Tinea pedis merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi jamur dermatofita di daerah kulit telapak kaki, punggung kaki, jari-jari kaki, serta daerah interdigital. Tinea pedis atau yang disebut juga dengan Athlete’s foot, atau orang awam sering menyebutnya dengan kutu air. Biasanya sering ditemukan pada orang dewasa yang setiap hari menggunakan sepatu tertutup, contohnya penggunaan sepatu dan kaus kaki dan pada orang yang bekerja di tempat yang basah, mencuci, di sawah dan sebagainya (Madani, 2000).
Infeksi juga dapat menyebar melalui penggunan pancuran dan ruang ganti pakaian umum, di mana kulit yang terinfeksi dan terkelupas berperan sebagai sumber infeksi. Tidak ada tindakan pengendalian yang benar-benar efektif selain hygiene yang tepat dan penggunaan bedak untuk mempertahankan agar ruang antar jari-jari kaki tetap kering. Pada banyak orang, tinea pedis menahun bersifat asimtomatis dan hanya menjadi aktif pada keadaan panas atau basah yang berlebihan atau pemakaian alas kaki yang tidak sesuai (Jawetz, et al., 1996).
Epidemiologi
Tinea pedis umum dijumpai di seluruh dunia (Martin & Kobayashi, 1999). Tinea pedis lebih sering dijumpai pada dewasa dibandingkan pada anak (Hay & Moore, 1998; Elgart & Warren, 1992; Westom, et-al., 2002). Pria dewasa memiliki 20% kemungkinan menderita Tinea pedis, sedangkan wanita hanya 5% kemungkinan menderita infeksi kronis (Hay & Moore, 1998). Penyebab perbedaan insiden pada anak dan dewasa belum diketahui secara pasti (Clayton, 2000). Frekuensi Tinea pedis di negara-negara Eropa dan Amerika Utara diperkirakan antara 15 sampai 30% dan populasi tertentu lebih tinggi lagi, misalnya pada golongan penambang (sampai 70%), atlet, organisasi militer, dan asrama sekolah (Braun-Falco, et al., 1991; Martin & Kobayashi, 1999). Dari tahun 1999 sampai 2002, di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusomo kasus Tinea pedis baru pertahun berkisar antara 0,16% sampai 1,19% dari seluruh kasus baru infeksi jamur (Subbagian Mikologi. Bagian/SMF Ilmu penyakit Kulit dan Kelamin FK UI/RSUPN, 1992-2002).
Etiologi
Tiga spesies jamur dermatofita antropofilik T. rubrum, T. mentagrophytes, E. floccosum merupakan penyebab tersering Tinea pedis di seluruh dunia ( Hay & Moore, 1998; Masri-Fridling, 1996; Odom, 1993; Matsumoto, 1996; Clayton, 2000). Walaupun demikian, sesugguhnya semua dermatofita dapat menjadi agen penyebab. T. rubrum dapat bermanifestasi dalam berbagai tipe, kecuali tipe vesikulosa. Oleh karena dermatofita patogen tersebut bersifat antropofilik, maka dapat mudah tersebar antar manusia (Fridling, 1996). Infeksi ganda dengan dua atau lebih spesies jamur kadang terjadi. Untuk itu diperlukan terminologi khusus yang baku untuk memudahkan, terutama guna kepentingan survei klinis. Infeksi kombinasi adalah didapatinya spesies yang berbeda dari lesi yang sama. Infeksi konkuren adalah keadaan didapatinya spesies yang berbeda dari lesi yang berbeda pada saat yang sama. Sedangkan infeksi konsekutif adalah kondisi seorang pasien terinfeksi oleh organisme yang berbeda di lokasi yang sama pada saat yag berbeda (Hay & Moore, 1998).
Faktor predisposisi
Tinea pedis merupakan dermatofitosis yang mengenai kaki. Faktor predisposisinya adalah hiperhidrosis dan penggunaan sepatu yang tertutup. Penyakit dapat berlangung akut berupa lesi-lesi vesikobulosa (vesicobullous type) sampai ulserasi (acute ulcerative type) pada telapak kaki. Penyakit dapat juga berlangsung kronis berupa eritem dan erosi pada sela jari kaki (chronic intertriginous type) dan penebalan kulit berskuama pada telapak kaki (chronic hyperkeratotic type atau moccasin type) (Verma & Heffernan, 2008).
Patogenesis
Dermatofita berperan dalam proses penghancuran sawar stratum korneum. Tubuh bereaksi terhadap proliferasi jamur dengan mempercepat pertumbuhan lapisan sel basal epidermis. Keadaan ini menyebabkan kulit menjadi tebal dan berdeskuamasi. Bila kondisi lingkungan memadai, misalnya lembab dan tertutup, akan mudah terjadi pertumbuhan berlebihan bakteri oportuistik bersama dermatofita. Pada awalnya koloni difteroid akan berproliferasi, namun dengan semakin beratnya penyakit dominasi bakteri akan berganti menjadi bakteri gram negatif. Tanpa invasi awal oleh dermatofita, umumnya gram negatif hanya tumbuh minimal. Pergeseran pola infeksi bakteri ini akan bermanifestasi menjadi gambaran yang jauh lebih agresif, berupa erosi dan maserasi hebat di sela jari. Bakteri yang dapat diisolasi termasuk Staphylococcus aureus, Corynebacterium jeikeium, Brevibacterium epidermidis, dan Micrococcus sedentarius (Fridling, 1996).
Dermatofita memproduksi juga antibiotik serupa penisilin dan streptomisin, yang kemudian akan menyeleksi tumbuhnya bakteri yang lebih resisten terhadap antibiotik. Bakteri pada gilirannya memproduksi enzim proteolitik, yang selanjutnya meningkatkan destruksi jaringan. Salah satu penjelasan yang paling mungkin mengenai eliminasi jamur ketika penyakit berlanjut adalah terbentuknya komponen sulfur yang bersifat antijamur, contohnya metanetiol, etanetiol, dan dimetil sulfida yang diproduksi oleh Micrococcus sedentarius dan Brevibacterium epidermidis (Fridling, 1996; Elgart & Warren, 1992).
Gambaran klinis
Penyakit ini sering terjadi pada orang dewasa yang setiap harinya harus memakai sepatu tertutup dan pada orang yang sering bekerja di tempat yang basah, mencuci, di sawah dan sebagaiannya. Keluhan penderita bervariasi mulai dari tanpa keluhan sampai mengeluh sangat gatal dan nyeri karena terjadi infeksi sekunder dan peradangan. Dikenal 3 bentuk klinis yang sering dijumpai, yakni :
-
Bentuk intertriginosa. Manifestasi kliniknya berupa maserasi, deskuamasi, dan erosi pada sela jari. Tampak warna keputihan, basah dan dapat terjadi fisura yang terasa nyeri bila tersentuh. Infeksi sekunder dapat menyertai fisura tersebut dan lesi dapat meluas sampai ke kuku dan kulit jari. Pada kaki, lesi sering mulai dari sela jari III, IV, dan V. Bentuk klinik ini dapat berlangsung bertahun-tahun tanpa keluhan sama sekali. Pada suatu ketika kelainan ini dapat disertai infeksi sekunder oleh bakteri, sehingga terjadi limfangitis, limfadenitis, selulitis, dan erisipilas yang disertai gejala-gejala umum.
-
Bentuk vesikuler akut. Penyakit ini ditandai terbentuknya vesikula- vesikula dan bula yang terletak agak dalam di bawah kulit dan sangat gatal. Lokasi yang tersering adalah telapak kaki dengan bagian tengah dan kemudian melebar serta vesikulanya memecah. Infeksi sekunder dapat memperburuk keadaan ini.
-
Bentuk moccasin foot. Pada bentuk ini seluruh kaki dan telapak, tepi sampai punggung kaki, terlihat kulit menebal dan berskuama, Eritem biasa ringan, terutama terlihat pada bagian tepi lesi (USU digital library, 2003).
Pemeriksaan Laboratorium
Bahan untuk pemeriksaan mikologik diambil dan dikumpulkan sebagai berikut terlebih tempat kelainan dibersihkan dengan alkohol 70% kemudian,
-
Kulit tidak berambut (glabrous skin) : dari bagian tepi kelainan sampai dengan bagian sedikit di luar kelainan sisik kulit dan kulit dikerok dengan pisau tumpul steril.
-
Kulit berambut : rambut dicabut pada bagian kulit yang mengalami kelainan, kulit di daerah tersebut dikerok untuk mengumpulkan sisik kulit, pemeriksaan dengan lampu Wood dilakukan sebelum pengumpulan bahan untuk mengetahui lebih jelas daerah yang terkena infeksi dengan kemudian adanya fluorensi pada kasus-kasus tinea kapitis tertentu.
-
Kuku : bahan diambil dari permukaan kuku yang sakit dan dipotong sedalam-dalamnya sehingga mengenai seluruh tebal kuku, bahan dibawah kuku diambil pula (Budimulja, 2002).
Pemeriksaan langsung sediaan basah dilakukan dengan mikroskop, mula- mula dengan pembesaran 10 x 10, kemudian dengan pembesaran 10 x 45. Pemeriksaan dengan pembesaran 10 x 100 biasanya tidak diperlukan. Sedian basah dibuat dengan meletakkan bahan di atas gelas alas, kemudian di tambahkan 1-2 tetes larutan KOH. Konsentrasi larutan KOH untuk sedian kulit adalah 10% dan untuk rambut dan kuku 20% (Budimulja, 2002; Siregar, 2002; Brooks et-al., 2005; Chaya & Pande, 2007).
Pemeriksaan dengan pembiakan diperlukan untuk menyokong pemeriksaan langsung sediaan basah dan untuk menentukan spesies jamur. Pemeriksaan ini dilakukan dengan menanamkan bahan klinis pada media buatan. Yang dianggap paling baik pada waktu ini adalah medium agar dekstrosa Sabouraud. Pada agar Sabouraud dapat ditambahkan antibiotik saja (kloramfenikol) atau ditambah pula klorheksimid. Kedua zat tersebut diperlukan untuk menghidari kontaminasi bakterial maupun jamur kontaminan (Budimulja, 2002; Siregar, 2002; Brooks et al., 2005; Chaya & Pande, 2007).
Diagnosis banding
Diagnosis banding meliputi seluruh keadaan yang dapat mempunyai gambaran klinis skuama, vesikel atau pustul pada kaki. Kondisi ini terdapat antara lain pada dermatitis kontak, kandidiasis, eritrasma, dan dyshidrosis. Penyakit lain yang perlu juga dipertimbangkan termasuk psoriasis pustular, akrodermatitis kontinua, pioderma, sifilis sekunder, ptiriasis rubra pilaris, dan sindroma Reiter (Fridling, 1996; Martin & Kobayashi, 1999).
Tangan harus diperiksa untuk mencari tanda lain misalnya tinea „dua kaki satu tangan, nail pit untuk diagnosa psoriasis, atau papul keratotik warna tembaga untuk diagnosis sifilis (Fridling, 1996).
Diagnosis
Ditegakkan berdasarkan anameisis, gambaran klinik dan pemeriksaan kerokan kulit dengan larutan KOH 10-20% yang menunjukan elemen jamur serta kultur jamur (Fridling, 1996).
Pengobatan
Pada umumnya cukup topikal saja dengan obat-obat antijamur untuk bentuk interdigital dan vesikular. Lama pengobatan 4-6 minggu. Bentuk moccasin foot yang kronik memerlukan pengobatan yang lebih lama, apalagi bila disertai dengan tinea unguium, pengobatan diberikan paling sedikit 6 minggu dan kadang- kadang memerlukan antijamur per-oral, misalnya griseofulvin, itrakonazol, atau terbenafin. Bentuk klinik akut yang disertai selulitis memerlukan pengobatan antibiotik, misalnya penisilin V, fluklosasilin, eritromisin atau spiramisin dengan dosis yang adekuat (Madani, 2000).
-
Terapi lokal
-
Lesi-lesi yang meradang akut yang bervesikula dan bereksudat harus dirawat dengan kompres basah secara terbuka secara berselang-selang.(4-6 kali sehari) atau terus, menerus. Vesikula harus dikempeskan tetapi kulitnya harus tetap utuh.
-
Haloprogin atau tolnalfat, arutan atau cream dioleskan 3 kali sehari akan menyebabkan involusi dari sebagian besar lesi skuama superfisial dalam waktu 1-3 minggu.
-
Lesi hiperkeratosis yang tebal memerlukan terapi lokal dengan obat- obatan yang mengandung bahan keratolitik seperti asam salisilat.
Obat-obat antifungal topikal antara lain :
- Golongan imidazol yaitu klotrimazol, mikonazol, ekonazol, ketokonazol, itrakonazol, oksikonazol, dan sulkonazol.
- Golongan alilamin yaitu naftitin dan terbinafin.
- Golongan benzilamin yaitu butenafin
- Golongan lainnya yaitu asam undesilenat, tolnaftat, haloprogin dan siklopiroksolamin (Nobel SL, et al., 1998).
-
Terapi sistemik
Obat-obat antifungal sistemik antara lain griseofulvin, ketokonazol, itrakonazol,flukonazol, dan terbinafin.
Pemberian Griseofulvin merupakan antibiotik yang diberikan secara oral yang diperoleh dari spesies Penicillium tertentu. Obat ini tidak berpengaruh terhadap bakteri atau jamur yang mengakibatkan mikosis sistemik tetapi menekan dermatofites tertentu.
Setelah pemberian per oral, griseofulvin disebarkan seluruh tubuh. Obat terakumulasi di epidermis dan jaringan keratinisasi lainnya (rambut dan kuku). Keratin merupakan sumber nutrisi utama untuk dermatofites, dan degradasi keratin oleh jamur ini mengakibatkan dicernakannya obat. Dalam organisme, griseofulvin diduga berinteraksi dengan mikrotubula dan mengganggu fungsi mitosis gelendong, menimbulkan penghambatan pertumbuhan.
Griseofulvin bermanfaat secara klinik untuk mengobati infeksi dermatofita pada kulit, rambut, dan kuku yang disebabkan oleh spesies Trichopyton, Epidermophyton, dan Microsporum. Obat ini tidak berpengaruh terhadap kandidiasis superfisial atau kandidiasis sistemik atau setiap mikosis sistemik lainnya. Biasanya diperlukan terapi oral selama berminggu-minggu sampai berbulan-bulan.
Pengobatan terdiri atas pembuangan tuntas struktur epitel yang terinfeksi dan yang mati serta pemberian bahan kimia antijamur secara topikal. Pengobatan berlebihan sering menyebabkan dermatofitid. Harus dilakukan usaha-usaha untuk mencegah reinfeksi. Bila daerah serangan luas, pemberian griseofulvin secara oral selama 1-4 minggu terbukti efektif. Infeksi kuku memerlukan pengobatan griseofulvin selama beberapa bulan dan kadang-kadang dilakukan pembedahan buangan kuku. Sering terjadi kekambuhan infeksi kuku (Jawezt, 1996).
Langkah-langkah pencegahan
Langkah-langkah pencegahan yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut :
-
Perkembangan infeksi jamur diperberat oleh panas, basah dan maserasi. Daerah-daerah intertrigo atau daerah antara jari-jari sesudah mandi harus dikeringkan betul-betul dan diberi bedak pengering (talcum ; ZeaSORB) atau bedak anti jamur (Tinactin/Doctorin), sesudahnya dan tiap pagi.
-
Alas kaki harus pas betul dan tidak terlalu ketat.
-
Pasien dengan hiperhidrosis agar memakai kaos kaki dari bahan katun yang menyerap dan jangan memakai bahan wool atau bahan sintetis.
-
Pakaian dan handuk agar sering diganti dan dicuci bersih-bersih dalam air panas.
Komplikasi
Organisme yang dapat dibiakkan dari sela jari kaki normal adalah sejumlah mikroflora, termasuk Micrococcae (Staph), Coryneform aerobik, dan sedikit bakteri gram negatif. Sela jari juga dikolonisasi oleh dermatofita dan ragi misalnya Candida. Bila sawar stratum stratum korneum rusak oleh karena drmatofita, yaitu terjadi inflamasi dan maserasi, bakteri akan mempunyai kemampuan berproliferasi. Infeksi sela jari oleh bakteri gram negatif adalah komplikasi terberat dari spektrum dermatofitosis kompleks. Gambaran klinis berupa maserasi putih sela jari dengan erosi yang nyeri. Lesi ini bersifat eksudatif dan berbau serta dapat disertai reaksi radang hebat. Pada kasus ini, biakan kuman umumnya akan tumbuh Pseudomonas atau Proteus. Komplikasi lainnya yang mungkin terjadi adalah infeksi sekunder oleh kapang saprofit, yang sesungguhnya bukan patogen primer. Reaksi „id‟ (autoeksematisasi) akan terjadi berupa vesikular, ekzematisasi, atau erupsi anhidrotik pada jari tangan, telapak tangan dan kaki (Fridling, 1996).
Prognosis
Infeksi jamur pada umumnya berlangsung kronis pada dermatofitosis terutma bila disebabkan oleh T.rubrum. rekurensi dapat terjadi terutama bila faktor predisposisinya sulit diatasi (Verma & Heffernan, 2008; Hay & Moore, 2004).