Apa yang dimaksud dengan Konstipasi atau Sembelit?

Konstipasi atau sembelit

Konstipasi atau sering disebut sembelit adalah kelainan pada sistem pencernaan di mana seorang manusia mengalami pengerasan tinja yang berlebihan sehingga sulit untuk dibuang atau dikeluarkan dan dapat menyebabkan kesakitan yang hebat pada penderitanya.

Konstipasi yang cukup hebat disebut juga dengan obstipasi. Dan obstipasi yang cukup parah dapat menyebabkan kanker usus yang berakibat fatal bagi penderitanya.

Apa yang dimaksud dengan Konstipasi atau Sembelit ?

Konstipasi berkaitan dengan penurunan atau tidak adanya frekuensi defekasi, konsistensi feses yang keras dan kering, serta perlunya ekstra mengejan saat defekasi. Teori konstipasi yang akan dibahas berikut ini meliputi pengertian konstipasi, faktor-faktor penyebab konstipasi, patofisiologi konstipasi, manifestasi klinis serta komplikasi yang timbul akibat konstipasi.

Konstipasi adalah persepsi gangguan buang air besar berupa berkurangnya frekuensi defekasi, sensasi tidak puas atau tidak lampiasnya buang air besar, terdapat rasa sakit, perlu ekstra mengejan atau feses yang keras. Proses defekasi dapat terjadi kurang dari 3 kali seminggu atau lebih dari 3 hari tidak defekasi. Penderita konstipasi biasanya juga perlu mengejan secara berlebihan sewaktu defekasi (Djojoningrat, 2006 dalam Sudoyo, dkk, 2006).


Gambar Konstipasi atau Sembelit

Konstipasi juga berarti pelannya pergerakan tinja melalui kolon. Kondisi ini sering berhubungan dengan sejumlah besar tinja yang kering dan keras pada kolon desendens yang menumpuk karena penyerapan cairan berlangsung lama (Guyton & Hall, 1996). Konstipasi dalam konsep diagnosa keperawatan diartikan sebagai penurunan frekuensi defekasi yang normal pada seseorang, disertai dengan kesulitan keluarnya feses yang tidak lengkap atau keluarnya feses yang sangat keras dan kering (Wilkinson, 2006).

Jenis konstipasi terdiri dari: konstipasi kolonik, konstipasi dirasakan/ persepsi (perceived constipation), dan konstipasi idiopatik. Defekasi yang tidak teratur yang abnormal, dan juga pengerasan feses tak normal yang membuat pasasenya sulit dan kadang menimbulkan nyeri disebut sebagai konstipasi kolonik.

  • Konstipasi persepsi adalah masalah subjektif yang terjadi bila pola eliminasi usus seseorang tidak konsisten dengan apa yang dirasakan orang tersebut sebagai normal (Doughty & Jackson, 1993, dalam Smeltzer & Bare, 2008).

  • Konstipasi idiopatik terjadi apabila tidak didapatkan penyakit organik yang menimbulkan konstipasi (Simadibrata, 2006, dalam Sudoyo, dkk, 2006).

Hasil konsensus nasional penatalaksanaan konstipasi di Indonesia tahun 2006 membagi konstipasi menjadi konstipasi primer dan konstipasi sekunder.

  • Konstipasi primer terdiri dari konstipasi dengan transit normal (konstipasi fungsional), konstipasi dengan transit lambat, dan disfungsi anorektal.

  • Konstipasi sekunder merupakan konstipasi yang disebabkan oleh penyakit lain, yaitu: penyakit endokrin dan metabolik, kondisi psikologis, kondisi miopatik, abnormalitas struktural, penyakit neurologis, kehamilan dan penyalahgunaan laksansia (Simadibrata & Makmun, 2006).

Diagram Bristol Stool
Gambar Diagram Bristol Stool

Faktor-faktor penyebab konstipasi

  1. Gangguan fungsi yang meliputi: kelemahan otot abdomen, pengingkaran kebiasaan/ mengabaikan keinginan untuk defekasi, ketidakadekuatan defekasi (misalnya: tanpa waktu, posisi saat defekasi, dan privasi), kurangnya aktivitas fisik, kebiasaan defekasi tidak teratur, dan perubahan lingkungan yang baru terjadi (LeMone & Burke, 2008; Wilkinson, 2005).

  2. Psikologis/ psikogenik yang meliputi: depresi, stres emosional, dan konfusi mental (LeMone & Burke, 2008).

  3. Farmakologis: penggunaan antasida (kalsium dan aluminium), antidepresan, antikolinergik, antipsikotik, antihipertensi, barium sulfat, suplemen zat besi, dan penyalahgunaan laksatif (Lewis, Heitkemper & Dirksen, 2000).

  4. Mekanis: Ketidakseimbangan elektrolit, hemoroid, megakolon (penyakit Hirschprung), gangguan neurologis, obesitas, obstruksi pascaoperasi, kehamilan, pembesaran prostat, abses rektal atau ulkus, fisura anal rektal, striktur anal rektal, prolaps rektal, rektokel, dan tumor (Simadibrata, 2006, dalam Sudoyo, dkk, 2006; Wilkinson, 2005).

  5. Fisiologis: perubahan pola makan dan makanan yang biasa dikonsumsi, penurunan motilitas saluran gastrointestinal, dehidrasi, insufisiensi asupan serat, insufisiensi asupan cairan, pola makan buruk (Smeltzer & Bare, 2008; Wilkinson, 2005).


Gambar Penyebab Konstipasi atau Sembelit

Patofisiologi konstipasi

Patofisiologi konstipasi masih belum dipahami. Konstipasi diyakini berhubungan dengan pengaruh dari sepertiga fungsi utama kolon yaitu: transpor mukosa (sekresi mukosa memudahkan gerakan isi kolon), aktivitas mioelektrik (pencampuran massa rektal), atau proses defekasi. Dorongan defekasi secara normal dirangsang oleh distensi rektal melalui empat tahap: rangsangan refleks penyekat rektoanal, relaksasi otot sfingter internal, relaksasi sfingter eksternal dan otot dalam region pelvik, dan peningkatan tekanan intra-abdomen. Gangguan salah satu dari empat proses ini dapat menimbulkan konstipasi (Smeltzer & Bare, 2008).

Membran mukosa rektal dan muskulatur menjadi tidak peka terhadap adanya massa fekal apabila dorongan untuk defekasi diabaikan. Hal ini mengakibatkan perlunya rangsangan yang lebih kuat untuk menghasilkan dorongan peristaltik tertentu agar terjadi defekasi. Efek awal retensi fekal adalah untuk menimbulkan kepekaan kolon, di mana pada tahap ini sering mengalami spasme, khususnya pada saat makan.

Kondisi ini dapat menimbulkan nyeri kolik midabdominal atau abdomen bawah. Setelah proses ini berlangsung sampai beberapa tahun, kolon kehilangan tonus dan menjadi sangat responsif terhadap rangsang normal sehingga terjadi konstipasi. Atoni usus juga terjadi pada proses penuaan yang dapat diakibatkan oleh penggunaan laksatif yang berlebihan (Smeltzer & Bare, 2008).

Ada tiga mekanisme yang berperan pada konstipasi idiopatik. Mekanisme itu terdiri dari peningkatan absorbsi cairan di kolon dengan transit normal, melambatnya transit dengan absorbsi normal, dan gangguan defekasi di mana pergerakan kolon tidak fungsional. Aktivitas motorik yang meningkat, menurun, dan normal ditemukan pada konstipasi. Gerakan maju mundur yang meningkatkan waktu kontak dari chyme atau isi lumen dengan mukosa dapat terjadi, jika kontraksi meningkat dalam amplitudo dan frekuensi yang tidak terkoordinasi.

Perpanjangan waktu kontak meningkatkan pengeringan feses, sehingga feses sulit didorong. Feses yang kering dapat mengakibatkan segmentasi dengan gerakan yang melambat. Hal ini membuat transit ampas metabolisme melambat dan akhirnya terjadi konstipasi (Simadibrata, 2006, dalam Sudoyo, dkk, 2006).

Manifestasi klinis

Manifestasi klinis mencakup distensi abdomen, borborigimus (gemuruh usus), rasa nyeri dan tekanan, penurunan nafsu makan, sakit kepala, kelelahan, tidak dapat makan, sensasi pengosongan tidak lengkap, mengejan saat defekasi, serta eliminasi volume feses sedikit, keras dan kering (Smeltzer & Bare, 2008).

Komplikasi

Rektum akan relaksasi dan hasrat untuk defekasi hilang apabila defekasi tidak sempurna. Air tetap terus di absorbsi dari massa feses yang menyebabkan feses menjadi keras, sehingga defekasi selanjutnya lebih sukar. Tekanan feses berlebihan menyebabkan kongesti vena hemoroidalis interna dan eksterna, dan merupakan salah satu penyebab hemoroid (vena varikosa rektum). Daerah anorektal sering merupakan tempat abses dan fistula. Kanker kolon dan rektum merupakan kanker saluran cerna yang paling sering terjadi pada penderita konstipasi (Price & Wilson, 2002). Komplikasi lain yang dapat terjadi adalah: hipertensi arterial, impaksi fekal, fisura, serta megakolon (Smeltzer & Bare, 2008).


Gambar Cara menangani KOnstipasi atau Sembelit

Penanganan Konstipasi

Penanganan yang digunakan pada masalah kontipasi, yang telah tertuang dalam Nursing Intervention Classification (NIC) meliputi: manajemen defekasi, manajemen konstipasi/ impaksi dan manajemen cairan (Wikinson, 2005).

Ketiga intervensi di atas masih memiliki berbagai jenis subintervensi/ aktivitas untuk diaplikasikan, dimana pemberian dan pengaturan cairan/ air merupakan komponen aktifitas yang tidak terpisahkan dari tiap intervensi tersebut (Dochterman & Bulechek, 2004). NIC belum menjelaskan secara spesifik mengenai waktu pemberian minum dan banyaknya air yang perlu dikonsumsi pada masalah konstipasi. Doenges (1993) telah menguraikan intervensi keperawatan pada konstipasi dengan mempertahankan masukan cairan 2500-3000 ml/ hari. Intervensi ini bertujuan untuk membantu memperbaiki konsistensi feses dan diberikan sesuai dengan toleransi jantung atau pada pasien-pasien yang tidak memiliki kontraindikasi terhadap masukan cairan yang banyak.

Penanganan konstipasi berikut ini akan dijelaskan berdasarkan 4 bentuk intervensi
keperawatan tersebut.

1. Observasi

Observasi terhadap konstipasi meliputi: waktu defekasi terakhir; pola defekasi termasuk frekuensi, konsistensi, bentuk, volume dan warna feses; bising usus; tanda dan gejala konstipasi dan impaksi; adanya inkontinensia fekal; masalah defekasi yang muncul sebelumnya; pola defekasi rutin; penggunaan laksatif; bentuk pengobatan yang menimbulkan efek samping gastrointestinal (Dochterman & Bulechek, 2004; Doenges, Moorhouse & Geissler, 1993; Smeltzer & Bare, 2008).

2. Terapi

Terapi-terapi keperawatan yang dapat dilakukan meliputi: program latihan defekasi; peningkatan masukan cairan (2500-3000 ml/ hari); terapi nutrisi (masukan serat 20- 30 g/ hari); impaksi fekal secara manual jika diperlukan; enema atau irigasi sesuai keperluan; terapi komplementer (akupresur, terapi herbal, refleksologi); manajemen stres; program latihan rutin untuk memperkuat otot abdomen (Doenges, Moorhouse & Geissler, 1993; LeMone & Burke, 2008; Lewis, Heitkemper & Dirksen, 2000; Smeltzer & Bare, 2008)

3. Pendidikan kesehatan

Pendidikan kesehatan yang diberikan meliputi pemberian informasi kepada pasien tentang makanan spesifik yang dapat membantu meningkatkan defekasi yang teratur, seperti mengkonsumsi makanan tinggi serat; menyarankan pasien atau anggota keluarga untuk mencatat warna, volume, frekuensi dan konsistensi feses; menganjurkan penurunan masukan makanan yang mengandung gas; menjelaskan hubungan diet/ nutrisi, latihan dan asupan cairan terhadap konstipasi; dan menjelaskan kepada pasien/ keluarga tentang proses pencernaan yang normal (Dochterman & Bulechek, 2004; Doenges, Moorhouse & Geissler, 1993; Smeltzer & Bare, 2008).

4. Kolaboratif

Intervensi kolaboratif berupa pemberian supositoria rektal jika diperlukan; pemberian laksatif jika diperlukan seperti: preparat pembentuk bulk, preparat salin dan osmotik, lubrikan, stimulan, atau pelunak feses (Smeltzer & Bare, 2008).

Sembelit atau konstipasi merupakan keadaan tertahannya feses (tinja) dalam usus besar pada waktu cukup lama karena adanya kesulitan dalam pengeluaran. Hal ini terjadi akibat tidak adanya gerakan peristaltik pada usus besar sehingga memicu tidak teraturnya buang air besar dan timbul perasaan tidak nyaman pada perut (Akmal, dkk, 2010).

Konstipasi merupakan keadaan individu yang mengalami atau berisiko tinggi mengalami stasis usus besar sehingga menimbulkan eliminasi yang jarang atau keras, serta tinja yang keluar jadi terlalu kering dan keras (Uliyah, 2008).

Konstipasi adalah suatu gejala bukan penyakit. Di masyarakat dikenal dengan istilah sembelit, merupakan suatu keadaan sukar atau tidak dapat buang air besar, feses (tinja) yang keras, rasa buang air besar tidak tuntas (ada rasa ingin buang air besar tetapi tidak dapat mengeluarkannya), atau jarang buang air besar. Seringkali orang berpikir bahwa mereka mengalami konstipasi apabila mereka tidak buang air besar setiap hari yang disebut normal dapat bervariasi dari tiga kali sehari hingga tiga kali seminggu (Herawati, 2012).

Klasifikasi Konstipasi

Ada 2 jenis konstipasi berdasarkan lamanya keluhan yaitu konstipasi akut dan konstipasi kronis. Disebut konstipasi akut bila keluhan berlangsung kurang dari 4 minggu. Sedangkan bila konstipasi telah berlangsung lebih dari 4 minggu disebut konstipasi kronik. Penyebab konstipasi kronik biasanya lebih sulit disembuhkan Kasdu ( 2005 ).

Patofisiologi Konstipasi

Pengeluaran feses merupakan akhir proses pencernaan. Sisa-sisa makanan yang tidak dapat dicerna lagi oleh saluran pencernaan, akan masuk kedalam usus besar ( kolon ) sebagai massa yang tidak mampat serta basah. Di sini, kelebihan air dalam sisa-sisa makanan tersebut diserap oleh tubuh. Kemudian, massa tersebut bergerak ke rektum ( dubur ), yang dalam keadaan normal mendorong terjadinya gerakan peristaltik usus besar.

Pengeluaran feses secara normal, terjadi sekali atau dua kali setiap 24 jam ( Akmal, dkk, 2010 ). Kotoran yang keras dan sulit dikeluarkan merupakan efek samping yang tidak nyaman dari kehamilan. Sembelit terjadi karena hormon-hormon kehamilan memperlambat transit makanan melalui saluran pencenaan dan rahim yang membesar menekan poros usus ( rektum ).

Suplemen zat besi prenatal juga dapat memperburuk sembelit. Berolahraga secara teratur, menyantap makanan yang kaya serat serta minum banyak air dapat membantu meredakan masalah tersebut ( Kasdu, 2005 ).

Tanda dan Gejala Konstipasi

Menurut Akmal, dkk (2010), ada beberapa tanda dan gejala yang umum ditemukan pada sebagian besar atau terkadang beberapa penderita sembelit sebagai berikut:

  1. Perut terasa begah, penuh dan kaku;
  2. Tubuh tidak fit, terasa tidak nyaman, lesu, cepat lelah sehingga malas mengerjakan sesuatu bahkan terkadang sering mengantuk;
  3. Sering berdebar-debar sehingga memicu untuk cepat emosi, mengakibatkan stress, rentan sakit kepala bahkan demam;
  4. Aktivitas sehari-hari terganggu karena menjadi kurang percaya diri, tidak bersemangat, tubuh terasa terbebani, memicu penurunan kualitas, dan produktivitas kerja;
  5. Feses lebih keras, panas, berwarna lebih gelap, dan lebih sedikit daripada biasanya;
  6. Feses sulit dikeluarkan atau dibuang ketika air besar, pada saat bersamaan tubuh berkeringat dingin, dan terkadang harus mengejan atupun menekannekan perut terlebih dahulu supaya dapat mengeluarkan dan membuang feses ( bahkan sampai mengalami ambeien/wasir );
  7. Bagian anus atau dubur terasa penuh, tidak plong, dan bagai terganjal sesuatu disertai rasa sakit akibat bergesekan dengan feses yang kering dan keras atau karena mengalami wasir sehingga pada saat duduk tersa tidak nyaman;
  8. Lebih sering bung angin yang berbau lebih busuk daripada biasanya; i. Usus kurang elastis ( biasanya karena mengalami kehamilan atau usia lanjut), ada bunyi saat air diserap usus, terasa seperti ada yang mengganjal, dan gerakannya lebih lambat daripada biasanya;
  9. Terjadi penurunan frekuensi buang air besar;

Adapun untuk sembelit kronis ( obstipasi ), gejalanya tidak terlalu berbeda hanya sedikit lebih parah, diantaranya:

  1. Perut terlihat seperti sedang hamil dan terasa sangat mulas;
  2. Feses sangat keras dan berbentuk bulat-bulat kecil;
  3. Frekuensi buang air besar dapat mencapai berminggu-minggu;
  4. Tubuh sering terasa panas, lemas, dan berat;
  5. Sering kurang percaya diri dan terkadang ingin menyendiri;
  6. Tetap merasa lapar, tetapi ketika makan akan lebih cepat kenyang (apalagi ketika hamil perut akan tersa mulas ) karena ruang dalam perut berkurang dan mengalami mual bahkan muntah.

Pengobatan Konstipasi

Menurut Herawati (2012), pengobatan konstipasi pada ibu hamil dapat dibagi menjadi dua cara, yaitu terapi non obat dan terapi obat.

  1. Terapi non obat
    Pada umumnya, konstipasi pada masa kehamilan dapat diatasi dengan melakukan penyesuaian pola makan dan perubahan gaya hidup. Makanan kaya serat (30-35%), misalnya gandum, buah-buahanan dan sayuran dapat meringankan konstipasi. Namun , mengkomsumsi makanan kaya serat dalam jumlah besar secara tiba-tiba dapat menyebabkan perut terasa tidak enak dan kembung. Ibu hamil sebaiknya mengkonsumsi makanan secara teratur dan minum air dalam jumlah cukup (6-8 gelas/hari). Perubahan gaya hidup, misalnya: olahraga teratur dapat memperbaiki saluran cerna.

  2. Terapi obat
    Obat pencahar digunakan apabila konstipasi tidak dapat diatasi dengan penyesuaian jenis makanan dan perubahan gaya hidup saja. Kriteria obat pencahar yang boleh diberikan kepada ibu hamil adalah:

  • Efektif,

  • Tidak diserap oleh saluran cerna,

  • Tidak teratogenik ( tidak menyebabkan cacat pada janin ), dan

  • Dapat ditoleransi dengan baik ( tidak menimbulkan efek samping pada ibu dan janin ).

    Terdapat beberapa golongan obat pencahar, antara lain: obat pencahar osmotik, pembentuk massa, dan stimulan. Obat pencahar pilihan untuk ibu hamil adalah hanya digunakan secara terbatas hanya jika konstipasi tidak dapat diatasi dengan obat pencahar osmotik.