Apa yang dimaksud dengan Kudis atau Skabies ?

Skabies atau Kudis adalah penyakit kulit akibat investasi dan sensitisasi oleh tungau Sarcoptes scabei. Skabies tidak membahayakan bagi manusia. Adanya rasa gatal pada malam hari merupakan gejala utama yang mengganggu aktivitas dan produktivitas.

Apa yang dimaksud dengan Kudis atau Skabies ?

Skabies adalah penyakit yang disebabkan infestasi dan sensitisasi kulit oleh tungau Sarcoptes scabieidan produknya. Penyakit ini berhubungan erat dengan higiene yang buruk. Prevalensi skabies tinggi pada populasi yang padat. Dari hasil penelitian di Brazil, prevalensi skabies dua kali lebih tinggi di daerah kumuh perkotaan yang padat penduduk daripada di masyarakat nelayan dimana mereka tinggal di tempat yang lebih luas.

Penularan dapat terjadi karena:

  1. Kontak langsung kulit dengan kulit penderita skabies, seperti menjabat tangan, hubungan seksual, atau tidur bersama.
  2. Kontak tidak langsung (melalui benda), seperti penggunaan perlengkapan tidur bersama dan saling meminjam pakaian, handuk dan alat-alat pribadi lainnya, tidakmemiliki alat-alat pribadi sendiri sehingga harus berbagi dengan temannya. Tungau hidup dalam epidermis, tahan terhadap air dan sabun dan tetap hidup bahkan setelah mandi dengan air panas setiap.

Hasil Anamnesis (Subjective)

Gejala klinis:

  1. Pruritus nokturna, yaitu gatal yang hebat terutama pada malam hari atau saat penderita berkeringat.
  2. Lesi timbul di stratum korneum yang tipis, seperti di sela jari, pergelangan tangan dan kaki, aksila, umbilikus, areola mammae dan di bawah payudara (pada wanita) serta genital eksterna (pria).

Faktor Risiko:

  1. Masyarakat yang hidup dalam kelompok yang padat seperti tinggal di asrama atau pesantren.
  2. Higiene yang buruk.
  3. Sosial ekonomi rendah seperti di panti asuhan, dan sebagainya.
  4. Hubungan seksual yang sifatnya promiskuitas.

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)

Pemeriksaan Fisik

Lesi kulit berupa terowongan (kanalikuli) berwarna putih atau abu-abu dengan panjang rata-rata 1 cm. Ujung terowongan terdapat papul, vesikel, dan bila terjadi infeksi sekunder, maka akan terbentuk pustul, ekskoriasi, dan sebagainya.Pada anak-anak, lesi lebih sering berupa vesikel disertai infeksi sekunder akibat garukan sehingga lesi menjadi bernanah.

image
Gambar Skabies

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan mikroskopis dari kerokan kulit untuk menemukan tungau.

Penegakan Diagnosis (Assessment)

Diagnosis Klinis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Terdapat 4 tanda kardinal untuk diagnosis skabies, yaitu:

  1. Pruritus nokturna.
  2. Penyakit menyerang manusia secara berkelompok.
  3. Adanya terowongan (kunikulus) pada tempat-tempat predileksi yang berwarna putih atau keabu-abuan, berbentuk garis lurus atau berkelok-kelok, rata-rata panjang 1 cm, pada ujung terowongan ditemukan papul atau vesikel.
  4. Ditemukannya tungau dengan pemeriksaan mikroskopis. Diagnosis ditegakkan dengan menemukan 2 dari 4 tanda tersebut.

Diagnosis Banding

Skabies adalah penyakit kulit yang disebut dengan the great imitator dari kelainan kulit dengan keluhan gatal. Diagnosis bandingnya adalah: Pioderma, Impetigo, Dermatitis, Pedikulosis korporis

Komplikasi

Infeksi kulit sekunder terutama oleh S. aureus sering terjadi, terutama pada anak. Komplikasi skabies dapat menurunkan kualitas hidup dan prestasi belajar.

Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)

Penatalaksanaan

  1. Melakukan perbaikan higiene diri dan lingkungan, dengan:

    • Tidak menggunakan peralatan pribadi secara bersama-sama dan alas tidur diganti bila ternyata pernah digunakan oleh penderita skabies.
    • Menghindari kontak langsung dengan penderita skabies.
  2. Terapi tidak dapat dilakukan secara individual melainkan harus serentak dan menyeluruh pada seluruh kelompok orang yang ada di sekitar penderita skabies. Terapi diberikan dengan salah satu obat topikal (skabisid) di bawah ini:

    • Salep 2-4 dioleskan di seluruh tubuh, selama 3 hari berturut-turut, dipakai setiap habis mandi.
    • Krim permetrin 5%di seluruh tubuh. Setelah 10 jam, krim permetrin dibersihkan dengan sabun.
      Terapi skabies ini tidak dianjurkan pada anak < 2 tahun.

Konseling dan Edukasi

Dibutuhkan pemahaman bersama agar upaya eradikasi skabies bisa melibatkan semua pihak. Bila infeksi menyebar di kalangan santri di sebuah pesantren, diperlukan keterbukaan dan kerjasama dari pengelola pesantren. Bila sebuah barak militer tersebar infeksi, mulai dari prajurit sampai komandan barak harus bahu membahu membersihkan semua benda yang berpotensi menjadi tempat penyebaran penyakit.

Kriteria Rujukan

Pasien skabies dirujuk apabila keluhan masih dirasakan setelah 1 bulan paska terapi.

Peralatan

  1. Lup
  2. Peralatan laboratorium untuk pemeriksaan sediaan langsung kerokan kulit.

Prognosis

Prognosis umumnya bonam, namun tatalaksana harus dilakukan juga terhadap lingkungannya.

Sumber :
Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan primer

Referensi

  1. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2013. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi keenam. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
  2. Heukelbach, J. & Feldmeier, H. 2006. Scabies. The Lancet, 367, 1767-74. June 8, 2014.

http://Search.Proquest.Com/Docview/199054155/Fulltextpdf/Afbf4c2fd1bd4016p q/6?Accountid=17242
3. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M. 2000. Andrew’s Diseases of the Skin: Clinical Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders Elsevier.
4. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin.2011.Pedoman Pelayanan Medik. Jakarta.

Skabies


Skabies adalah penyakit kuno yang telah lama dikenal, setidaknya selama 2500 tahun terakhir. Kata skabies berasal dari bahasa Latin scabere yang berarti menggaruk karena gejala utama skabies adalah rasa gatal hebat sehingga penderita sering menggaruk. Hieroglif dan bukti-bukti arkeologi Mesir menunjukkan bahwa skabies telah menginfestasi manusia sejak berabad-abad yang lalu. S.scabiei dideskripsikan dalam risalah ilmiah pada tahun 1100
SM, namun kaitannya dengan penyakit kulit baru terungkap 500 tahun kemudian. Aristoteles (384-322 SM) adalah orang pertama yang mengidentifikasi tungau penyebab skabies dan menyebutkan sebagai lice in the flesh.

Kepustakaan tertua menyatakan orang pertama yang menguraikan skabies adalah Aboumezzan Abdel Malek ben Zohar14 yang lahir di Spanyol pada tahun 1070 dan wafat di Maroko pada tahun 1162. Dokter tersebut menulis sesuatu yang disebut soab yang hidup di kulit dan menimbulkan gatal. Bila kulit digaruk muncul hewan kecil yang sulit dilihat dengan mata telanjang. Penemuan skabies merupakan sejarah penting dalam perkembangan ilmu kedokteran karena S.scabiei adalah organisme pertama yang diidentifikasi sebagai etiologi suatu penyakit.

Pada tahun 1678, Giovan Cosimo Bonomo menulis hasil penelitiannya mengenai hubungan penyakit kulit, S.scabiei dan prinsip penatalaksanaan skabies lalu menyampaikannya kepada Francesco Redi. Penemuan terbesar Bonomo adalah S.scabiei tidak selalu tinggal di dalam terowongan kulit melainkan berjalan di permukaan kulit untuk mencari lokasi baru.

Tungau juga dapat berpindah dari satu penderita skabies ke orang lain dan menyebabkan infestasi baru. Pada tahun 1805, Joseph Adam menginfeksikan S.scabiei ke kulitnya sendiri. Beberapa hari kemudian, ia merasa gatal dan timbul lesi di bagian kulit yang diinfeksi. Pada tahun 1812 Gales menemukan S.scabiei dan meminta Meunir untuk melukisnya, namun penemuan Gales tidak dapat dibuktikan oleh ilmuwan lainnya. Pada tahun 1820, Raspail menyatakan bahwa tungau yang ditemukan Gales identik dengan tungau keju sehingga Gales dinyatakan sebagai penipu. Penemuan Gales baru diakui pada tahun 1839 ketika Renucci seorang mahasiswa dari Corsica berhasil mendemonstrasikan cara mendapatkan tungau dari penderita skabies menggunakan sebuah jarum.

Pada tahun 1865, Thomas Hiller merangkum berbagai hasil penelitian skabies dan menyimpulkan bahwa dari sampel kulit penderita skabies ditemukan hewan kecil yang bersarang di kulit dan berkembang biak dengan cara bertelur. Hewan tersebut menimbulkan gatal pada orang yang dihinggapinya. Pada tahun 1919 Munro berhasil menginfeksi kulit seseorang dengan mentransfer larva dan nimfa S.scabiei ke kulit orang sehat lalu timbul manifestasi skabies di kulit tersebut. Saat Perang Dunia II berlangsung pada tahun 1940-an, Mellanby seorang peneliti dari Sorby Research Institute di Sheffield, Inggris meneliti penularan dan pengobatan skabies. Penelitian dilakukan terhadap 30 relawan yang bersedia tinggal dalam satu rumah di daerah sub-urban selama studi berlangsung. Mellanby menyimpulkan infestasi kulit oleh S.scabiei disebabkan oleh tungau betina yang baru dibuahi. Penemuan Mellanby16 merupakan kontribusi besar untuk kesehatan di dunia khususnya bagi para prajurit yang menderita skabies saat Perang Dunia II.

Epidemiologi


Skabies disebut juga the itch, pamaan itch, seven year itch karena gatal hebat yang berlangsung menahun. Di Indonesia skabies disebut penyakit kudis, gudik, atau buduk. Skabies terdapat di seluruh dunia dengan prevalensi yang bervariasi, tetapi umumnya terdapat di wilayah beriklim tropis dan subtropis di negara berkembang. Siapapun yang kontak dengan S.scabiei dapat terinfestasi skabies, meskipun demikian skabies lebih banyak terdapat pada penduduk yang memiliki faktor risiko tinggi untuk terinfestasi skabies. Di masyarakat yang memiliki risiko tinggi skabies prevalensi dapat mencapai 80%.

Jumlah penderita skabies di dunia diperkirakan lebih dari 300 juta setiap tahunnya sehingga menimbulkan beban ekonomi bagi individu, keluarga, masyarakat dan sistem kesehatan. Biaya untuk mengobati skabies cukup mahal karena biasanya skabies menginfeksi orang miskin yang tidak mampu membayar biaya berobat. Biaya menjadi semakin mahal apabila penderita mengalami skabies berat dengan komplikasi infeksi sekunder oleh bakteri. Pada level rumah tangga, dana yang digunakan untuk berobat mengakibatkan pengurangan biaya untuk kebutuhan pokok misalnya untuk makan sehingga menambah beban keluarga. Pada level institusi dana yang cukup besar dikeluarkan untuk menanggulangi wabah skabies.

Skabies memiliki hubungan erat dengan kebersihan personal dan lingkungan tempat tinggal sehingga sering terjadi pada orang yang tinggal bersama di pemukiman padat penghuni misalnya di perkampungan padat penduduk atau di pondok pesantren dengan kepadatan penghuni yang tinggi. Wabah skabies sering dijumpai di lingkungan padat penghuni dengan kontak kulit yang erat dan lama seperti di tempat penitipan anak, panti asuhan, tempat perawatan orang usia lanjut, penjara, pengungsian, dan pesantren bahkan di rumah sakit.

Skabies memiliki masa inkubasi yang lama sehingga orang yang terpajan skabies tidak menyadarinya sebelum timbul lesi klinis yang jelas dan dapat didiagnosis sebagai skabies. Pada orang muda sehat, skabies lebih dianggap sebagai gangguan yang menjengkelkan karena gatal hebat. Pada orang tua atau orang dengan imunitas rendah, skabies sering tidak terdiagnosis karena lesi mirip penyakit lain. Oleh karena itu skabies sering terlambat didiagnosis, pengobatannya tidak adekuat atau salah, dan tindak lanjutnya tidak memadai sehingga sering menimbulkan wabah serta terus menerus endemis di daerah yang memiliki faktor risiko tinggi untuk terinfestasi skabies.

Romani et al19 melakukan systematic review terhadap 48 penelitian skabies di berbagai negara dengan studi utama di negara berkembang yang memiliki status ekonomi menengah kebawah. Prevalensi skabies pada populasi umum paling tinggi di Papua Nugini, Panama dan Fiji sedangkan prevalensi skabies pada anak-anak paling banyak ditemukan di Panama. Pada systematic review tersebut dilaporkan bahwa skabies merupakan penyakit kulit yang biasa ditemukan di negara berkembang terutama pada anak-anak, masyarakat kurang mampu, pendidikan rendah serta kepadatan penduduk yang tinggi. Berdasarkan review tersebut, Romani et al19 menyimpulkan bahwa skabies merupakan penyakit kulit yang menjadi masalah kesehatan masyarakat di negara berkembang yang sulit diberantas sehingga diperlukan penelitian secara komprehensif untuk memperoleh strategi pengendalian yang efektif dan efisien.

Faktor Risiko Skabies


Keberadaan skabies dipengaruhi oleh berbagai hal yaitu usia, jenis kelamin, tingkat kebersihan, penggunaan alat-alat pribadi bersamasama, kepadatan penghuni, tingkat pendidikan dan pengetahuan tentang skabies, budaya setempat, serta sosio-ekonomi.

  1. Usia

    Skabies dapat ditemukan pada semua usia tetapi lebih sering menginfestasi anak-anak dibandingkan orang dewasa. Penelitian restrospektif yang dilakukan terhadap 29.708 anak di India pada tahun 2009 menunjukkan bahwa skabies merupakan penyakit kulit tersering kedua di kelompok usia anak dan tersering ketiga pada bayi. Anak-anak lebih mudah terserang skabies karena daya tahan tubuh yang lebih rendah dari orang dewasa, kurangnya kebersihan, dan lebih seringnya mereka bermain bersama anak-anak lain dengan kontak yang erat.

    Skabies juga mudah menginfestasi orang usia lanjut karena imunitas yang menurun dan perubahan fisiologi kulit menua. Selain faktor imunitas, orang usia lanjut juga mengalami perubahan fisiologi kulit yaitu atrofi epidermis dan dermis, hiperkeratosis, menurunnya fungsi sawar kulit terhadap serangan dari luar, dan proses penyembuhan yang lebih lambat. Kulit orang usia lanjut yang kering juga merupakan port d’entrée patogen antara lain S.scabiei.

    Selain orang usia lanjut, golongan rentan skabies adalah penderita yang dirawat di bangsal psikiatri, penderita dengan gangguan jiwa, orang yang menerima transplantasi organ, pengidap kusta, dan pengguna narkoba. Skabies mudah menyerang orang yang memiliki faktor risiko tinggi seperti orang berusia lanjut yang dirawat di panti jompo, penderita HIV/AIDS, dan orang yang minum obat atau menjalani terapi yang mengakibatkan penurunan sistem imun. Lay et al melaporkan bahwa penderita skabies yang dirawat di fasilitas perawatan jangka panjang di 399 rumah sakit di Taiwan rata-rata berusia 80 tahun. Di rumah sakit tersebut, dari 706 penderita yang didiagnosis skabies, sebanyak 86% adalah penderita tirah baring dan 42% pengidap diabetes melitus tipe 2. Skabies sering menginfestasi orang usia lanjut yang tinggal di fasilitas perawatan jangka panjang misalnya di panti jompo karena kepadatan penghuni serta perawatan dan kebersihan yang kurang memadai. Faktor risiko infestasi skabies di rumah perawatan orang usia lanjut adalah memiliki tempat tidur lebih dari 120 buah dan rasio tempat tidur dengan petugas kesehatan <10:1.

    Pada orang usia lanjut manifestasi skabies dapat berupa lesi kulit atipik karena perubahan respons imun terhadap tungau. Lesi kulit atipik menyebabkan lesi skabies tidak mudah dikenali sehingga sering luput dari diagnosis. Selain lesi atipik, orang usia lanjut sering mengalami pruritus akibat kulit kering atau ansietas sehingga jika mengalami gatal tidak dipikirkan kemungkinan skabies. Penderita tersebut umumnya diberi antihistamin oral dan kortikosteroid topikal untuk mengurangi keluhan gatal.

    Penggunaan kortikosteroid topikal jangka panjang dapat mengubah presentasi lesi kulit dari lesi kulit tipikal menjadi atipik. Oleh karena itu, dapat dimengerti jika wabah skabies sering terjadi di panti jompo atau tempat perawatan orang berusia lanjut lainnya. Pada tahun 2011, Meyer et al melaporkan wabah skabies di rumah sakit pendidikan di Perancis yang menyerang staf dan penderita. Wabah tersebut berhasil diatasi dalam 3 bulan dengan pengobatan masal terhadap 490 penderita dan 529 petugas kesehatan.

  2. Jenis Kelamin

    Skabies dapat menginfestasi laki-laki maupun perempuan, tetapi laki-laki lebih sering menderita skabies. Hal tersebut disebabkan laki-laki kurang memperhatikan kebersihan diri dibandingkan perempuan. Perempuan umumnya lebih peduli terhadap kebersihan dan kecantikannya sehingga lebih merawat diri dan menjaga kebersihan dibandingkan laki-laki.

    Pada penelitian disebuah pesantren daerah Pekalongan diperoleh hasil bahwa prevalensi skabies pada laki-laki lebih tinggi daripada perempuan. Hilmy melakukan penelitian di sebuah pesantren di Jakarta Timur dan mendapatkan prevalensi skabies pada tahun 2011 adalah 51,6% dengan santri laki-laki lebih banyak menderita skabies daripada perempuan. Penelitian Fakoorziba et al di Iran juga menunjukkan bahwa prevalensi skabies lebih tinggi pada laki-laki. Ratnasari melaporkan prevalensi skabies di sebuah pesantren di Jakarta Timur pada tahun 2014 adalah 51,6% dan santri laki-laki (57,4%) lebih banyak menderita skabies dibandingkan perempuan (42,9%).

  3. Tingkat Kebersihan

    Memelihara kebersihan diri pada seseorang harus menyeluruh, mulai dari kulit, tangan, kaki, kuku, sampai ke alat kelamin. Cuci tangan sangat penting untuk mencegah infeksi bakteri, virus, dan parasit. Skabies menimbulkan rasa gatal yang hebat terutama pada malam hari dan pada suasana panas atau berkeringat. Karena rasa gatal yang hebat, penderita skabies akan menggaruk sehingga memberikan kenyamanan dan meredakan gatal walau untuk sementara. Akibat garukan, telur, larva, nimfa atau tungau dewasa dapat melekat di kuku dan jika kuku yang tercemar tungau tersebut menggaruk daerah lain maka skabies akan menular dengan mudah dalam waktu singkat. Oleh karena itu, mencuci tangan dan memotong kuku secara teratur sangat penting untuk mencegah skabies. Mandi dua kali sehari memakai sabun sangat penting karena pada saat mandi tungau yang sedang berada di permukaan kulit terbasuh dan lepas dari kulit.

    Kebiasaan menyetrika pakaian, mengeringkan handuk, dan menjemur kasur di bawah terik sinar matahari setidaknya seminggu sekali dapat mencegah penularan skabies. Tungau akan mati jika terpajan suhu 50o C selama 10 menit. Oleh karena itu, panas setrika dan terik sinar matahari mampu membunuh tungau dewasa yang melekat di barang-barang tersebut apabila terpajan dalam waktu yang cukup. Skabies berhubungan erat dengan tingkat kebersihan pribadi dan lingkungan. Putri melakukan penelitian di SD Negeri Magelang tentang hubungan kebersihan individu, sanitasi lingkungan, dan status gizi terhadap skabies pada anak-anak. Hasil penelitian tersebut menunjukkan terdapat hubungan antara kebersihan individu dengan prevalensi skabies. Anak-anak dengan kebersihan kurang baik memiliki risiko 6 kali lipat untuk terinfestasi skabies dibandingkan anak-anak dengan kebersihan diri yang baik.

    Penelitian Susilo di sebuah pesantren di Jakarta Timur juga mengemukakan bahwa terdapat hubungan antara kebersihan diri dengan skabies. Sebanyak 49 dari 183 santri memiliki kebersihan diri baik dan 134 santri memiliki kebersihan diri kurang. Perilaku tidak baik yang banyak dilakukan santri adalah menggunakan satu kasur bersama atau berpindah-pindah tidur (84,4% santri). Pada suatu survei di sebuah pesantren di Jakarta Selatan diperoleh prevalensi skabies sebesar 49,3% dan umumnya santri (86,7%) memiliki perilaku kebersihan yang buruk. Santri berperilaku kebersihan baik adalah yang mencuci baju dengan sabun, menjemur pakaian di bawah sinar matahari dan menyetrika setiap hari, tidak bertukar pakaian, tidak bertukar handuk, tidak berbagi kasur, mandi lebih dari satu kali sehari memakai sabun, dan menjemur kasur setiap minggu.

    Pada kenyataannya, hasil survei menunjukkan, semua santri berperilaku buruk karena kadang-kadang tidak mandi atau mandi namun tidak memakai sabun dan tidak mengeringkan daerah kemaluan dengan handuk kering setelah cebok. Santri juga tidak menjemur handuk diterik sinar matahari namun hanya menggantungkan di kamar tidur. Baju dan pakaian dalam yang telah dipakai tidak langsung dicuci tetapi dilipat atau digantung lalu dipakai lagi. Pakaian yang telah dicuci akan disetrika namun jika sedang malas pakaian hanya dicuci dan tidak disetrika. Kebiasaan buruk lainnya adalah santri sering saling meminjam handuk, pakaian dan perlengkapan shalat (sarung, mukena, kerudung) dan tidak menjemur kasur yang dipakainya di bawah terik sinar matahari serta sering tidur di kasur temannya.

    Santri memiliki kebiasaan menggunakan pakaian berlapis-lapis seperti kaos dalam, kemeja atau baju koko dan jaket walaupun udara panas. Keadaan tersebut menyebabkan santri banyak berkeringat dan keringatnya membasahi pakaian, namun pakaian yang basah oleh keringat tersebut tidak dicuci melainkan hanya ditumpuk di atas lemari dan digunakan lagi setelah kering. Perilaku santri yang lebih buruk adalah sering bertukar atau meminjam pakaian yang telah dipakai dan belum dicuci tersebut.

1 Like