Apa yang dimaksud dengan Korban?

Korban adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan hak asasi pihak yang dirugikan.

Apa yang dimaksud dengan Korban ?

Selama beberapa abad, pengertian korban menjadi berubah dan memiliki makna yang lebih luas. Ketika viktimologi pertama kali ditemukan yaitu pada tahun 1940-an, para ahli viktimologi seperti Mendelshon, Von Hentig dan Wolfgang cenderung mengartikan korban berdasarkan text book dan kamus yaitu ”orang lemah yang membuat dirinya sendiri menjadi korban”.

Pemahaman seperti itu ditentang habis-habisan oleh kaum feminist sekitar tahun 1980-an, dan kemudian mengubah pengertian korban yaitu “setiap orang yang terperangkap dalam suatu hubungan atau situasi yang asimetris. Asimetris disini yaitu segala sesuatu yang tidak imbang, bersifat ekploitasi, parasitis (mencari keuntungan untuk pihak tertentu), merusak, membuat orang menjadi terasing, dan menimbulkan penderitaan yang panjang”.

Viktimologi berasal dari kata victima (bahasa latin) yang berarti korban dan logos yang berarti ilmu pengetahuan. Oleh sebab itu viktimologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang korban.

Pada dasarnya korban adalah orang, baik individu, kelompok ataupun masyarakat yang telah menderita kerugian yang secara langsung sebagai akibat dari kejahatan subyek lain. Bila hendak membicarakan mengenai korban, maka seyogyanya dilihat kembali pada budaya dan peradaban Ibrani kuno.

Dalam peradaban tersebut, asal mula pengertian korban merujuk pada pengertian pengorbanan atau yang dikorbankan yaitu, ”mengorbankan seseorang atau binatang untuk pemujaan atau hirarki kekuasaan”.

Berbicara mengenai korban dalam suatu tindak pidana dalam sistim hukum nasional di Indonesia, posisinya sangatlah tidak menguntungkan. Karena korban tersebut dalam Sistim Peradilan Pidana, hanya sebagai figuran, bukan sebagai pemeran utama atau hanya sebagai saksi (korban). Seharusnya korban tidak saja dipahami sebagai obyek dari suatu kejahatan tetapi juga harus dipahami sebagai subyek yang perlu mendapat perlindungan secara sosial dan hukum.

Istilah korban pada saat itu merujuk pada pengertian “setiap orang, kelompok, atau apapun yang mengalami luka-luka, kerugian, atau penderitaan akibat tindakan yang bertentangan dengan hukum. Penderitaan tersebut bisa berbentuk fisik, psikologi maupun ekonomi. Di dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia menyebutkan kata korban mempunyai pengertian sebagai berikut : ” korban adalah orang yang menderita kecelakaan karena perbuatan (hawa nafsu dan sebagainya) sendiri atau orang lain”.

Definisi Korban Menurut Para Ahli Dan Undang-undang Yang Berlaku Di Indonesia

Pengertian korban menurut para ahli, undang-undang, maupun konvensi- konvensi internasional yang membahas mengenai korban kejahatan antara lain :

  1. Ralph De Sola
    Korban (victim) adalah “person who has incured mental or physical suffring, loss of property or death resulting from an actual or attemp ted criminal offence committed by another.

  2. Cohen
    Korban (victim) adalah “whose pain and suffering have been made neglected by the state while it spends immense resources tu hunt down and punish the offender who responsible for that pain and suffering.

  3. Z.P. Separovic
    Korban (victim) adalah “ the person who are threatended, injured or destroyed by an actor or omission of another (mean, structure, organitation, or institution) and consequently; a vic tim would be anyone who has suffered from or been threatened by a punishable act (not only criminal act but also other punishable acts as misdemeanors, economic offences, non fulfillment of work duties) or an accidents. Suffering may be caused by another man or another stucture, where people are also involved”.

  4. Muladi
    Korban (victim) adalah orang-orang yang baik secara individual maupun kolektif telah menderita kerugian, termasuk kerugian fisik atau mental, emosional, ekonomi, atau gangguan subtansial terhadap hak-haknya yang fundamental, melalui perbuatan atau komisi yang melanggar hukum pidana dimasing-masing negara, termasuk penyalahgunaan kekuasaan.40

  5. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban menyebutkan :

    Korban adalah orang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana”.

  6. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga menyebutkan bahwa :

    Korban adalah orang yang mengalami kekerasan dan atau ancaman kekerasan dalam lingkup rumah tangga”.

  7. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran Dan Rekonsiliasi menyebutkan :

    Korban adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan baik fisik, mental, maupun emosional, kerugian ekonomi, atau mengalami pengabaian, pengurangan, atau perampasan hak-hak dasarnya, sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat, termasuk korban adalah ahli warisnya”.

  8. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, Dan Bantuan Kepada Saksi Dan Korban menyebutkan :

    Korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana”.

  9. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Korban Dan Saksi Dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat menyebutkan :

    Korban adalah orang perorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat memerlukan perlindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan pihak manapun”.

  10. Deklarasi PBB dalam The Declaration of Basic Pribciples of Justice for victims of Crime and Abuse of Power 1985

    Korban (victims) means person who, individually or collectively, have suffered harm, including physical or mental injury, emotional suffering, economic loss or substantial impairment of their fundamental rights, throgh acts or omission of criminal laws operative within Members States, including those laws proscribing criminal abuse of power”… through acts or omissions that do not yet constitute violations of national criminal laws but of internationally recognized norms relating to human rights.

Dengan mengacu pada pengertian korban diatas, dapat dilihat bahwa korban pada dasarnya tidak hanya orang perorangan atau kelompok yang secara langsung menderita akibat dari perbuatan-perbuatan yang menimbulkan kerugian/penderitaan bagi diri/kelompoknya, bahkan, lebih luas lagi termasuk di dalamnya keluarga dekat atau tanggungan langsung dari korban dan orang-orang yang mengalami kerugian ketika membantu korban mengatasi penderitaannya atau untuk mencegah fiktimisasi.

Tipologi Korban


Pentingnya pengertian korban diberikan dalam pembahasan ini adalah untuk sekedar membantu dalam menetukan secara jelas batas-batas yang dimaksud oleh pengertian tersebut sehingga diperoleh kesamaan cara pandang. Untuk itu berikut ini akan dijelaskan lebih jauh lagi mengenai Tipilogi kejahatan yang mana dimensinya dapat ditinjau dari dua perspektif, yaitu :

a. Ditinjau dari perspektif tingkat keterlibatan korban dalam terjadinya kejahatan. Melalui kajian perspektif ini, maka Ezzat Abdel Fattah menyebutkan beberapa tipilogi korban, yaitu :

  • Nonparticipating victims adalah mereka yang menyangkal/menolak kejahatan dan penjahat tetapi tidak turut berpartisipasi dalam penanggulangan kejahatan.

  • Latent or predisposed victims adalah mereka yang mempunyai karakter tertentu cenderung menjadi korban pelanggaran tertentu.

  • Provocative victims adalah mereka yang menimbulkan kejahatan atau pemicu kejahatan.

  • Particapcing victims adalah mereka yang tidak menyadari atau memiliki perilaku lain sehingga memudahkan dirinya menjadi korban.

  • False victims adalah mereka yang menjadi korban karena dirinya sendiri.

b. Ditinjau dari perspektif tanggung jawab korban itu sendiri maka Stepen Schafer mengemukakan tipilogi korban menjadi tujuh bentuk yaitu :

  • Unrelated victims adalah mereka yang tidak ada hubungan dengan si pelaku dan menjadi korban karena memang potensial. Untuk itu, dari aspek tanggung jawab sepenuhnya berada di pihak korban.

  • Proactive victims merupakan korban yang disebabkan peranan korban untuk memicu terjadinya kejahatan. Karena itu, dari aspek tanggung jawab terletak pada diri korban dan pelaku secara bersama-sama.

  • Participacing victims hakikatnya perbuatan korban tidak disadari dapat mendorong pelaku melakukan kejahatan. Misalnya, mengambil uang di bank dalam jumlah besar yan tanpa pengawalan, kemudian dibungkus dengan tas plastik sehingga mendorong orang untuk merampasnya. Aspek ini pertanggungjawaban sepenuhnya ada pada pelaku.

  • Biologically weak victim adalah kejahatan disebabkan adanya keadaan fisik korban seperti wanita, anak-anak, dan manusia lanjut usia (manula) merupakan potensial korban kejahatan. Ditinjau dari pertanggungjawabannya terletak pada masyarakat atau pemerintah setempat karena tidak dapat memberi perlindungan kepada korban yang tidak berdaya.

  • Socially weak victims adalah korban yang tidak diperhatikan oleh masyarakat bersangkutan seperti gelandangan dengan kedudukan sosial yang lemah. Untuk itu, pertanggungjawabannya secara penuh terletak pada penjahat atau masyarakat.

  • Self victimizing victims adalah koran kejahatan yang dilakukan sendiri (korban semu) atau kejahatan tanpa korban. Untuk itu pertanggungjawabannya sepenuhnya terletak pada korban sekaligus sebagai pelaku kejahatan.

  • Political victims adalah korban karena lawan polotiknya. Secara sosiologis, korban ini tidak dapat dipertnggungjawabkan kecuali adanya perubahan konstelasi politik.41

Selain pengelompokan diatas, masih ada pengelompokan korban menurut Sellin dan Wolfgang, yaitu sebagai berikut :

  • Primary victimization, yaitu korban berupa individu perorangan (bukan kelompok).
  • Secondary victimization, yaitu korban kelompok, misalnya badan hukum.
  • Tertiary victimization, yaitu korban masyarakat luas.
  • No victimiazation, yaitu korban yang tidak dapat diketahui, misalnya konsumen yang tertipu dalam menggunakan produksi.

Berbagai pengertian korban banyak dikemukakan baik oleh para ahli maupun bersumber dari konvensi-konvensi internasional yang membahas mengenai korban, sebagian diantaranya sebagai berikut:

  • Menurut Arif Gosita (1996), korban adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan hak asasi pihak yang dirugikan.

  • Romli Atmasasmita, korban adalah orang yang disakiti dan penderitaannya itu diabaikan oleh Negara. Sementara korban telah berusaha untuk menuntut dan menghukum pelaku kekerasan tersebut.

  • Muladi, korban (victims) adalah orang-orang yang baik secara individual maupun kolektif telah menderita kerugian, termasuk kerugian fisik atau mental , emosional, ekonomi, atau gangguan substansial terhadap hak-haknya yang fundamental, melalui perbuatan atau komisi yang melanggar hukum pidana di masing-masing negara, termasuk penyalahgunaan kekuasaan.

Mengenai kerugian korban menurut Rika Saraswati, mengatakan bahwa kerugian korban yang harus diperhitungkan tidak harus selalu berasal dari kerugian karena menjadi korban kejahatan, tetapi kerugian atas terjadinya pelanggaran atau kerugian yang ditimbulkan karena tidak dilakukanya suatu pekerjaan. Walapun yang disebut terakhir lebih banyak merupakan persoalan perdata, pihak yang dirugikan tetap saja termasuk dalam kategori korban karena ia mengalami kerugian baik secara materiil maupun secara mental.

Istilah korban pada saat itu merujuk pada pengertian “setiap orang, kelompok, atau apapun yang mengalami luka-luka, kerugian, atau penderitaan akibat tindakan yang bertentangan dengan hukum. Penderitaan tersebut bisa berbentuk fisik, psikologi maupun ekonomi” menyebutkan kata korban mempunyai pengertian:”korban adalah orang yang menderita kecelakaan karena perbuatan (hawa nafsu dan sebagainya) sendiri atau orang lain (Purwadarminta, 1976).

Ditinjau dari perspektif tingkat keterlibatan korban dalam terjadinya kejahatan, Ezzat Abde Fattah menyebutkan beberapa tipologi korban, yaitu (Makarao, 2005):

  • Non-participating victims adalah mereka yang menyangkal/menolak kejahatan dan penjahat tetapi tidak turut berpartisipasi dalam penanggulangan kejahatan;

  • Latent or predisposed victims adalah mereka yang mempunyai karakter tertentu cenderung menjadi korban pelanggaran tertentu;

  • Propocative victims adalah mereka yang menimbulkan kejahatan atau pemicu kejahatan;

  • Participating victims adalah mereka yang tidak menyadari atau memiliki perilaku lain sehingga memudahkan dirinya menjadi korban;

  • False victims adalah mereka yang menjadi korban karena dirinya sendiri

Apabila dilihat dari presfektif tanggung jawab Menurut Stephen Schafer. korban itu sendiri mengenal 7 (tujuh) bentuk, yakni sebagai berikut:

  • Unrelated victims adalah mereka yang tidak ada hubungan dengan si pelaku dan menjadi korban karena memang potensial. Untuk itu, dari aspek tanggung jawab sepenuhnya berada dipihak korban;

  • Provocative victims merupakan korban yang disebabkan peranan korban untuk memicu terjadinya kejahatan. Karena itu, dari aspek tanggung jawab terletak pada diri korban dan pelaku secara bersama-sama;

  • Participating victims hakikatnya perbuatan korban tidak disadari dapat mendorong pelaku melakukan kejahatan. Misalnya, mengambil uang di Bank dalam jumlah besar yang tanpa pengawalan, kemudian di bungkus dengan tas plastik sehingga mendorong orang untuk merampasnya. Aspek ini pertanggungjawaban sepenuhnya ada pada pelaku;

  • Biologically weak victim adalah kejahatan disebabkan adanya keadaan fisik korban seperti wanita, anak-anak, dan manusia lanjut usia (manula) merupakan potensial korban kejahatan. Ditinjau dari aspek pertanggungjawabannya terletak pada masyarakat atau pemerintah setempat karena tidak dapat memberi perlindungan kepada korban yang tidak berdaya;

  • Social weak victims adalah korban yang tidak diperhatikan oleh masyarakat bersangkutan seperti para gelandangan dengan kedudukan sosial yang lemah. Untuk itu, pertanggungjawabannya secara penuh terletak pada penjahat atau masyarakat;

  • Self-victimizing victims adalah korban kejahatan yang dilakukan sendiri (korban semu) atau kejahatan tanpa korban. Pertanggung jawabannya sepenuhnya terletak pada korban karena sekaligus sebagai pelaku kejahatan;

  • Political victims adalah korban karena lawan politiknya. Secara sosiologis, korban ini tidak dapat dipertanggungjawabkan kecuali adanya perubahan konstelasi politik

Pengertian korban menurut beberapa peraturan hukum yang berlaku di Indonesia adalah sebagai berikut:

  • Menurut Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Bahwa “Korban adalah orang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana”.

  • Menurut Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Bahwa “Korban adalah orang yang mengalami kekerasan dan/atau ancaman kekerasan dalam lingkup rumah tangga”.

  • Menurut Pasal 1 ayat (5) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Bahwa “Korban adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan baik fisik, mental ataupun emosional, kerugian ekonomi, atau mengalami pengabaian, pengurangan, atau perampasan hak-hak dasarnya, sebagai akibat langsung dari pelanggaran hak asasi manusia yang berat, termasuk korban adalah juga ahli warisnya”.

Peranan Korban dalam Tindak Pidana


Dalam hal ini korban memiliki peranan yang sangat penting dalam terjadinya tindak pidana, sama seperti peran pelaku itu sendiri. Perilaku pelaku dapat menjadikan pihak yang lain jadi korban juga, yang disebutkan oleh Samuel Welker, hubungan korban dan pelaku yaitu karna adanya sebab akibat.

Beberapa peranan korban yang dapat mengakibatkan kejahatan adalah :

  • Terjadinya tindak yang di awali oleh si korban itu sendiri.
  • Yang dapat merugikan mungkin itu akibat kerja sama korban dan pelaku.
  • korban yang mengalami kerugian akibat kejahatan yang seharusnya tidak terjadi jika tidak ada provokasi si korban.

Dari situ dapat dilihat kedudukan korban dan pelaku mempunyai tingkat kesalahannya. Menurut seorang ahli sarjana hukum Mendelson, di lhat dari drajat kesalahan korban yang di bedakan menjadi 5 macam yaitu :

  • Korban yang sama sekali tidakbersalah.
  • Korban yang jadi korban karenakelalaiannya.
  • Korban yang sama salahnya dengan pelaku.
  • Korban yang lebih bersalah dari pelaku.
  • Korban yang satu-satunya bersalah.
    .

Dilihat dari pengertian korban menurut beberapa para ahli atau yang bersumber dari konvensi internasional mengenai korban tindak pidana yang menimpa dirinya ,antara lain bisa kita lihat dari pengertian mengenai korban dari para ahli yaitu :

  1. Menurut Bambang Waluyo dalam bukunya yang berjudul Victimologi Perlindungan Korban dan Saksi, bahwa yang dimaksud dengan korban adalah “orang yang telah mendapat penderitaan fisik atau penderitaan mental, kerugian harta benda atau mengakibatkan mati atas perbuatan atau usaha pelanggaran ringan dilakukan oleh pelaku tindak pidana dan lainnya”. Disini jelas yang dimaksud “orang yang mendapat penderitaan fisik dan seterusnya” itu adalah korban dari pelanggaran atau tindak pidana.

  2. Muladi, korban (victim) adalah orang-orang yang baik secara individu maupun kolektif telah menderita kerugian, termasuk kerugian fisik atau mental, emosional, ekonomi, atau gangguan substansial terhadap hakhaknya yang fundamental melalui perbuatn atau komisi yang melanggar hukum pidana di masing-masing Negara, termasuk penyalahgunaan kekuasaan.

  3. Arief Gosita, sebagaiman korban yang menderita jasmani dan rohani yang di akibatkan dari tindakan orang lain yang mencari kepentingan diri sendiri dan yang berkepentingan hak asasi yang di rugikan.

Mengacu pada pengertian-pengertian korban tersebut dapat dilihat bahwa korban di atas dapat dilihat bahwa korban pada dasarnya tidak hanya orag perorangan atau kelompok yang secara langsung menderita akibat perbuatanperbuatan yang menimbulkan kerugian penderitaan bagi dirinya sendiri atau kelompoknya, bahkan, lebih luas lagi termasuk didalamnya keluarga dekat atau tanggungan la ngsung dari korban dan orang- orang yang mengalami kerugian ketika membantu korban mengatasi penderitaannya atau mencegah viktimisasi.

Perkembangan dari ilmu viktimologi selain mengajak setiap orang untuk lebih melihat posisi korban juga memilih-milih jenis korban hingga mencullah berbagai jenis korban,yaitu sebagai berikut.

  1. Nonparticipating victims, upaya penanggulangan tindak pidana yang mana mereka tidak memperdulikannya.
  2. Latent victims, dimaksud yaitu setiap orang yang mempunyai kelakuan tertentu sehingga minim menjadi korban.
  3. Procative victims, mereka yang menimbulkan dorongan terjadinya tindak pidana.
  4. Participating victims, mereka yang berprilaku tidak sewajarnya sehingga memudahkan dirinya menjadi korban.
  5. False victims, karena perbuatan korban sendiri sehingga yang menjadikan dirinya menjadi korban.

Pengertian korban menurut beberapa peraturan hukum yang berlaku di Indonesia adalah sebagai berikut :

  1. Menurut Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Bahwa “Korban adalah orang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana”.

  2. Menurut Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Bahwa “Korban adalah orang yang mengalami kekerasan dan/atau ancaman kekerasan dalam lingkup rumah tangga”.

  3. Menurut Pasal 1 ayat (5) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Bahwa “Korban adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan baik fisik, mental ataupun emosional, kerugian ekonomi, atau mengalami pengabaian, pengurangan, atau perampasan hak-hak dasarnya, sebagai akibat langsung dari pelanggaran hak asasi manusia yang berat, termasuk korban adalah juga ahli warisnya”

Dari uraian di atas dapat kita ketahui bahwa korban menurut defini yuridis terjadi beberapa perbedaan pengertian menurut Undang-undang ,namun penulis hanya memakai 1(satu) dari beberapa pengertian tersebut yaitu Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

Menurut Arif Gosita, yang dimaksud dengan korban adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi yang mederita.

Pengertian korban termasuk dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, yang dinyatakan bahwa korban adalah “seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana. Melihat rumusan tersebut, yang disebut korban adalah :

  • Setiap orang;
  • Mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau;
  • Kerugian ekonomi;
  • Akibat tindak pidana

Berdasarkan ketentuan angka I dalam United Nations Declaration on the Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power , pada tanggal 6 September 1985 dari Perserikatan Bangsa-Bangsa Deklarasi Nomor A/Res/40/34 tahun 1985, korban dijelaskan sebagai :

“Victims means persons who, individually or collectively, have suffered harm, including physical or mental injury, emotional suffering, economic loss or substantial impairment or their fundamental rights, throught acts or omission of criminal laws operative within Member States, including those laws proscribing criminal abuse of power”

Korban adalah orang-orang baik secara individual maupun kolektif yang menderita kerugian baik secara fisik maupun mental, penderitaan emosional, kerugian ekonomi atau kerusakan substansial dari hak-hak asasi mereka, yang melanggar hukum pidana yang berlaku di suatu negara, termasuk peraturanperaturan yang melarang penyalahgunaan kekuasaan.

Pengelompokan tipologi korban menurut Sellin dan Wolfang, yaitu sebagai berikut :

  • Primary victimization , yang dimaksud adalah korban individual. Jadi korbannya adalah orang perorangan (bukan kelompok);

  • Secondary victimization , yang menjadi korban adalah kelompok misalnya badan hukum;

  • Tertiary victimization , yang menjadi korban adalah masyarakat luas;

  • Mutual victimization , yang menjadi korban adalah si pelaku sendiri misalnya pelacuran, perzinahan, dan narkotika;

  • No victimization , yang dimaksud bukan berarti tidak ada korban melainkan korban tidak segera dapat diketahui. Misalnya konsumen yang tertipu dalam menggunakan suatu hasil produksi.

Dilihat dari peranan korban dalam terjadinya tindak pidana, Stephen Schafer mengatakan pada prinsipnya terdapat empat tipe korban, yaitu sebagai berikut :

  • Orang yang tidak mempunyai kesalahan apa-apa, tetapi tetap menjadi korban. Untuk tipe ini, kesalahan ada pada pelaku.

  • Korban secara sadar atau tidak sadar telah melakukan sesuatu yang merangsang orang lain untu melakukan kejahatan Untuk tipe ini, korban dinyatakan turut mempunyai andil dalam terjadinya kejahatan sehingga kesalahan terletak pada pelaku dan korban

  • Mereka yang secara biologis dan sosial potensial menjadi korban Anak-anak, orang tua, orang yang cacat fisik atau mental, orang miskin, golongan minoritas dan sebagainya merupakan orang-orang yang mudah menjadi korban. korban dalam hal ini tidak dapat disalahkan, tetapi masyarakatlah yang harus bertanggung jawab.

  • Korban karena ia sendiri merupakan pelaku Inilah yang dikatakan sebagai kejahatan tanpa korban. Pelacuran, perjudian, zina, merupakan beberapa kejahatan yang tergolong kejahatan tanpa korban. pihak yang bersalah adalah korban karena ia juga sebagai pelaku.