Apa yang dimaksud dengan kurap pada selangkangan atau Tinea Kruris?

Tinea Kruris

Tinea Kruris adalah penyakit jamur dermatifita didaerah lipat paha, genitalia dan sekitar anus, yang dapat meluas kebokong dan perut bagian bawah. Penyebab E. floccosum, kadang-kadang disebabkan oleh T. rubrum.

Apa yang dimaksud dengan kurap pada selangkangan atau Tinea Kruris ?

Tinea kruris

Tinea kruris atau kurap yang ada pada selangkangan merupakan golongan dermatofitosis pada lipat paha, daerah perineum, dan sekitar anus. Kelainan ini dapat bersifat akut atau menahun, bahkan dapat merupakan penyakit yang berlangsung seumur hidup (Djuanda, 2010).

Penyakit ini merupakan penyakit terbanyak yang ditemukan di daerah inguinal, yaitu sekitar 65-80% dari semua penyakit kulit di inguinal, sehingga beberapa kepustakaan menyatakan inguinal intertrigo sebagai sinonim dari tinea kruris (Adiguna, 2011).

Epidemiologi


Mikosis superfisialis cukup banyak diderita penduduk negara tropis. Indonesia merupakan salah satu negara beriklim tropis yang memiliki suhu dan kelembaban tinggi, merupakan suasana yang baik bagi pertumbuhan jamur, sehingga jamur dapat ditemukan hampir di semua tempat (Hidayati, 2009).

Tinea kruris sering terdapat di daerah dengan iklim hangat, lembab, dan faktor predisposisi meliputi sepatu tertutup dan sering terpapar. Tinea kruris adalah invasi folikel rambut, ini paling sering terjadi pada musim panas, pada pria muda, dan orang dengan pakaian ketat (Paramata, 2009). Spesies trichophyton bertanggung jawab atas 80% kasus di Amerika Serikat, sebelum 1960, agen etiologi yang paling umum adalah microsporum audouinii.

Sampai 30% dari anak-anak adalah pembawa asimtomatik trichophyton tonsurans menjadi agen penyebab utama. Banyak spesies dermatofit dapat menyebabkan infeksi pada manusia, termasuk tidak hanya spesies antropofilik, tetapi juga mereka yang ditemukan pada hewan (zoofilik) dan orang-orang yang biasanya menghuni tanah (geophilic) (Straten, 2003).

Etiologi


Penyebab utama dari tinea kruris adalah Trichopyhton rubrum (90%) dan Epidermophython fluccosum, Trichophyton mentagrophytes (4%), Trichophyton tonsurans (6%) (Sobera, 2008)

Tabel Etiologi tinea kruris
image
Sumber: Sobera, 2008

Kebanyakan tinea kruris disebabkan oleh Tricophyton rubrum dan Epidermophyton floccosum, dimana E. floccosum merupakan spesies yang paling sering menyebabkan terjadinya epidemi. T. Mentagrophytes dan T. verrucosum jarang menyebabkan tinea kruris (Yadav, 2013).

Predileksi


Tinea kruris merupakan dermatofitosis yang sering ditemukan pada kulit lipat paha, genitalia, daerah pubis, perineum dan perianal (Adiguna, 2011). Tinea kruris yang sering disebut “jock itch” merupakan infeksi jamur superfisial yang mengenai kulit pada daerah lipat paha, genital, sekitar anus dan daerah perineum (Djuanda, 2010).

Penularan


Tinea kruris menyebar melalui kontak langsung ataupun kontak dengan peralatan yang terkontaminasi, dan dapat mengalami eksaserbasi karena adanya oklusi dan lingkungan yang hangat, serta iklim yang lembab. Kelainan ini terjadi tiga kali lebih sering pada pria bila dibandingkan dengan wanita, dan orang dewasa lebih sering menderita penyakit ini bila dibandingkan dengan anak-anak. Autoinfeksi dari sumber penularan yang jauh letaknya seperti halnya tinea pedis yang disebabkan oleh T. rubrum atau T. mentagrophytes sering kali terjadi (Verma, 2008).

Prevalensi


Tinea kruris lebih sering pada rentang usia 51-60 tahun dan lebih sering terjadi pada laki-laki. Sebanyak populasi laki-laki, sebanyak 10% menderita tinea kruris. Berdasarkan urutannya, tinea corporis (57%), tinea unguinum (20%), tinea kruris (10%), tinea pedis dan tinea barbae (6%), dan sebanyak 1% tipe lainnya (Yadav, 2013).

Faktor Risiko


Faktor penting yang berperan dalam penyebaran dermatofita ini adalah kondisi kebersihan lingkungan yang buruk, daerah pedesaan yang padat, dan kebiasaan menggunakan pakaian yang ketat atau lembab. Obesitas dan diabetes melitus juga merupakan faktor resiko tambahan oleh karena keadaan tersebut menurunkan imunitas untuk melawan infeksi. Penyakit ini dapat bersifat akut atau menahun, bahkan dapat merupakan penyakit yang berlangsung seumur hidup. Tinea kruris lebih sering menyerang pria dibandingkan wanita (Patel, 2009).

Patogenesis


Dermatofit menggunakan keratin sebagai sumber gizi, mereka umumnya tidak menyerang jaringan yang bagus. Mereka menjajah keratin di stratum korneum dan jaringan sekitarnya biasanya merupakan hasil dari respon host alergi atau peradangan terhadap kehadiran jamur. Beberapa dari infeksi tersebut menyebabkan lesi melingkar yang dihasilkan dari reaksi inflamasi memaksa dermatofit luar untuk peradangan daerah bebas.

Didukung dengan faktor predisposisi infeksi jamur, seperti bertambahnya usia dengan mobilitas yang terbatas, imunosupresi, defisit neurologis, dan kondisi iatrogenik disertai penyakit lain yang mendasari. Jalur infeksi yang diduga sebagai tempat dermatofit untuk menginfeksi pejamu ialah melalui kulit yang terluka misalnya : luka gores atau luka bakar. Bagian dari dermatofit yang menginfeksi ialah atrokonidia atau konidia. Kuman patogen menyerang stratum korneum, memproduksi exo-enzym keratinase, dan menginduksi reaksi inflamasi pada lokasi infeksi (Straten, 2003).

Tanda-tanda inflamasi ialah kemerahan, pembengkakan, panas dan alopesia dapat ditemukan didaerah yang terinfeksi. Penyebab inflamasi biasanya lokasi infeksi yang mengkontaminasi daerah yang belum terinfeksi. Perpindahan patogen ini menyebabkan lesi seperti cincin.

Tinea kruris dapat menular secara langsung melalui kontak langsung dengan penderita atau secara tidak langsung melalui barang atau benda yang telah terinfeksi (Laksmipathy, 2013).

tinea kruris

Manifestasi Klinis


Manifestasi klinis tinea kruris adalah rasa gatal atau terbakar pada daerah lipat paha, genital, sekitar anus dan daerah perineum (Djuanda, 2010). Gejala Klinis tinea kruris yang khas adalah gatal yang meningkat saat berkeringat, dengan bentuk lesi polisiklik / bulat berbatas tegas, efloresensi polimorfik, dan tepi lebih aktif (Abdelal, 2013).Tinea kruris biasanya tampak sebagai papulovesikel eritematosa yang multipel dengan batas tegas dan tepi meninggi (Djuanda, 2010).

Adanya central healing yang ditutupi skuama halus pada bagian tengah lesi. Tepi yang meninggi dan merah sering ditemukan pada pasien. Pruritus sering ditemukan, seperti halnya nyeri yang disebabkan oleh maserasi ataupun infeksi sekunder (Patel, 2009).

Tinea kruris biasanya dimulai dengan patch merah tinggi di bagian dalam dari salah satu atau kedua paha. Pada laki-laki biasanya pada daerah skrotum menyebar di tengah dengan daerah tepi luar yang sedikit lebih tinggi, merah, dan memiliki perbatasan yang tajam (Risdianto, 2013).

Ruam bisa menyebar ke paha, sampai ke daerah kemaluan dan bahkan memanjang sampai ke pantat. Pasien juga merasakan gatal yang menyebabkan ketidaknyamanan dan iritasi yang memberikan sensasi terbakar di daerah yang terkena. Pada kulit pangkal paha biasanya mengalami pengelupasan atau pecah-pecah, kemungkinan juga menyebar ke daerah anus (Hainer, 2003).

Diagnosis


Anamnesis

Perjalanan penyakit termasuk keluhan utama dan keluhan tambahan: rasa gatal hebat pada daerah kruris (lipat paha), lipat perineum, bokong dan dapat ke genitalia; ruam kulit berbatas tegas, eritematosa dan bersisik, semakin hebat jika banyak berkeringat (Siregar, 2003).

Pemeriksaan fisik

Lokalisasi : Regio inguinalis bilateral, simetris. Meluas ke perineum, sekitar anus, intergluteal sampai ke gluteus. Dapat pula meluas ke suprapubis dan abdomen bagian bawah. Effloresensi/sifat-sifatnya: Makula eritematosa numular sampai geografis, berbatas tegas dengan tepi lebih aktif terdiri dari papula atau pustul. Jika kronik macula menjadi hiperpigmentasi dengan skuama diatasnya (Siregar, 2003).

Pemeriksaan penunjang

  1. Lampu Wood
    Lampu wood pertama kali digunakan dalam praktek dermatologi untuk mendeteksi jamur infeksi hair oleh Margaret dan Deveze tahun 1925. Lampu Wood memancarkan radiasi UV gelombang panjang (UVR), juga disebut cahaya hitam, yang dihasilkan oleh tinggi tekanan busur merkuri dilengkapi dengan filter senyawa terbuat dari barium silikat dengan 9% nikel oksida, yang Filter Wood. Filter ini terlihat buram pada semua sinar kecuali sebuah band antara 320 dan 400 nm dengan puncak pada 365 nm. Dermatofita yang menyebabkan fluoresens umumnya anggota genus Microsporum. Namun, tidak adanya fluoresensi tidak selalu mengesampingkan tinea capitis seperti kebanyakan spesies Trichophyton, dengan pengecualian T. schoenleinii, yang nonfluoresens. Gambaran Tinea kruris tidak terlihat pada pemeriksaan ini (Kuswadji, 2009)

  2. KOH (potassium hidroksida): tampak elemen jamur seperti hifa, spora dan miselium (Wolff, 2009)

Gambaran Kerokan

Tinea kruris yang disebabkan oleh E. floccosum paling sering menunjukkan gambaran central healing, dan paling sering terbatas pada lipatan genitokrural dan bagian pertengahan paha atas. Sebaliknya, infeksi oleh T. rubrum sering memberikan gambaran lesi yang bergabung dan meluas sampai ke pubis, perianal, pantat, dan bagian abdomen bawah. Tidak terdapat keterlibatan pada daerah genitalia (Adiguna, 2011).

Diagnosis banding

Diagnosis banding tinea kruris adalah kandidosis intertrigo, eritrasma, psoriasis, dan dermatitis seboroik. Pada kandidosis intertrigo lesi akan tampak sangat merah, tanpa adanya central healing, dan lesi biasanya melibatkan skrotum serta berbentuk satelit. Eritrasma sering ditemukan pada lipat paha dengan lesi berupa eritema dan skuama tapi dengan mudah dapat dibedakan dengan tinea kruris menggunakan lampu wood dimana pada eritrasma akan tampak fluoresensi merah (coral red). Lesi pada psoriasis akan tampak lebih merah dengan skuama yang lebih banyak serta lamelar. Ditemukannya lesi pada tempat lain misalnya siku, lutut, punggung, lipatan kuku, atau kulit kepala akan mengarahkan diagnosis kearah psoriasis. Pada dermatitis seboroik lesi akan tampak bersisik dan berminyak serta biasanya melibatkan daerah kulit kepala dan sternum (Adiguna, 2011).

Tinea kruris umumnya mudah dikenal secara klinis morfologis, kecuali pada beberapa kasus tertentu. Diagnosis tinea kruris ditegakkan berdasarkan klinis dan laboratorium. Pemeriksaan laboratorium untuk dermatofitosis yang dilakukan secara rutin adalah pemeriksaan mikroskopik langsung dengan KOH 10-20%. Pemeriksaan mikroskopik langsung untuk mengidentifikasi struktur jamur merupakan teknik yang cepat, sederhana, terjangkau, dan telah digunakan secara luas sebagai teknik skrining awal. Teknik ini hanya memiliki sensitivitas hingga 80% dan spesifisitas hingga 70%. Hasil negatif palsu dapat terjadi hingga pada l5% kasus, bahkan bila secara klinis sangat khas untuk dermatofitosis (Abdelal, 2013)

Pada sediaan KOH 10 sampai 20 persen, tampak hifa bersepta dan bercabang tanpa penyempitan; akan tetapi kultur perlu dilakukan untuk menentukan spesiesnya karena semua spesies dermatofita tampak identik pada sediaan langsung. Kultur jamur merupakan metode diagnostik yang lebih spesifik namun membutuhkan waktu yang lebih lama dan memiliki sensitivitas yang rendah, serta harga yang lebih mahal. Summerbell dkk. di Belanda pada tahun 2005 melaporkan kultur jamur untuk onikomikosis memiliki sensitivitas sebesar 74,6%. Garg dkk. pada tahun 2009 di India melaporkan sensitivitas kultur jamur pada dermatofitosis yang mengenai kulit dan rambut sebesar 29,7% dan spesifisitas 100% (Abdelal, 2013).

Menurut Kuswadji (2009), diagnosis banding dari Tinea Kruris yaitu kandidosis. Kandidasis adalah penyakit jamur, yang bersifat akut atau subakut disebabkan oleh spesies candida, biasanya oleh spesies candida albicans dan dapat mengenai mulut, vagina,kulit, kuku, bronchi atau paru, kadang-kadang dapat menyebabkan septicemia, endokarditis, atau meningitis. Kandidosis lesi intertrigenosa, didaerah lipatan kulit ketiak, lipat paha, intergluteal, lipat payudara, antara jari tangan atau kaki, glands penis dan umbilikus, berupa bercak yang berbatas tegas, bersisik, basah, dan eritematosa. Lesi tersebut dikelilingi oleh satelit berupa vesikel-vesikel dan pustule- pustul kecil atau bulla yang bila pecah meninggalknan daerah yang erosi, dengan pinggir yang kasar dan berkembang seperti lesi primer.

Menurut Daili (2005), diagnosis banding dari Tinea Kruris yaitu:

  1. Psoriasis adalah peradangan menahun yang ditandai dengan plak eritematosa dengan skuama lebar, kasar, berlapis dan putih seperti mika. Perjalanan penyakit ini kronis residif. Dapat menyerang perempuan maupun laki-laki dengan resiko yang sama. Mengenai semua umur terutama 30-40 tahun. Faktor genetik mempunyai keterkaitan yang besar dengan psoriasis tipe satu: yaitu psoriasis dengan awitan sebelum berumur 40 tahun. Biasanya psoriasis menempati daerah ekstensor, skalp, siku, lutut, dan bokong. Dapat juga mengenai lipatan (psoriasis inversa) atau palmo- plantar (psoriasis plamoplantar). Berbagai bentuk ragam psoriasis dapat dijumpai: Bila ukuran lesi lentikular disebut psoriasis gutata, bentuk tersering adalah psoriasis vulgaris dengan ukuran lebih besar dari lentikular. Selain kulit badan, psoriasis juga menyerang kulit kepala, kuku, sendi dan mukosa (geographic tounge).

  2. Dermatitis Seboroik
    Dermatitis seboroik merupakan penyakit papuloskuamosa yang kronik. Kelainan ini dapat mengenai bayi dan dewasa,dan berhubungan dengan peningkatan produksi sebum (sebore) pada skalp dan area yang memiliki banyak kelenjar sebasea di wajah dan badan. Penyebabnya multifaktorial. Faktor konstitusi sebore, P.ovale, stres, imunokompromais dan kelainan neurologis dapat mendasari penyakit ini. Manifestasi klinisnya bervariasi dari bentuk ringan berupa skuama halus saja seperti pada pitiriasis sika (dandruff) sampai papul eritematosa dengan skuama kasar berminyak dan kekuningan disertai krusta pada area predileksi. Pada bayi, sering ditemukan skuama kekuningan yang lekat pada kepala disebut cradle cap. Penyakit ini jika meluas dapat menjadi eritroderma.

Penatalaksanaan


Pada kebanyakan kasus tinea kruris dapat dikelola dengan pengobatan topikal. Steroid topikal tidak direkomendasikan. Agen topikal memiliki efek menenangkan, yang akan meringankan gejala lokal. Terapi topikal untuk pengobatan tinea corporis atau tinea kruris termasuk: terbinafine, butenafine, ekonazol, miconazole, ketoconazole, klotrimazole, ciclopirox.

Formulasi topikal dapat membasmi area yang lebih kecil dari infeksi, tetapi terapi oral diperlukan di mana wilayah infeksi yang lebih luas yang terlibat atau di mana infeksi kronis atau berulang (Nadalo, 2006).

  1. Griseovulfin: pada masa sekarang, dermatofitosis pada umumnya dapat diatasi dengan pemberian griseovulvin. Obat ini bersifat fungistatik. Secara umum griseovulfin dalam bentuk fine particle dapat diberikan dengan dosis 0,5 – 1 untuk orang dewasa dan 0,25 – 0,5 g untuk anak- anak sehari atau 10 – 25 mg per kg berat badan. Lama pengobatan bergantung pada lokasi penyakit, penyebab penyakit dan keadaan imunitas penderita. Setelah sembuh klinis di lanjutkan 2 minggu agar tidak residif.

  2. Butenafine adalah salah satu antijamur topikal terbaru diperkenalkan dalam pengobatan tinea kruris dalam dua minggu pengobatan dimana angka kesembuhan sekitar 70%.

  3. Flukonazol (150 mg sekali seminggu) selama 4-6 minggu terbukti efektif dalam pengelolaan tinea kruris dan tinea corporis karena 74% dari pasien mendapatkan kesembuhan.

  4. Itrakonazol dapat diberikan sebagai dosis 400 mg / hari diberikan sebagai dua dosis harian 200 mg untuk satu minggu.

  5. Terbinafine 250 mg / hari telah digunakan dalam konteks ini klinis dengan rejimen umumnya 2-4 minggu.

  6. Itrakonazol diberikan 200 mg / hari selama 1 minggu dianjurkan, meskipun rejimen 100 mg / hari selama 2 minggu juga telah dilaporkan efektif.

  7. Ketokonazol Obat ini bersifat fungistatik. Pada kasus resisten terhadap griseovulfin dapat diberikan obat tersebut sebanyak 200 mg perhari selama 10 hari – 2 minggu pada pagi hari setelah makan (Gupta, 2008).

Infeksi dermatofita dapat diobati dengan agen antifungal topikal ataupun sistemik. Beberapa indikasi terapi sistemik dari infeksi dermatofita antara lain:

  • Infeksi kulit yang luas.
  • Infeksi kulit yang gagal dengan terapi topikal.
  • Infeksi kulit kepala.
  • Granuloma majocchi.
  • Onychomicosis dengan melibatkan lebih dari 3 buah kuku.

Tabel Terapi topikal dan sistemik pada dermatofita
image

Infeksi dermatofita dengan krim topikal antifungal hingga kulit bersih (biasanya membutuhkan 3 sampai 4 minggu pengobatan dengan azoles dan 1 sampai 2 minggu dengan krimn terbinafine) dan tambahan 1 minggu hingga secara klinis kulit bersih. Pengobatan sistemik tidak lagi tersedia di Kana dan telah digantikan dengan imidazole (ketoconazole), triazoles (itraconazole dan fluconazole) dan allinamin (terbinafine merupakan satu-satunya allinamine yang tersedia di Kanada) (Haber, 2007).

Terapi ketokonazole diberikan 200mg perhari dan mikonazol topikal 2 kali sehari. Selama terapi 10 hari, gambaran klinis memperlihatkan makula hipopigmentasi dan hiperpigmentasi. Pemeriksaan ulang KOH 10% dapat tidak ditemukan kembali (Gupta, 2008).

Penatalaksanaan nonmedikamentosa dan pencegahan kekambuhan penyakit sangat penting, seperti mengurangi faktor predisposisi, seperti menggunakan pakaian yang menyerap keringat, mengeringkan tubuh setelah mandi atau berkeringat, dan membersihkan pakaian yang terkontaminasi (Risdianto, 2013).

Tinea kruris adalah mikosis superfisial atau disebut juga Eczema marginatum, Dobie itch, Jockey itch, Ringworm of the groin, yang termasuk golongan dermatofitosis pada lipat paha, daerah perineum, dan sekitar anus. Kelainan ini dapat bersifat akut atau menahun, bahkan dapat merupakan penyakit yang berlangsung seumur hidup. Lesi kulit dapat terbatas pada daerah genito- krural saja, atau meluas ke daerah sekitar anus, daerah gluteus dan perut bagian bawah, atau bagian tubuh yang lain.

Tinea kruris (jock itch) merupakan kurap (dermatofitosis) pada sela paha, genitalia, daerah pubis, perineum dan perianal.

Trichophyton rubrum (T. Rubrum) merupakan penyebab utama, diikuti oleh Trichophyton mentagrophytes dan Epidermophyton floccosum (E. Floccosum) Trichophyton rubrum, Trichophyton mentagrophytes dan Epidermophyon floccosum merupakan dermatofit yang menyukai daerah yang hangat dan lembab pada intertriginosa dan kulit yang mengalami oklusi seperti disela paha.

Kelainan kulit yang tampak pada sela paha merupakan lesi berbatas tegas. Peradangan pada tepi lebih nyata daripada bagian tengahnya. Efloresensi terdiri atas macam-macam bentuk yang primer dan sekunder (polimorfi). Bila penyakit ini menjadi menahun, dapat berupa bercak hitam disertai sedikit sisik. Erosi dan keluarnya cairan biasanya akibat garukan.

Epidemiologi


Di indonesia, dermatofitosis merupakan 52% dari seluruh dermatomikosis dan tinea kruris dan tinea korporis merupakan dermatofitosis terbanyak.17 Insidensi dermatomikosis di berbagai rumah sakit pendidikan dokter di Indonesia yang menunjukkan angka persentase terhadap seluruh kasus dermatofitosis bervariasi dari 2,93% (Semarang) yang terendah sampai 27,6% (Padang) yang tertinggi. Laki-laki pasca pubertas lebih banyak terkena dibanding wanita, biasanya mengenai usia 18-25 tahun serta 40-50 tahun.

Etiologi


Penyebab tinea kruris terutama adalah Epidermophyton floccosum dan Trichophyton rubrum. Selain itu juga dapat disebabkan oleh Trichophyton mentagrophytes dan walaupun jarang di sebabkan oleh microsporum gallinae.19,20

Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya tinea kruris

Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya infeksi jamur ini adalah iklim panas, lembab, higiene sanitasi, pakaian serba nilon, pengeluaran keringat yang berlebihan, trauma kulit, dan lingkungan. Maserasi dan oklusif pada regio kruris memberikan kontribusi terhadap kondisi kelembaban sehingga menyebabkan perkembangan infeksi jamur.

Tinea kruris sangat menular dan epidemik minor dapat terjadi pada lingkungan sekolah dan komunitas semacam yang lain. Tinea kruris umumnya terjadi akibat infeksi dermatofitosis yang lain pada individu yang sama melalui kontak langsung dengan penderita misalnya berjabat tangan, tidur bersama, dan hubungan seksual.

Tetapi bisa juga melalui kontak tidak langsung melalui benda yang terkontaminasi,”pakaian, handuk, sprei, bantal dan lain-lain”. Obesitas, penggunaan antibiotika, kortikosteroid serta obat-obat imunosupresan lain juga merupakan faktor predisposisi terjadinya penyakit jamur.20,21

Patogenesis


Tinea kruris biasanya terjadi setelah kontak dengan individu atau binatang yang terinfeksi. Penyebaran juga mungkin terjadi melalui benda misalnya pakaian, perabotan, dan sebagainya. Tinea kruris umumnya terjadi pada pria. Maserasi dan oklusi kulit lipat paha menyebabkan peningkatan suhu dan kelembaban kulit sehingga memudahkan infeksi, selain itu dapat pula terjadi akibat penjalaran infeksi dari bagian tubuh lain.

Dermatofita mempunyai masa inkubasi selama 4-10 hari. Infeksi dermatofita melibatkan tiga langkah utama : perlekatan ke keratinosit, penetrasi melalui dan diantara sel, dan perkembangan respon pejamu.

  1. Perlekatan jamur superfisial harus melewati berbagai rintangan untuk bisa melekat pada jaringan keratin diantaranya sinar UV, suhu, kelembaban, kompetisi dengan flora normal dan sphingosin yang diproduksi oleh keratinosit. Asam lemak yang di produksi oleh kelenjar sebasea juga bersifat fungistatik.

  2. Penetrasi. Setelah terjadi perlekatan, spora harus berkembang dan menembus stratum korneum dengan kecepatan yang lebih cepat daripada proses desquamasi. Penetrasi juga dibantu oleh sekresi proteinase, lipase dan enzim mucinolitik, yang juga menyediakan nutrisi untuk jamur. Trauma dan maserasi juga membantu penetrasi jamur ke keratinosit. Pertahanan baru muncul ketika jamur mencapai lapisan terdalam epidermis.

  3. Perkembangan respon pejamu. Derajat inflamasi di pengaruhi oleh status imun penderita dan organisme yang terlibat. Reaksi hipersensitivitas tipe IV, atau Delayed Type Hipersensitivity (DHT) memainkan peran yang sangat penting dalam melawan dermatofita. Pasien yang belum pernah terinfeksi dermatofita sebelumnya, Infeksi primer menyebabkan inflamasi dan tes trichopitin hasilnya negatif. Infeksi menghasilkan sedikit eritema dan skuama yang dihasilkan oleh peningkatan pergantian keratinosit. Terdapat hipotesis menyatakan bahwa antigen dermatofita diproses oleh sel langerhans epidermis dan di presentasikan dalam limfosit T di nodus limfe. Limfosit T melakukan proliferasi dan bermigrasi ke tempat yang terinfeksi untuk menyerang jamur. Saat ini, lesi tiba-tiba menjadi inflamasi, dan barier epidermal menjadi permeable terhadap transferin dan sel-sel yang bermigrasi. Segera jamur hilang dan lesi secara spontan menyembuh.

Gambaran klinis


Penderita merasa gatal dan kelainan lesi berupa plakat berbatas tegas terdiri atas bermacam-macam efloresensi kulit (polimorfik). Bentuk lesi yang beraneka ragam ini dapat berupa sedikit hiperpigmentasi dan skuamasi menahun. Kelainan yang dilihat dalam klinik merupakan lesi bulat atau lonjong, berbatas tegas, terdiri atas eritema, skuama, kadang-kadang dengan vesikel dan papul di tepi lesi. Daerah di tengahnya biasanya lebih tenang, sementara yang di tepi lebih aktif yang sering disebut dengan central healing.

Kadang-kadang terlihat erosi dan krusta akibat garukan. Kelainan kulit juga dapat dilihat secara polisiklik, karena beberapa lesi kulit yang menjadi satu. Lesi dapat meluas dan memberikan gambaran yang tidak khas terutama pada pasien imunodefisiensi.

Diagnosis


Diagnosis ditegakan berdasarkan gambaran klinis yaitu adanya kelainan kulit berupa lesi berbatas tegas dan peradangan dimana pada tepi lebih nyata daripada bagian tengahnya.
Pemeriksaan mikologi ditemukan elemen jamur pada pemeriksaan kerokan kulit dengan mikroskopik langsung memakai larutan KOH 10-20%.18 Pemeriksaan KOH paling mudah diperoleh dengan pengambilan sampel dari batas lesi. Hasil pemeriksaan mikroskopis KOH 10 % yang positif, yaitu adanya elemen jamur berupa hifa yang bercabang dan atau artrospora. Pemeriksaan mikologik untuk mendapatkan jamur di perlukan bahan klinis, yang dapat berupa kerokan kulit, rambut, dan kuku.

Diagnosis banding

  1. Dermatitis seboroik
    Dermatitis kronik yang terjadi pada daerah yang mempunyai banyak kelenajar sebasea. Seperti pada muka, kepala, dada.
    Efloresensi : Plakat eritematosa dengan skuama berwarna kekuningan berminyak dengan batas tegas.

  2. Psoriasis
    Merupakan penyakit kulit yang bersidat kronik,residif, dan tidak infeksius. Efloresensi : plakat eritematosa berbatas tegas ditutupi skuama tebal, berlapis- lapis dan berwarna putih mengkilat. Terdapat tiga fenomena, yaitu bila digores dengan benda tumpul menunjukan tanda tetesan lilin. Kemudian bila skuama dikelupas satu demi satu sampai dasarnya akan tampak bintik-bintik perdarahan, dikenal dengan nama Auspits sign. Adanya fenomena koebner / atau reaksi isomorfik yaitu timbul lesi-lesi yang sama dengan kelainan psoriasis akibat bekas trauma / garukan (Gambar 4).

  3. Ptiriasis rosea
    Merupakan peradangan kulit akut berupa lesi papuloskuamosa pada badan, lengan atas bagian proksimal dan paha atas.
    Efloresensi : papul / plak eritematosa berbebntuk oval dengan skuama collarette (skuama halus di pinggir). Lesi pertama ( Mother patch/Herald patch) berupa bercak yang besar, soliter, ovale dan anular berdiameter dua sampai enam cm. Lesi tersusun sesuai lipatan kulit sehingga memberikan gambaran menyerupai pohon cemara (Christmas tree) (Gambar 5). 30

Penatalaksanaan


Penatalaksanaan tinea kruris dapat dibedakan menjadi dua yaitu higienis sanitasi dan terapi farmakologi. Melalui higienis sanitasi, tinea kruris dapat dihindari dengan mencegah faktor risiko seperti celana dalam yang digunakan, hendaknya dapat menyerap keringat dan diganti setiap hari. Selangkangan atau daerah lipat paha harus bersih dan kering. Hindari memakai celana sempit dan ketat, terutama yang digunakan dalam waktu yang lama. Menjaga agar daerah selangkangan atau lipat paha tetap kering dan tidak lembab adalah salah satu faktor yang mencegah terjadinya infeksi pada tinea kruris.

Masa sekarang, Dermatofitisis pada umumnya dapat diatasi dengan pemberian griseofulvin yang bersifat fungistatik. Bagan dosis pengobatan griseofulvin berbeda-beda. Secara umum, griseofulvin dalam bentuk fineparticle dapat di berikan denggan dosis 0,5-1 g untuk orang dewasa dan 0,25-0,5 g untuk anak –anak sehari atau 10-25 mg per kg berat badan. Lama pengobatan tergantung dari lokasi penyakit dan keadaan imunitas penderita.

Efek samping griseofulvin jarang di jumpai, yang merupakan keluhan utama ialah sefalgia yang di dapati pada 15% penderita. Efek samping yang lain dapat berupa gangguan traktus digestifus ialah nausea, vomitus, dan diare.

Obat tersebut juga bersifat fotosensitif dan dapat menggangu fungsi hepar.

  • Topikal : salep atau krim antimikotik. Lokasi lokasi ini sangat peka , jadi konsentrasi obat harus lebih rendah dibandingkan lokasi lain, misalnya asam salisilat,asam benzoat, sulfur dan sebagainya.

  • Sistemik : diberikan jika lesi meluas dan kronik ; griseofulvin 500-1.000 mg selama 2-3 minggu atau ketokonazole100 mg/hari selama 1 bulan.