Apa yang dimaksud dengan konseling bersifat membantu atau helping relationship?

Hubungan antara tenaga ahli (konselor) dengan individu yang dibantunya (konseli/klien) memiliki dinamika dan keunikan dibanding hubungan membantu yang lain. Selain itu konseling juga merupakan hubungan yang bersifat terapiutik (terapeutic relationship), hal ini didasarkan bahwa dengan adanya konseling bertujuan meringankan beban psikologis, memecahkan masalah hidup dan menyehatkan mental individu yang memiliki masalah (May, 1997).

Apa yang dimaksud dengan konseling bersifat membantu atau helping relationship ?

Pada hakekatnya hubungan dalam konseling itu bersifat membantu (helping relationship). Hubungan membantu itu berbeda dengan memberi (giving) atau mengambil alih pekerjaan orang lain. Membantu tetap memberi kepercayaan kepada klien untuk bertanggungjawab dan menyelesaikan segala masalah yang dihadapinya. Hubungan konseling tidak bermaksud mengalihkan pekerjaan klien kepada konselor, tetapi memotivasi klien untuk lebih bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri mengatasi masalahnya.

Hubungan konseling mempunyai kualitas tersendiri yang mungkin tidak terdapat dalam hubungan lain.

Menurut Surya (2003) ada beberapa kualitas hubungan konseling yang tidak dapat dijumpai dalam hubungan lain, yaitu:

  1. Ketulusan konselor dalam melakukan hubungan membantu ditandai dengan sikap ramah, hangat, bersahabat, dsb, dapat menggugah klien untuk lebih meyakini dirinya.

  2. Pemahaman yang diberikan konselor terhadap klien dengan segala latar belakang dan masalah-masalahnya dapat membuat klien merasa diterima.

  3. Ketulusan orang,akan diperoleh dan berkembang melalui interaksi dengan konselor yang tulus.

  4. Resiko yang timbul dari hubungan dengan konselor, dengan sendirinya tidak menimbulkan akibat yang bersifat merusak, akan tetapi dapat menunjang perkembangan.

  5. Respon-respon baru, akan diperoleh melalui serangkaian interaksi dalam hubungan yang bersifat membantu. Dalam konseling, klien belajar bagaimana membuat respon yang baru dan efektif dalam berinteraksi dengan lingkungan.

Dari beberapa penjelasan mengenai kualitas dalam hubungan konseling dapat diambil kesimpulan bahwa sebenarnya hubungan yang dibangun dalam proses konseling antara konselor dan klien memiliki keunikan tersendiri. Selain itu terdapat beberapa pendapat tentang karakteristik hubungan yang terbina dalam proses konseling.

George dan Cristiani (1990) dalam Latipun (2004) mengemukakan enam karakteristik dinamika dan keunikan hubungan konseling dibandingkan dengan hubungan membantu yang lainnya. Keenam karakteristik itu adalah sebagai berikut:

  1. Afeksi

    Hubungan konselor dan klien pada dasarnya lebih sebagai hubungan afektif daripada sebagai hubungan kognitif. Hubungan afektif tercermin sepanjang proses konseling, termasuk dalam melakukan eksplorasi terhadap persepsi dan perasaan-perasaan subyektif klien. Hubungan yang penuh afeksi ini dapat mengurangi rasa kecemasan dan ketakutan pada klien, dan diharapkan hubungan konselor dan klien lebih produktif.

  2. Intensitas

    Hubungan konseling dilakukan dengan penuh intensitas. Hubungan konselor dan klien yang intensitas ini diharapkan dapat saling terbuka terhadap persepsinya masing-masing. Tanpa adanya hubungan yang intensitas hubungan konseling tidak akan mencapai pada tingkatan yang diharapkan. Konselor biasanya mengupayakan agar hubungannya dengan klien dapat berlangsung secara mendalam sejalan dengan perjalanan hubungan konseling.

  3. Pertumbuhan dan perubahan

    Hubungan konseling bersifat dinamis. Hubungan konseling terus berkembang sebagaimana perubahan dan pertumbuhan yang terjadi pada konselor dan klien. Hubungan tersebut dikatakan dinamis jika dari waktu ke waktu terus terjadi peningkatan hubungan konselor dengan klien, penagalaman bagi klien, dan tanggung jawabnya. Dengan demikian pada klien terjadi pengalaman belajar untuk memahami dirinya sekaligus bertanggung jawab untuk mengembangkan dirinya.

  4. Privasi

    Pada dasarnya dalam hubungan konseling perlu adanya keterbukaan klien. Keterbukaan klien tersebut bersifat konfidensial (rahasia). Konselor harus menjada kerahasiaan seluruh informasi tentang klien dan tidak dibenarkan mengemukakan secara transparan kepada siapa pun tanpa seizin klien. Perlindungan atau jaminan hubungan ini adalah unik dan akan meningkatkan kemauan membuka diri.

  5. Dorongan

    Konselor dalam hubungan konseling memberikan dorongan (supportive) kepada klien untuk meningkatkan kemampuan dirinya dan berkembang sesuai dengan kemampuannya. Dalam hubungan konseling, monselor juga perlu memberikan dorongan atas keinginannya untuk perubahan perilaku dan memperbaiki keadaannya sendiri sekaligus memberi motivasi untuk berani mengambil risiko dari keputusannya

  6. Kejujuran

    Hubungan konseling didasarkan atas saling kejujuran dan keterbukaan, serta adanya komunikasi terarah antara konselor dengan kliennya. Dalam hubungan ini tidak ada sandiwara dengan jalan menutupi klemahan, atau menyatakan yang bukan sejatinya. Klien maupun konselor harus membangun hubungannya secara jujur dan terbuka. Kejujuran menjadi prasyarat bagi keberhasilan konseling.

Menurut Shostrom dan Brammer (1982) mengemukakan juga beberapa karakteristik hubungan dalam konseling. Beberapa karakteristik itu adalah:

  1. Unik dan Umum

    Hubungan yang bersifat unik artinya bahwa hubungan antara konselor dengan konseli/klien dalam konseling mempunyai ciri khas yang membedakannya dengan bentuk hubungan yang lain. Setiap konselor dan klien memiliki perbedaan individu yang membuat umumnya proses konseling menjadi sulit. Dalam hal ini keefektifan konselor dalam membantu individu dapat tercapai jika ia mengetahui dengan jelas bagaimana kepribadian dan tujuan sebagai penolong (helper), memperlihatkan sikap-sikap dasar tertentu (sebagai helper) terhadap inividu dan dapat mendemonstrasikan kemampuan-kemampuan yang berfungsi dasar untuk menolong individu (klien).

    Beberapa keunikan hubungan dalam proses konseling juga terletak pada:

    • sikap dan perilaku konselor dan klien,
    • strukturnya yang terencana dan bersifat terapiutik,
    • adanya penerimaan terhadap klien secara penuh oleh konselor.

    Sedangkan hal yang bersifat umum adalah terletak dalam karakteristik hubungan juga terdapat dalam berbagai bentuk situasi hubungan antar manusia seperti hubungan antara guru dengan murid, keluarga, sahabat, dsb.

  2. Keseimbangan antara aspek obyektivitas dan subyektivitas

    Dalam proses konseling interaksi konselor dengan klien tidak seluruhnya bersifat obyektif, akan tetapi juga tidak seluruhnya subyektif. Hubungan dalam konseling terdapat kesimbangan antara hal-hal yang bersifat obyektif dan yang bersifat subyektif. Aspek Obyektif lebih mengarah pada aspek hubungan yang bersifat kognitif, ilmiah. Hal ini dapat diartikan bahwa klien selain menjadi obyek ”studi” atau sebagai bagian dari manusia yang mengalami penderitaan maka konselor menghargai cara pandang dan nilai-nilai yang ada pada klien tanpa harus memberikan penilaian personal.

    Sedangkan subjektifitas hubungan ditandai dengan segi kehangatan dan perpaduan psikologis antara konselor dan klien. Pada intinya kehangatan dan keterlibatan emosional antara konselor dan klien akan dipandang sebagai sesuatu yang subjektif atau memiliki arti subjektif tersendiri khususnya bagi klien.

  3. Terdapat unsur kognitif dan afektif

    Dalam proses konseling, hubungan antara konselor dan klien memiliki keseimbangan antara aspek kognitif dan aspek afektif. Aspek kognitif menyangkut proses intelektual seperti pemindahan informasi, pemberian nasehat pada berbagai macam tindakan ataupun pengintrepretasian data tentang klien. Sedangkan aspek afektif mengarah pada ekspresi perasaan dan sikap.

  4. Unsur kesamar-samaran (ambiguity) dan kejelasan

    Dalam proses konseling terdapat unsur kesamar-samaran dan kejelasan dalam arti pada situasi tertentu konselor memberikan rangsangan tersamar, sedangakan dalam situasi lain konselor memberikan rangsangan yang jelas. Hal ini dimaksudkan agar konselor dapat memperoleh informasi atau bagaimana cara pandang klien terhadap masalah yang dialaminya. Selain itu konselor dapat memberikan penguatan terhadap pemikiran, perasaan atau sikap positif klien yang mendukung dalam pemecahan klien.

  5. Adanya unsur tanggung jawab

    Dalam hubungan konseling tanggung jawab tidak seluruhnya ada pada konselor tetapi juga tidak seluruhnya ada pada klien. Perwujudan dari tanggungjawab ini adalah antara konselor dan klien sama-sama memiliki tanggungjawab dalam tujuan maupun komitmen yang dibangun antar keduanya.

Sumber :
Mulawarman, Eem Munawaroh, Psikologi Konseling: Sebuah Pengantar bagi Konselor Pendidikan, Universitas Negeri Semarang