Apa yang dimaksud dengan literary response atau resepsi sastra?

Istilah resepsi sastra berasal dari kata rezeptionaesthetic, yang dapat disamakan dengan literary response (penerimaan estetik) sesuai dengan aesthetic of reception (Junus, 1984) dan disebut estetika resepsi oleh Pradopo (2002).

Resepsi sastra dimaksudkan bagaimana pembaca memberikan makna terhadap karya sastra yang dibacanya, sehingga dapat memberikan reaksi atau tanggapan terhadapnya. Reaksi tersebut dapat pasif (yaitu bagaimana pembaca dapat memahami karya itu) dan dapat aktif (yaitu bagaimana ia merealisasikannya).

Resepsi sastra berpandangan bahwa pada dasarnya karya sastra adalah polisemi atau dapat memiliki lebih dari satu makna. Tetapi bukan tidak mungkin seorang pembaca dalam suatu waktu tertentu hanya akan melihat satu ”arti” saja. Atau mereka hanya memberikan tekanan pada satu “arti” tertentu dan mengabaikan “arti” yang lainnya. Dengan demikian “arti” dikonkretkan dengan hubungan oleh khalayak (audience) sesuai dengan pembawaan karya itu kepada khalayak, sehingga ia mempunyai akibat (wirkung) (Junus, 198).

Dalam resepsi sastra, atau estetika resepsi, pembaca berada di antara jalinan segi tiga, yaitu: pengarang, karya sastra, dan masyarakat pembaca. Pembaca adalah perhatian utama dalam teori estetika resepsi. Pembaca mempunyai peran aktif, bahkan merupakan kekuatan pembentuk sejarah (Jauss, 1974)

Metode estetika resepsi mendasarkan diri pada teori bahwa karya sastra itu sejak terbitnya selalu mendapat resepsi atau tanggapan para pembacanya (Pradopo, 2002). Apresiasi pembaca pertama terhadap sebuah karya sastra, akan dilanjutkan dan diperkaya melalui resepsi-resepsi yang lebih lanjut dari generasi ke generasi. Dengan cara ini, makna historis karya sastra akan ditentukan dan nilai estetiknya akan terungkap (Jauss, 1974).

Menurut Pradopo (2002) dalam metode estetika resepsi, akan diteliti resepsi-resepsi setiap periode, yaitu tanggapan-tanggapan sebuah karya sastra oleh pembacanya. Tentu saja dalam hal ini yang dimaksudkan adalah pembaca yang cakap (bukan awam), yaitu para kritikus sastra dan para ahli sastra. Menurut Vodicka (dalam Pradopo, 2002) pembaca cakap ini adalah para ahli sejarah dan ahli estetika serta para kritikus.

Menurut Vodicka (Pradopo, 2002), pendapat para ahli sastra, estetika dan kritikus, tidak selalu sama mengenai norma tunggal yang benar semacam itu. Efek estetik karya satra sebagai keseluruhan, begitu juga konkretisasinya, tunduk pada perubahan yang terus- menerus. Kekuatan sebuah karya sastra tergantung kepada kualitas yang dikandung secara potensial dalam masa perkembangan norma sastra. Jika karya sastra dinilai positif bahkan bila norma berubah, berarti karya sastra itu memiliki jangka hidup yang lebih panjang daripada karya yang efektivitas estetiknya habis dengan lenyapnya norma sastra pada masanya.

Vodicka menganggap dalam karya sastra ada ruang kosong yang dapat diisi sesuai dengan kondisi sosial pembacanya. Jausz memandang bahwa horizon harapan pembaca (horizon of expectations) memungkinkan terjadinya penerimaan dan pengolahan dalam batin pembaca terhadap teks yang dibaca. Horizon harapan akan senantiasa berubah dari satu pembaca ke pembaca lainnya, berdasarkan latar belakang pendidikan, pengalaman, pengetahuan, dan kemampuan pembacanya dalam menanggapi teks yang dibaca (Azis, 2003).

Iser mengemukakan teori Leerstellen, tempat kosong (blank) serta fungsinya dalam pemberian makna. Tempat kosong ini akan mengaktifkan daya cipta pembaca dan membentuk innerperspective, perspektif dalam bagi sebuah teks; anasir-anasir yang masing-masing memainkan peran sebagai plot, pelaku, juru kisah, struktur waktu, oleh pembaca diintegrasikan menjadi perspektif total. Jadi dalam pendekatan ini, Wirkung diteliti dari segi teks, pengarahan pembaca oleh teks, yang melaksanakan potensi makna sesuai dengan kompetensi pembaca.

Iser (dalam Selden, 1986) menjelaskan bahwa resepsi pembaca hendaknya terfokus pada pembaca implisit bukan pembaca konkrit. Pembaca implisit merupakan pembaca yang dapat menentukan sikap dalam menghadapi teks yang dibaca, dan memungkinkan adanya komunikasi antara dirinya dengan teks yang telah dibacanya. Senada dengan itu, menurut Culler (dalam Selden, 1986) setiap pembaca pada dasarnya akan memiliki penafsiran yang berbeda-beda terhadap karya sastra yang diapresiasinya. Namun dari berbagai penafsiran dari pembaca, semuanya harus dapat diterangkan oleh teori yang ada. Oleh karena itu pembaca tetap harus mengikuti perangkat konvensi penafsiran yang sama.

Teeuw (2003) mengemukakan, bahwa resepsi adalah pendekatan dalam memahami karya sastra melalui penerimaan pembaca atau penikmat sastra, baik pembaca yang hidup sezaman dengan penulisnya, maupun yang ada sesudah masa penciptaannya. Menurut Selden (1986), dalam pendekatan ini dikenal beberapa istilah pembacaan, antara lain concretization (Vodicka), horizon harapan (Jausz), pembaca implisit (Izer), dan konvensi pembacaan (Culler).

Dengan demikian, telaah sastra dengan metode estetika resepsi ini, menurut Segers (1978; Pradopo, 2002), ialah:

  1. Merekonstruksi bermacam-macam konkretisasi sebuah karya sastra dalam masa sejarahnya

  2. Telaah hubungan di antara konkretisai- konkretisasi itu di satu pihak, dan telaah hubungan di antara karya sastra dengan konteks historis yang memiliki konkretisasi itu di lain pihak.

Dari berbagai pendapat yang telah diuraikan, dapat ditarik simpulan bahwa pendekatan resepsi sastra memiliki garis besar yakni:

  1. Bertolak dari hubungan antara teks sastra dan reaksi pembacanya;

  2. Pengkonkritan makna teks dilakukan melalui penerimaan pembaca, sesuai dengan horizon harapannya;

  3. Imajinasi pembaca dimungkinkan oleh keakrabannya dengan sastra, kesanggupannya dalam memahami keadaan pada masanya;

  4. Melalui kesan, pembaca dapat menyatakan penerimaannya terhadap karya yang dibacanya.