Apa yang Dimaksud dengan Lian dalam Islam?

Lian

Lian, dalam hukum Islam merupakan sumpah yang memberi suami kemungkinan untuk menuduh istrinya berzina tanpa bukti hukum dan tanpa bertanggung jawab atas hukuman yang ditentukan untuk ini, dan kemungkinan juga untuk menolak ayah dari seorang anak yang ditanggung oleh istri.

Dalam bahasa syariat, bukti yang diberikan oleh suami, diperkuat oleh sumpah, yang dengannya suami memohon kutukan (laʿna) terhadap istri untuk mendapatkan murka Allah atas diri mereka sendiri, jika istri tersebut berbohong.

Kata lian diambil dari kata al-lanu yang artinya jauh dan laknat atau kutukan, disebut demikian karena suami istri yang saling berlian itu berakibat saling dijauhkan oleh hukum dan diharamkan berkumpul sebagai suami istri untuk selama-lamanya, atau karena yang bersumpah lian itu dalam kesaksiannya yang kelima menyatakan bersedia menerima laknat (kutuk) Allah jika pernyataannya tidak benar.

Secara terminologi lian merupakan suatu ucapan sumpah yang dilakukan oleh seorang suami kepada istrinya dengan lima kali sumpah dan pada sumpah yang terakhir suami mengucapkan sumpah yang diikuti dengan laknat kepadanya jika dia dusta.

Menurut istilah Hukum Islam, lian adalah sumpah yang diucapkan oleh suami ketika ia menuduh istrinya berbuat zina dengan empat kali kesaksian bahwa ia termasuk orang yang benar dalam tuduhannya, kemudian pada sumpah kesaksian kelima disertai persyaratan bahwa ia bersedia menerima laknat Allah jika ia berdusta dalam tuduhannya itu.

Lian merupakan ucapan tertentu yang digunakan untuk menuduh istri yang telah melakukan perbuatan yang mengotori dirinya (berzina) yang kemudian menjadi alasan suami untuk menolak anak. Suami melakukan lian apabila telah menuduh berzina, tuduhan berat ini pembuktiannya harus mengemukakan empat orang saksi laki-laki.

Lian merupakan salah satu alternatif yang ditawarkan oleh Islam kepada umat Islam, jika ditengah-tengah perjalanan suami merasakan ada kejanggalan terhadap anak yang dikandung oleh istrinya, maka jalan yan dapat dilakukan untuk menyangkal anak tersebut yaitu dengan cara lian.

Sayyid Sabiq mengatakan bahwa:

Jika suami melihat istrinya berzina dengan laki-laki lain lebih baik dia menthalaq istrinya, bukan melakukan lian. Tetapi jika tidak terbukti laki- laki yang menzinainya, maka suami boleh menuduhnya berbuat zina, dan boleh tidak mengakui kehamilan istrinya, biar dalam keadaan bagaimanapun, karena ia merasa sama sekali belum pernah mencampuri istrinya sejak aqad nikahnya, atau ia merasa mencampuri istrinya tetapi baru setengah tahun sedangkan umur kandungannya tidak sesuai dengan usia pernikahannya.

Dari pendapat Sayyid Sabiq dapat dipahami bahwa lian merupakan salah satu jalan jika suami tidak mau mengakui anak yang dikandung oleh istrinya.

Jika seseorang menuduh istrinya berzina tanpa bukti, maka ia telah melakukan qazaf dan berhak mendapatkan hukum had berupa 80 kali cambukan.

Allah Swt berfirman:

dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka cambuklah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali cambukan. (QS. An-Nur: 4)

Had tersebut tidak berlaku jika dia membawa 4 orang saksi sebagai bukti. Allah Swt berfirman:

dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya). (QS. An-Nisaa: 15)

Jika dia tidak memiliki bukti sementara dia:

  • Yakin istrinya telah berzina karena melihatnya dengan mata kepalanya sendiri, atau mendapatkan kabar dari sejumlah orang yang mencapai derajat mutawatir.

  • Punya dugaan sangat kuat bahwa istrinya telah berzina karena adanya berbagai macam indikasi yang mengarah kesana (semisal mendapati istrinya dan orang ketiga tidur dalam satu selimut) dan tersebarnya berita di masyarakat bahwa istrinya telah berzina atau adanya berita dari orang terpercaya bahwa istrinya telah berzina.

Maka dia boleh melakukan lian. Sebagaimana dijelaskan di dalam ayat Alquran surah An-Nur (24) ayat 6-9:

Orang-orang yang menuduh istrinya (berzina), padahal mereka tidak mempunyai saksi-saksi kecuali diri mereka sendiri, maka kesaksian masing-masing orang itu ialah empat kali bersumpah dengan (nama) Allah bahwa sesungguhnya ia termasuk orang yang berkata benar (6).

Dan sumpah yang kelima bahwa laknat Allah akan menimpanya jika ia termasuk orang yang berdusta (7).

Dan seorang istri akan terhindar dari hukuman apabila ia bersumpah empat kali atas (nama) Allah bahwa dia (suaminya) benar-benar termasuk orang yang berdusta (8).

Dan (sumpah) yang kelima bahwa kemurkaan Allah akan menimpanya (istri) jika dia (suami) termasuk orang yang berkata benar (9).

Ayat di atas menguraikan tuduhan suami kepada istrinya. Ayat tersebut menyatakan bahwa: Dan adapun sanksi hukum terhadap orang- orang yang menuduh istri mereka berzina, padahal tidak ada bagi mereka saksi-saksi yang menguatkan tuduhannya itu selain diri mereka sendiri, maka persaksian salah seorang mereka, yakni suami ialah empat kali kesaksian yakni bersumpah empat kali sambil menggandengkan ucapan sumpahnya itu dengan nama Allah, bahwa sesungguhnya dia adalah termasuk kelompok orang-orang yang benar dalam tuduhannya kepada istrinya itu. Dan sumpah yang kelima adalah bahwa laknat Allah atasnya, jika dia termasuk kelompok para pembohong yakni orang-orang yang telah mendarah daging sifat buruk itu dalam kepribadiannya.

Setelah menjelaskan apa yang harus ditempuh oleh suami yang menuduh istrinya, kini istri diberi kesempatan untuk menunjukkan kesuciannya dan kepalsuan tuduhan suaminya.

Alquran surah An-Nur (24) ayat 8-10:

Dan dihindarkan darinya hukuman dengan bersaksi dengan empat kesaksian dengan nama Allah sesungguhnya dia benar-benar termasuk orang-orang pembohong, dan yang kelima bahwa murka Allah atasnya jika dia termasuk orang-orang yang benar. Dan andaikata tidak ada karunia Allah atas diri kamu dan rahmat-Nya dan Allah adalah Penerima Taubat lagi Maha Bijaksana.

Ayat ini menyatakan apabila sang istri diam tidak membantah tuduhan suami, maka ia dijatuhi sanksi hukum zina, dan dihindarkan darinya yakni dari sang istri hukuman zina itu dengan jalan bersaksi yakni bersumpah dengan empat kesaksian yakni empat kali bersumpah dengan menyebut nama Allah dalam sumpahnya itu bahwa sesungguhnya dia yakin suaminya benar-benar termasuk kelompok orang- orang pembohong, dan sumpah yang kelima bahwa murka Allah atasnya jika dia yakin suaminya itu termasuk kelompok orang-orang yang benar. Seandainya Allah bukan sebaik-baik Pengampun dan sebaik-baik Pencurah rahmat dan andaikata tidak ada karunia Allah yang menurunkan Alquran atas diri kamu dan kalau juga tidak ada rahmat-Nya yang memberi pertaubatan kepada kamu, serta menetapkan ketentuan hukum yang bijaksana dalam mengatur kehidupan kamu maka pastilah kamu akan terjerumus dalam kedurhakaan dan kekacauan. Tetapi itu tidak terjadi karena pengampunan Allah, kebijaksanaan dan rahmat-Nya dan Allah adalah Penerima Taubat lagi Maha Bijaksana.

Ayat ini turun berkenaan dengan Hillal Ibn Umayyah yang menuduh dihadapan Nabi saw bahwa istrinya menyeleweng. Nabi saw menuntut darinya empat orang saksi atau dicambuk. Ia mempertanyakan hal tersebut dan menyatakan bahwa ketentuan itu tidak mungkin dapat dipenuhi oleh seorang suami. Berikut Hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari:

“Dari Ibnu Abbas bahwa Hillal bin Umayyah menuduh istrinya berzina dihadapan Rasulullah saw dengan Syuriak bin Sahma’. Lalu Nabi saw bersabda : Tunjukkanlah buktinya atau punggungmu didera. Lalu sahutnya :Wahai Rasulullah !, jika salah seorang di antara kami melihat istrinya jalandi samping laki-laki lain, apakah akan diminta pula bukti?

Lalu Rasulullah saw tetap bersabda: Tunjukkanlah bukti, kalau tidak punggungmu didera!

Lalu sahutnya: Demi Tuhan! yang mengutus tuan dengan sebenarnya. Sungguh saya ini berkata benar. Semoga Allah akan menurunkan ayat-Nya yang menolong saya dari hukuman had.

Lalu Jibril turun dan turunlah ayat.

*Kemudian Nabi saw pergi kepada istri Hilal. Lalu Hilal datang dan mengucap sumpah (kesaksian), sedangkan Nabi saw bersabda: Sesungguhnya Allah Maha Tahu, kalau satu diantara kamu ini ada yang berdusta. Apakah ada salah satu dari kamu ini yang bertaubat? Lalu istri (Hilal) bersumpah ketika sampai kelima kalinya kaumnya menghentikannya sambil mereka berkata bahwa sumpah ini pasti terkabulkan. *

*Kata Ibnu Abbas: lalu istri (Hilal) tampak ketakutan dan menggigil, sehingga kami mengira dia mau merubah sumpahnya. Tapi kemudian ia berkata: Saya tidak mau mencoreng arang di wajah kaumku sepanjang masa. Lalu diteruskanlah sumpahnya. *

Lalu Nabi saw bersabda (kepada kaumnya): Perhatikanlah dia. Jika nantinya anaknya hitam seperti celah kelopak matanya kalkumnya, besar…, padat berisi kedua pahanya, berarti keturunan Syuraik bin Sahma’. Lalu ternyata lahirlah anak seperti tersebut. lalu Nabi saw bersabda: Jika bukan karena telah ada ketentuan lebih dulu dalam alquran, tentulah aku selesaikan urusannya dengannya.”

Ada beberapa definisi lian yang dikemukakan ulama fikih, antara lain:

  • Ulama Mazhab Hanafi dan Mazhab Hambali mendefinisikannya dengan persaksian kuat dari pihak suami bahwa istrinya berbuat zina yang diungkapkan dengan sumpah yang dibarengi dengan lafal lian, yang ditanggapi dengan kemarahan dari pihak istri. Bagi Ulama Mazhab Hambali, lian juga berlaku dalam keadaan nikah fasid (rusak, karena kekurangan salah satu syarat nikah). Bagi Ulama Mazhab Hanafi, lian tidak sah dalam nikah fasid.

  • Ulama Mazhab Maliki mendefinisikannya dengan sumpah suami yang muslim dan cakap bertindak hukum bahwa ia melihat istrinya berzina atau ia mengingkari kehamilan istrinya sebagai hasil pergaulannya dengan istrinya itu, kemudian istri bersumpah bahwa tuduhan tersebut tidak benar sebanyak empat kali di hadapan hakim, baik nikah antara suami istri itu nikah sahih maupun nikah fasid. Bagi mereka, lian yang dilakukan suami yang kafir, anak kecil, orang gila, dan orang mabuk tidak sah.

  • Ulama mazhab Syafii mendefinisikannya dengan kalimat tertentu yang dijadikan alasan untuk menuduh istri berbuat zina dan mempermalukannya atau mengingkari kehamilan istri sebagai hasil pergaulannya dengan istrinya itu.

Ada perbedaan pendapat dari para ulama mazhab dan beberapa Jumhur Ulama dalam memandang lian sebagai sumpah atau kesaksian. Imam Maliki, Syafii dan Jumhur Ulama berpendapat bahwa lian adalah sumpah, sebab kalau dinamakan kesaksian tentulah seseorang tidak pakai menyebut bersaksi bagi dirinya, karena sabda Rasulullah saw dalam sebagian riwayat Ibnu ‘Abbas menyatakan: “Andaikata tidak karena sumpahnya tentulah masih ada persoalan antara aku dengannya (istri Hilal)”. Yang berpendapat lian sebagai sumpah berkata lian dipandang sah antara suami istri sama- sama merdeka, atau sama-sama budak, atau yang satu merdeka yang lain budak, atau sama-sama orang yang adil, atau sama-sama orang yang durhaka, atau yang satu adil yang lain durhaka.

Tetapi Abu Hanifah dan murid-muridnya berpendapat bahwa lian adalah kesaksian. Mereka beralasan firman Allah: “…maka kesaksian salah seorang dari mereka (mengucapkan) empat kali kesaksian dengan menyebut nama Allah…”, dan juga Hadist Ibnu Abbas di atas yang menyebutkan: “…lalu Hilal datang, kemudian mengucapkan kesaksian. Kemudian istrinya berdiri, lalu mengucapkan kesaksian pula”. Yang berpendapat lian sebagai kesaksian berkata tidak sah lian antara suami istri yang kedua-duanya bukan orang yang kesaksiannya dapat diterima, karena itu haruslah suami istri tersebut sama-sama orang yang merdeka dan muslim. Jika suami- istri sama-sama budak atau sama-sama pernah dihukum had karena menuduh orang berbuat zina tanpa dapat menghadirkan empat saksi, maka mereka tidak boleh melakukan lian. Begitu pula kalau salah seorang daripadanya kesaksian dapat diterima dan lainnya tidak.

Ibnu Qayyim berkata:

“Yang benar ialah orang-orang yang bermula’anah harus sama-sama punya hak sumpah dan kesaksian, maksudnya kesaksian yang dikuatkan dengan sumpah, dan diucapkan berkali-kali dan sumpah berat yang disertai ucapan kesaksian berulang kali guna memutuskan perkaranya dan memperkuat pernyataannya.”

Di dalam Alquran surah An-Nuur (24) ayat 6-10 tersebut di atas, menamai sumpah dengan shahadah /kesaksian. Ini karena sumpah-sumpah yang dituntut ayat ini berfungsi sebagai syahadah dalam kasus selain suami yang menuduh seorang wanita baik-baik. Memang, yang dituntut terhadap suami dan istri sebanyak lima kali. Yang kelima adalah pengukuhan terhadap syahadah/sumpah yang empat kali itu, karena yang tampil disini hanya dia sendiri, sehingga sumpah/kesaksian yang kelima berfungsi mengingat dampak buruk dari sumpahnya bila ia berbohong.

Dalam mula’anah ini kesaksian diiringi dengan sumpah dan sumpah diiringi dengan kesaksian, dan orang-orang yang ber mula’anah karena ucapannya yang diterima maka kedudukannya sama dengan saksi. Maka jika istri menerima ber mula’anah, berarti persaksiannya sah dan dapat dipakai kesaksiannya tersebut. Sumpahnya suami berarti dua hal yaitu terlepasnya dia dari hukuman had, tetapi istri yang akan kena had. Tetapi kalau istri menolak tuduhan suaminya dan mengucapkan lian pula maka suami lepas dari tuntutan hukuman had dan begitu pula istrinya. Dalam hal istri menolak seperti ini kesaksian dan sumpah yang diucapkan dinisbahkan kepada suami, bukan istri. Jika suami hanya mengucapkan sumpah saja, maka istri tidak dijatuhi had karena sumpah tersebut. Jika suami menyatakan kesaksian saja, istri juga tidak dijatuhi had karena kesaksian tersebut. Tetapi jika sumpah dan kesaksian kedua-duanya digunakan oleh suami, ini berarti sebagai petunjuk secara lahir tentang kebenaran tuduhannya, dengan demikian suami terlepas dari hukuman had dan kepada istri dikenakan had (bila istri tidak mengucapkan sumpah nukul/ sumpah balasan). Demikian hukum yang sebaik- baiknya. Dari sini dapat terlihat bahwa dalam mula’anah sumpah berarti kesaksian dan kesaksian berarti sumpah pula.

Bentuk-Bentuk Lian


Jika dilihat dari pengertian lian sebagai suatu tuduhan suami terhadap istrinya bahwa ia telah berzina, misalnya dengan berkata: “Aku melihatnya sedang berzina!”, atau suami menolak janin yang dikandung istrinya sebagai anaknya, maka lian dapat dibedakan menjadi tiga macam:

  • Suami menuduh istrinya berzina, tetapi ia tidak punya empat orang saksi laki-laki yang dapat menguatkan kebenaran tuduhannya itu. Jika ada laki-laki yang menzinai istrinya dan suami melihat laki-laki tersebut sedang menzinai istrinya atau istri mengakui berbuat zina dan suami yakin akan kebenaran pengakuannya tersebut, maka dalam keadaan seperti ini lebih baik ditalak, bukan dengan jalan melian atau mengadakan mula’anah . Tetapi jika tidak terbukti laki-laki yang menzinainya, maka suami boleh menuduhnya berbuat zina.52 Menurut ulama Mazhab Maliki, suami yang mengaku melihat istrinya berzina itu disyaratkan tidak melakukan senggama dengan istrinya tersebut setelah tuduhan dijatuhkan. Dalam hal ini, bisa saja suami ketika melakukan tuduhan zina terhadap istrinya tanpa disertai dengan pengingkaran terhadap sahnya anak yang dikandung ataupun yang telah lahir dari istrinya tersebut. Pihak suami sebagai pemegang hak pengingkaran anak, adalah boleh mempergunakannya dan dapat pula tidak mempergunakannya. Selama suami tidak mempergunakan haknya tersebut, maka ia dianggap secara hukum menerima keadaan aquo dan kedudukan anak tetap dipandang sebagai anak sah yang mempunyai hubungan nasab dengan ayahnya.

  • Suami tidak mengakui kehamilan istrinya sebagai hasil dari benihnya.

  • Suami boleh tidak mengakui kehamilan istri, biar dalam keadaan bagaimanapun, karena ia merasa belum pernah sama sekali mencampuri istrinya sejak akad nikahnya,atau ia merasa mencampurinya tetapi baru setengah tahun lalu atau telah lewat setahun, sedangkan umur kandungannya tidak sesuai.

Dalam Hukum Islam seorang suami dapat menolak untuk mengakui bahwa anak yang dilahirkan istrinya bukanlah anaknya, selama suami dapat membuktikan bahwa:

  • Suami belum pernah menjima’istrinya akan tetapi istri tiba–tiba melahirkan;

  • Lahirnya anak itu kurang dari enam bulan sejak menjima’ istrinya sedangkan bayinya lahir seperti bayi yang cukup umur;

  • Bayi lahir sesudah lebih dari empat tahun dan si istri tidak dijima’ suaminya.

  • Suami menuduhkan kedua-duanya kepada istrinya, yakni menuduh istrinya berzina dan tidak mengakui kehamilan istrinya sebagai hasil dari benihnya, dan ia tidak bisa membuktikan hal itu dengan kehadiran empat orang saksi. Kalau suami tetap pada tuduhannya itu, ia dituntut untuk bersaksi dengan nama Allah.

Adapun pernyataan pengingkaran terhadap anak yang lahir dari rahim istrinya harus dilakukan di hadapan hakim dengan ungkapan “Anak ini atau kehamilan ini bukan dari saya”. Akan tetapi terdapat perbedaan pendapat ulama tentang waktu pengingkaran terhadap anak tersebut. Beberapa Ulama Mazhab, seperti ulama Mazhab Hanafi, Mazhab Hambali dan Mazhab Maliki tidak membolehkan pengingkaran anak yang dilahirkan istrinya setelah anak itu lahir. Sedangkan Ulama Mazhab Syafii membolehkan pengingkaran dilakukan selama kehamilan ataupun menunggu sampai kelahiran.

Menurut Ulama Mazhab Hanafi, apabila pengingkaran itu dilakukan segera setelah anak itu lahir atau pada masa proses kelahirannya, maka lian sah. Tetapi bila dilakukan setelah itu, tuduhan atau pengingkaran tersebut tidak dapat diterima. Akibatnya, anak tersebut merupakan keturunannya, karena sebelumnya suami tersebut diam saja dan sikap diam tersebut menunjukkan ridha suami.

Ulama Mazhab Maliki, meskipun sependapat dengan Ulama Mazhab Hanafi, tetapi disertai dengan pensyaratan dua hal dalam tuduhan suami dan pengingkaran suami terhadap anak yang dilahirkan istrinya, yaitu pertama, suami tidak melakukan senggama dengan istrinya selama masa yang diduga bisa menimbulkan kehamilan, yaitu satu kali haid, dan kedua, pengingkaran anak tersebut dilakukan sebelum anak itu lahir. Apabila suami diam saja tanpa alasan sampai anak itu lahir, walaupun satu hari, maka lian tidak sah dan suami tersebut bahkan dikenakan hukuman tuduhan berbuat zina.

Akibat Sumpah Lian


Akibat Hukum dari sumpah lian adalah hubungan antara suami istri telah terputus selamanya dan sang anak hanya memiliki nasab dengan sang ibu, tentu hal ini terkesan lebih berpihak kepada suami. Dengan bersumpah lian suami tidak lagi menanggung sanksi apapun meski sumpahnya belum tentu benar. Tetapi, isteri dengan melakukan sumpah lian tetap menerima beban apabila ada anak yang dilahirkan, yaitu si anak yang dinasabkan kepada dirinya.

Pelaksanaan hukum lian berakibat terjadinya perceraian antara suami istri. bagi suami, maka istrinya menjadi haram utuk selamanya. Ia tidak boleh rujuk ataupun menikah lagi dengan akad baru. Bila istrinya melahirkan anak yang dikandungnya, maka anak itu dihukum tidak termasuk keturunan suaminya.

Dari Ibnu Abbas, bahwa nabi saw. Bersabda: “suami istri yang telah bermula’anah bila telah berpisah, maka mereka tidak dapat kembali selama-lamanya. (H.R. Daraqthni)

Dalam hadis lain, Nabi saw juga bersabda:

Dari Ali dan Ibnu Mas’ud katanya: Menurut Sunnah dua orang suami-isteri yang telah bermula’anah tidak dapat kembali lagi. (HR Daraquthni)

Ketentuan Lian dalam KHI


Dalam KHI sendiri dalam pasal 101 yang berbunyi “seorang suami yang mengingkari sahnya anak, sedang istri tidak menyangkalnya, dapat meneguhkan pengingkarannya dengan lian.

Pasal 125 yang berbunyi “lian menyebabkan putusnya perkawinan antara suami istri untuk selama-lamanya.

Pasal 126 yang berbunyi, Lian terjadi karena suami menuduh istri berbuat zinah dan atau mengingkari anak dalam kandungan atau yang sudah lahir dari istrinya, sedangkan istri menolak tuduhan dan atau pengingkaran tersebut.

Pasal 127 tata cara lian diatur sebagai berikut:

  • Suami bersumpah empat kali dengan kata tuduhan zina dan atau pengingkaran anak tersebut diikuti sumpah kelima dengan kata-kata “laknat Allah atas dirinya apabila tuduhan dan atau pengingkaran tersebut dusta”

  • Istri menolak tuduhan dan atau pengingkaran tersebut dengan sumpah empat kali dengan kata “tuduhan dana tau pengingkaran tersebut tidak benar”, diikuti sumpah kelima dengan kata-kata murka Allah atas dirinya: tuduhan dana tau pengingkaran tersebut benar.

Tata cara pada huruf a dan huruf b tersebut merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan.

Apabila tata cara huruf a tidak diikuti dengan tata cara huruf b, maka di anggap tidak terjadi lian.

Pasal 128 yang berbunyi “Lian hanya sah dilakukan dihadapan sidang pengadilan agama.

Referensi
  • Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, ( Bogor: Kencana, 2003)
  • Wahbah Zuhaily, Al-Fiqh Al-Islami wa Adilatuhu, (Dar al-Fikr: Damsyik, 1984)
  • M. Hasballah Thaib dan Marahalim Harahap, Hukum Keluarga Dalam Syariat Islam, (Medan: Universitas Al Azhar, 2010)
  • Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Juz II, (Mesir: Dar Al-Fath, 1995).
  • Lajnah Pentashih Mushaf alquran Departemen Agama RI, Alquran dan Terjemahnya, (Bandung: CV. Penerbit Diponegoro, 2004)
  • M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah Pesan, Kesan dan Keserasian Alquran , (Jakarta: Lentera Hati, 2002)
  • M.Thalib, Perkawinan Menurut Islam, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1993)
  • M. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam , (Jakarta: Bumi Aksara, 1999)
  • Ekifla, Kompilasi Hukum Islam , (Jakarta: Tim Permata Press, 2003), 49.

Secara etimologis, kata li’an berasal dari bahasa Arab, La’ana bentuk mashdar dari susunan fi’il (kata kerja) ﻟﻌﻨﺎ -ﯾﻠﻌﻦ -ﻟﻌﻦ yang berarti laknat atau kutukan. Dinamakan dengan li’an ini karena apa yang terjadi antara suami istri, sebab masing-masing suami istri saling melaknat dirinya sendiri pada kali yang kelima jika dia berdusta.

Secara terminologi, banyak ahli fiqh yang mendefinisikan li’an sebagai berikut:

  1. Mazhab Maliki mendefinisikannya sebagai sumpah suami yang Muslim, yang telah akil baligh bahwa dia melihat perbuatan zina yang dilakukan oleh istrinya, atau penolakannya terhadap kehamilan istrinya darinya. Dan si istri bersumpah bahwa suami berdusta dengan empat kali sumpah, dengan ucapan” Aku bersaksi dengan nama Allah bahwa aku menyaksikannya melakukan zina” dan kalimat lain yang sejenisnya, di hadapan hakim. Apakah pernikahan ini sah ataupun fasid. Maka tidak sah sumpah yang dilakukan oleh oarng yang selain suami, seperti; orang asing, orang kafir, anak kecil, ataupun orang gila.

  2. Mazhab Syafi’i mendefinisikannya sebagai kalimat yang diketahui, yang dijadikan alasan bagi orang yang merasa terpaksa untuk menuduh orang yang telah mencemari tempat tidurnya dan mendatangkan rasa malu kepadanya, atau menolak anak yang dia kandung.

  3. Mazhab Hanafi

Artinya:

Li’an adalah beberapa kesaksian yang dikuatkan dengan sumpah, yang mana kesaksian suami disertai dengan laknat dan kesaksian istri disertai dengan ghadab , yang menduduki kedudukan had qodzab pada suami dan menduduki kedudukan had zina pada hak istri."

Maka dari definisi tersebut, li’an adalah sumpah yang diucapkan suami ketika menuduh istrinya telah berzina atau penolakannya terhadap kehamilan istrinya darinya, sedangkan ia tidak mempunyai empat orang saksi yang melihat sendiri perbuatan itu dengan empat kali kesaksian bahwa ia termasuk orang yang benar dalam tuduhannya, kemudian pada sumpah kesaksian yang ke lima ia meminta kutukan Allah Swt seandainya ia berdusta.

Kemudian pihak istri juga bersumpah empat kali bahwa dirinya tidak berbuat sebagaimana yang di tuduhkan suaminya, pada sumpah yang kelima ia bersedia menirima murka Allah Swt bila tuduhan suaminya ternyata benar.

Dasar Hukum Li’an


Setiap peristiwa hukum yang diatur oleh syara’ baik itu merupakan perkara yang diperbolehkan maupun perkara yang dilarang sekalipun, pada dasarnya memiliki rujukan atau landasan sebagai dasar landasan berpijak. Demikian halnya dengan perkara li’an juga tidak terlepas dari dasar hukumnya, firman Allah Swt:

Artinya:

“Dan orang-orang yang menuduh istrinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang- orang yang benar. Dan (sumpah) yangkelima: bahwa la`nat Allah atasnya, jika dia termasuk orang-orang yang berdusta.” (QS. An- Nur: 6-7).

Secara historis, ayat ini turun berkenaan dengan peristiwa seorang sahabat yang bernama Hilal bin Umayyah telah menuduh istrinya melakukan perbuatan zina dengan Syarik bin Samha’. Saat dia berada dihadapan Rasulullah, maka Rasulullah bersabda kepadanya, “Datangkan bukti, jika tidak akan diberlakukan hukuman had atas punggungmu ”. Dia berkata, wahai Nabi Allah, apakah jika salah seorang di antara kami melihat ada seorang lelaki di atas istrinya, apakah yang demikian dia harus mencari bukti juga? “ Rasulullah mengulangi ucapannya tadi. Maka Hilal pun berkata, Demi Dzat yang mengutusmu dengan kebenaran sebagai seorang Nabi, sesungguhnya saya adalah benar, dan Allah pasti akan menurunkan ayatnya untuk menyelamatkan punggungku dari hukuman had. Terhadap tuduhan suami ini, istri dapat mengajukan keberatan dan menyangkal tuduhan tersebut. Dengan cara melakukan sumpah kesaksian sebanyak empat kali, bahwa tuduhan suami itu tidak benar. Kemudian diakhir sumpahnya itu istri menyatakan bahwa istri bersedia menerima murka Allah, jika tuduhan suami itu benar. Hal ini sesuai dengan firmanAllah SWT:

Artinya:

“Istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk orang-orang yang dusta. (8) Dan (sumpah) yang kelima: bahwa la’nat Allah atasnya jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar.” (9) (QS.An-Nur: 8-9).

Di samping yang dijelaskan dalam Al Qur’an di dalam Hadits juga dijelaskan tentang li’an, di antaranya sabda Nabi SAW:

Artinya:

“Dari Ibnu Abbas ra. Bahwa sanya Hilal bin Ummayyah telah menuduh istrinya (berzina), lalu ia datang lantas bersumpah (bersaksi), sedangkan Nabi SAW. berkata: “Sesungguhnya Allah mengetahui bahwa salah seorang di antara kamu berdua berdusta maka apakah ada di antara kalian bertaubat. Kemudian istrinya berdiri lantas bersumpah”.

Selain itu juga Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Malik dan Imam-Imam lain yang meriwayatkan Hadits shahih, dari Hadits ‘Uwaimir al ‘Ajlani:

Artinya:

“Dari Sahal bin Sa’ad As-Sa’idiy ra. Berkata: “Bahwa ‘Uwaimir Al-Ajlani datang kepada Ashim bin ‘Adiy Al-Anshari lalu berkata: “Bagaimana sikap yang harus diambil oleh sang suami yang menjumpai istrinya sedang berzina? Apakah lantas sang suami boleh membunuh laki-laki itu? Tetapi jika demikian, mungkin yang berwajib akan membunuh sang suami itu pula, jadi sikap apa yang harus dilakukannya? Cobalah tolong tanyakan kepada Rasulullah Saw.! ‘Ashim pun segera menanyakan kepada Rasulullah saw. Tetapi rupanya beliau (Rasulullahsaw) benci mendengar pertanyaan itu, bahkan Rasulullah Saw. agak meremehkannya, sehingga ‘Ashim merasa susah dan tidak senang mendengar perkataan Rasulullah Saw. terhadap pertanyaan itu. Setelah ‘Ashim sampai kerumah, ‘Uwaimir pun tiba pula, lalu bertanya tentang jawaban Rasulullah Saw. Berkata ‘Ashim kepadanya: “Anda telah mendatangkan bencana kepadaku, Rasulullah Saw. telah menunjukkan kebenciannya kepada persoalan yang aku tanyakan. “Berkata pula ‘Uwaimir: “Demi Allah tidaklah saya akan diam sebelum hal itu saya tanyakan sendiri kepada beliau (Rasulullah saw.). Setelah‘Uwaimir tiba, kedapatan Rasulullah saw. berada ditengah-tengah orang banyak."

Maka dengan serta-merta ‘Uwaimir pun bertanya kepada Rasulullah Saw. Tentang hal itu. Jawab Rasulullah Saw.:

“Sesungguhnya ayat yang khusus tentang hal itu telah diturunkan Allah bertalian dengan peristiwa sekitar dirimu dan istrimu, oleh sebab itu panggillah istrimu kemari. “Kata Sahal: “Maka terjadilah li’an antara kedua suami istri itu di hadapan Rasulullah Saw. di tengah-tengah khalayak ramai, sedangkan saya sendiri hadir bersama-sama orang banyak itu. “Setelah selesai peristiwa li’an itu, berkatalah ‘Uwaimir kepada Rasulullah saw.: “Jika saya tetap mempertahankan istri saya ini, berarti saya hanya memfitnah dan berdusta atas dirinya. “Seketika itu juga perempuan (istri) itu di talak tiga oleh ‘Uwaimir, sebelum Rasulullah Saw. sendiri memerintahkannya. Ibnu Shihab berkata: “Maka peristiwa itulah yang menjadi tauladan atau pedoman manakala terjadi li’an antara suami istri ”.

Syarat dan Rukun Li’an


Di syariatkannya li’an adalah untuk menjaga hubungan suci antara anak dengan bapaknya (nasab) sehingga keturunannya menjadi jelas dan tidak kacau serta tidak ada ke ragu-raguan. Dalam melakukan li’an suami tidak boleh hanya berdasarkan desas-desus, fitnahan, atau tuduhan dari orang lain.

Dalam hukum Islam, terdapat beberapa rukun dan syarat li’an, antara lain:

1. Rukun Li’an

Rukun li’an adalah sebagai berikut:

  • Suami, tidak akan jatuh li’an apabila yang menuduh zina atau yang mengingkari anak itu laki-laki lain yang tidak mempunyai ikatan pernikahan (bukan suaminya).

  • Istri, tidak akan jatuh li’an apabila yang dituduh tersebut bukan istrinya.

  • Shighat atau lafadz li’an, yaitu lafadz yang menunjukkan tuduhan zina atau pengingkaran kandungan kepada istrinya.

2. Syarat Li’an

Adapun syarat wajib li’an dibagi dalam empat kelompok, yaitu:

  • Syarat yang kembali kepada suami istri

Syarat yang kembali pada kedua belah pihak yaitu suami istri adalah sebagai berikut:

  1. Perkawinan yang sah (utuh)

Berdasar pada QS. An-Nur: 6-7 dapat diambil kesimpulan bahwa yang berhak ber mula’anah adalah antara suami dan istri. Oleh sebab itu li’an tidak dapat dilakukan terhadap orang yang menuduh orang lain berbuat zina. Demikian halnya, li’an tidak dapat dilakukan terhadap seorang penuduh yang nikahnya fasid (rusak), maupun terhadap seorang istri yang tertalak ba’in karena dengan demikian pernikahan mereka sudah dianggap tidak ada lagi. Sedangkan apabila tuduhan itu ditujukan kepada seorang istri yang sedang beriddah talak raj’i , maka li’an tetap berlaku kepada kedua belah pihak.

  1. Merdeka, baligh, berakal, Islam, dapat berbicara, dan tidak adanya hukuman had zina13.

Dapat berbicara merupakan salah satu syarat yang harus ada bagi orang yang ber mula’anah . Berbicara yang dimaksud di sini adalah komunikasi secara langsung yaitu menggunakan lisannya. Dan dalam hai ini ada perselisihan pendapat di antara para fuqaha yang akan penulis jelaskan pada sub bab setelah ini yaitu pandangan ulama tentang li’an bagi orang bisu. Karena dalam hal ini ada ulama yang membolehkan li’an bagi orang bisu, tetapi juga ada yang melarangnya.

  • Syarat yang kembali kepada penuduh (suami)

Li’an diperbolehkan dan dianggap sah jika penuduh (suami), tidak bisa menunjukkan bukti atas perzinahan yang ia tuduhkan pada istrinya.

Sesuai dengan Firman Allah dalam (QS. An-Nur: 6):

Artinya:

“Dan orang-orang yang menuduh istrinya (berzina), padahal mereka tidakada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar.” (QS. An- Nur: 6).

Adapun jika ia dapat menghadirkan saksi yang menyatakan bahwa istrinya telah berzina, maka li’an tidak diperbolehkan dan sebagai gantinya pelaksanaan hukuman zina atas dirinya. Jika suami mampu menghadirkan bukti, maka ia berhak untuk tidak mengajukan bukti (empat saksi) dan menuntut li’an saja. Hal itu diperbolehkan baginya karena bukti (empat saksi) dan li’an merupakan dua bukti (yang memeliki kekuatan yang sama) dalam menetapkan hak suami, sehingga ia pun boleh memilih salah satunya meskipun mampu melaksanakan yang lain.

  • Syarat yang kembali kepada tertuduh (istri)

Adapun syarat yang kembali kepada tertuduh, yaitu:

  1. Adanya pengingkaran istri terhadap perbuatan zina yang dituduhkan kepadanya, sehingga apabila istri mengaku telah berbuat zina, maka li’an tidak wajib dilakukan. Akan tetapi yang wajib dilakukan adalah hukuman had zina kepada istri.

  2. Kehormatan dirinya terjaga dari perbuatan zina.

  • Syarat yang kembali kepada tuduhan

Syarat yang kembali kepada tuduhan adalah sebagai berikut:

  1. Tuduhan zina harus diucapkan dengan jelas, seperti ucapan suami kepada istrinya “Hai wanita yang berzina”, tetapi apabila tuduhan diucapkan dengan kata-kata sindiran, maka li’an tidak dapat dilaksanakan seperti penuduh dalam tuduhannya mengganti kata zina dengan kata liwath.

  2. Li’an hanya ada di negara Islam. Li’an tidak dapat dilaksanakan apabila tuduhan tersebut dilaksanakan diluar negara Islam, karena wilayah kekuasaan pengadilan tersebut hanya meliputi di mana pengadilan itu berada yang mana hukum itu dapat berlaku19.

  3. Li’an terjadi di hadapan qadhi atau wakilnya, karena Nabi Saw. memerintahkan Hilal bin Umayyah untuk memanggil istrinya ke hadapan beliau dan saling melakukan li’an di hadapan beliau.

Sebab dan Akibat Hukum Li’an


Terjadinya li’an disebabkan karena seorang suami menuduh istrinya berbuat zina dengan laki-laki lain, tanpa mampu mendatangkan empat orang saksi yang dapat menguatkan kebenaran tuduhannya itu.

Bentuk ini menyebabkan adanya li’an setelah suami melihat sendiri (secara langsung) bahwa istrinya telah berzina dengan laki-laki lain, ataupun istri mengaku telah berbuat zina dan suami yakin akan kebenaran pengakuan istrinya tersebut.

Sebab yang lain adalah seorang suami mengingkari (menolak) bayi yang telah di kandung istrinya. Hal ini bisa terjadi apabila suami mengaku bahwa suami tidak pernah berhubungan badan dengan istrinya semenjak akad nikah berlangsung. Kemudian sebab yang lainnya adalah bahwa istrinya telah melahirkan sebelum batas minimal kelahiran (kurang dari kelahiran) setelah bersenggama.

Oleh karena sebab-sebab yang terjadi di atas, maka untuk menguatkan kebenaran tuduhannya seorang suami mengucapkan sumpah li’an. Sedangkan istri menyangkal tuduhan tersebut dengan sumpah li’an pula, sehingga terjadi mula’anah di antara kedua suami istri tersebut. Apabila terjadi hal yang demikian berarti salah satu dari suami istri tersebut ada yang berdusta.

Adapun akibat hukum dari peristiwa li’an yang dilakukan oleh suami istri adalah sebagai berikut:

  1. Gugurnya hukuman dera bagi suami yang menuduh istrinya berbuat zina tanpa mendatangkan empat orang saksi.

  2. Istri dijatuhi hukuman dera, kecuali jika istri membantah dengan bersedia mengucapkan sumpah li’an juga.

  3. Haram (tidak boleh) melakukan hubungan suami istri.

  4. Tidak sahnya anak. Artinya nasab anak tidak dihubungkan kepada ayahnya, melainkan kepada ibunya saja. Akibat lebih lanjut adalah anak yang dilahirkan itu tidak mendapat nafkah dan tidak saling waris-mewarisi dengan ayahnya. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah Saw., sebagai berikut:

Artinya:

“Dari Abdullah bin Umar ra. Bahwasanya Nabi Saw. Menangani perkara seorang suami yang meli’an istrinya, lalu suami tidak mengakui anaknya, sehingga Nabi memisahkan antara keduanya dan mengikutkan anaknya kepada ibunya (wanita yang di li’an).

Secara otomatis terjadi perceraian antara suami istri yang melakukan li’an itu. Mereka tidak dapat menjadi suami istri kembali dengan cara apapun, baik dengan cara rujuk maupun dengan akad baru. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah Saw, sebagai berikut:

Artinya:

“Dari Nafi’ bahwasanya Ibnu ‘Umar ra. memberi kabar kepadanya bahwa Rasulullah saw. telah memisahkan seorang laki-laki (suami) dan seorang perempuan (istri) dimana suami menuduh istrinya berbuat zina dan Nabi menyumpah keduanya".

Sedangkan akibat hukum li’an yang ada dalam Kompilasi Hukum Islam adalah sebagai berikut:

  1. Putusnya perkawinan antara suami istri untuk selama-lamanya (pasal 125 KHI).

  2. Timbulnya larangan perkawinan antara bekas suami istri tersebut (pasal43 (1) huruf b KHI).

  3. Tidak sahnya perkawinan (batal demi hukum) perkawinan antara bekas suami istri tersebut (pasal 70 huruf b KHI).

  4. Timbulnya larangan rujuk antara bekas suami istri (pasal 163 (2) huruf b KHI).

  5. Anak yang di kandung atau dilahirkan oleh istri hanya ada hubungan perdata dan nasab dengan ibunya (pasal 162 KHI).

  6. Bekas suami terbebas dari kewajiban memberikan nafkah iddah bekas istri (pasal 162 KHI).