah. Vasodilatasi (pelebaran pembuluh darah) menyebabkan pembuluh darah lebih permeabel sehingga sel leukosit dapat menembusnya.
Respons selanjutnya adalah respons hemostasis dengan tujuan untuk menghentikan pendarahan. Pendarahan yang terjadi pada luka menyebabkan terbentuknya benang-benang fibrin. Kegagalan proses pembekuan darah dapat memperpanjang masa penyembuhan luka.
Respons yang terakhir pada fase inflamasi adalah respons seluler. Makrofag dan limfosit merupakan sel yang mendominasi daerah luka pada saat terjadi luka sampai 12–16 jam setelah perlukaan. Sel tersebut berfungsi dalam proses fagositosis mikroorganisme dan jaringan nekrotik yang ada di daerah luka. Apabila luka sudah bersih maka makrofag akan segera menghilang dari daerah luka, namun sebaliknya jika masih terdapat mikroorganisme di daerah luka maka akan terbentuk pus (nanah).
Fase proliferasi
Fase proliferasi (fase fibroblastik) berlangsung pada hari kelima sampai hari ke-20 setelah terjadi luka. Proses kegiatan seluler yang penting pada fase proliferasi adalah memperbaiki dan menyembuhkan luka yang ditandai dengan pembentukan jaringan granulasi. Fase proliferasi terbagi menjadi 3 tahapan. Tahapan pertama adalah epitelisasi (pembentukan sel- sel epitel di daerah luka). Tujuan utama dari proses epitelisasi adalah untuk penutupan luka. Migrasi sel-sel epitel tersebut berlangsung di seluruh tepi luka, sehingga proses epitelisasi dapat dikatakan selesai apabila seluruh luka sudah tertutup dengan sel epitel. Kecepatan epitelisasi dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti defisiensi vitamin A, dan protein.
Tahap kedua adalah kontraksi luka. Proses kontraksi luka terjadi secara bersamaan dengan pembentukan kolagen oleh fibroblas. Kontraksi luka menyebabkan terjadinya penyempitan pada permukaan luka. Tahapan terakhir pada fase proliferasi adalah perbaikan jaringan ikat yang dilakukan oleh sel fibroblas. Proses sintesis kolagen dimulai pada hari kelima setelah terjadi luka. Proses tersebut dapat berlangsung selama 2–4 minggu. Hasil dari reparasi jaringan ikat adalah jaringan baru yang kaya akan pembuluh darah (jaringan granulasi). Apabila kolagen telah cukup terbentuk, maka fibroblas akan segera menghilang dan fase proliferasi berakhir.
Fase maturasi
Fase maturasi (remodelling) umumnya dimulai pada hari ke-21 setelah terjadi luka, atau setelah fase proliferasi berakhir. Fase remodelling merupakan fase terpanjang dalam proses penyembuhan luka karena fase tersebut dapat berlangsung selama berbulan-bulan bahkan sampai bertahun- tahun. Tujuan dari fase maturasi adalah menyempurnakan terbentuknya jaringan baru sehingga menjadi jaringan yang kuat. Hasil yang diperoleh dalam penyembuhan luka sangat tergantung pada kondisi biologis masing- masing individu, lokasi serta luas luka meskipun proses penyembuhan luka sama bagi setiap penderita (Sugeng dkk. 1984: 25–26; Singer & Clark 1999: 742 & 743; Gitarja 2008: 7–9).
Manajemen luka merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan dalam merawat luka. Manajemen luka meliputi pencucian luka, pemberian obat, dan pemilihan balutan luka yang tepat. Pencucian luka merupakan salah satu aspek yang paling mendasar dalam manejemen luka karena luka dapat sembuh dengan baik bila dalam kondisi yang bersih (Gitarja 2008). Tujuan pencucian luka adalah untuk membuang jaringan nekrosis, cairan luka yang berlebih, sisa balutan luka, dan sisa metabolik tubuh pada cairan luka. Proses pencucian tersebut dapat meningkatkan, memperbaiki, mempercepat proses penyembuhan luka dengan cara menyediakan lingkungan yang optimum bagi keberlangsungan proses penyembuhan luka, serta dapat meminimalisir terjadinya infeksi (Khan & Naqvi 2006; Gitarja 2008). Salah satu cairan yang umum digunakan sebagai pencuci luka adalah natrium klorida 0,9% (NaCl 0,9%/larutan salin normal). NaCl 0,9% merupakan cairan yang bersifat isotonik, tidak toksik terhadap jaringan, tidak menghambat proses penyembuhan luka, serta tidak menyebabkan reaksi alergi (Gitarja 2008).
Pemberian obat luka bertujuan untuk meningkatkan proses penyembuhan luka. Obat luka yang umum digunakan adalah Betadine® (povidone iodine 10%). Povidone iodine memiliki daya bakterisidal yang efektif dalam membunuh bakteri, fungi, mapun spora dengan cara menonaktifkan substrat sitoplasma yang penting bagi kelangsungan hidup suatu mikroorganisme (Khan & Naqvi 2006: 7). Iodine merupakan bahan non metalik berwarna hitam kebiru-biruan, dan memiliki bau yang khas. Iodine dapat larut dalam air, namun dapat larut secara keseluruhan dalam alkohol dan larutan sodium iodide (Burk 1998:).
Manajemen luka selanjutnya adalah pembalutan luka. Pemilihan pembalutan yang tepat dapat meningkatkan proses penyembuhan luka. Pembalutan luka bertujuan untuk melindungi luka dari kotoran, debu, serta mencegah terjadinya kontaminasi oleh bakteri. Pembalut yang baik adalah pembalut yang dapat menciptakan kondisi lembap pada luka. Menurut Sharman (2003) lingkungan yang lembap dapat mempercepat fase inflamasi, mempercepat proliferasi dan migrasi sel keratinosit, meningkatkan proliferasi fibroblas dan membantu meningkatkan sintesis kolagen sehingga dapat membantu proses penyembuhan luka.
Proses penyembuhan luka tidak hanya terbatas pada proses regenerasi yang bersifat lokal, namun dipengaruhi juga oleh faktor internal dan faktor eksternal antara lain: usia, status imunologi, nutrisi, stres, infeksi, dan penyakit yang diderita. Nutrisi, terutama protein sangat diperlukan dalam proses penyembuhan luka karena sintesis kolagen oleh fibroblas memerlukan protein sebagai bahan dasarnya. Selain protein, vitamin C, vitamin A, zat besi dan tembaga juga berperan penting dalam fase proliferasi. Anemia merupakan salah satu penyakit yang dapat memengaruhi penyembuhan luka. Seseorang yang menderita anemia memiliki kemampuan penyembuhan luka yang lebih lambat karena jumlah oksigen yang dibawa oleh darah ke daerah luka menjadi berkurang (Sugeng dkk. 1984; Gitarja 2008).