Apa yang dimaksud dengan Konflik?

Konflik

Konflik merupakan suatu gejala sosial yang selalu muncul dalam kehidupan warga negara, baik dalam lingkup kecil seperti dalam keluarga maupun lingkup luas seperti dalam berkehidupan berbangsa dan bernegara.

Konflik bersifat inheren artinya konflik akan senantiasa ada dalam setiap ruang dan waktu, di mana saja dan kapan saja dalam kehidupan masyarakat. Dalam hal ini, masyarakat merupakan arena konflik atau arena pertentangan dan integrasi yang senantiasa berlangsung setiap saat. Oleh sebab itu, konflik dan integrasi sosial merupakan gejala yang selalu mengisi setiap kehidupan berbangsa dan bernegara.

Hal-hal yang mendorong timbulnya konflik dan integrasi adalah adanya persamaan dan perbedaan kepentingan tiap individu.

Apa yang dimaksud dengan Konflik ?

Konflik ( conflict ) secara etimologis berasal dari bahasa latin yaitu configere yang mempunyai arti saling memukul. Menurut Antonius (2002) konflik merupakan sebuah tindakan salah satu pihak yang berdampak menghalangi, menghambat, atau mengganggu pihak lain di mana hal ini dapat terjadi antarkelompok dalam masyarakat ataupun dalam hubungan antar pribadi tiap individu.

Hal tersebut sejalan dengan pendapat Deutsch, seorang tokoh yang mendalami bidang resolusi konflik yang menyatakan bahwa dalam konflik, interaksi sosial antar individu atau kelompok lebih dipengaruhi oleh perbedaan daripada oleh persamaan oleh karena itu mengakibatkan adanya suatu benturan karena adanya hal-hal yang tidak sejalan.

Sedangkan menurut Scannell (2010) konflik adalah suatu hal alami dan normal yang timbul karena perbedaan persepsi tiap tujuan atau nilai dalam sekelompok individu dan sudah biasa terjadi dalam kehidupan bermasyarakat.

Webster menegaskan bahwa istilah “ conflict ” menurut bahasa aslinya berarti suatu perkelahian, peperangan, atau perjuangan. Konflik adalah persepsi atau sudut pandang mengenai perbedaan kepentingan ( perceived divergence of interest ), atau suatu kepercayaan dan keyakinan bahwa aspirasi pihak-pihak yang berkonflik tidak dapat dicapai secara simultan karena adanya perbedaan-perbedaan.

Menurut Watkins, konflik terjadi apabila terdapat terdapat dua pihak yang secara potensial dan praktis/ operasional saling menghambat kepentingan masing-masing. Secara potensial, artinya salah satu pihak atau kedua belah pihak memiliki kemampuan untuk menghambat. Secara praktis/ operasional, artinya kemampuan menghambat tadi bisa diwujudkan dan ada di dalam keadaan yang memungkinkan perwujudannya secara mudah untuk dilakukan.

Konflik merupakan sebuah aspek intrinsik dan tidak mungkin dapat dihindarkan dalam perubahan sosial dalam kehidupan masyarakat. Konflik adalah sebuah ekspresi heterogenitas kepentingan, nilai, dan keyakinan yang muncul sebagai formasi baru yang ditimbulkan oleh perubahan sosial yang muncul bertentangan dengan hambatan yang diwariskan oleh masyarakat terdahulu atau sebelumnya (Miall, 2002).

Menurut Pruitt & Jeffery (2009) konflik sebagai sebuah persepsi mengenai perbedaan kepentingan (Perceived divergence of interest ), atau suatu kepercayaan yang beranggapan bahwa aspirasi yang dimiliki pihak-pihak berkonflik tidak dapat menemui suatu titik temu yang sejalan. Kepentingan yang dimaksud adalah perasaan orang mengenai apa yang sesungguhnya diinginkannya dalam hidup, di mana perasaan tersebut cenderung bersifat sentral dalam pikiran dan tindakan orang yang membentuk inti dari banyak sikap serta tujuan dan niatnya.

Ritzer (2005) menyatakan bahwa teori konflik sebenarnya masih berada dalam satu naungan paradigma dengan teori fungsional struktural, akan tetapi keduanya memiliki sudut pandang yang berbeda. Teori fungsional struktural menilai konflik adalah suatu hal fungsional. Sementara teori konflik menyoroti fakta sosial berupa wewenang dan posisi yang justru merupakan sumber pertentangan dalam kehidupan sosial. Perbedaan tersebut pada gilirannya dapat memicu timbulnya konflik dalam masyarakat.

Berdasarkan berbagai definisi mengenai konflik yang telah disampaikan oleh para ahli di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pengertian konflik dalam hal ini adalah sebuah pertikaian yang terjadi baik antara individu dengan individu lain, kelompok dengan kelompok lain ataupun antara individu dengan kelompok karena beberapa alasan serta pertikaian menunjukkan adanya perbedaan antara dua atau lebih individu yang diekspresikan, diingat, dan di alami yang berupa perselisihan, adanya ketegangan atau munculnya kesulitan-kesulitan lain di antara dua pihak atau lebih dan sampai kepada tahap di mana pihak-pihak yang terlibat memandang satu sama lain sebagai penghalang dan pengganggu tercapainya kebutuhan dan tujuan dari masing-masing pihak.

Jenis Konflik


Hunt & Metcalf (1996) membagi konflik menjadi dua jenis, yaitu intrapersonal conflict (konflik intrapersonal) dan interpersonal conflict (konflik interpersonal).

  • Konflik intrapersonal adalah konflik yang terjadi dalam diri individu itu sendiri atau biasa disebut dengan konflik batin, misalnya ketika keyakinan yang dipegang individu bertentangan dengan nilai budaya masyarakat, atau keinginannya tidak sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Hal ini tentu sudah umum dialami oleh masing-masing individu.

    Semua individu pasti pernah mengalami konflik intrapersonal dalam dirinya dan tiap individu memiliki cara yang berbeda untuk mengelola atau melakukan manajemen pada konflik intrapersonal yang dihadapi. Konflik intrapersonal ini bersifat psikologis, yang jika tidak mampu di atasi dengan baik dapat menggangu bagi kesehatan psikologis atau kesehatan mental ( mental hygiene ) individu bersangkutan yang mengalami konflik intrapersonal.

  • Konflik interpersonal ialah konflik yang terjadi antarindividu (melibatkan paling minimal dua individu). Konflik ini terjadi dalam setiap lingkungan sosial, seperti dalam keluarga, kelompok teman sebaya, sekolah, masyarakat, negara bahkan dengan warga negara dari negara lain (global).

    Konflik ini dapat berupa konflik antarindividu dan kelompok, baik di dalam sebuah kelompok ( intragroup conflict ) maupun konflik antarkelompok ( intergroup conflict ).

Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Konflik


Potensi munculnya konflik di masyarakat terjadi ketika dilakukan kontak antara permerintah dengan warga negara maupun antarwarga negara. Sebagai individu yang terorganisasi dalam kelompok, setiap warga negara ingin mencari jalan sesuai dengan pandangan masing-masing untuk memenuhi tujuan hidupnya masing-masing.

Peluang untuk memenuhi tujuan itu hanya melalui pilihan bersaing secara sehat untuk mendapatkan apa yang dibutuhkan, atau terpaksa terlibat dalam konflik dengan pihak yang lain jika kepentingan menjadi bertentangan. Konflik sebagai akibat dari menajamnya perbedaan dan kerasnya pertentangan kepentingan yang saling berhadapan antarwarga negara, disebabkan oleh berbagai faktor.

  • Pertama , adanya faktor politik, ekonomi dan sosial budaya yang berbeda dan memiliki pengaruh yang sangat kuat terhadap munculnya konflik.

  • Kedua , terdapatnya pemikiran yang menciptakan ketidak sepahaman antara seorang warga negara yang satu dengan yang lain.

  • Ketiga , adanya sikap tidak simpatik terhadap suatu pihak, sistem dan mekanisme yang ada dalam sebuah kelompok maupun antarkelompok masyarakat.

  • Keempat, adanya rasa tidak puas terhadap kelompok masyarakat, rasa tidak senang, iri, dengki dan lain-lain, sementara tidak dapat berbuat apa-apa dan apabila harus meningggalkan kelompok akan beresiko menanggung dampak buruk yang lebih besar.

  • Kelima , adanya rasa gengsi untuk mempertahankan harga diri yang berlebihan dan berakibat pada tindakan untuk melakukan rekayasa dan manipulasi untuk mencapai tujuan yang diinginkan tersebut (Hidayat, 2002).

Fisher (2001) juga memberikan penjelasan mengenai teori penyebab konflik yang ada dan berkembang dalam masyarakat.

  • Pertama, teori hubungan dalam masyarakat, bahwa konflik yang terjadi di tengah-tengah masyarakat lebih disebabkan oleh adanya polarisasi, ketidakpercayaan ( distrust ) maupun permusuhan antar anggota kelompok maupun antar kelompok.

  • Kedua, teori negosiasi prinsip, bahwa konflik disebabkan oleh posisi-posisi yang tidak selaras serta perbedaan pandangan tentang konflik antara pihak-pihak yang terlibat di dalam konflik yang terjadi.

  • Ketiga, teori kebutuhan manusia, bahwa konflik yang muncul di tengah masyarakat disebabkan perebutan kebutuhan dasar manusiawi, seperti kebutuhan fisik, mental dan sosial yang tidak terpenuhi dalam perebutan tersebut dan akhirnya menimbulkan konflik.

  • Keempat, teori identitas, bahwa konflik lebih disebabkan identitas yang terancam atau berakar dari hilangnya sesuatu serta ingatan akan penderitaan masa lalu yang tidak terselesaikan dengan baik dalam masyarakat.

  • Kelima, teori transformasi konflik, bahwa konflik disebabkan oleh hadirnya masalah-masalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan dalam ranah kehidupan sosial, ekonomi, politik dan kebudayaan sehingga menimbulkan ketimpangan dan kesenjangan yang signifikan.

Penjelasan di atas sesuai dengan pendapat Setiadi & Kolip (2011) yang menyatakan bahwa akar dari timbulnya konflik yang paling sering terjadi yaitu adanya hubungan sosial, ekonomi, politik yang berujung pada perebutan atas sumber-sumber kepemilikan, status sosial dan kekuasaan yang jumlah ketersediaanya sangat terbatas dengan pembagian yang tidak merata di masyarakat.

Ketidakmerataan pembagian aset-aset sosial di dalam masyarakat tersebut dianggap sebagai bentuk ketimpangan atau kesenjangan. Kesenjangan pembagian ini menimbulkan pihak-pihak tertentu berjuang untuk mendapatkannya atau menambahinya bagi yang perolehan aset sosial relatif sedikit atau kecil. Sementara pihak yang telah mendapatkan pembagian aset sosial banyak atau besar berusaha untuk mempertahankan dan bisa juga untuk menambahinya karena sifat manusia yang tidak pernah puas dengan apa yang sudah dimiliki.

Pihak yang cenderung mempertahankan dan menambahinya disebut sebagai status quo dan pihak yang berusaha mendapatkannya disebut sebagai status need .

Menurut Setiadi & Kolip (2011), pada dasarnya, secara sederhana penyebab konflik dibagi dua, antara lain sebagai berikut.

1. Kemajemukan Horizontal

Struktur masyarakat yang majemuk secara sosial dan kultural, seperti suku bangsa, agama, ras dan majemuk sosial dalam arti perbedaan pekerjaan dan profesi seperti militer, petani, nelayan, buruh, pedagang, pengusaha, pegawai negeri, wartawan, sopir, dan lain sebagainya.

Kemajemukan horizontal-kultural menimbulkan konflik yang masing-masing unsur kultural tersebut mempunyai karakteristik sendiri dan setiap penganut kebudayaan tersebut ingin mempertahankan karakteristik yang dimiliki budayanya masing-masing (Hierro & Gallego, 2016).

Dalam masyarakat yang strukturnya seperti ini, jika belum ada konsensus nilai yang menjadi pegangan bersama, konflik yang terjadi dapat menimbulkan konflik yang sering dikenal dengan konflik SARA (suku, agama, ras dan budaya).

2. Kemajemukan Vertikal

Struktur vertikal dalam masyarakat yang terpolarisasi berdasarkan kedudukan, kekayaan, pendidikan, dan kekuasaan (Warren & Visser, 2016).

Kemajemukan vertikal dapat menimbulkan konflik sosial kerena ada sekelompok masyarakat yang memiliki kedudukan yang tinggi, kekayaan, pendidikan yang mapan, kekuasaan dan kewenangan yang besar, sementara sebagian relatif tidak memiliki kedudukan yang tinggi, kurang memiliki kekayaan, pendidikan rendah, dan tidak memiliki kekuasaan dan kewenangan. Pembagian masyarakat seperti ini merupakan benih subur bagi timbulnya konflik sosial karena menjadikan kesenjangan atau ketimpangan yang cukup mencolok dalam masyarakat (Setiadi & Kolip, 2011).

Menurut Narwoko & Suyanto (2004) beberapa sosiolog menjabarkan banyak faktor yang menyebabkan terjadinya konflik di masyarakat, antara lain perbedaan pendiriaan dan keyakinan, perbedaan kebudayaan serta perbedaan kepentingan. Perbedaan pendirian dan keyakinan orang perorangan telah menyebabkan konflik antarindividu.

Dalam konflik seperti ini sering terjadi bentrokan pendirian, dan masing-masing pihak pun berusaha melumpuhkan bahkan melenyapkan lawannya. Melenyapkan disini tidak selalu diartikan sebagai pembinasaan fisik, tetapi bisa pula diartikan dalam bentuk pemusnahan simbolik atau melenyapkan pikiran-pikiran lawan yang tidak sejalan (Brandt et al, 2014).

Kemudian perbedaan kebudayaan tidak hanya akan menimbulkan konflik antar individu atau antar warga negara, akan tetapi bisa juga antar kelompok dalam suatu negara. Pola-pola kebudayaan yang berbeda akan menimbulkan pola kepribadian dan pola perilaku yang berbeda pula dalam masyarakat.

Selain itu, perbedaan kebudayaan akan mengakibatkan adanya sikap etnosentrisme yaitu sikap yang ditunjukkan oleh suatu kelompok, bahwa kelompoknya adalah yang paling baik dan unggul, sedangkan kelompok lain buruk. Jika tiap kelompok yang ada di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sama-sama memiliki sikap demikian, maka sikap ini akan memicu timbulnya konflik antar penganut kebudayaan, apalagi dalam negara multikultural seperti Indonesia (Hinner, 2017).

Perbedaan kepentingan, mengejar tujuan kepentingan masing-masing warga negara yang berbeda-beda, mereka akan bersaing dan pada akhirnya berkonflik untuk memperebutkan kesempatan dan sarana yang ada dalam kehidupan demi kepentingan masing-masing.

Faktor-faktor yang memunculkan konflik seperti menurut pendapat para ahli di atas biasanya sangat berkaitan dengan sikap-sikap dan perilaku masyarakat yang ditandai dengan hal-hal berikut ini.

  1. Rasisme, merupakan sebuah paham yang membenarkan dominasi satu kelompok ras tertentu terhadap kelompok lainnya atau perasaan superioritas yang berlebihan terhadap kelompok sosial tertentu, biasanya kelompok mayoritas akan melakukan tindakan-tindakan tidak menyenangkan dan diskriminasi dalam berbagai bentuk pada kelompok minoritas (Richeson, 2018).

  2. Elitisme, merujuk pada pemujaan yang berlebihan terhadap strata atau kelas sosial yang berdasarkan kekayaan, jabatan, kekuasaan dan materi serta kenikmatan menjadi tujuan utama kehidupan (Fumurescu, 2018).

  3. Gender, merupakan keyakinan bahwa jenis kelamin tertentu memiliki kelebihan atas jenis kelamin lainnya, dalam hal ini biasanya isu yang sering terjadi ialah dominasi kaum laki-laki terhadap perempuan (Siim, 2012).

  4. Usia, menunjuk pada sikap-sikap negatif pesimis terhadap proses ketuaan yang dialami individu.

  5. Prasangka atau sikap negatif terhadap orang yang memiliki perbedaan tertentu seperti kecacatan atau disabilitas, baik disabilitas fisik maupun disabilitas mental (grahita).

Menurut Soekanto (2010: 98) dalam perspektif ilmu sosiologi, konflik dalam masyarakat terjadi karena pribadi maupun kelompok menyadari adanya perbedaan-perbedaan fisik, emosi, unsur-unsur kebudayaan pola perilaku dengan masyarakat lain.

Salah satu sebab terjadinya konflik ialah karena reaksi yang diberikan seseorang atau kelompok yang berkonflik dalam situasi yang sama namun dengan pandangan atau perspektif yang berbeda-beda. Selain itu, konflik mudah terjadi apabila prasangka telah berlangsung sejak lama.

Faktor penyebab atau akar-akar pertentangan atau konflik (Soekanto, 2010) antara lain,

  1. Perbedaan antara individu-individu yaitu perbedaan pendirian dan perasaan yang rentan melahirkan bentrokan antar masyarakat;

  2. Perbedaan kebudayaan yakni perbedaan kepribadian dari orang perorangan tergantung pula dari pola-pola kebudayaan yang menjadi latar belakang pembentukan serta perkembangan kepribadian;

  3. Perbedaan kepentingan antara individu maupun kelompok merupakan salah satu sumber dari pertentangan baik kepentingan ekonomi, politik, sosial, pendidikan dan lain sebagainya;

  4. Perubahan sosial yang berlangsung dengan cepat akan mengubah nilai-nilai yang ada dalam masyarakat yang dapat menyebabkan munculnya golongan-golongan yang memiliki pemikiran baru dan pendirian yang berbeda.

Pendapat selanjutnya disampaikan oleh Francis (2006: 29) yang mengatakan bahwa terdapat tiga hal penyebab konflik, di antaranya sebagai berikut.

  1. Komunikasi, terkadang apa yang disampaikan oleh informan bisa ditangkap berbeda oleh penerima informasi ( miss komunikasi), salah mengartikan suatu kalimat, bahasa dan penyampaian yang tidak tepat bisa menimbulkan persepsi yang berbeda;

  2. Struktur, pertarungan kekuasaan antara pemilik kepentingan atau sistemnya yang bertentangan, persaingan untuk merebutkan sumber daya yang terbatas, atau saling ketergantungan dua atau lebih kelompok- kelompok kegiatan kerja untuk mencapai tujuan mereka yang berbeda-beda;

  3. Pribadi, persepsi dari setiap individu berbeda-beda serta memiliki kepentingan yang berbeda-beda pula serta perubahan dalam nilai-nilai persepsi mengikuti perkembangan zaman.

Selain hal-hal di atas, menurut Pruitt yang memungkinkan terjadinya konflik, di antaranya adalah sebagai berikut.

  1. Prestasi masa lalu, apresiasi akan bangkit ketika prestasi meningkat dan jatuh ketika prestasi menurun. Ini disebabkan karena orang merasa lebih berpengharapan ketika segala sesuatu bertambah baik dan kurang berpengharapan ketika sesuatu bertambah buruk, seperti halnya kebijakan yang dibuat dan dilakukan oleh pemerintah. Warga negara akan selalu mengapresiasi ketika kinerja pemerintah bagus namun jika kinerja pemerintah buruk, masyarakat juga akan memberikan punishment dalam berbagai bentuk seperti demonstrasi dan lain-lain.

  2. Persepsi mengenai kekuasaan, aspirasi juga cenderung meningkat untuk alasan-alasan yang realistis ketika orang berhadapan dengan seseorang atau sebuah kelompok yang sumber dayanya dianggap berharga dan tampak lebih lemah dari pada dirinya sendiri. Bila aspirasi pihak lain tidak menurun secara bersamaan dengan meningkatnya aspirasinya sendiri, maka konflik yang bersifat eksploitatif menjadi sangat mungkin terjadi, hal ini biasanya terjadi di daerah-daerah yang memiliki sumber daya alam melimpah namun sumber daya manusianya terbatas.

  3. Pembandingan dengan orang lain, orang cenderung mengidentifikasikan diri dengan para anggota kelompok lain yang berdekatan atau yang memiliki kesamaan dalam beberapa hal dengan kelompoknya sendiri. Bila kelompok tersebut berprestasi lebih baik atau selangkah lebih maju daripada kelompoknya sendiri, maka hal ini akan menstimulasi terjadinya peningkatan pada aspirasinya sendiri, yang kemudian akan mengarah pada terjadinya konflik.

Ada dua kemungkinan manajemen konflik, yakni secara positif maupun negatif, jika dilakukan penyelesaian secara positif maka yang akan muncul berupa motivasi diri untuk lebih giat dan akan bersaing secara sehat namun pada umumnya banyak pula yang melakukan penyelesaian negatif sehingga sering terjadi peristiwa saling menjatuhkan, fitnah, kekerasan dan lain sebagainya.

Terbentuknya kelompok pejuang ( Struggle Group ), ketika beberapa orang dengan kepentingan laten (tidak disadari) yang sama saling bercakap-cakap, maka kepentingan laten mereka sering kali muncul pada kesadaran. Setelah merasa yakin dengan pendirian masing-masing, mereka mungkin akan mulai mengembangkan aspirasi baru dengan membentuk suatu kelompok, yang dapat mengarah ke konflik dengan orang lain yang kepentingannya bertentangan dengan aspirasi tersebut. Dalam hal ini konflik yang terjadi biasanya lebih dari dua orang atau berkelompok (Pruitt & Jeffery, 2009).

Bentuk-Bentuk Konflik


Konflik merupakan suatu gejala sosial yang selalu muncul dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara. Di dalam kehidupan masyarakat, terdapat beberapa bentuk konflik dilihat dari sudut pandang yang berbeda-beda. Berdasarkan sifatnya, konflik yang ada dalam kehidupan masyarakat dapat dibedakan menjadi konflik destruktif dan konflik konstruktif, penjelasannya sebagai berikut.

  1. Konflik Destruktif, merupakan konflik yang muncul karena adanya perasaan tidak senang, rasa benci dan dendam dari seseorang ataupun kelompok terhadap pihak lain yang disebabkan oleh faktor-faktor tertentu. Penyelesaian dalam konflik ini biasanya bersifat negatif (Andersen, 2006). Pada konflik ini terjadi kekerasan yang mengakibatkan hilangnya nyawa dan harta benda seperti konflik dalam perang Sampit, konflik Poso, konflik Ambon dan lain sebagainya.

  2. Konflik Konstruktif, merupakan konflik yang bersifat fungsional, konflik ini muncul karena adanya perbedaan pendapat dari individu-individu atau kelompok-kelompok dalam menghadapi suatu permasalahan (Rogers, 2017).

    Konflik ini akan menghasilkan suatu konsensus dari berbagai pendapat tersebut dan menghasilkan suatu perbaikan. Penyelesaian konflik konstruktif ini dikenal cenderung lebih halus dari konflik destruktif. Misalnya perbedaan pendapat dalam sebuah organisasi yang nantinya akan dimusyawarahkan hingga mencapai mufakat, dan jika tidak tercapai maka akan dilakukan voting .

Berdasarkan posisi pelaku yang berkonflik, konflik dibedakan menjadi konflik vertikal, konflik horizontal dan konflik diagonal.

  • Konflik vertikal, merupakan konflik antar komponen masyarakat di dalam satu struktur yang memiliki hierarki atau susunan yang sistematis dari atas kebawah dan sebaliknya (Hall et al, 2015). Contohnya, konflik yang terjadi antara atasan dengan bawahan dalam sebuah perusahaan, contoh lain misal antara pemerintah dengan rakyat.

  • Konflik horizontal, merupakan konflik yang terjadi antara individu atau kelompok yang memiliki kedudukan yang relatif sama dan cenderung setara atau sejajar (Hillesund, 2018). Contohnya konflik yang terjadi antar organisasi massa atau antar masyarakat, antar karyawan yang memiliki kedudukan sama dalam sebuah perusahaan.

  • Konflik diagonal, merupakan konflik yang terjadi karena adanya ketidakadilan alokasi sumber daya ke seluruh organisasi sehingga menimbulkan pertentangan yang ekstrim antara banyak pihak pada berbagai bidang. Contohnya konflik yang terjadi di Aceh dan Papua terkait dengan ketidakmerataan ekonomi yang dibangun oleh pemerintah (Kusnadi, 2002).

Berdasarkan pihak-pihak yang terlibat dalam konflik, Stoner & Freeman (1989) membagi konflik dalam enam bentuk sebagai berikut.

  • Konflik dalam diri individu ( conflict within the individual ) terjadi dalam diri seorang individu. Misalnya jika seseorang harus memilih tujuan yang saling bertentangan atau karena tuntutan tugas yang melebihi batas kemampuannya. Sehingga terjadi konflik batin dalam dirinya.

  • Konflik antarindividu ( conflict among individuals ) terjadi pada lebih dari satu individu, biasanya karena perbedaan persepsi dan kepribadian ( personality differences ) antara individu yang satu dan individu yang lain. Hal ini dikarenakan tiap manusia memiliki pandangan, pemikiran dan kepentingan yang berbeda-beda.

  • Konflik antara individu dan kelompok ( conflict among individuals and groups ) biasanya terjadi karena individu gagal melakukan adaptasi dengan norma-norma kelompok tempat ia bekerja, bergaul dan atau ia tinggal.

  • Konflik antarkelompok dalam organisasi yang sama ( conflict among groups in the same organization ) terjadi karena masing-masing kelompok memiliki tujuan yang berbeda dan masing-masing berupaya untuk mencapainya sehingga seringkali menemui konflik dalam mencapai tujuan kelompok.

  • Konflik antarorganisasi ( conflict among organizations ) terjadi jika tindakan yang dilakukan oleh organisasi menimbulkan dampak negatif bagi organisasi lainnya (Plocharczyk, 2006). Misalnya, dalam perebutan sumber daya yang sama sehingga terjadi kasus saling menjatuhkan dan bersaing dengan cara yang tidak sehat.

  • Konflik antarindividu dalam organisasi yang berbeda ( conflict among individuals in different organizations ) terjadi sebagai akibat sikap atau perilaku dari anggota suatu organisasi yang berdampak negatif bagi anggota organisasi yang lain namun konflik tidak terjadi dalam seluruh organisasi, hanya individu yang terlibat. Misalnya, seorang manager perusahaan yang menyatakan keberatan atas pemberitaan yang yang dibuat oleh seorang jurnalis surat kabar tertentu.

Sementara itu menurut Dahrendorf, konflik dapat dibedakan atas empat macam antara lain sebagai berikut.

  • Konflik yang terjadi antara peranan sosial, atau biasa disebut dengan konflik peran. Setiap individu tentunya memiliki persamaan maupun perbedaan dalam menjalankan perannya sebagai salah satu anggota masyarakat. Terkadang dalam menjalankan peran tersebut terdapat perbedaan pendapat, perbedaan antara ekspektasi dan realita yang berujung pada konflik.

  • Konflik antara kelompok-kelompok sosial. Dalam suatu negara terdapat berbagai kelompok sosial yang hidup di dalamnya. Masing-masing kelompok tersebut memiliki tujuan dan cara kerja yang berbeda-beda, apabila adanya tujuan dan cara kerja yang berbeda tersebut tidak di integrasikan dengan baik maka akan timbul konflik.

  • Konflik antara kelompok-kelompok yang terorganisir dan tidak terorganisir. Konflik ini biasanya terjadi karena ketimpangan antarkelompok yang terorganisir dan tidak terorganisir.

  • Konflik antara satuan nasional, seperti antar partai politik, antar daerah, antar negara, maupun organisasi internasional. Konflik-konflik seperti ini biasanya terjadi karena satu kelompok memandang bahwa kelompok yang lain menghambat dan merugikan kepentingannya.

Selanjutnya menurut pendapat Soekanto (2010), terdapat lima bentuk khusus konflik yang terjadi dalam masyarakat. Kelima bentuk itu yaitu konflik pribadi, konflik politik, konflik sosial, konflik antar kelas sosial, dan konflik yang bersifat internasional.

  1. Konflik pribadi, yaitu konflik yang terjadi di antara individu karena masalah-masalah pribadi atau perbedaan pandangan antarpribadi dalam menyikapi suatu permasalahan tertentu.

  2. Konflik politik, yaitu konflik yang terjadi akibat perebutan kekuasaan atau tujuan politis yang berbeda antara seseorang atau kelompok tertentu. Seperti perbedaan pandangan dan tujuan antarpartai politik karena perbedaan dasar ideologi, asas perjuangan yang dipakai, dan cita-cita politik tiap partai yang berbeda. Misalnya adanya tindakan saling menjatuhkan dan bentrok saat terjadi kampanye.

  3. Konflik rasial, yaitu konflik yang terjadi di antara kelompok ras yang berbeda karena adanya kepentingan dan kebudayaan yang saling bertabrakan atau karena sifat etnosentrisme yang dimiliki salah satu pihak maupun kedua belah pihak. Misalnya konflik yang sering terjadi pada etnis Cina di Indonesia.

  4. Konflik antarkelas sosial, yaitu konflik yang muncul karena adanya kesenjangan dan ketimpangan serta perbedaan-perbedaan kepentingan di antara kelas-kelas sosial yang ada di masyarakat. Misalnya konflik antara pemilik modal dan pegawai.

  5. Konflik yang bersifat internasional, yaitu konflik yang melibatkan dua negara atau lebih karena perbedaan kepentingan masing-masing negara yang berbeda. Misalnya konflik antara Uni Soviet dengan Amerika Serikat yang bersumber pada masalah perbedaan ideologi yang juga melibatkan negara-negara lain pendukungnya.

Dampak Konflik terhadap Masyarakat


Konflik mempunyai dampak besar terhadap kehidupan umat manusia, baik secara individual maupun kelompok. Konflik mempunyai dampak secara positif dan juga negatif. Kedua dampak tersebut masing-masing menciptakan perubahan bagi kehidupan manusia. Konflik mengubah dan mengembangkan kehidupan manusia, bisa menjadi lebih baik ataupun menjadi lebih buruk. Positif atau negatifnya akibat konflik-konflik memang tergantung dari persoalan yang dipertentangkan, tergantung pula dari struktur sosial yang menjadi ajang berlangsungnya konflik dan tergantung bagaimana resolusi konflik yang dipakai untuk menyelesaikan konflik tertentu. Oleh karena itu disini akan dijelaskan dua teori dampak dari adanya konflik terhadap masyarakat.

Dampak positif dari adanya konflik

  1. Bertambahnya solidaritas internal dan rasa in-group suatu kelompok (Suyanto & Narwoko, 2004). Apabila terjadi pertentangan antara kelompok sendiri dengan kelompok lain, solidaritas antar anggota di dalam masing-masing kelompok itu akan meningkat sekali. Solidaritas di dalam suatu kelompok, yang pada situasi normal sulit dikembangkan, akan langsung meningkat pesat saat terjadinya konflik dengan pihak-pihak luar dan cenderung agresif untuk mencapai tujuan kelompok.

  2. Konflik di dalam masyarakat biasanya akan menggugah warga masyarakat yang semula pasif menjadi aktif dalam memainkan peranan tertentu di dalam masyarakat, hal ini karena munculnya rasa empati maupun simpati dari warga masyarakat.

  3. Menciptakan perubahan, dimana konflik berpengaruh besar terhadap kehidupan manusia. Konflik dapat mengubah dan mengembangkan kehidupan umat manusia, contohnya konflik antara penjajah dan bangsa yang dijajah menghasilkan kemerdekaan bangsa-bangsa yang terjajah.

  4. Menstimulus cara berpikir yang kritis dan meningkatkan kreativitas , konflik akan mendorong orang untuk berpikir kritis terhadap posisi lawan konfliknya dan posisi dirinya sendiri. Orang harus memahami mengapa lawan konfliknya mempunyai pendapat yang berbeda dan mempertahankan pendapatnya. Kreativitasnya meningkat yang digunakan dalam menyusun strategi dan tak-tik untuk menghadapi adanya konflik tersebut.

  5. Konflik menciptakan revitalisasi norma , norma yang berlaku dan mengatur kehidupan masyarakat berkembang lebih lambat daripada perkembangan mayoritas anggota masyarakatnya. Perubahan norma sering dimulai dengan terjadinya perbedaan pendapat mengenai norma yang berlaku antara pihak yang ingin mempertahankannya dan anggota masyarakat yang ingin mengubahnya. Seringkali, perbedaan pendapat tersebut berkembang menjadi konflik destruktif. Apabila konflik tersebut dapat dikelola dengan baik, maka norma baru yang merupakan revitalisasi norma yang ada akan berkembang. (Wirawan, 2010).

Dampak negatif dari adanya konflik

  1. Bubarnya kesatuan kelompok . Jika konflik tak berhasil diselesaikan dengan jalan yang baik dan pada akhirnya menimbulkan kekerasan, maka sudah dapat dipastikan bahwa kesatuan kelompok yang mengalami konflik akan mengalami kemunduran bahkan kehancuran.

  2. Adanya perubahan kepribadian individu . Artinya, di dalam suatu kelompok yang mengalami konflik, maka seorang individu atau sekelompok orang yang semula memiliki kepribadian pendiam, penyabar bisa saja berubah menjadi beringas, agresif dan mudah marah, lebih-lebih jika konflik tersebut berujung pada kekerasan karena terbawa emosi. Hal ini karena munculnya trauma dan rasa marah dalam diri seseorang yang mengalami konflik (Setiadi & Kolip, 2011).

  3. Lunturnya nilai-nilai dan norma sosial yang ada . Antara nilai-nilai dan norma sosial dengan konflik terdapat hubungan yang bersifat korelasional atau saling berhubungan, artinya bisa saja terjadinya konflik berdampak pada hancurnya nilai-nilai dan norma sosial yang sudah dibangun dan hidup dalam masyarakat, hal ini disebabkan oleh ketidakpatuhan anggota masyarakat akibat dari konflik kemudian terjadinya hukum yang memihak sehingga norma dianggap tidak efektif dan banyak anggota masyarakat yang tidak mematuhi (Suyanto & Narwoko, 2005).

  4. Merusak hubungan dan komunikasi di antara pihak-pihak yang terlibat konflik . Konflik, terutama konflik destruktif menurunkan kualitas dan intensitas hubungan antara pihak-pihak yang terlibat konflik. Konflik dapat menimbulkan rasa tidak senang, marah dan benci kepada lawan konflik. Bahkan akibat fatalnya bisa berujung kekerasan. Keadaan ini merusak hubungan di antara pihak-pihak yang terlibat konflik dan komunikasi di antara mereka. Jika sebelum konflik hubungan yang terjalin harmonis maka setelah terjadi konflik akan muncul ketegangan dan permusuhan.

  5. Menurunkan mutu pengambilan keputusan . Konflik yang konstruktif atau sehat membantu dalam pengambilan keputusan dengan menyediakan alternatif yang diperlukan. Diskusi mengenai perbedaan pendapat, argumentasi, dan konflik pemikiran merupakan sumber alternatif yang diperlukan dalam pengambilan keputusan. Akan tetapi, jika konflik berkembang menjadi konflik destruktif dan tidak sehat akan menghasilkan kebuntuan diskusi serta menimbulkan sikap saling tak percaya. Situasi seperti ini akan menghasilkan pengambilan keputusan yang kurang bermutu karena tergesa-gesa dan dibawah tekanan serta rasa amarah.

  6. Sikap dan perilaku negatif dalam suatu konflik akan menghilangkan rasa saling percaya antara kedua belah pihak atau lebih yang terlibat dalam konflik . Biasanya setelah terjadi konflik akan muncul perasaan untuk tidak mempercayai lawan konfliknya dan selalu muncul prasangka buruk.

  7. Mengganggu kesehatan . Pihak yang terlibat konflik biasanya akan emosional, marah, kecewa bahkan stres. Keadaan ini memungkinkan seseorang tekanan darahnya meningkat, terkena struk dan serangan jantung. Selanjutnya, keadaan tersebut akan menyebabkan seseorang sakit dan bahkan meninggal dunia (Wirawan, 2010).

Kemudian terdapat pendapat dari Soekanto (2010) terkait dengan akibat yang dapat ditimbulkan oleh adanya konflik, antara lain adalah sebagai berikut.

  1. Bertambahnya solidaritas in-group . Jika suatu kelompok menghadapi konflik dengan kelompok yang lain, biasanya rasa solidaritas akan menguat dengan sendirinya untuk menghadapi konflik tersebut. Contohnya bisa kita lihat dalam kasus-kasus yang sering menimpa kelompok pendukung klub sepakbola.

  2. Hancurnya atau retaknya kesatuan kelompok . Jika konflik yang terjadi adalah internal dalam kelompok, maka kemungkinan yang terjadi akan berbeda dengan konflik yang terjadi eksternal dengan kelompok lain. Apabila konflik yang terjadi adalah internal dalam kelompok, maka keretakan dalam kelompok justru yang paling dimungkinkan akan terjadi.

  3. Perubahan kepribadian para individu . Konflik sosial pada umumnya membentuk opini yang berbeda, terdapat pihak-pihak yang pro, kontra dan netral dalam suatu konflik. Misalnya orang yang setuju dan mendukung konflik, ada pula yang menaruh simpati kepada kedua belah pihak, ada pribadi-pribadi yang tahan menghadapi situasi konflik, akan tetapi ada yang merasa tertekan dan terguncang, sehingga menimbulkan penderitaan pada batinnya dan merupakan suatu penyiksaan batin sehingga bisa merubah kepribadian dari seorang individu, perubahan ini bisa mengarah pada hal yang positif ataupun negatif. Tergantung dari manajemen konflik yang dilakukan.

  4. Hancurnya harta benda dan jatuhnya korban manusia . Setiap konflik yang tidak ditangani dengan damai umumnya membawa kehancuran dan kerusakan bagi lingkungan yang ada sekitarnya. Hal ini disebabkan masing-masing pihak yang berkonflik mengerahkan segala kekuatan untuk memenangkan pertikaian dengan bentuk kekerasan. Peristiwa ini menyebabkan penderitaan yang berat bagi pihak-pihak yang bertikai. Hancurnya harta benda dan jatuhnya korban jiwa adalah wujud nyata akibat konflik yag berakhir dengan kekerasan. Biasanya terjadi dalam bentuk demonstrasi yang anarkis, tawuran dan perang.

  5. Akomodasi, dominasi dan takluknya salah satu pihak . Jika setiap pihak yang berkonflik mempunyai kekuatan seimbang, maka muncullah proses akomodasi. Akomodasi menunjuk pada proses penyesuaian antara individu dengan individu-individu dengan kelompok, maupun kelompok dengan kelompok guna mengurangi, mencegah, atau mengatasi ketegangan dan kekacauan serta kekerasan akibat konflik. Namun apabila terjadi ketidakseimbangan antara kekuatan-kekuatan pihak yang mengalami konflik menyebabkan dominasi yang berkuasa dan minoritas yang terdiskriminasi.

Pengertian Konflik

Konflik merupakan gejala sosial yang serba hadir dalam kehidupan sosial, sehingga konflik bersifat inheren artinya konflik akan senantiasa ada dalam setiap ruang dan waktu, dimana saja dan kapan saja. Dalam pandangan ini, masyarakat merupakan arena konflik atau arena pertentangan dan integrasi yang senantiasa berlangsung. Oleh sebab itu, konflik dan integrasi sosial merupakan gejala yang selalu mengisi setiap kehidupan sosial. Hal-hal yang mendorong timbulnya konflik dan integrasi adalah adanya persamaan dan perbedaan kepentingan sosial.

Di dalam setiap kehidupan sosial tidak ada satu pun manusia yang memiliki kesamaan yang persis, baik dari unsur etnis, kepentingan, kemauan, kehendak, tujuan dan sebagainya. Dari setiap konflik ada beberapa diantaranya yang dapat diselesaikan, akan tetapi ada juga yang tidak dapat diselesaikan sehingga menimbulkan beberapa aksi kekerasan. Kekerasan merupakan gejala tidak dapat diatasinya akar konflik sehingga menimbulkan kekerasan dari model kekerasan yang terkecil hingga peperangan.

Istilah “konflik” secara etimologis berasal dari bahasa Latin “con” yang berarti bersama dan “fligere” yang berarti benturan atau tabrakan. Pada umumnya istilah konflik sosial mengandung suatu rangkaian fenomena pertentangan dan pertikaian antar pribadi melalui dari konflik kelas sampai pada pertentangan dan peperangan internasional. Coser mendefinisikan konflik sosial sebagai suatu perjuangan terhadap nilai dan pengakuan terhadap status yang langka, kemudian kekuasaan dan sumber-sumber pertentangan dinetralisir atau dilangsungkan atau dieliminir saingannya.

Konflik artinya percekcokan, perselisihan dan pertentangan. Sedangkan konflik sosial yaitu pertentangan antar anggota atau masyarakat yang bersifat menyeluruh dikehidupan.3 Konflik yaitu proses pencapaian tujuan dengan cara melemahkan pihak lawan, tanpa memperhatikan norma dan nilai yang berlaku. Dalam pengertian lain, konflik adalah merupakan suatu proses sosial yang berlangsung dengan melibatkan orang-orang atau kelompokkelompok yang saling menantang dengan ancaman kekerasan.

Menurut lawang konflik diartikan sebagai perjuangan untuk memperoleh hal-hal yang langka seperti nilai, status, kekuasaan dan sebagainya dimana tujuan mereka berkonflik itu tidak hanya memperoleh keuntungan tetapi juga untk menundukkan pesaingnya. Konflik dapat diartikan sebagai benturan kekuatan dan kepentingan antara satu kelompok dengan kelompok lain dalam proses perebutan sumber2 kemasyarakatan (ekonomi, politik, sosial dan budaya) yang relatif terbatas. Dari berbagai pengertian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa konflik adalah percekcokan, perselisihan dan pertentangan yang terjadi antar anggota atau masyarakat dengan tujuan untuk mencapai sesuatu yang diinginkan dengan cara saling menantang dengan ancaman kekerasan.

konflik sosial adalah salah satu bentuk interaksi sosial antara satu pihak dengan pihak lain didalam masyarakat yang ditandai dengan adanya sikap saling mengancam, menekan, hingga saling menghancurkan. Konflik sosial sesungguhnya merupakan suatu proses bertemunya dua pihak atau lebih yang mempunnyai kepentingan yang relative sama terhadap hal yang sifatnya terbatas Dalam bentuknya yang ekstrem, konflik itu dilangsungkan tidak hanya sekedar untuk mempertahankan hidup dan eksistensi, akan tetapi juga bertujuan sampai ketaraf pembinasaan eksistensi orang atau kelompok lain yang dipandang sebagai lawan atau saingannya.

Bentuk-bentuk Konflik

Secara garis besar berbagai konflik dalam masyarakat dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa bentuk konflik berikut ini :

a. Berdasarkan sifatnya

Berdasarkan sifatnya, konflik dapat dibedakan menjadi konflik destruktuif dan konflik konstruktif.

  1. Konflik Destruktif Merupakan konflik yang muncul karena adanya perasaan tidak senang, rasa benci dan dendam dari seseorang ataupun kelompok terhadap pihak lain. Pada konflik ini terjadi bentrokan-bentrokan fisik yang mengakibatkan hilangnya nyawa dan harta benda seperti konflik Poso, Ambon, Kupang, Sambas, dan lain sebagainya.

  2. Konflik Konstruktif Merupakan konflik yang bersifat fungsional, konflik ini muncul karena adanya perbedaan pendapat dari kelompok-kelompok dalam menghadapi suatu permasalahan. Konflik ini akan menghasilkan suatu konsensus dari berbagai pendapat tersebut dan menghasilkan suatu perbaikan. Misalnya perbedaan pendapat dalam sebuah organisasi.

b. Berdasarkan Posisi Pelaku yang Berkonflik

  1. Konflik Vertikal Merupakan konflik antar komponen masyarakat di dalam satu struktur yang memiliki hierarki. Contohnya, konflik yang terjadi antara atasan dengan bawahan dalam sebuah kantor.

  2. Konflik Horizontal Merupakan konflik yang terjadi antara individu atau kelompok yang memiliki kedudukan yang relatif sama. Contohnya konflik yang terjadi antar organisasi massa.

  3. Konflik Diagonal Merupakan konflik yang terjadi karena adanya ketidakadilan alokasi sumber daya ke seluruh organisasi sehingga menimbulkan pertentangan yang ekstrim. Contohnya konflik yang terjadi di Aceh.

Soerjono Soekanto membagi konflik sosial menjadi lima bentuk yaitu:

  1. Konflik atau pertentangan pribadi, yaitu konflik yang terjadi antara dua individu atau lebih karena perbedaan pandangan dan sebagainya.

  2. Konflik atau pertentangan rasial, yaitu konflik yang timbul akibat perbedaan-perbedaan ras.

  3. Konflik atau pertentangan antara kelas-kelas sosial, yaitu konflik yang terjadi disebabkan adanya perbedaan kepentingan antar kelas sosial.

  4. Konflik atau pertentangan politik, yaitu konflik yang terjadi akibat adanya kepentingan atau tujuan politis seseorang atau kelompok.

  5. Konflik atau pertentangan yang bersifat internasional, yaitu konflik yang terjadi karena perbedaan kepentingan yang kemudian berpengaruh pada kedaulatan negara.

Sementara itu, Ralf Dahrendorf mengatakan bahwa konflik dapat dibedakan atas empat macam, yaitu sebagai berikut :

  1. Konflik antara atau yang terjadi dalam peranan sosial, atau biasa disebut dengan konflik peran. Konflik peran adalah suatu keadaan di mana individu menghadapi harapanharapan yang berlawanan dari bermacam-macam peranan yang dimilikinya.

  2. Konflik antara kelompok-kelompok sosial.

  3. Konflik antara kelompok-kelompok yang terorganisir dan tidak terorganisir.

  4. Konflik antara satuan nasional, seperti antar partai politik, antar negara, atau organisasi internasional.

Referensi

http://digilib.uinsby.ac.id/314/5/Bab%202.pdf

Konflik berasal dari bahasa latin, conflictus yang artinya pertentangan. Defenisi konflik menurut para ahli sangatlah bervariasi karena para ahli melihat konflik dari berbagai sudut pandang atau perspektif yang berbeda-beda . Akan tetapi secara umum konflik dapat digambarkan sebagai benturan kepentingan antar dua pihak atau lebih, di mana salah satu pihak merasa diperlukan secara tidak adil, kemudian kecewa. Dan kekecewan itu dapat diwujudkan melalui konflik dengan cara-cara yang legal dan tidak legal. Konflik juga diartikan sebagai hubungan antara dua pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki atau merasa sasaran- sasaran yang tidak sejalan. Proposisi yang mengemukakan pandangan sistematis tentang segala dengan menjabarkan relasi di antara variabel untuk menjelaskan dan meramalkan gejala tersebut. Konflik ini terjadi di antara kelompok-kelompok dengan tujuan untuk memperebutkan hal-hal yang sama.

Secara umum ada dua tujuan dasar konflik yakni, mendapatkan dan/atau mempertahankan sumber-sumber. Tujuan konflik untuk mendapatkan sumber-sumber merupakan ciri manusia yang bersifat materil-jasmaniah untuk maupun spiritual- rohaniah untuk dapat hidup secara layak dan terhormat dalam masyarakat. Yang ingin diperoleh manusia meliputi hal-hal yang sesuai dengan kehendak bebas dan kepentinganya. Tujuan konflik untuk mempertahankan sumber-sumber yang selama ini sudah dimiliki juga merupakan kecenderungan hidup manusia. Manusia ingin memperoleh sumber-sumber yang menjadi miliknya, dan berupaya mempertahankan dari usaha pihak lain untuk merebut atau mengurangi sumber-sumber tersebut. Yang ingin di pertahankan bukan hanya harga diri, keselamatan hidup dan keluarganya, tetapi juaga wilayah/daerah tempat tinggal, kekayaan, dan kekuasaan yang dimiliki. Tujuan mempertahankan diri tidak menjadi monopoli manusi saja karena binatang sekalipun memiliki watak untuk berupaya mempertahankan diri.

Penyebab Konflik

Timbulnya konflik kepentingan menurut Dahrendorf6, berawal dari orang- orang yang tinggal bersama dan meletakkan dasar-dasar bagi bentuk-bentuk organisasi sosial, dimana terdapat posisi-posisi dalam hal mana para penghuni mempunyai kekuasaan memerintah dalam konteks-konteks tertentu dan menguasai posisi-posisi tertentu, serta terdapat posisi lain dimana para penghuni menjadi sasaran perintah demikian itu. Perbedaan ini berhubungan baik sekali dengan ketidak seimbangan distribusi kekuasaan yang melahirkan konflik kepentingan itu.

Dahrendorf melihat hubungan yang erat antara konflik dengan perubahan dalam hal ini sejalan dengan pendapat Lewis Coser bahwa seluruh aktifitas, inovasi dan perkembangan dalam kehidupan kelompoknya dan masyarakatnya disebabkan terjadinya konflik antara kelompok dan kelompok, individu dan individu serta antara emosi dan emosi didalam diri individu. Dahrendorf juga menjelaskan bahwa konflik sosial mempunyai sumber struktur, yakni hubungan kekuasaan yang berlaku dalam struktur organisasi sosial. Dengan kata lain, konflik antar kelompok dapat dilihat dari sudut konflik tentang keabsahan kekuasaan yang ada.

Menurut Maurice Duverger, penyebab terjadinya konflik adalah:

  1. Sebab- sebab individual. Sebab-sebab individual seperti kecendrungan berkompetisi atau selalu tidak puas terhadap pekerjaan orang lain dapat menyebabkan orang yang mempunyai ciri-ciri seperti ini selalu terlibat dalam konflik dengan orang lain dimanapun berada.

  2. Sebab-sebab kolektif, adalah penyebab konflik yang terbentuk oleh kelompok sebagai hasil dari interaksi sosial antara anggota-anggota kelompok. Penyebab konflik ini dihasilkan oleh adanya tantangan dan masalah yang berasal dari luar yang dianggap mengancam kelompoknya.

Bentuk – Bentuk Konflik

Dalam teori konflik terdapat beberapa bentuk konflik dan tertuju pada permasalahan konflik, seperti yang dikemukakan oleh para ilmuan barat, masalah konflik tidak mengenal demokratisasi maupun diktatorisasi dan bersifat universal.

Menurut teori Fisher, pola konflik dibagi ke dalam tiga bentuk :

  1. Konflik laten yaitu konflik yang sifatnya tersembunyi dan perlu diangkat kepermukaan sehingga dapat ditangani secara efektif.

  2. Konflik manifest atau terbuka yaitu konflik yang berakar dalam dan sangat nyata, dan memerlukan bebagai tindakan untuk mengatasi akar penyebab dan berbagai macam efeknya.

  3. Sedangkan konflik permukaan memiliki akar yang dangkal atau tidak berakar dan muncul hanya karena kesalahpahaman mengenai sesuatu yang dapat diatasi dengan menggunakan komunikasi.

Menurut Maurice Duverger ada tiga bentuk konflik yang berkaitan dengan kekuasaan atau politik antara lain

  1. Konflik yang sama sekali tidak mempunyai dasar prisipil, bentuk konflik ini berhubungan langsung dengan masalah praktis bukan dengan masalah ideologi yang dilakukan baik oleh individu maupun golongan atau kelompok.

  2. Konflik yang lebih menitik beratkan kepada perbedaan pandangan baik individual maupun kelompok yang menyangkut dengan masalah partai politik atau yang berhubungan dengan kepentingan partai politik, masyarakat yang dianggap mewakili rakyat.

  3. Konflik yang menitik beratkan kepada permasalahan perbedaan ideologi, masing-masing memperjuangkan ideologi partainya yang semuanya merasa benar.

Menurut Coser ada dua bentuk dasar konflik yaitu konflik realistis dan konflik non-realistis. Konflik realistis adalah konflik yang mempunyai sumber konkrit atau bersifat material, seperti perebutan wilayah atau kekuasaan, dan konflik ini bisa teratasi kalau diperoleh dengan merebut tanpa perkelahian dan pertikaian.

Konflik non-realistis adalah konflik yang didorong oleh keinginan yang tidak rasional dan cenderung bersifat ideologis, seperti konflik antar agama dan organisasi- organisasi masyarakat, dan konflik non-realistis adalah satu cara mempertegas atau menurunkan ketegangan suatu kelompok. Dalam sejarah Indonesia baik pada masa kolonial maupun pada masa pasca kemerdekaan konflik ini dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu :

  1. Konflik vertikal, yaitu konflik yang terjadi antar negara atau antara aparat negara dengan warga negara baik secara individual maupun kelompok, seperti pemberontakan bersenjata yang bertujuan memisahkan diri dari NKRI.

  2. Konflik horizontal, yaitu konflik yang terjadi antar kelompok-kelompok diberbagai lokasi biasanya dilandasi oleh suatu sentimen subyektif yang sangat mendalam yang diyakini warganya seperti sentimen kesukuan atau sentimen organisasi.

Dampak Konflik

Menurut Fisher suatu konflik tidak selalu berdampak negatif, tapi ada kalanya konflik juga memiliki dampak positif. Dampak positif dari suatu konflik adalah sebagai berikut :

  1. Konflik dapat memperjelas berbagai aspek kehidupan yang masih belum tuntas.

  2. Adanya konflik menimbulkan penyesuaian kembali norma- norma dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat.

  3. Konflik dapat meningkatkan solidaritas diantara angota kelompok.

  4. Konflik dapat mengurangi rasa ketergantungan terhadap individu atau kelompok.

  5. Konflik dapat memunculkan kompromi baru.

Dampak negatif dari suatu konflik adalah sebagai berikut :

  1. Keretakan hubungan antar individu dan persatuan kelompok.

  2. Kerusakan harta benda bahkan dalam tingkatan konflik yang lebih tinggi dapat mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang.

  3. Berubahnya kepribadian para individu atau anggota kelompok.

  4. Munculnya dominasi kelompok pemenang atas kelompok yang kalah.

Konflik elit politik terbentuk karena adanyan penguasa politik. Karena tidak ada masyarakat yang tidak mempunyai penguasa politik artinya, tidak ada masyarakat yang tidak mempunyai konflik politik. Dalam hal ini konflik politik yang terutama adalah konflik antar penguasa politik dalam melihat objek kekuasaan politik. Konflik dapat terjadi karena salah satu pihak memiliki aspirasi tinggi atau karena alternativ yang bersifat dinilai sulit didapat. Konflik dapat juga didepenisikan sebagai suatu perbedaan persepsi mengenai kepentingan bermanfaat untuk meramalkan apa yang di lakukan orang. Hal ini di sebabkan persepsi yang biasanya mempunyai dampak yang bersifat segera terhadap perilaku.

Secara etimologi, konflik (conflict) berasal dari bahasa latin configere yang berarti saling memukul. Menurut Antonius, dkk. konflik adalah suatu tindakan salah satu pihak yang berakibat menghalangi, menghambat, atau mengganggu pihak lain yang mana hal ini dapat terjadi antar kelompok masyarakat atau dalam hubunagn antar individu.

Selain itu, ahli lain mendefinisikan konflik sebagai interaksi sosial antar individu atau kelompok yang lebih dipengaruhi oleh perbedaan daripada persamaan. Sedangkan menurut Mary Scannell, konflik adalah suatu hal alami dan normal yang timbul karena adanya perbedaan persepsi atau biasa disebut pandangan, tujuan atau nilai dalam sekolompok individu.

Koentjaraningrat (1981) mengatakan bahwa konflik merupakan suatu proses atau keadaan di mana dua pihak atau lebih berusaha untuk saling menggagalkan tujuan masing-masing, karena adanya perbedaan pendapat, nilai-nilai ataupun tuntunan dari masing-masing kelompok. Konflik juga bisa diartikan sebagai suatu ekspresi pertentangan antara dua pihak yang saling bergantung yang memiliki tujuan berbeda dan berusaha untuk menggagalkan tujuan dari pihak lain.

Hunt and Metcalf (1996) membagi konflik menjadi dua jenis, yaitu intrapersonal conflict (konflik intrapersonal) dan interpersonal conflict (konflik interpersonal). Konflik intrapersonal adalah konflik yang terjadi dalam diri individu sendiri, misalnya ketika keyakinan yang dipegang individu bertentangan dengan nilai budaya masyarakat, atau keinginannya tidak sesuai dengan kemampuannya. Konflik intrapersonal ini bersifat psikologis, yang jika tidak mampu diatasi dengan baik dapat menggangu bagi kesehatan psikologis atau kesehatan mental (mental hygiene) individu yang bersangkutan.

Sedangkan konflik interpersonal ialah konflik yang terjadi antar individu. Konflik ini terjadi dalam setiap lingkungan sosial, seperti dalam keluarga, kelompok teman sebaya, sekolah, masyarakat dan negara. Konflik ini dapat berupa konflik antar individu dan kelompok, baik di dalam sebuah kelompok (intragroup conflict) maupun antar kelompok (intergroup conflict). Dalam penelitian ini titik fokusnya adalah pada konflik yang terjadi pada masa khulafa‟ ar-Rasyidin, dan bukan konflik dalam diri individu (intrapersonal conflict).

Macam-Macam Konflik


Dalam sebuah konflik tentu saja banyak macamnya. Diantaranya adalah sebagai berikut:

Dilihat dari segi pihak yang terlibat dalam konflik.

  1. Konflik individu dengan individu; Konflik semacam ini dapat terjadi antara individu yang satu dengan individu lainnya. Misalnya, antara individu karyawan dengan bos, karyawan dengan karyawan, ketua dengan sekretaris, dan masih banyak lagi lainnya.

  2. Konflik individu dengan kelompok; Konflik semacam ini biasanya terjadi antara pimpinan dengan bawahanbawahannya, atau antara guru dengan para siswanya.

  3. Konflik kelompok dengan kelompok; Konflik yang satu ini biasa terjadi dalam sebuah sepak bola, maupun antar kelompok motor. Bisanya suporter A akan berkonflik dengan suporter dari tim lain, jika timnya mengalami nasib yang kurang beruntung.

Dilihat dari segi dampak yang timbul.

  1. Konflik fungsional; Konflik fungsional adalah jenis konflik yang apabila dampaknya dapat memberi manfaat atau keuntungan bagi kehidupan, baik individu, kelompok, bangsa, dan negara, serta dapat dikelola dan dikendalikan dengan baik.

  2. Konflik infungsional; Konflik jenis ini adalah konflik yang apabila dampaknya justru merugikan, baik untuk diri sendiri maupun orang lain.

Macam-macam konflik berdasarkan posisi.

  1. Konflik vertikal, adalah konflik yang terjadi antara karyawan yang memiliki jabatan yang tidak sama dalam sebuah instansi.

  2. Konflik horizontal, adalah konflik yang terjadi karena memiliki kedudukan/jabatan yang sama atau setingkat.

  3. Konflik garis staf, adalah konflik yang terjadi antara karyawan yang memegang sisi komando, dengan pejabat staf sebagai penasihat.

  4. Konflik peran, adalah konflik yang terjadi karena individu memiliki peran yang lebih dari yang lain.

Macam-macam konflik berdasarkan hubungan antara tujuan dan tingkah laku.

  1. Kondisi tanpa konflik (No Conflict). Menurut padangan orang pada umumnya, mungkin bahwa konfisi tanpa konflik merupakan kondisi yang diinginkan. Namun demikian, kelompok atau masyarakat yang damai, jika ingin bertahan lama, maka harus hidup dinamis, menyatukan konflik tingkah laku dan tujuan, serta menyelesaikannya secara kreatif.

  2. Konflik laten (Latent conflict). Konflik laten adalah konflik yang berada di bawah permukaan. Konflik jenis ini perlu dibawa ke permukaan sebelum dapat diselesaikan secara efektif.

  3. Konflik terbuka (Open Conflict). Konflik ini mengakar secara dalam serta sangat terlihat jelas, dan membutuhkan tindakan untuk mengatasi penyebab yang mengakar serta efek yang terlihat.

  4. Konflik permukaan (Surface conflict). Konflik jenis ini memiliki akar yang tidak dalam atau tidak mengakar. Mungkin pula bahwa konflik permukaan ini muncul karena kesalahan pemahaaman mengenai sasaran dan dapat diatasi dengan perbaikan komunikasi.

Faktor Penyebab Konflik


Konflik bisa terjadi karena adanya faktor-faktor yang menjadi penyebabnya. Berbagai faktor penyebab tersebut dibedakan dalam beberapa jenis, yaitu:

  1. Triggers (Pemicu), peristiwa yang memicu sebuah konflik, namun tidak diperlukan dan tidak cukup memadai untuk menjelaskan konflik itu sendiri.

  2. Pivotal factors or root causes (faktor inti atau penyebab dasar), terletak pada akar konflik yang perlu ditangani supaya pada akhirnya dapat mengatasi konflik.

  3. Mobilizing factors (faktor yang memobilisasi), masalah-masalah yang memobilisasi kelompok untuk melakukan tindakan kekerasan.

  4. Aggravating factors (faktor yang memperburuk), faktor yang memberikan tambahan pada mobilizing factors dan pivotal factors, namun tidak cukup untuk dapat menimbulkan konflik itu sendiri.

Metode Penyelesaian Konflik


  1. Pencegahan konflik (conflict prevention)

  2. Penanganan konflik (conflict settlement), upaya mengakhiri tingkah laku kekerasan dengan mencapai kesepakatan perdamaian.

  3. Manajemen konflik (conflict management), bertujuan untuk membatasi dan menghindari kekerasan yang mungkin terjadi di waktu yang akan datang dengan cara mendukung perubahan tingkah laku yang positif pada pihak-pihak yang terlibat.

  4. Resolusi konflik (conflict resolution), yaitu membahas berbagai penyebab konflik dan mencoba untuk membangun hubungan baru dan abadi di antara kelompok-kelompok yang saling bertikai.

  5. Transformasi konflik (conflict transformation), membahas sumber politik dan sosial yang lebih luas dari suau konflik dan mencoba untuk mentransformasikan energi negatif peperangan menjadi perubahan sosial dan politik yang bersifat positif.