Apa yang Dimaksud dengan Konsep Karya Sastra sebagai Teks?

image
Ilmu sastra berusaha untuk mempelajari hasil karya sastra umumnya berbentuk teks.

Apa yang dimaksud dengan konsep karya sastra sebagai teks?

Ilmu sastra bahkan sebenarnya merupakan cabang dari ilmu yang mempelajari teks secara umum. Dengan demikian, teks karya sastra merupakan salah satu jenis dari berbagai teks yang bisa kita temukan dalam kehidupan sehari-hari. Secara umum, teks adalah ungkapan bahasa yang memiliki kesatuan pragmatik, sintaksis, dan semantik atau isi. Kesatuan pragmatik berkaitan dengan konteks sosial penggunaan bahasa. Sebuah teks memiliki kesatuan sintaksis jika memiliki relevansi dan keruntutan. Sementara itu, kesatuan semantik atau isi berkaitan dengan tema global yang melingkupi semua unsur dalam sebuah teks.

Bersandar pada berbagai acuan, Pradotokusumo membagi teks menjadi tiga bagian: teks acuan, teks ekspresif, dan teks persuasif. Teks acuan berfungsi untuk menyatakan sesuatu yang mengacu pada konteks, yakni dunia riil yang mungkin ada. Teks ekspresif berfungsi untuk mengungkapkan perasaan, isi hati, dan kegelisahan dalam diri seorang pengarang. Teks persuasif digunakan untuk memengaruhi pendapat, perasaan, dan perbuatan pembaca agar mengikuti apa yang diinginkan oleh pengarang. Lebih jauh, teks acuan juga terbagi menjadi tiga: informatif, diskursif, dan instruktif. Teks informatif menyajikan berita faktual seperti surat kabar dan majalah. Teks diskursif mengaitkan fakta secara nalar seperti yang terdapat dalam tulisan karya ilmiah. Teks instruktif seperti buku pegangan atau petunjuk dan buku pelajaran berfungsi untuk memperluas keterampilan.

Sementara itu, teks persuasif terbagi menjadi teks evaluatif (seperti resensi buku) dan direktif (seperti propaganda). Berdasarkan pembagian ini, teks karya sastra seperti puisi, cerpen, dan drama, termasuk dalam teks ekspresif karena merupakan ungkapan hati dan perasaan pengarangnya. Menghadapi teks semacam ini, kita diajak secara total masuk ke dalam pengalaman kemanusiaan yang intens. Dalam kata-kata Prof. Robert Probst , karya sastra merupakan ”invitation to a passionate engagement with human experience.”

Sampai saat ini, di balik polemik dalam pendefinisian sastra karena para ahli terkenal sekalipun sering tidak berani menyatakan keberpihakannya secara gamblang, teks masih merupakan patokan utama karya sastra. Oleh karena itu, para ahli berusaha menentukan berbagai kriteria teks karya sastra. Seperti dijelaskan dalam problematika pendefinisian dan lanskap karya sastra, teks yang dianggap sebagai karya sastra seperti puisi dan novel memiliki karakteristik tertentu yang berbeda dengan teks-teks nonsastra seperti berita koran dan buku manual pesawat televisi.

Kriteria khas teks karya sastra membutuhkan cara baca tersendiri. Cara ini lebih dikenal dengan istilah “membaca sastra”. Cara membaca sastra ini tentu sangat berbeda dengan cara membaca teks biasa. Karya sastra seperti puisi memiliki rangkaian makna luas yang terkandung dalam untaian kata yang singkat tapi padat atau cerita pendek yang sering banyak menggunakan metafora dan gaya bahasa tertentu. Oleh karena itu, tak jarang pembaca mengalami kesulitan dalam mengidentifikasi makna yang terkandung dalam puisi. Tanpa menggunakan cara baca yang memadai, proses pembacaan karya sastra tidak akan menghasilkan pemaknaan yang komprehensif.

Untuk membantu pembaca memahami teks sastra, Henry Widdowson dalam bukunya Stylistics and the Teaching of Literature mengusulkan penggunaan stilistika sebagai penengah antara disiplin ilmu linguistik dan ilmu kritik sastra atau antara subjek bahasa (Inggris) dan sastra (Inggris). Menurut Widdowson, stilistika pada dasarnya bukan merupakan sebuah disiplin ilmu, tetapi merupakan suatu sarana untuk menghubungkan antara kedua disiplin dan subjek tersebut. Dalam hal ini, stilistika yang berusaha untuk menjembatani antara kedua disiplin (linguistik dan kritik sastra) atau dua subjek (bahasa dan sastra) bisa membantu pemahaman pembaca dengan bergerak dari arah bahasa
dan sastra ke arah linguistik dan kritik sastra.

Sejalan dengan Widdowson, Jacob Mey (2005) mengusulkan penggunaan fitur-fitur linguistik seperti reference, deixis, tense, (untuk teks berbahasa Inggris), dan diskursus sebagai salah satu alat bantu untuk membaca karya sastra. Ketika memahami sebuah puisi atau novel berbahasa Inggris, seorang pembaca bisa menggunakan reference (rujukan kata ganti) seperti she, he, her, atau his dan juga deixis (penunjuk arah/lokasi) seperti this, that, here, dan there untuk memahami pesan yang dimaksud oleh pengarang. Di samping reference dan deixis, proses membaca sastra juga bisa memanfaatkan tense. Seorang pembaca, misalnya, harus memahami bahwa kalimat subjunctive seperti I wish you were my red rose hanyalah sebuah pengandaian yang sesungguhnya tidak terjadi sehingga maksud dari kalimat tersebut adalah you are not my red rose. Begitu pula halnya dengan jenis tense lain seperti present tense, past tense, dan conditional sentence atau kalimat bersyarat.

Selain memahami makna hubungan antarkata dalam kalimat, pembaca juga harus memahami keterkaitan antara satu kalimat dengan yang lain pada tataran yang lebih luas dan disebut dengan diskursus. Pada tataran ini, aspekaspek yang memungkinkan sebuah proses penciptaan makna atau pesan secara sosial terjadi secara bergabung dan bersatu padu. Pada tahap ini, makna atau pesan yang ingin disampaikan pengarang melalui tulisan ditangkap oleh pembaca melalui media teks yang dibaca dan dipahami dengan menggunakan kaidah-kaidah pemahaman konvensional.

Meskipun di Indonesia tidak mengenal tense berupa perubahan bentuk kata kerja, seperti halnya bahasa Inggris, bahasa Indonesia juga memiliki reference dan deixis. Dengan demikian, seperti dijelaskan sebelumnya, kedua aspek tersebut dapat digunakan dalam menganalisis teks sastra berbahasa Indonesia. Pada tingkat yang lebih tinggi, proses pemaknaan teks akan lebih komprehensif dengan menggunakan analisis diskursus yang membahas keterkaitan antara kalimat dalam sebuah teks sehingga bisa menghasilkan wacana tersendiri.