Apa yang Dimaksud dengan Kritik Sastra Feminis?

feminis

Salah satu cabang disiplin ilmu dalam sastra adalah kritik sastra. Pada kritik sastra kita akan menemui istilah “kritik sastra feminis”, bagaimanakah posisinya dalam disiplin imu sastra?

Dari berbagai pemikiran feminisme terlihat bahwa munculnya ide-ide feminisme
berangkat dari kenyataan bahwa konstruksi sosial gender yang ada mendorong citra
perempuan masih belum memenuhi cita-cita persamaan hak antara perempuan dan
laki-laki. Kesadaran akan ketimpangan struktur, sistem, dan tradisi masyarakat di
berbagai bidang inilah yang kemudian melahirkan kritik feminis.

Kritik sastra feminis merupakan salah satu disiplin ilmu kritik sastra yang lahir
sebagai respon atas berkembang luasnya feminisme di berbagai penjuru dunia. Kritik sastra feminis berasal dari hasrat para feminis untuk mengkaji karya penulis-penulis di masa silam dan untuk mewujudkan citra wanita dalam karya penulis-penulis pria yang menampilkan wanita sebagai makhluk yang dengan berbagai cara ditekan, disalahtafsirkan serta disepelekan oleh tradisi patriarkat yang dominan.

Newton dalam Sofia (2009:63) mengatakan bahwa kritik sastra feminis
mencerminkan tujuan politik dari feminisme berdasarkan ideologi feminis. Kritik
sastra feminis terhadap sastra digunakan sebagai materi pergerakan kebebasan
perempuan dan dalam menyosialisasikan ide feminis. Kritik feminis terhadap karya
sastra mengadopsi sudut pandang ini mengenai bagaimana karakter perempuan
digambarkan dalam sastra.
image
Terkait dengan hal tersebut, Culler dalam Sofia (2009:20) berpendapat bahwa kritik sastra feminis mempermasalahkan asumsi tentang perempuan yang berdasarkan paham tertentu selalu dikaitkan dengan kodrat perempuan yang kemudian menimbulkan isu tertentu tentang perempuan. Selain itu, kritik ini berusaha mengidentifikasi suatu pengalaman dan perspektif pemikiran laki-laki melalui cerita yang dikemas sebagai pengalaman manusia dan karya sastra. Hal ini dimaksudkan untuk mengubah pemahaman terhadap karya sastra sekaligus terhadap signifikansi berbagai kode gender yang ditampilkan teks berdasarkan hipotensi yang disusun.

Berdasarkan pemikiran tersebut, Culler dalam Sofia (2009:20), menawarkan konsep
reading as a woman (membaca sebagai perempuan) sebagai bentuk kritik sastra
feminis.Konsep ini dilakukan melalui sebuah pendekatan yang berusaha membuat
pembaca menjadi kritis hingga menghasilkan penilaian terhadap makna teks, yaitu
dengan menganalisis ideologi kekuasaan laki-laki yang patriarkal yang diasumsikan
terdapat dalam penulisan dan pembacaan sastra. Selanjutnya, dengan membaca
sebagai perempuan seorang penganalisis menghadapi suatu karya dengan berpijak pada kesadaran bahwa ada jenis kelamin yang berbeda yang memengaruhi dan
banyak berhubungan dengan budaya, sastra, dan kehidupan.
feminis
Sejalan dengan tujuan feminisme, yaitu untuk mengakhiri dominasi laki-laki, kritik
sastra feminis mengambil peran sebagai suatu bentuk kritik negosiasi, bukan sebagai
bentuk konfrontasi. Kritik ini dilakukan dengan tujuan untuk menumbangkan wacanawacana dominan, bukan untuk berkompromi dengan wacana dominan tersebut. Kritik sastra feminis lebih dari sekadar perspektif.

Feminisme dikenal sebagai gerakan yang berpijak pada konsep pemikiran tentang kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Menurut Weedon (melalui Wiyatmi, 2012) menjelaskan tentang faham feminisme, bahwa faham feminisme adalah politik yang langsung mengubah hubungan kekuatan kehidupan antara perempuan dan laki-laki. Kekuatan ini mencakup semua struktur kehidupan, keluarga, pendidikan, kebudayaan, dan kekuasaan.

Kritik sastra feminis merupakan salah satu disiplin ilmu karya sastra yang lahir sebagai respon atas berkembangluasnya feminisme di berbagai penjuru dunia. Gerakan-gerakan feminisme pada tahun-tahun 1960-an berdampak luas, bukan hanya pada kaum perempuan, tetapi meluas ke seluru rakyat Amerika. Berbagai kalangan memberikan dukungan kuat pada usaha-usaha peningkatan kedudukan perempuan, baik yang bertalian dengan keluarga, seks, dan pekerjaan, maupun yang berhubungan dengan pendidikan atau pelatihan. (Djajanegara, 2000).

Dalam perkembangannya terdapat beberapa kritik sastra feminis. Showalter (melalui Wiyatmi, 2012) membedakan adanya dua kritik sastr feminis, yaitu kritik sastra feminis yang melihat perempuan sebagai pembaca (the woman as reader) dan kritik sastra yang melihat perempuan sebagai penulis (the woman as writer).

Showalter juga menegaskan woman as reader memfokuskan kajian pada citra dan stereotipe perempuan dalam sastra, pengabaian dan kesalahpahaman tentang perempuan dalam kritik sastra sebelumnya, dan celah-celah dalam sejarah sastra yang dibentuk oleh laki-laki, sedangkan kritik sastra yang melihat perempuan sebagai penulis lebih meekankan pada sejarah karya sastra perempuan, gaya penulisan, tema, genre, struktur tulisan perempuan, kreativitas penulis perempuan, profesi penulis perempuan sebagai suatu perkumpulan, serta perkembangan dan peraturan tradisi penulis perempuan (Wiyatmi, 2012).

Djajanegara (2000) dalam bukunya Kritik Sastra Feminis: Sebuah Pengantar menyebutkan terdapat tujuh ragam kritik sastra feminis untuk mengkaji karya sastra penulis perempuan. Tujuh ragam jenis tersebut adalah sebagai berikut.

  • Kritik Sastra Feminis Ideologis.

Ragam ini lebih melibatkan wanita, khususnya kaum feminis sebagai pembaca. Yang menjadi pusat perhatian pembaca feminis adalah citra serta stereotip wanita dalam karya sastra. Kritik ini juga meneliti kesalahpahaman tentang wanita dan sebab-sebab mengapa wanita diperhitungkan bahkan nyaris diabaikan sama sekali dalam kritik sastra.

  • Gynocritics atau ginokritik.

Ragam ini mengkaji penulis-penulis wanita. Di dalamnya termasuk penelitian tentang sejarah karya sastra wanita, gaya penulisan, tema, genre , dan struktur tulisan wanita. Di samping itu dikaji juga kreativitas penulis wanita, profesi penulis wanita sebagai perkumpulan, serta perkembangan dan peraturan tradisi penulis wanita.

  • Kritik Sastra Feminis Sosialis/ Marxis .

Kritik ini meneliti tokoh wanita dari sudut pandang sosialis, yaitu kelas- kelas masyarakat. Pengkritik feminis mencoba mengungkapkan bahwa kaum wanita merupakan kelas yang tertindas.

  • Kritik Sastra Feminis Psikoanalisis.

Ragam ini adalah kritik sastra yang diterapkan pada tulisan-tulisan wanita. Hal ini karena para pembaca wanita biasanya mengidentifikasi dirinya pada tokoh wanita, sedang tokoh wanita tersebut pada umumnya merupakan cermin penciptanya.

  • Kritik Sastra Feminis Lesbian.

Kritik sastra ini meneliti tulisan perempuan dan tokoh perempuannya saja. Tujuannya yaitu mengembangkan satu definisi cermat tentang makna lesbian, kemudian diterapkan pada diri penulis atau teks sastranya, apakah penulis dan karya sastra tersebut memiliki ciri lesbianisme. Lalu, diharapkan terbentuklah kanon sastra masa silam, sehingga dapat dikembangkan suatu tradisi menulis sastra lesbian, dan strategi membaca dan sudut pandangan masa silam maupun modern.

  • Kritik Sastra Feminis Ras atau Etnik.

Mereka menganggap dirinya berbeda dari feminis kulit putih. Golongan- golongan etnis lain juga merasakan kertertindasan dengan pengalaman yang berbeda. Mereka ingin membuktikan keberadaan sekelompok penulis feminis etnik beserta karya-karyanya.

  • Kritik Sastra Feminis Black Lesbian

Kritik yang berperan sebagai eksistensi kritik sastra feminis etnik. Kritik sastra lesbian ini diterapkan pada penulis perempuan kulit hitam. Mereka menganggap telah mengalami penindasan berkali-kali. Sebagai perempuan kulit hitam, mereka telah merasakan penindasan secara kultural dan ideologis.

Berdasarkan berbagai perspektif dalam kritik sastra feminis di atas, maka pembahasan mengenai diskriminasi tokoh perempuan etnis Tionghoa dalam Dimsum Terakhir akan diarahkan pada pembahasan kritik sastra feminis ideologis yang mengedepankan bentuk pandangan dan stereotip terhadap wanita dalam karya sastra.

Kritik Sastra Feminis


Kritik sastra feminis merupakan salah satu disiplin ilmu kritik sastra yang lahir sebagai respons atas berkembangnya feminisme di berbagai negara. Pendekatan feminis lahir pada awal abad ke-20, yang dipelopori oleh Virginia Woolf. Tujuan dari pendekatan feminis ini adalah adanya keseimbangan, interelasi gender. Feminis merupakan suatu gerakan yang menolak segala sesuatu yang dimarjinalisasikan, disubordinasikan, dan direndahkan oleh kebudayaan dominan, baik dalam kehidupan politik, ekonomi, maupun kehidupan umumnya.

Dalam sastra, pendekatan feminis merupakan cara memahami karya sastra, kaitannya dengan proses produksinya dan resepsinya dengan konsep emansipasi wanita. Menurut Ratna (2004), teori feminis telah dimanfaatkan oleh kaum wanita sebagai alat untuk memperjuangkan haknya, yang berkaitan dengan konflik kelas dan ras, khususnya tentang konflik gender.

Feminisme merupakan pendekatan yang menolak ketidakadilan dari masyarakat patriarki, yang dipicu oleh kesadaran bahwa hak kaum wanita itu setara dengan kaum laki-laki. Meskipun secara biologis wanita itu berbeda dengan laki-laki, karena fisiknya lemah, perbedaan tersebut mestinya tidak dengan sendirinya, atau secara alamiah membedakan posisinya di dalam masyarakat.

Djajanegara (2000) menjelaskanbahwa feminisme adalah gerakan kaum perempuan yang menuntut persamaan hak antara perempuan dan laki-laki, yang meliputi semua aspek kehidupan, baik di bidang politik, ekonomi, maupun sosial budaya. Jika perempuan sederajat dengan laki-laki, maka mereka memiliki hak untuk menentukan dirinya sendiri, seperti halnya kaum laki-laki selama ini. Jadi, feminisme merupakan gerakan kaum perempuan untuk memperoleh otonomi atau kebebasan menentukan dirinya sendiri (Sugihastuti, 2002).

Feminisme bukan merupakan upaya pemberontakan terhadap laki-laki, upaya melawan pranata sosial seperti institusi rumah tangga dan perkawinan, ataupun upaya perempuan untuk mengingkari kodratnya, melainkan lebih sebagai upaya untuk mengakhiri penindasan dan eksploitasi perempuan (Fakih, 1996). Feminisme merupakan teori tentang persamaan antara laki-laki dan perempuan di bidang politik, ekonomi, dan sosial; atau kegiatan terorganisasi yang memperjuangkan hak-hak dan kepentingan perempuan (Goefe, 1986).

Dengan kata lain, gerakan feminisme merupakan perjuangan dalam rangka mentransformasikan sistem dan struktur sosial yang tidak adil menunju keadilan bagi kaum laki-laki dan perempuan. Adapun sasaran feminisme bukan sekedar masalah gender, melainkan masalah ‘kemanusiaan’ atau memperjuangkan hak-hak kemanusiaan.

Dalam kajian sastra, feminisme terformulasi dalam kritik sastra feminis, yakni kajian sastra yang mengarahkan fokus analisisnya pada perempuan. Jika selama ini ada anggapan bahwa yang mewakili pembaca dan pencipta dalam sastra Barat adalah laki-laki, kritik sastra feminis menunjukkan bahwa pembaca perempuan membawa persepsi dan horison harapan ke dalam pengalaman sastranya (Showalter, 1985). Kritik sastra feminis bertolak pada permasalahan pokok, yakni anggapan perbedaan seksual dalam interpretasi dan pemaknaan karya sastra.

Dalam kritik sastra feminis, pengritik memandang sastra dengan kesadaran khusus, bahwa ada jenis kelamin yang berhubungan dengan budaya, sastra, dan kehidupan kita. Jenis kelamin inilah yang membuat perbedaan pula pada pengarang, pembaca, perwatakan, dan faktor luar yang mempengaruhi situasi karang-mengarang.

Jiwa analisis kritik sastra feminis adalah analisis gender. Dalam analisis gender, kritikus harus dapat membedakan konsep gender dengan seks (jenis kelamin). Gender adalah suatu sifat yang melekat pada kaum pria dan wanita yang dikonstruksi secara sosial dan kultural melalui proses panjang. Jadi, gender merupakan kontruksi sosio-kultural yang pada dasarnya merupakan interpretasi kultural atas perbedaan jenis kelamin (Fakih, 1996). Misalnya, bahwa wanita itu dikenal lemah lembut, cantik, sering mengedepankan perasaan (emosional), pemalu, setia, dan keibuan. Adapun pria dianggap kuat, gagah, sering mengedepankan akal (rasional), agresif, tidak setia, jantan dan perkasa.

Dengan demikian, gender menurut Oakley (dalam Fakih,1996) merupakan perbedaan antara laki-laki dan perempuan yang bukan biologis dan bukan kodrat Tuhan (faktor bawaan manusia dari lahir). Oleh karena itu, seperti pandangan Gailey (dalam Hess dan Ferree, 1987), bahwa dari kacamata sosiologis, gender tidak bersifat universal. Ia bervariasi dari masyarakat yang satu ke masyarakat yang lain dari waktu ke waktu, dari tempat ke tempat, dari kelas ke kelas. Walaupun demikian, ada dua elemen gender yang bersifat universal, yakni:

  1. Gender tidak identik dengan jenis kelamin

  2. Gender merupakan dasar dari pembagian kerja dalam kehidupan semua masyarakat.

Adapun jenis kelamin lebih mengacu pada aspek biologis atau kodrati manusia pemberian dari Tuhan yang tidak dapat dipertukarkan antara laki-laki dengan perempuan dan tidak berubah secara universal dan sepanjang zaman. Misalnya: perempuan dapat hamil, melahirkan, lalu menyusui anaknya, sedangkan laki-laki tidak dapat melakukan tiga hal tersebut (Fakih, 1996).

Ada banyak ragam kritik sastra feminis, antara lain:

  1. kritik ideologis
  2. kritik yang mengkaji penulis-penulis wanita
  3. kritik sastra sosial atau Marxis
  4. kritik sastra feminis-psikoanalitik
  5. kritik sastra feminis-lesbian
  6. kritik sastra feminis-ras (etnik

Sesuai dengan tujuan kajian dan mengingat berbagai keterbatasan, yang sering diterapkan dalam kajian sastra adalah kritik sastra feminis ideologis, yang dapat disejajarkan dengan konsep Culler (1975) tentang reading as woman. Konsep ini kiranya dapat diterapkan dalam membongkar praduga dan ideologi kekuasaan laki-laki yang androsentris atau patriarkal, yang hingga sekarang diasumsikan menguasai penulisan dan pembacaan sastra di berbagai negara, termasuk Indonesia.

Kritik ideologis melibatkan pembaca wanita dan menyoroti citra dan stereotipe wanita dalam karya sastra (Djajanegar), namun dapat saja kritik ideologis dilakukan oleh pembaca pria. Dalam hal ini, kajian akan memusatkan perhatiannya pada citra dan stereotipe wanita dalam karya sastra Indonesia dari zaman Balai Pustaka (1920- an) sampai dengan zaman global (Angkatan 2000).

Dalam teks sastra, mungkin saja pengarang wanita sering menciptakan tokoh-tokoh wanita dengan stereotipe yang memenuhi atau tidak memenuhi norma masyarakat patriarkal. Namun, dalam karya-karya pengarang pria dapat juga menunjukkan tokoh-tokoh wanita yang kuat dan mungkin sekali justru mendukung nilai-nilai feminis. Misalnya, tokoh wanita dilukiskan aktif dalam kehidupan masyarakat, cerdas, intelek, progresif, berani, lincah, dan mandiri. Novel Layar Terkembang karya St. Takdir Alisyahbana dan novel Belenggu karya Armijn Pane (Angkatan Pujangga Baru) sudah memperlihatklan hal itu.

Selden (1986:), mengemukakan lima masalah penting yang berkaitan dengan pendekatan feminis dalam sastra, yaitu:

  1. Secara biologis, wanita sering ditempatkan sebagai inferior;

  2. Wanita dipandang memiliki pengalaman yang terbatas, hanya seputar melahirkan dan menyusui;

  3. Wanita dianggap memiliki penguasaan bahasa yang lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki;

  4. Secara diam-diam para penulis wanita telah meruntuhkan otoritas kaum laki-laki;

  5. Pengarang wanita sering menghadirkan tuntutan sosial ekonomi yang berbeda dari kaum laki-laki.

Menurut Pradopo (1991), dalam menerapkan pendekatan feminisme, hendaknya mengikuti pandangan Barret, yaitu:

  1. Mampu membedakan material sastra yang ditulis laki-laki dan wanita, serta perbedaan hal-hal yang menarik bagi keduanya.

  2. Mampu memahami perbedaan ideologi laki-laki dan wanita yang sangat prinsipal

  3. Mengetahui seberapa jauh kodrat fiksional teks-teks sastra mampu melukiskan budaya laki-laki dan perempuan. Sebab, tradisi budaya laki- laki dan perempuan itu memiliki suatu perbedaan yang perlu dijelaskan dalam analisis gender.