Apa yang dimaksud dengan Logosentrisme?

Logosentrisme

Logosentrisme berasal dari kata logos yang berarti fondasi atau landasan. Logosentrisme sendiri mempunyai arti semua yang memiliki landasan dan fondasi. Logos dapat dilihat sebagai dasar mandiri atau identitas diri dimana semua kebenaran dapat diukur. Hal ini berfungsi sebagai tolak ukur semua makna. Didalam bahasa, Logos mengacu pada makna, kehadiran, ide, niat yang ada dibalik teks tertulis, sedangkan kata yang diucapkan berfungsi sebagai kendaraan ekspresi.

Apa yang dimaksud dengan Logosentrisme ?

Logosentrisme merupakan sistem metafisik yang mengandaikan adanya logos atau kebenaran transendental di balik segala hal yang tampak di permukaan atau segala hal yang terjadi di dunia fenomenal.

Kehadiran logos di dalam teks-teks filsafat, ditampilkan dengan hadirnya pengarang (author) sebagai subjek yang memiliki otoritas terhadap makna yang hendak disampaikannya. “Kehadiran” pengarang sebagai representasi dari atau bahkan logos tersebut yang diisyaratkan secara metaforis oleh Derrida dengan istilah ‘metafisika kehadiran’.

Selain itu Derrida membaca dan menafsirkan teks-teks filsafat lalu membandingkannya satu sama lain untuk menemukan “kontradiksi internal” yang tersembunyi di balik logika atau tuturan teks tersebut. Derrida sampai pada suatu pernyataan bahwa tradisi filsafat Barat sepenuhnya didasarkan pada apa yang diistilahkannya sebagai logosentrisme atau metafisika kehadiran (metaphysics of presence).

Dalam The Basic Problem of Phenomenology, Derrida menulis:

“… konstruksi dalam filsafat itu dengan sendirinya harus serentak (melakukan) destruksi, yaitu dekonstruksi konsep- konsep tradisional dengan cara justru kembali ke tradisi.” Konsep-konsep yang diturunkan oleh filsafat ataupun metafisika, kembali dipersoalkan mengingat corak atau pendekatan apa pun yang digunakan oleh filsafat/meta-fisika dinarasikan melalui konsep-konsep tersebut. Tanpa konsep, filsafat / metafisika hampir mustahil membangun suatu narasi yang padu, seperti yang ditunjukkan selama ini dalam perjalanan sejarahnya. Derrida menyadari bahwa konsep-konsep yang menjembatani filsafat/metafisika dalam narasi tidak lahir dengan sendirinya. Narasi muncul dari teks, dan teks berurusan secara langsung dengan bahasa. Derrida kemudian mencari strategi pembentukan makna di balik teks-teks itu, antara lain dengan mengeksplisitkan sistem-sistem perlawanan (systems of opposition) yang tersembunyi atau cenderung didiamkan oleh sang pengarang.

Derrida memegang asumsi bahwa “filsafat pada dasarnya merupakan tulisan. Filsafat berurusan langsung dengan teks, dan teks itu merupakan tulisan.” Selama ini, filsafat berambisi untuk melepaskan diri dari status-nya sebagai tulisan dan keluar dari keterikatan dengan bentuk fisik kebaha-saan dari tulisan itu. Derrida ingin menjadikan bahasa yang digunakannya sebagai sarana untuk menampilkan kebenaran dan makna real yang berada di luar wilayah bahasa (ekstra-linguistik).

“Di balik teks filosofis, yang terdapat bukanlah kekosongan, melainkan sebuah teks lain: suatu jaringan keragaman kekuatan-kekuatan yang pusat referensinya tak jelas.”

Filsafat dalam ungkapan Derrida tersebut adalah dia ingin menjaring segala persoalan ke dalam suatu mathesis universalis atau rumusan universal yang mampu menuntaskan segala. Untuk melakukan- nya, filsafat mereduksi berbagai persoalan ke dalam suatu sistem metafor. Kosa kata khusus yang secara sui generis berfungsi mereduksi realitas-realitas yang bersifat ekstra-linguistik, filsafat seakan-akan ingin menunjukkan bahwa hanya ada satu bahasa atau bentuk pengungkapan saja yang benar. Semua bahasa lain lantas dianggap tidak cukup untuk memberikan makna.

Derrida lebih jauh mengajak berpikir “tanpa konsep tentang kehadiran atau absensi, tanpa sejarah, tanpa tujuan, tanpa archia ataupun telos, berpikir tentang suatu tulisan yang akan mengacaukan dialektika, teologi, teleologi ataupun ontologi.” Semua ini dilakukan dalam rangka merombak seluruh bangunan filsafat yang telah dikuasai logosentrisme. Pertama, Derrida menolak dikotomi konseptual antara ‘kehadiran’ (presence) dan “absensi” (absence).

Dengan kata lain, antara metafisika yang didasarkan pada kehadiran subjek dan ketiadaan subjek lainnya. Dikotomi kehadiran-/absensi dalam tradisi metafisika yang logosentris, dipertahan-kan sedemikian rupa melalui pemilahan antara pikiran- tubuh, kesadaran – kegilaan, rasionalitas-irasionalitas, logos-mitos, dan lain seterusnya. Apa yang terjadi yaitu terbukanya peluang bagi subjek-subjek yang selama ini ditiadakan secara sistematis oleh filsafat / metafisika Barat untuk tampil ke permukaan.

Oleh karena itu, tubuh, kegilaan, irasionalitas, mitos, dan berbagai subjek yang terepresi menemukan momentumnya di sini. Kedua, Derrida menolak “asal usul” (archia, origins) yang diyakini secara metafisik sebagai sumber kebenaran atau fondasi bagi filsafat untuk membangun asumsi-asumsi filosofisnya.